Anda di halaman 1dari 10

Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di Jazirah Tenggara Pulau Sulawesi

dengan Ibu Kota Kendari, secara geografis terletak di bagian selatan


garis khatulistiwa di antara 02°45' – 06°15' Lintang Selatan dan 120°45' –
124°30' Bujur Timur serta mempunyai wilayah daratan seluas 38.140 km² (3.814.000
ha) dan perairan (laut) seluas 110.000 km² (11.000.000 ha). Sulawesi Tenggara
ditetapkan sebagai Daerah Otonom berdasarkan Perpu No. 2 tahun 1964 Juncto UU
No.13 Tahun 1964.

Inventarisasi lingkungan hidup daerah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam hal


sumber daya alam meliputi:

A. Potensi dan Ketersediaan

1. Pertanian
Komoditas pertanian merupakan sumber pendapatan daerah yang
dominan di Sulawesi Tenggara. Meskipun secara persentase peranannya
terus turun dalam struktur Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB),
akan tetapi secara nominal terus tumbuh. BPS (2016) melaporkan bahwa
kontribusi sektor pertanian mencapai 24,01%, tertinggi dari 17 sub sektor
ekonomi, meskipun kontribusi tersebut cenderung terus menurun. Secara
spesifik pertumbuhan subsektor dalam pertanian menunjukkan bahwa sub
sektor tanaman perkebunan, tanaman pangan, perikanan dan peternakan terus
tumbuh secara signifikan, sementara sub sektor kehutanan cenderung
stagnan. Komoditi unggulan di bidang pertanian, meliputi: kakao, kacang
mete, kelapa, cengkeh, kopi, pinang lada, dan vanili. Berdasarkan data Dinas
Perkebunan dan Hortikultura Provinsi Sulawesi Tenggarara, Tahun 2015.
Dalam komoditas ekspor perkembangan areal perkebunan di Provinsi
Sulawesi Tenggara adalah produksi Jambu Mete 23.758 ton, Kelapa Dalam
39.191 ton, Kelapa Hybrida 3.506 ton, Cengkeh 6.557 ton, Lada 3.858 ton,
Enau 3.106 ton, Pinang 220 ton, Kapuk 230 ton, dan Sagu 919 ton.

2. Kehutanan
Kondisi geografis Sulawesi Tenggara cocok menjadi tempat hidup
pohon penghasil kayu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sekaligus
menjadi potensi perekonomian daerah. Adapun komoditi unggulan di bidang
kehutanan, meliputi: kayu gelondongan, kayu gaharu dan kayu gergajian.

3. Perikanan
Provinsi Sulawesi Tenggara yang terdiri atas beberapa gugusan pulau
mengakibatkan sektor kelautan dan perikanan merupakan sumber daya alam
yang potensial. Pada lokasi penangkapan ikan berpotensi mencapai 250.000
ton/tahun. Tingkat pemanfaatan pada saat ini banyak 157.479 ton/tahun
dengan jenis produksi antara lain ikan layang, kembung, lemuru, ikan merah,
tenggiri dan kerapu.

4. Peternakan
Komoditas peternakan menjadi basis baik dalam waktu saat ini
maupun dalam waktu jangka panjang. Hal ini tentunya ditopang dengan
penerapan kebijakan pengembangan komoditas pada masing-masing
wilayah. Komoditi unggulan dalam bidang peternakan, meliputi: sapi,
kerbau, dan kambing.

5. Pertambangan
Potensi pertambangan yang dimiliki oleh Sulawesi Tenggara
diantaranya adalah tambang aspal di kabupaten Buton, tambang nikel di
kabupaten kolaka, konawe utara dan konawe, potensi tambang marmer, batu
granit dan krom tersebar di beberapa kabupaten di sulawesi tenggara dan
untuk potensi tambang minyak dikabupaten Buton Utara dan Buton. Khusus
untuk tambang aspal beberapa perusahaan memegang kuasa pertambangan
untuk melakukan eksplorasi.

B. Jenis yang dimanfaatkan


1. Flora
Di Sulawesi Tenggara, ada berbagai macam jenis Flora yang
tersebar, antara lain:
- Anggrek Serat
Anggrek Serat  (Diplocaulobium utile dulunya Dendrobium
utile) merupakan flora maskot (identitas) provinsi Sulawesi
Tenggara. Nama anggrek serat ini didapat lantaran umbi semunya
yang mengandung serat dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan
anyaman kerajinan tangan. Sayangnya akibat eksploitasi yang
berlebihan, anggrek serat yang menjadi maskot Sulawesi Tenggara
semakin sulit ditemukan. Anggrek serat dalam bahasa lokal
(Sulawesi) disebut sebagai anomi, anemi, atau alemi. Sedangkan
dalam bahasa latin, nama ilmiah anggrek serat semula
adalah Dendrobium utile namun kemudian mengalami revisi
menjadi Diplocaulobium utile. Nama latin yang
pertama, Dendrobium utile sekarang dipakai sebagai sinonim.
- Pohon Sagu
Sagu merupakan salah satu sumber karbohidrat penting di
Indonesia termasuk di Sulawesi Tenggara, khususnya Suku Tolaki
yang secara historis penduduknya mengkonsumsi sagu sebagai
bahan makanan pokok selain beras.
Bagi masyarakat Sulawesi Tenggara, sagu merupakan bahan
pangan lokal yang masih dikonsumsi masyarakat sampai sekarang,
baik dalam bentuk makanan utama berupa sinonggi maupun
makanan snack berupa roti bagea, sinole dll.
Berdasarkan laporan Kepala Badan Ketahanan Pangan
Sulawesi Tenggara, konsumsi beras penduduk Sultra tahun 2013
yaitu 91,3 kg/kapita per tahun, hal ini di bawah angka rata-rata
konsumsi nasional yaitu 96,3 kg/kapita/tahun). Penurunan
konsumsi itu dipenuhi dari konsumsi dari bahan pangan lain
(pangan lokal) seperti jagung, ubikayu serta sagu.  
- Tumbuhan Paku
- Rotan Tohiti
- Dongi

2. Fauna
Adapun di Sulawesi Tenggara terdapat sangat banyak jenis
fauna, antara lain:
- Anoa
Anoa (Bubalus depressicornis) atau (Bubalus quarlesi) adalah
satwa endemik pulau Sulawesi, Indonesia. Anoa juga menjadi
fauna identitas provinsi Sulawesi Tenggara. Satwa langka dan
dilindungi ini terdiri atas dua spesies (jenis) yaitu: anoa
pegunungan (Bubalus quarlesi) dan anoa dataran rendah (Bubalus
depressicornis). Kedua satwa ini tinggal dalam hutan yang jarang
dijamah manusia. Kedua spesies anoa tersebut hanya dapat
ditemukan di Sulawesi, Indonesia. Diperkirakan saat ini terdapat
kurang dari 5000 ekor yang masih bertahan hidup. Anoa sering
diburu untuk diambil kulitnya, tanduknya dan dagingnya.
- Babirusa
- Maleo
- Monyet Hitam
- Elang Alap Kecil
- Mandar Dengkur
- Kareo Sulawesi
- Pergam Tutu
- Delimukan Sulawesi
- Serindit Paruh Merah
- Pungguk Oker
- Cekakak Hutan Tungging Hijau
- Cikir-cikir Pasa
- Kepodang-sungu Biru
- Sikatan Leher Merah
- Kacamata Perut Pucat
- Raja Perling Sulawesi

3. Pertambangan
- Nikel
- Batu Bara
- Marmer
- Batu Granit
- Krom
- Minyak
- Aspal

C. Bentuk Penguasaan
Pada hakekatnya otonomi daerah yang ingin dibangun merupakan
upaya untuk mendekatkan sistem pengelolaan sumber alam pada
masyarakat di daerah, agar masyarakat yang bersangkutan dapat
merasakan manfaat ekonomi dari eskploitasi sumber daya alam yang
didaerahnya.
Demikian juga pengalaman dari penguasaan sumber daya alam yang
sentralistik di masa lalu, telah memberikan pelajaran berharga bagi
pemerintah yang lebih banyak berpihak pada pemilik modal yang besar
dan investor-investor baik dari dalam maupun luar negeri dengan
menggunkan teknologi maju justru menimbulkan kerusakan dan
kehancuran lingkungan yang tidak terkendali dan konflik.
Secara konseptual subtansansi perundang-undangan yang berkaitan
dengan hubungan hukum penguasaan sumber daya alam, ini tidak sesuai
lagi dengan tujuan awalnya, hal ini karena ketentuan yang terdapat
didalamnya telah memberikan kekuasaaan yang sangat besar kepada
pemerintah untuk mengatur dan mengurus segala sesutu yang berkaitan
dengaan sumber daya alam, sehingga kekuasaan yang dimiliki oleh negara
lambat alut menegasikan keberadaan masyarakat dan yang ada
kepentingan modal yang didahulu, bukan kepentingan rakyat atau
masyarakat sekitar sumber daya alam.
Kedepan dalam penguasaan negara terhadap sumber daya alam, rakyat
yang seharusnya dilibat, merasakan manfaatkan, sehingga istilah
kemakmuran yang ada Pasal 33 UUD dapat dirasakan masyarakat.

D. Pengetahuan Pengelolaan
1. Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Air untuk Penyediaan Air Baku
Kabupaten Konawe
Fenomena yang terjadi akhir-akhir ini terkait dengan eksistensi
sumber daya air adalah penurunan ketersediaan air sementara di lain
pihak kebutuhan air terus mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu, hal ini merupakan konsekuensi logis dari pertambahan jumlah
penduduk dan peningkatan aktivitas ekonomi. Penurunan ketersediaan
air dan peningkatan kebutuhan air juga terjadi di Kabupaten Konawe
Provinsi Sulawesi Tenggara.
Perubahan penggunaan lahan diduga mengakibatkan
terjadinya penurunan debit minimum dan peningkatan debit
maksimum di Kabupaten Konawe. Penelitian ini telah dilaksanakan di
Kabupaten Konawe Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Maret
2012 sampai pada bulan Februari 2013, dengan tujuan: (1)
Menganalisis potensi ketersediaan air baku di Kabupaten Konawe; (2)
Menganalisis tingkat keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam
untuk penyediaan air baku di Kabupaten Konawe; (3) Membangun
strategi pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air baku
berkelanjutan di tingkat kabupaten, dan (4) Menganalisis strategi
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air
baku berkelanjutan di Kabupaten Konawe.
Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data
primer dan sekunder. Data primer dikumpulkan melalui survey lapang,
diskusi, pengisian kuesioner dan wawancara langsung di lokasi
penelitian untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.
Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui penelusuran pustaka
dengan cara mencari referensi dari berbagai sumber seperti; hasil
penelitian terdahulu, studi pustaka, peta, laporan dan dokumen yang
ada di berbagai instansi terkait sesuai obyek yang diteliti. Penentuan
responden dilakukan dengan menggunakan metode Expert Survey.
Teknik analisis data dilakukan dengan menggunakan 4 (empat)
tahapan utama, yaitu : (1) Analisis potensi ketersediaan air baku
dengan tools analisis Model Tangki (Tank Model), (2) Analisis status
keberlanjutan pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air
baku di tingkat kabupaten dengan metode analisis Multi Dimensional
Scalling (MDS), (3) Analisis strategi pengelolaan sumber daya alam
untuk penyediaan air baku berkelanjutan di tingkat kabupaten dengan
kombinasi analisis MDS, dan analisis Prospektif, dan (4) Analisis
kelembagaan pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air
baku berkelanjutan di tingkat kabupaten dengan metode analisis
Interpretative Structural Modelling (ISM) untuk memperoleh
mekanisme kerja sama antar pemangku kepentingan dalam
pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air baku
berkelanjutan di Kabupaten Konawe
Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan hasil
simulasi distribusi potensi air bulanan di Sub DAS Konaweha tahun
2011 dengan model tangki diketahui bahwa potensi air baku dapat
ditingkatkan dengan konservasi. Distribusi potensi air bulanan yang
dihasilkan oleh model sebesar 71,48 mm/bulan sama dengan 857,77
mm/tahun atau setara dengan 33.390 m3/tahun. Sehingga potensi air
rata-rata bulanan di Sub DAS Konaweha sebesar 2799,14 m3/bulan.
Distribusi potensi air bulanan maksimum berdasarkan skenario
bussiness as usual berada pada bulan Juli sebesar 110,08 mm/bulan,
sedangkan distribusi potensi air bulana minimum berada pada bulan
Novembar sebesar 44,82 mm/bulan. Berdasarkan hasil penilaian
terhadap 44 atribut dari kelima dimensi ekologi, ekonomi, sosial,
kelembagaan, dan teknologi pada pengelolaan sumber daya alam
untuk penyediaan air baku berkelanjutan di Kab. Konawe maka
kondisi saat ini nilai indeks keberlanjutannya adalah sebesar 41,40
(terletak antara 25,00 - 49,99) ini berarti status pengelolaan sumber
daya alam untuk penyediaan air baku berkelanjutan di Kab. Konawe
saat ini berada pada status kurang berkelanjutan.
Dimensi ekologi mempunyai kinerja cukup berkelanjutan
sedangkan empat dimensi lainnya dimensi ekonomi, sosial, teknologi
dan kelembagaan menunjukkan kinerja yang kurang berkelanjutan.
Faktor pengungkit (leverage factor) keberlanjutan pengelolaan sumber
daya alam untuk penyediaan air baku di Kab. Konawe diperoleh
sebanyak 12 atribut berasal dari dimensi ekologi 3 atribut yaitu (1)
Pengembangan sumber air baku untuk penyediaan air bersih, (2)
Pemanfaatan lahan terhadap kualitas air baku, (3) Tinggi permukaan
air tanah. Dimensi ekonomi 2 atribut yaitu: (1) Tingkat keuntungan
PDAM, dan (2) Penyerapan tenaga kerja. Dimensi sosial 2 atribut
yaitu (1) Motivasi dan kepedulian masyarakat terhadap upaya
perbaikan lingkungan, rehabilitasi hutan dan lahan untuk kelestarian
sumber air baku, dan (2) Tingkat pendidikan formal masyarakat.
Dimensi teknologi 3 atribut yaitu (1) Tingkat pelayanan air bersih
PDAM, (2) Teknologi penanganan limbah dan (3) Kondisi drainase di
kawasan permukiman, dan dimensi kelembagaan 2 atribut yaitu (1)
Rezim pengelolaan air bersih, dan (2). Ketersediaan perangkat hukum
adat/local wisdom. Untuk meningkatkan status keberlanjutan jangka
panjang, skenario yang perlu dilakukan untuk pengelolaan sumber
daya alam untuk penyediaan air baku berkelanjutan di Kab. Konawe
adalah Skenario III (Optimis), dengan melakukan perbaikan secara
menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif, minimal terhadap 8
(delapan) atribut faktor kunci yang dihasilkan dalam analisis
prospektif, sehingga semua dimensi yang ada menjadi berkelanjutan.
Pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air baku
berkelanjutan di Kab. Konawe masih menghadapi kendala diantaranya
sebagai berikut: menurunnya fungsi resapan air akibat berkurangnya
vegetasi pada daerah tangkapan air, dan kurangnya koordinasi dan
keterpaduan pengelolaan sumber daya air antar stakeholder terkait.
Program yang menjadi kebutuhan dalam kebijakan pengelolaan
sumber daya alam untuk penyediaan air baku berkelanjutan di
Kabupaten Konawe yaitu: Peningkatan pengetahuan dan ketrampilan
aparat SKPD terkait; Peningkatan kesadaran stake holder terkait; dan
Penetapan pedoman pengelolaan DAS. Ketiga sub elemen kebutuhan
ini menjadi dasar bagi sub elemen lainnya, dan perlu segera
diimplementasikan dilapangan. Terdapat 11 lembaga yang terkait
dalam pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air baku
berkelanjutan di Kab. Konawe, namun lembaga yang memiliki
pengaruh paling besar dalam perumusan kebijakan pemerintah dalam
hal pengelolaan sumber daya alam untuk penyediaan air baku
berkelanjutan di Kab. Konawe yaitu BPDAS Sampara dan Dinas
Kehutanan Kab. Konawe.

2. Pengelolaan Sumber Daya Laut yang Memicu Peningkatan PAD


Sulawesi Tenggara
Potensi hasil laut Sulawesi Tenggara sangat menjanjikan
berbagai pengembangan ekonomi skala kecil, menengah dan skala
besar, termasuk dalam menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD)
dan devisa negara.
Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Prof.
Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, di Kendari, Senin dalam seminar
pengembangan budaya maritim mengatakan, secara geografi wilayah
Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) 75 persen wilayah laut, panjang
garis pantai 1.740 km.
"Dengan 651 pulau dan 361 pulau diantaranya sudah
mempunyai nama, dan hanya 86 pulau yang berpenghuni, 39 persen
penduduk Sultra bermukim di kepulauan," ujarnya.
Tiga ekosistem perairan laut Provinsi Sulawesi Tenggara
meliputi laut Banda, laut Sawu, teluk Bone, selat Kabaena, selat Muna,
selat Tiworo dan selat Buton banyak menyimpan kekayaan sumber
daya laut.
Kekayaan sumber daya alam laut yang beragam baik dari ikan
laut maupun ikan darat, yang bertujuan untuk menggali kekayaan
daerah guna meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) Sultra.
"Untuk menciptakan ekonomi kelautan yang berdaya saing,
adil dan berkelanjutan harus mewujudkan kesejahteraan seluruh
pelaku usaha secara adil, pertumbuhan ekonomi tinggi berkelanjutan
kedaulatan pangan, obat, energi, ketersediaan bahan baku untuk
berbagai industri dan menjaga Kelestarian ekosistem perairan,"
ujarmya.
Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan itu menambahkan
pengembangan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru secara terpadu
dan modern berbasis ekonomi kelautan, minimal satu kawasan di
setiap kabupaten/kota.
Penerapan teknik penanganan dan transportasi produk
perikanan dari lokasi produksi perikanan tangkap maupun perikanan
budidaya ke konsumen,termasuk pasar ekspor.
Penguatan dan pengembangan teknik dan pendekatan
pemasaran produk perikanan, baik pasar domestik maupun ekspor juga
menentukan pendapatan bagi pelaku usaha bidang perikanan dan
kelautan.
"Insya Allah pada tahun 2019 kinerja pembangunan kelautan
akan meningkat signifikan, dan pada 2025 Sultra akan menjadi
Provinsi yang maju, sejahtera, dan mandiri, yang tentunya dengan
mengimplementasikan pembangunan kelautan dan perikanan secara
konsisten, sistematik, dan berkesinambungan," ujar Rokhmin Dahuri.

E. Bentuk Kerusakan Lingkungan


1. Tergerusnya Hutan
Berdasarkan penelitian Walhi Sultra, ditemukan sekitar
640.000 hektar hutan dikuasai tambang dan sawit. Konsesi tambang
sekitar 600.000-an hektar dan 40.000-an hekta jadi kebun sawit,
terluas pertambangan di Konawe Utara dengan 146 izin, disusul
Kolaka dan Kolaka Utara. Untuk pembukaan lahan perkebunan
Riset Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Juni 2015
menyebutkan, per 2015, Sulawesi tengah mengalami krisis ruang,
sekitar 54% daratan Sulawesi habis terbagi untuk perizinan tambang,
hak guna usaha, HPH dan HTI. Tambang menempati peringkat
pertama, 25% atau 4,78 juta hektar. Untuk migas 2,2 juta hektar.
Pertambangan ada di Sulawesi dengan, terbesar di Sulawesi Tengah
dan Sulawesi Tenggara.
Serupa dikatakan Letnan Jenderal Doni Monardo, Kepala
Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Dia mengatakan,
penyebab banjir di Sultra dampak kerusakan lingkungan. Alih fungsi
lahan ke perkebunan dan pertambangan, katanya, jadi penyebab utama
banjir.

2. Sedimentasi Sisa Galian Tambang


Akibat dari galian-galian tambang nikel yang dikelola oleh
para perusahaan tambang di provinsi Sulawesi tenggara
mengakibatkan sedimentasi. Sedimentasi adalah pengendapan material
pada media-media tertentu. Dalam dampak kerusakan lingkungan
yang terjadi di Sulawesi tenggara, sedimentasi pada sisa galian
tambang berdampak pada media air yang kemudian mencemari
ekosistem perairan di daerah tersebut yang kemudia berdampak pada
menurunnya produksi sektor perikanan maupun perairan di daerah
Sulawes Tenggara.

F. Konflik dan Penyebab Konflik yang Timbul Akibat Pengelolaan


Konflik yang terjadi di Kawasan Hutan Lindung Jompi diidentifikasi
juga berdasarkan hasil wawancara dan observasi dengan berbagai pihak.
Sebagian besar konflik atas sumberdaya hutan mempunyai sebab-sebab
ganda, biasanya kombinasi dari masalah-masalah dalam hubungan antara
pihak yang mengarah pada konflik terbuka.
Penyebab konflik yang terjadi antara Komunitas Kontu dengan Dinas
Kehutanan Kabupaten Muna berawal di tahun 1999, ketika
dikeluarkannya SK Menhutbun No. 454/Kpts-II/1999 oleh Departemen
Kehutanan yang menunjuk kawasan hutan Sulawesi Tenggara yang
menurut terjemahan Pemkab. Masyarakat sendiri sampai saat ini tetap
berada pada kawasan hutan lindung karena menganggap bahwa Kontu
adalah warisan adat leluhur mereka.
Konflik yang terjadi merupakan bentuk perlawanan dari masyarakat
yang bermotif ekonomi. Perlawanan dengan motif ekonomi tampak pada
pemenuhan kebutuhan masyarakat, dengan cara menanami lahannya
dengan tanaman pertanian seperti jagung, pisang, ubi kayu dan sayuran,
meski tidak diizinkan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Muna.
Pada kasus yang terjadi di Kawasan hutan lindung Jompi, pada
periode sebelum reformasi masyarakat memberikan respons terhadap
konflik dengan cara yang berbeda. Sebagian masyarakat memberikan
respon yang kuat yaitu yang dieskpresikan dalam bentuk perlawanan
sebagai resistensi mereka terhadap konflik yang terjadi dan terdapat pula
yang memberikan respons yang lemah, yaitu yang dieskpresikan dengan
melakukan migrasi meskipun jumlahnya tidak begitu banyak. Orang yang
melakukan migrasi ini adalah yang memiliki kesempatan bekerja di kota,
mereka biasanya diajak oleh sanak keluarga yang telah lebih dulu bekerja
di kota. Sedangkan pada periode setelah reformasi masyarakat
memberikan respons yang sama yaitu merespons dengan kuat dan
mengekspresikan dengan cara menebang pohon di Kawasan hutan lindung
Jompi dan melakukan demonstrasi hingga berakhir dengan kontak fisik.

Anda mungkin juga menyukai