Anda di halaman 1dari 5

TUGAS EKONOMI BISNIS DI ASIA

NAMA : Felicia Vionita D


NRP : 130118023
KP :A

1. Pada tahun 1920-an industry moderen di Indonesia semuanya dimiliki oleh negara asing
meskipun jumlahnya sedikit. Pada saat itu hanya ada 2 Perusahaan Moderen yaitu perusahaan
rokok milik BAT (British American Tobaco) dan perakitan kendaraan bermotor General
Motorcar Assembly. Pada masa itu Industri Kecil berupa Industri Rumah Tangga contohnya:
penggilingan padi, pembuatan gula merah, rokok, kerajinan tekstil dan sebagainya belum
terkoordinasi dengan baik.

Pada 1930 terjadi depresi ekonomi yang meruntuhkan perekonomian dan menurunkan
penerimaan ekspor dari 1448 gulden pada 1929 menjadi 505 gulden yang mengakibatkan
pengangguran.Melihat situasi tersebut pemerintah hindia belanda mengubah system dan pola
kebijakan ekonomi dari sektor perkebunan ke sektor industri, dengan memberi kemudahan dalam
pemberian perijinan dan fasilitas bagi pendirian industri baru.

Pada tahun 1939 diadakan sensus industri pertama dan ditemukan industri yang ada pada
saat itu memperkerjakan 173 ribu orang di bidang pengolahan makanan, tekstil, dan barang
logam. Semua industri ini merupakan milik asing.

Pada masa perang dunia ke II kondisi industrialisasi cukup baik, namun setelah
pendudukan jepang keadaan berubah 180 derajat. Hal ini disebabkan larangan impor bahan baku
mentah dan diangkutnya barang kapital ke jepang dan pemaksaan tenaga kerja (romusha)
sehingga investasi negara asing nihil. Setelah indonesia merdeka, mulai dikembangkan sektor
industri dan menawarkan investasi walau dalam tahap percobaan. Tahun 1951 ,pemerintah
meluncurkan RUP (rencana urgensi perekonomian).Dengan program utamanya yaitu,
menumbuhkan dan mendorong industri kecil pribumi dan memberlakukkan pembatasan industri
besar atau modern yang dimiliki orang eropa dan china.

Pada tahun 1957 sektor industri mengalami stagnasi dan perekonomian mengalami masa
teduh, pada tahun 1960 an sektor industri tidak berkembang. Hal ini terjadi akibat situasi politik
yang sedang bergejolak, juga di sebabkan kurangnya modal dan tenaga ahli yang terampil.
Perlakuan dua undang- undang baru, yaitu PMA tahun 1967 dan PMDN tahun 1968 ternyata
mampu membangkitkan gairah sektor industri.

Selanjutnya pada masa Orde Baru terdapat beberapa kebijakan-kebijakan yang


diberlakukan, ada tiga aspek kebijakan perindustrian masa orde baru yaitu:

1. Dirombaknya system devisa, sehingga transaksi transaksi luar negeri menjadi


lebih bebas dan lebih sederhana.
2. Di kuranginya fasilitas-fasilitas khusus yang hanya di sediakan bagi perusahaan
negara, dan kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong pertumbuhan sektor
swasta bersama-sama dengan sektor BUMN.
3. Di berlakukannya undang-undang PMA .

Membaca sejarah, dapat diketahui bahwa sektor industri memiliki signifikansi bagi
pertumbuhan PDB suatu negara. Orde Baru mengawalinya dengan desain kebijakan ISI (industri
substitusi impor). Namun sejak awal 1980-an desain strategi kebijakan industrial secara bertahap
bergeser ke IOE (industri orientasi ekspor). Industrialisasi yang dicanangkan Orde Baru boleh
dikata berhasil merombak struktur ekonomi Indonesia. Perubahan struktur ekonomi ini terlihat
dari sektor-sektor ekonomi yang berkontribusi pada PDB.
Jika pada 1965 kontribusi sektor pertanian masih sekitar 56% dari PDB, maka sebelum
memasuki krisis ekonomi 1997 tercatat tinggal tersisa 16% PDB. Sedang industri manufaktur
selama periode 1980--1997, pertumbuhannya rata-rata mencapai 10,9%. Angka ini nisbi lebih
tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi pada periode itu, yang rata-rata tumbuh kisaran 6,7%.
Selain itu, jika pada 1967 sektor ini baru menyumbang 7,5% dari PDB, maka pada 1997
kontribusinya mencapai 26,8%.
Sayangnya, proses industrialisasi ini terinterupsi krisis ekonomi 1997--1998. Krisis
disinyalir disebabkan kelemahan struktural perekonomian nasional, baik itu terkait sistem
keuangan atau perbankan maupun corak kapitalisme kronisme—atau meminjam istilah Kunio
Yoshihara, “kapitalisme semu”.
Pasca-Orde Baru, kontribusi sektor manufaktur pada PDB sempat melejit naik hingga
29% pada 2001. Namun untuk selanjutnya trennya terus menurun, dan boleh dikata belum
sepenuhnya pulih dari segi output produksi dan rasio kontribusinya atas PDB.
Sepanjang 2014 – 2018, pertumbuhan industri pengolahan nonmigas berkisar rata-rata
4,9%. Potret detail sumbangan sektor ini terhadap PDB ialah:
(Sumber: Info Grafis)
1. 2014: 1.637,5 triliun.
2. 2015: 1.720,2 triliun.
3. 2016: 1.796,4 triliun.
4. 2017: 1.883,4 triliun.
5. 2018 Semester I: 969,3 triliun.

Indonesia saat ini adalah kelompok negara berpendapatan menengah tentu masih
mengharapkan sektor Industri manufaktur dapat meningkatkan perannya pada pembentukan
PDB. Dalam kerangka itu, DPR dan Pemerintah telah menyusun UU No. 3 Tahun 2014 tentang
Perindustrian. UU ini sebagai pengganti UU No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian yang telah
kadaluwarsa.
Menindaklanjuti amanat UU Perindustrian “baru” itu, pemerintah telah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri
Nasional 2015 – 2035. Dikenal sebagai PP RIPIN, pemerintah telah menetapkan pedoman bagi
pemerintah maupun pelaku industri dan usaha sebuah kerangka perencanaan dan pembangunan
industri nasional untuk periode 20 tahun. Melalui skema PP RIPIN, pemerintah menetapkan 10
Industri Prioritas yaitu:
1. Industri Pangan
2. Industri Farmasi, Kosmetik, dan Alat Kesehatan.
3. Industri Tekstil, Kulit, Alas Kaki, dan Aneka.
4. Industri Alat Transportasi.
5. Industri Elektronik dan Informatika (ICT).
6. Industri Pembangkit Listrik.
7. Industri Barang Modal, Komponen, Bahan Penolong, dan Jasa Industri.
8. Industri Hulu Agro.
9. Industri Logam Dasar dan Bahan Galian Bukan Logam.
10. Industri Kimia Dasar Berbasis Migas dan Batubara.
Bermaksud memperjelas arah implementasi di lapangan, pemerintah mengeluarkan
beberapa regulasi terkait. Awal Februari 2018, keluarlah Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2018
tentang Kebijakan Industri Nasional 2015 – 2019. Kebijakan industri nasional telah menetapkan
beberapa sasaran pembangunan di sepanjang 2015 – 2019, antara lain, meningkatkan laju
pertumbuhan 5,5% - 6,20% dengan kontribusi 18,2% - 19,4% atas PDB; mengurangi
ketergantungan impor (bahan baku, barang penolong, barang antara); perluasan dan pendalaman
industri dalam kerangka membangun ‘industrial linkage’ hulu ke hilir; menguatkan struktur
industri nasional; meningkatkan kapasitas produksi dan ekspor serta daya saing nasional melalui
inovasi dan pemanfaat teknologi. Selain itu, sasaran kebijakan ini juga dimaksudkan
menciptakan lapangan kerja untuk menyongsong era bonus demografis.
Pada 17 September 2018 Presiden Joko Widodo – Jusuf Kalla kembali mengeluarkan
beleid baru, Keputusan Presiden No. 24 Tahun 2018 tentang Tim Nasional Peningkatan
Penggunaan Produksi Dalam Negeri atau populer disebut Tim Nasional P3DN. Tujuan utamanya
ialah mempercepat dan mengawal implementasi TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri)
dalam semua sektor industri. Beberapa waktu sebelumnya, pemerintah juga sudah mendorong
regulasi di tingkat teknis. Yaitu menerbitkan Permenperin No.5 Tahun 2018 tentang Perubahan
atas Permenperin No.34/M-IND-/PER/2017 tentang Industri Kendaraan Bermotor Roda Empat
atau Lebih.
Hal yang sama juga sudah dilakukan pada industri ponsel pintar 4G. Kebijakan ini
tertuang dalam Permenperin No.65 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penghitungan
Nilai Komponen Dalam Negeri Produk Telepon Seluler, Komputer Genggam, dan Komputer
Tablet, yang kemudian direvisi menjadi Permenperin No.29 Tahun 2017.Tak kecuali, industri
makanan dan minuman serta tekstil dan pakaian serta industri lainnya. Jauh sebelum ini,
pemerintah pun telah mengeluarkan regulasi teknis, Permenperin No 16/M-IND/PER/2/2011
tentang Ketentuan Tata Cara Perhitungan Tingkat Komponen Dalam Negeri.
Dalam konteks makroekonomi, TKDN dilakukan untuk mengurangi ketergantungan akan
produk-produk impor. Sedangkan bagi industri sendiri, kebijakan TKDN dirumuskan oleh
pemerintah dalam rangka menguatkan, memperluas, dan memperdalam struktur industri
nasional. Baik itu terkait strategi ISI—untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik—maupun
terkait strategi IOE—untuk meningkatkan nilai ekspor.Selain itu, harapan lainnya ialah, melalui
skenario kebijakan TKDN maka terjadi alih teknologi beserta alih kompetensi dalam rangka
meningkatkan daya saing tenaga kerja. Menindaklanjuti hal ini, pemerintah mendorong
kebijakan pendidikan vokasi berbasis ‘link and match’ dengan kebutuhan industri. Pendidikan
vokasi ialah sebuah terobosan kebijakan sebagai upaya mempersiapkan kompetensi masyarakat
memasuki pasar tenaga kerja ke depan.
UNIDO (United Nation Industrial Development Organization), sebuah badan PBB untuk
pengembangan industri, mencatat industrialisasi di Indonesia termasuk kategori negara semi-
industri. Menurut data Pemerintah, industri nasional di Indonesia secara umum juga masih
menggunakan teknologi Industri 1.0 dan Industri 3.0.
Terkait bonus demografis ke depan, muncul kekhawatiran bahwa Revolusi Digital atau
Industri 4.0 akan berdampak memperkecil penciptaan lapangan kerja di sektor industri.
Mengantisipasi hal itu, pemerintah telah menyusun inisiatif “Making Indonesia 4.0”. Kebijakan
ini dirumuskan untuk mengimplementasikan strategi dan Peta Jalan Industri 4.0 di Indonesia.
Peta Jalan ini melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Dari institusi pemerintah, asosiasi
industri, pelaku usaha, penyedia teknologi, maupun lembaga riset dan pendidikan.
Peta Jalan Making Indonesia 4.0 memberikan arah dan strategi yang jelas bagi
pergerakan industri Indonesia di masa datang. Ada optimisme kuat. Bahwa, jika Indonesia secara
dini berhasil mengantisipasi persoalan transisi ini, maka Industri 4.0 bakalan memberikan
peluang revitalisasi sektor industri manufaktur. Selain kebijakan ini diharapkan dapat membuka
lapangan pekerjaan tambahan hingga 10 juta, lebih jauh juga menjadi salah satu cara untuk
mempercepat pencapaian visi Indonesia menjadi 10 ekonomi terbesar di dunia.
Indikasi adanya perbaikan sektor industri pengolahan nonmigas setidaknya tecermin dari
kenaikan jumlah populasi pelaku industri dan serapan tenaga kerja. Jika pada 2014 tercatat
25.094 unit Industri Besar dan Sedang, maka pada 2017 bertambah jadi 30.992 unit. Sedangkan
jika pada 2014 tercatat 3,52 juta unit Industri Kecil, maka pada 2017 bertambah jadi 4,49 juta
unit.
Untuk pertambahan serapan tenaga kerja juga naik cukup signifikan. Dari data Sakernas
BPS Agustus yang diolah Kementerian Perindustrian, tercatat sejak 2015 serapan tenaga kerja di
sektor industri pengolahan nonmigas trennya naik. Jika pada 2015 tercatat menyerap tenaga kerja
sebesar 15,54 juta, sekalipun tidak besar angkanya naik menjadi 15,87 juta pada 2016.
Memasuki 2017 kenaikan serapan tenaga kerja tumbuh signifikan menjadi 17,56 juta. Sedangkan
pada Semester I 2018, serapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 17,92 juta.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III 2018
hanya sebesar 4,24%. Meski terjadi perubahan secara global, Indonesia masih menempati
peringkat lima besar dalam nilai tambah manufaktur. Selain itu, industri manufaktur tetap
menajadi andalan penyumbang pertumbuhan ekonomi dengan kontribusinya terhadap Produk
Domestik Bruto (PDB) yang sebesar 19%-20%.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang tahun 2019 hanya mencapai 5,02%. Ditinjau
berdasarkan lapangan usaha, pertumbuhan industri pengolahan kian menciut. Badan Pusat
Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan industri pengolahan kuartal IV-2019 turun menjadi
hanya 3,66% secara year-on-year (yoy), dibandingkan kuartal III-2019 yang menyentuh 4,14%
yoy. Secara kumulatif sepanjang tahun 2019, industri pengolahan hanya tumbuh 3,8% yoy, juga
turun dibandingkan pertumbuhan pada tahun sebelumnya sebesar 4,27%.

perlambatan industri pengolahan sejalan dengan turunnya industri batubara dan


pengilangan migas yang mengalami kontraksi pertumbuhan -1,1% yoy dibandingkan tahun
sebelumnya. -0,01% yoy. Industri non-migas juga tumbuh lebih rendah yaitu 4,34% yoy,
dibandingkan tahun sebelumnya yang tumbuh 4,77% yoy. Antara lain industri makanan
minuman, lanjut Suhariyanto, masih tumbuh meski melambat menjadi 7,78% yoy dibandingkan
tahun lalu 7,91% yoy. Begitu pun dengan industri pengolahan tembakau yang tumbuh melambat
menjadi 3,36% yoy, dibandingkan tahun sebelumnya 3,52% yoy. Sementara, industri alat
angkutan mengalami kontraksi pertumbuhan menjadi -3,43% yoy. Padahal tahun lalu, sektor
industri ini tumbuh 4,24% yoy.

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), dari sembilan sektor industri
pengolahan non migas, sebanyak enam sektor tumbuh negatif pada triwulan I 2020. Sementara
itu hanya ada tiga sektor industri pengolahan yang masih tumbuh positif walaupun melambat.
Tiga sektor yang masih tumbuh positif adalah industri makanan dan minuman (mamin), dari 7,95
persen pada triwulan IV 2019 menjadi 3,94 persen. Kemudian sektor industri kimia, farmasi dan
obat tradisional melambat dari 12,73 persen menjadi 5,59 persen. Kemudian industri alat
angkutan melaju positif dari -2,25 persen menjadi 4,64 persen.

Anda mungkin juga menyukai