Anda di halaman 1dari 12

K onflik E lite P olitik di Pedesaan:

Relasi antara Badan Perwakilan Desa dan Pemerintah Desa1


Oleh:
Heru Cahyono

Abstract

Rurai Representative Body (Badan Perwakilan Desa) claims their institutions bring the people
aspirations, but in reality BPD shows themselves as an elitist and failed to express people’s voice.
Large authority that is possessed by BPD, such as suggesting the regent to dismiss the head of the
village from his job, has been endorsed the grow o f politicization ofBPD by its members.
This new uniformity policy has caused a dilemma, because not all village in Indonesia are
ready to take representative democracy model. The rule o f law assumes village as an administrative
units and extremely formal. It also simplificate the heterogenity or plurality of villages in Indonesia,
such as ignoring the variety oflocal milieu and local condition, cultural differences, and social structure
differences in society.

U ndang-undang N o.22 Tahun 1999 masyarakat untuk dapat menentukan pilihan dan
tentang Pemerintahan Daerah telah memberi mengekspresikan diri secara lebih otonom dan
warna baru bagi penyelenggaraan pemerintahan mandiri. Namun demikian dalam kenyataan
di daerah, yang dianggap dapat mem bawa gagasan ini belum sepenuhnya beijalan, karena
k o n trib u si p o s itif b ag i p e n g e m b a n g a n terdapatnya sejumlah potensi konflik akibat
dem okratisasi di desa, bahkan m ungkin kehadiran lem baga-lem baga baru di tingkat
mengarah pada suatu pembahan paradigma yang d e s a , di m a n a se b u a h k o n flik y an g
diharapkan berpengaruh tidak kecil bagi berkepanjangan akan membuat pembangunan
penyelenggaraan pem erintahan desa. Secara di desa terbengkalai.
khusus ini terkait dengan kehadiran lembaga- Dalam konstelasi politik di pedesaan,
lembaga lokal di tingkat desa, di mana salah adanya BPD sebagai lembaga yang mengawasi
satunya ialah Badan Perwakilan D esa (BPD) eksekutif sering dipandang sebagai gangguan
yang seyogyanya bisa menjadi wadah penyalur atas kem apanan yang ada. Secara kultural
aspirasi masyarakat dan sebagai kekuatan kepala desa (kades) boleh jadi belum siap
pengimbang bagi pemerintah desa. karena sekian lama semasa Orde Baru tidak
Lahirnya lembaga BPD sebagai parlemen pernah diawasi, mengingat Ketua LMD/LKMD
desa sekaligus diharapkan merupakan wahana dirangkap oleh kades. Dengan kelahiran BPD,
bagi ra k y a t u n tu k te rlib a t d a la m maka struktur desa tidak lagi menempatkan
penyelenggaraan urusan publik dan proses kepala desa sebagai kekuasaan sentral tanpa
pengambilan kebijakan-kebijakan desa. Di sini adanya pengontrol. Dalam menyikapinya, kepala
sebenarnya terb u k a peluang bagi w arga desa bisa memainkan beberapa strategi dengan
maksud “m enjinakkan” BPD, sehingga BPD
tidak menjadi penghalang gerak bagi eksekutif,
1Penelitian dengan tema diatas dilakukan oleh Tim Peneliti yang pada gilirannya menuju sebuah pola kolusi
yang beranggotakan: Heru C ahyono, Dhurorudin
atau kolaborasi yang melahirkan konsentrasi
Mashad, Irine Hiraswari Gayatri, M och. Nurhasim,
Syafuan Rozi, dan Tri Ratnawati kekuasaan politik. Ini merupakan pola pertama
yang terbangun dalam relasi BPD dengan Sungai Puar-Agam dan DesaTulikup-Gianyar.
p e m e rin ta h d esa. H al in i s e k a lig u s Lam bat-laun konflik bisa mencair, berkat
m engisyaratkan bahw a BPD akan efektif kearifan anggota dan Ketua BPD untuk tidak
m emainkan fungsinya bila didukung oleh melakukan kritik secara keras maupun tindakan
kekuatan-kekuatan riil di masyarakat. Tanpa itu, frontal terhadap perbekel.
bukan tidak m ungkin BPD akan m enjadi Kecuali terbentuknya tiga pola relasi di
lembaga baru tanpa makna atau justru menjadi a ta s, te m u a n la in s e h u b u n g a n d en g an
beban baru bagi rakyat. Dukungan rakyat ini keberadaan BPD sebagai institusi baru yang
akan terwujud bila segenap unsur yang ada di diperkenalkan pasca UU No.22 Tahun 1999
m asyarakat m em aham i m engenai sebuah dalam konteks ini ialah: telah berfungsinya BPD
kebutuhan akan demokratisasi desa. Penelitian sebagai sebuah institusi yang sangat instrumental,
ini mendapati terjalinnya pola kolusi pada kasus yakni sebagai alat dari pertarungan politik antar-
Desa Gelap, Lamongan. Sedari semula pemilihan elite. Di sini telah teijadi rivalitas kekuasaan antar
anggota BPD d ilak san ak an secara tid ak e lite p o litik la m a d en g an m en em u k an ,
transparan, sehingga memungkinkan kelompok menggunakan, dan memanfaatkan arena-arena
tertentu menguasai komposisi keanggotaan pertarungan dan institusi yang baru.
BPD. Ketegangan m engem uka antara kades Konflik antara kelom pok BPD-Kepala
terpilih yang didukung oleh sebagian anggota D esa versus “K elom pok R eform asi” yang
BPD versus sekelompok masyarakat. Lantas terjadi di D esa G elap (Lam ongan) adalah
m uncul proyek penggusuran tanah untuk kelanjutan konflik antara keluarga Abdullah
bangunan sudetan Bengawan Solo di mana dengan kubu Amin Tohari, merupakan buah dari
Pelaksana Kepala Desa bersekongkol dengan pertentangan dan konflik kekuasaan yang
pihak BPD untuk memanipulasi harta kekayaan berakar jauh sebelumnya, yang merupakan
desa. P roses ini m em icu la h irn y a “Tim refleksi dari pertarungan afiliasi politik tahun
Reformasi” yang mempertanyakan masalah ganti 1950-an. Gelanggang konfliknya ialah pemilihan
rugi tanah desa. Setelah Kades melarikan diri kepala desa (pilkades) 1990, pilkades 1999,
maka kendali pemerintahan dan segala aspek serta akhirnya BPD berkolusi dengan Kades
keuangan dipegang dan dikendalikan oleh Ketua untuk berhadapan dengan para penentangnya.
BPD, sehingga konflik akhirnya berlangsung Di D esa Sitanggal, Brebes, lem baga BPD
antara “Tim R eform asi” berhadapan dengan digunakan sebagai instrum en baru dalam
pihak BPD karena BPD lebih condong ke meneruskan pertarungan politik melawan Kades
penguasa, yakni pejabat sementara kepala desa. terpilih. Tipisnya perbedaan hasil akhir perolehan
Pada kutub yang lain, sebagai pola relasi suara pilkades 1998, banyaknya surat suara
kedua, kades dan BPD dapat berada pada rusak, serta merebaknya isu politik uang oleh
posisi yang saling berhadapan secara antagonis Kades terpilih telah melahirkan kekecewaan
dan nyaris tak terdamaikan, sebagai gejala yang cukup m embekas di antara calon kades
dominan yang ditemui pada desa-desa yang yang gagal. M aka, tatkala beberapa di antara
diteliti yakni dijumpai di Desa Rejosari-Bantul, pesaing kuat dalam pilkades kemudian terpilih
Desa Bero-Klaten, Desa Sitanggal-Brebes, dan menjadi anggota BPD maka kekecewaan yang
D esa M ajasetra-B andung. Di sini sum ber boleh jadi masih menggumpal memperoleh
kekuasaan politik terpola secara menyebar. Di salurannya.
antara dua kutub relasi tadi, masih dimungkinkan Di M ajasetra, Bandung, kendati proses
terwujudnya pola ketiga yakni kompromi di pilkades berjalan relatif demokratis, namun tiga
antara sumber-sumber kekuasaan, sehingga anggota BPD yang merupakan calon kepala
melahirkan perdamaian sebagaimana teijadi di desa yang kalah dalam pem ilihan rupanya

74
bersikap tidak rela terhadap kekalahan saat Sejumlah kabupaten memaksakan diri
pilkades, sehingga kemudian menggunakan untuk secepat m ungkin m em bentuk BPD.
le m b a g a B P D se b a g a i a la t u n tu k Beberapa kabupaten bahkan m ematok target
memperkarakan kepala desa ke pengadilan. Hal waktu tertentu, agar seluruh desa di wilayah
senada dijum pai di D esa B ero , K laten , pemerintahan yang dibawahinya dapat terbentuk
ketidakpuasan salah satu calon kepala desa yang BPD. Ini semacam upaya secara sadar untuk
kalah telah m elahirkan p engkubuan dan menyenangkan hati atau mendapat “kredit poin”
perseteruan panjang di BPD. Lem baga BPD dari atasan (dalam hal ini gubernur), sebab bila
secara konspiratif dirancang oleh kubu calkades sebaliknya yakni pembentukan BPD di suatu
k alah seb ag ai w ah an a a lte r n a tif u n tu k wilayah berlarut-larut atau tertunda-tunda maka
ada semacam kekahawatiran dari pihak bupati
“mengganjal” Kades terpilih di luar jalur hukum,
bahwa ia bisa saja dinilai gagal oleh atasan.
dengan memasukkan “orang-orangnya” ke dalam
Ketergesa-gesaan ini juga merembet pada
konstelasi pemilihan BPD. Soeminto menggugat
level perundangan, yakni menyangkut penyiapan
B upati ak ib at m e lan tik K ad es M asijo ,
segala aturan yang mengatur mengenai lembaga
Perseteruan juga dilangsungkan lewat jalur
b aru y an g b e rn a m a B PD te rs e b u t. Ini
hukum, yang di mana kemudian PTUN Semarang
menjelaskan mengapa antara satu kabupaten
memenangkan gugatan calkades kalah terhadap
dengan kabupaten lain kadang berlangsung saling
Bupati, sehingga atas Kades terpilih dinonaktifkan
adopsi (baca: mencontek/menjiplak) dalam hal
sementara. Namun, kemudian upaya hukum
materi perda, sekaligus berarti menafikan adanya
berlanjut hingga tingkat banding ke tingkat kasasi perbedaan kondisi obyektif antara satu daerah
M ah k am ah A g u n g , di m a n a k e d u a n y a dengan daerah lainnya. Kecenderungan demikian
dimenangkan oleh Bupati. Ketika putusan MA pada gilirannya juga menyebabkan rendahnya
amarnya berisi kemenangan Bupati, BPD mulai tingkat pem ahaman terhadap aturan-aturan
nyata memperlihatkan sosoknya hanya sebagai perundangan yang telah dikeluarkan. Peneliti
kepanjangan konflik pilkades 1998. menjumpai bahwa para pelaksana di lapangan
belum sepenuhnya memahami pasal-pasal BPD
Penyeragaman dan Masalah Penafsiran sebagaimana termaktub di dalam perda maupun
Perundangan keputusan bupati. Akibat gejala saling mencontek
Negara pasca Soeharto telah membuat perda, tidak tertutup kemungkinan di antara para
pembuat perda terjadi perbedaan penafsiran
sebuah kebijakan yang pada intinya berupa
mengenai sesuatu klausul. Di tingkat desa sendiri,
penyeragaman baru, yakni adanya keharusan
terdapat kadar pemahaman yang tidak setara
bagi setiap desa untuk membentuk BPD, sebagai
antara satu aktor politik dengan aktor politik lain.
suatu d e se n tra lisa si/o to n o m i d esa yang
Terdapat sejumlah kasus perbedaan penafsiran
dipaksakan. Hal ini menimbulkan dilemma karena
pemndangan, yang disebabkan oleh lemahnya
tidak semua desa telah siap dengan model
pemahaman terhadap materi perundangan itu
demokrasi perw akilan yang diperkenalkan
sendiri, maupun tidak lepas kemungkinan aktor
pemerintah itu, karena boleh jadi justru terdapat
politik melakukan penafsiran secara sepihak demi
desa-desa lain yang sebenarnya lebih nyaman
kepentingan kelompok atau kepentingan tertentu.
dengan sistem pengawasan langsung yang tidak
Bahwa penyeragaman berpotensi konflik
melibatkan para wakil rakyat, atau boleh jadi manakala aturan perundangan yang cenderung
lembaga-lembaga musyawarah adat lebih efektif melakukan simplifikasi terhadap kenyataan
dalam membangun partisipasi aktif masyarakat adanya heterogenitas/pluralitas desa-desa di
secara otonom. Tanah Air, yakni dengan mengabaikan suasana
dan kondisi lokal yang berbeda-beda antara satu

75
desa dengan desa lainnya, perbedaan budaya, Penafsiran yang cenderung berlebihan
maupun perbedaan struktur sosial masyarakat. juga memicu konflik BPD dengan Kepala Desa
Dengan demikian di sini terjadi kesenjangan antara di Sitanggal, Brebes. Perda No. 13/2000 Pasal
situasi pedesaan yang umumnya masih hidup 9 Point c (yang dikuatkan oleh Pasal 4 Ayat e
suasana harmoni, hubungan yang bersifat informal keputusan Bupati Brebes N o.l44/24/Tahun
dan personal, kekerabatan di satu sisi yang 2001 tentang Pedoman Penyusunan tata Tertib
berhadapan dengan di sisi lain UU No.22 Tahun Badan Perwakilan Desa) menyatakan bahwa
1999 yang mengasumsikan desa semata-mata BPD memiliki tugas, wewenang dan kewajiban
sebuah unit-unit administratif dan sangat formal m elaksanakan pengaw asan terhadap: (1)
sifatnya Kajian ini memperlihatkan bahwa konflik pelaksanaan peraturan desa dan keputusan
yang terjadi di tingkat desa berpangkal dari kepala desa, (2) terhadap pelaksanaan APB
kegagalan para aktor untuk bertindak sesuai Desa, (3) kebijakan pem erintahan desa, serta
dengan logika demokrasi perwakilan. (4) pelaksanaan kerja sama antar desa atau
P em d a m e stin y a m e m b u at atu ra n dengan pihak lain. Di sini secara umum berarti
mengenai petunjuk pelaksanaan yang secara bahwa BPD berwenang mengawasi jalannya
jelas dan serinci mungkin agar di lapangan tidak pemerintahan desa. Akan tetapi, dalam banyak
menimbulkan perbedaan-perbedaan penafsiran hal penerapan wewenang ini telah melebar, dan
di kalangan aktor-aktor politik, term asuk bukan hanya m engaw asi m elainkan telah
mencegah agar BPD tidak melew ati batas menjurus turut cam pur dalam jalannya roda
kewenangan yang dimilikinya. Akibat semangat pemerintahan desa.
legislative heavy yang m enggebu-gebu yang Contoh paling m engem uka ialah pada
dim otivasi oleh eu fo ria refo rm asi, BPD kasus pengisian jab atan perangkat desa.3
mempertontonkan arogansinya dengan kerap M enurut aturan, Perda No. 13/2000 Pasal 9
kali bukan hanya cenderung mengintervensi Ayat lb menyatakan bahwa BPD memiliki tugas
k a d e s n am u n b a h k a n b e rk e in g in a n d an w e w e n a n g u n tu k “m e n g u su lk a n
m elaksanakan tugas-tugas yang semestinya pengangkatan, pemberhentian sementara, dan
merupakan kewenangan kepala desa (Desa pem berhentian kepala desa, perangkat desa,
Sitanggal, Desa Bero, dan Desa Rejosari). s ta f ’. Berdasarkan ketentuan tersebut maka
D i D esa R ejo sari, B an tu l, p en eliti m enyangkut pengangkatan perangkat desa,
menemukan teijadinya kontroversi perundangan p ih a k B PD m e m ilik i w ew en an g u n tu k
ini menyangkut terbitnya SK No. 01/Kep/BPD/ mengusulkan pengangkatan perangkat desa. Di
S M Y /V I/2 0 0 4 . S K B P D in i d ia n g g a p sini terjadi perbedaan penafsiran. Kepala Desa
kontroversial karena penerbitannya dinilai tanpa b e rp e n d a p a t b ah w a so al p e n g a n g k a ta n
melalui pertimbangan matang, justru SK tersebut p e ra n g k a t d e s a y an g lo w o n g ad a la h
semata-mata bertuj uan mencopot Kepala Desa w ew enangnya, nam un di lain pihak BPD
(yang sedang sakit) dari jabatannya tanpa berpendirian bahw a merekalah yang berhak
mengikuti prosedur yang berlaku. Kontroversi m elaksanakan pem ilihan pam ong desa. Di
dan perlawanan bahkan meluas, baik dari sam ping m asalah perbedaan tadi, K ades
kepala desa/lurah yang sedang sakit, maupun beralasan bahwa SK pemberhentian perangkat
ditentang oleh 21 dari 22 kepala-kepala dukuh, yang mundur belum ada, mengingat belum ada
sebagian pamong desa2, pemerintah kecamatan, juklak dan j uknisnya dari pemda. Di lain pihak,
maupun pemerintah kabupaten. BPD m enganggap bahw a D esa tidak perlu

2 Sikap pamong desa terbelah antara pihak yang mendukung 3 Perangkat desa adalah pembantu kepala desa yang terdiri
Lurah, dan yang menentang. Kelompok terakhir di atas sekretaris desa unsur staf, kepala-kepala urusan
antaranya m eliputi .Kaur Pem erintahan dan Carik sebagai unsur pelaksana lapangan, dan kepala dusun dan
memihak BPD. pembantu kadus sebagai unsur wilayah.

76
menunggu SK dari pemda, sebab yang penting pemberhentian kades. Pada beberapa desa yang
harus segera mengisi kekosongan perangkat. Di diteliti hal tersebut telah mendorong tumbuhnya
tengah perdebatan yang belum menemukan titik politisasi lembaga BPD oleh para anggotanya,
temu, BPD langsung mengambil inisiatif dengan di lain pihak itu secara psikologis serta-merta
secara sepihak membentuk sebuah panitia yang menimbulkan ketidaksenangan dan mungkin
anggotanya dikuasai oleh unsur BPD. Panitia ju g a m emancing penolakan dari kepala desa
inilah yang kemudian melakukan penjaringan (kasus D esa T ulikup, G ianyar). K onflik
calon, membuat soal ujian, melaksanakan ujian kemudian menjadi berlarut-larut lantaran adanya
dan wawancara, dan akhirnya menentukan p erb ed a an in te rp re ta si m en g en ai peran
siapa-siapa saja yang berhak duduk sebagai “ p e n g aw asan ” yang d im ilik i o leh B PD
pam ong desa. D alam hal ini, kepala desa (Sitanggal, Rejosari, dan Majasetra), di mana
disodori nama-nama yang tinggal ditandatangani Perda menggariskan BPD berfungsi mengawasi
untuk disahkan pengangkatannya.4
kades dalam jalannya pemerintahan desa. Dalam
Dalam hal ini BPD jelas melanggar aturan
prakteknya, BPD cenderung bukan hanya
karena m elaksanakan tugas yang bukan
mengawasi, melainkan berkembang menjadi
wewenangnya, karena di dalam Keputusan
lembaga yang bekerja untuk memata-matai
Bupati Brebes No. 14/243/Tahun 2001 Pasal 3
kades.
disebutkan bahwa, “Perangkat desa diangkat
Konflik yang sempat teijadi antara BPD
dan ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa
dengan perbekel di DesaTulikup, Gianyar, ialah
atas persetujuan dan usul Badan Perwakilan
akibat adanya resistensi (penolakan) dari pihak
Desa.” Ini dengan tegas menggariskan bahwa
proses pemilihan dan penetapan perangkat desa perbekel sehubungan perbekel khawatir ihwal
merupakan kewenangan kepala desa, sementara wewenangnya akan berkurang dan ia merasa
wewenang BPD adalah sebatas mengusulkan te ra n c a m /b e rk e b e ra ta n d en g an a d an y a
dan memberi persetujuan atas personel-personel w e w e n a n g B P D u n tu k m e n g u su lk a n
yang diangkat oleh Kades.5 p em b erh en tian perbekel k ep ad a bupati.
Perbekel mempertanyakan keberadaan dan
Kebablasan Peran dan Elitis pemahaman anggota BPD soal Perda yang
mengaturnya.
Permasalahan yang tak kalah pentingnya
Di Desa Sitanggal, Brebes, sedari awal
ialah menyangkut upaya konsolidasi internal
terbentuk, nuansa politisasi lembaga BPD telah
BPD agar lembaga itu dapat memaksimalisasi
kental, khususnya karena BPD merasa memiki
perannya. Pangkal persoalannya terletak pula
kewenangan yang besar dapat mengusulkan
pada begitu besarnya kekuasaan yang dimiliki
pemberhentian kades. Posisi BPD yang mestinya
BPD, yakni adanya wewenang lembaga ini untuk
menjadi mitra kades bergeser menjadi “mitra
bisa m engusulkan kepada bupati tindakan
tanding” . Kesan over capacity (kebablasan
peran, kelebihan wewenang) terlihat jelas pada
4 BPD beralasan bahwa jabatan perangkat desa banyak yang
lowong, karena selama tiga tahun sejak 1998 banyak
kasus proses pengisian jabatan perangkat desa
perangkat desa lengser. yang didominasi oleh BPD. Kecenderungan
5 Pasal 14 Ayat 1 Keputusan Bupati Brebes No. 14/243/
pengambilan peran yang berlebihan oleh Ketua
Tahun 2001 tentang Tata Cara P en calon an atau
P engangkatan, P em berhentian Sem entara dan BPD ju g a dijumpai di Desa Rejosari, Bantul.
Pemberhentian Perangkat D esa juga menyebutkan Seharusnya menyangkut masalah operasional
perangkat desa diberhentikan o leh kepala desa.
Sedangkan mengenai peranan BPD, sebagaimana tertera sehari-hari, seperti kekurang disiplinan salah satu
di Ayat 2 bahwa pemberhentian perangkat desa tersebut K ab ag P e m e rin ta h D e sa , m e ru p a k a n
adalah atas usul BPD. Di sini juga jelas bahwa wewenang
BPD adalah sebatas memberikan usulan pemberhentian,
wewenang Lurah Desa atau Badan Pengawas
dan bukan pihak yang berwenang memberhentikan. Daerah untuk menindaknya; dalam hal ini, BPD

77
cukup memberikan masukan atau mengusulkan keseim bangan, pelanggaran mana boleh jadi
tindakan yang diperlukan kepada kepala desa. telah mengusik kepekaan masyarakat desa yang
Pengawasan yang boleh dilakukan BPD ialah masih dikenal cukup kental dengan prinsip hidup
m enyangkut pengawasan kebijakan seperti yang menjunjung harmoni dan keselarasan. Di
mengenai pelaksanaan peraturan desa dan satu sisi, UU telah memberikan kekuasaan yang
anggaran desa. d e m ik ia n b e s a r k e p a d a B PD s e h in g g a
Penelitian ini membenarkan dua asumsi menimbulkan BPD/legislative heavy, namun
awal yang digunakan dalam desain awal ironisnya di bidang keuangan BPD diperlakukan
penelitian. Pertama, proses pembentukan BPD secara kurang adil akibat honor anggota dan
yang tidak dem okratis akan meningkatkan pendanaan kegiatan operasional terbilang amat
kecenderungan teijadinya konflik elite di tingkat kecil, walaupun pada beberapa desa lain soal
desa. Sertakedua, politisasi elite politik BPD dana ini tidak menjadi keluhan. BPD senantiasa
telah mengurangi efektivitas lembaga tersebut membayangkan bahw a ia merupakan DPR
dalam melaksanakan kontrol obyektif terhadap dalam lingkup terkecil di tingkat desa, yang
kepala desa. dilengkapi dengan “keistimewaan” di bidang
Dengan demikian, bertolak belakang politik. BPD biasa membuat semacam klaim
dengan klaim yang senantiasa disuarakan oleh bahwa mereka adalah pembawa aspirasi rakyat.
BPD bahw a m ereka adalah lem baga yang Di samping itu, BPD mempunyai anggapan
membawa aspirasi rakyat, pada kenyataannya secara prak tis bahw a, kekuasaan po litik
BPD memperlihatkan dirinya sebagai sosok yang mestinya dibarengi dengan ketersediaan akses
elitis dan gagal menyuarakan suara rakyat. Para ekonomi yang luas pula sebagaimana halnya
elite yang duduk di BPD cenderung sewenang- dicitrakan oleh lembaga DPRD dan DPR. BPD
wenang dalam mengartikan dirinya sebagai dalam permasalahan ini menghadapi kenyataan
wakil rakyat desa, ketika sebenarnya hanya yang sangat bertolak belakang, dan boleh jadi
sebuah oligarki baru yang mewakili kepentingan m e m b u a t p a ra a n g g o ta B P D k e c e w a
dirinya sendiri dengan m engatasnam akan m enyaksikan sedikitnya nilai ekonomis dari
kepentingan rakyat. Bahwa fungsi kontrol yang jab atan m ereka. P erda-perda yang ada di
disuarakan BPD cenderung bertendensi power daerah-daerah yang diteliti tidak mengatur
struggle, dalam rangka m enjatuhkan lawan- mengenai masalah keuangan ini secara memadai.
lawan politiknya. K econdongan dem ikian Di dalam perda kabupaten-kabupaten yang
semakin menguat, ketika konflik dilatarbelakangi diteliti umumnya dikatakan bahwa, “Anggotadan
oleh persoalan pribadi, kekerabatan dan harga pimpinan BPD berhak menerima uang sidang
diri (Rejosari, Bantul) atau “dendam lanjutan” dan atau tunjangan serta penghasilan lainnya,
akibat keanggotaan BPD diisi oleh kelompok sesuai dengan kemampuan keuangan desa.” Hal
pesaing kepala desa pada saat pemilihan kepala inilah yang menyulut kekecewaan anggota BPD
desa, yang mana telah membuat suasana rivalitas m engingat ketergantungan keuangan BPD
sem akin kental, berlaru t-laru t, dan tidak terhadap “kemampuan keuangan desa”, di mana
produktif bagi perkem bangan desa. Kedua desa umumnya memiliki kemampuan keuangan
belah pihak saling bersaing guna memperkuat yang amat terbatas.
posisi masing-masing dengan mengabaikan
kepentingan rakyat (kasus Desa Sitanggal dan
Pola dan Intensitas Konflik
Desa Majasetra). Konflik yang bersifat elitis menandai pola
UU No.22/Tahun 1999 dalam hal ini konflik secara um um pada desa-desa yang
dapat dianggap telah m elan g g ar p rinsip

78
terlibat konflik. Konflik yang berciri elitis ini di Desa Bero, Klaten, keluarnya SK Bupati yang
ditandai oleh tiga gejala. Pertama, konflik mengangkat Kepala Desa Bero menuai protes
mengusung kepentingan-kepentingan para elite bahkan gerakan sekelompok kecil massa dari
politik desa, khususnya kepentingan pihak-pihak kubu calkades kalah.
elite yang bertikai. Kedua , persepsi mengenai Terlihat bahw a pada beberapa kasus
siapa yang termasuk dalam pihak kawan dan konflik di sejumlah desa yang diteliti, para elite
sebaliknya mana pihak seteru secara intensif yang berkonflik berupaya menggalang massa
hanya muncul di seputar elite politik. Dalam sebagai basis dukungan yang efektif bagi
konteks ini, masyarakat mengetahui bahwa telah kepentingan elite atau kelompok tertentu, namun
terjadi pertikaian politik di desanya, namun upaya-upaya semacam itu tidak sepenuhnya
sebagian besar masyarakat tidak menganggap membuahkan hasil. Ini karena sebagian besar
diri mereka sebagai bagian dari kelompok warga masyarakat menunjukkan keengganannya
b erk o n flik atau m en g an g g ap k elo m p o k untuk bersikap fanatik terhadap elite tertentu,
masyarakat lain sebagai pihak pesaing atau kubu sehingga di tingkat akar rum put tidak terjadi
lawan. Pengkubuan atau perasaan bermusuhan benturan. M asyarakat dapat dikatakan pula
praktis hanya menghinggapi kalangan elite kurang menanggapi secara serius atau tidak
politik. K alaupun ada elem en tertentu di peduli dengan konflik yang berlangsung antara
m asyarakat yang m endukung pihak-pihak kedua belah pihak, kades dan BPD. Masyarakat
berseteru, maka yang bersedia terlibat dalam lebih memilih sibuk dengan umsan sehari-hari.
konflik semacam ini hanyalah sekelompok kecil M asyarakat juga merasa cukup mampu untuk
dan tidak signifikan jumlahnya. Ketiga, isu-isu jalan sendiri saja tanpa lembaga desa yang
yang bermunculan di seputar konflik dirumuskan efektif, yang penting roda perekonomian tetap
atau digodok oleh kalangan elite politik dan berjalan dan masyarakat bisa mencari makan.
tanpa menyertakan keterlibatan masyarakat. Hal A g a k n y a s e ja la n d e n g a n b e lu m
ini menjelaskan mengapa kerap kali isu-isu yang melembaganya mekanisme penyelesaian konflik,
diketengahkan rela tif kurang m enyentuh beberapa kasus konflik menjadi berlarut-larut.
persoalan-persoalan yang tengah hidup di Konflik yang umumnya mulai muncul semenjak
masyarakat; kalaupun ada pengangkatan isu aw al m a sa re fo rm a si b a g a ik a n tid a k
terkait m asyarakat m aka hal itu disadari terselesaikan, sehingga perseteruan baik itu yang
sepenuhnya oleh masyarakat sebagai bagian isu m uncul secara terbuka m aupun sisa-sisa
yang dimanipulasi dan bukanlah isu politik yang ketegangan tetap terasa hingga penelitian ini
secara jujur diperjuangkan secara alamiah. dilaksanakan, yakni sekitar 5 tahun semenjak
Di M ajasetra, Bandung, Kades justru konflik awal meletus.
membentuk sebuah forum bernama “Forum Konflik yang terjadi dan berkepanjangan
C in ta D a m a i” y an g b e rtu ju a n u n tu k di sini telah mendatangkan perpecahan, yang
membubarkan BPD. Hal ini sebagai respon atas selanjutnya dapat menganggu keutuhan sistem
pertemuan sebelum nya antara pihak BPD- politik di pedesaan. Di sini masyarakat pedesaan
Kades-Camat yang menghasilkan keputusan -k h u su sn y a kalangan elite politik desa—
bahwa Kades M ajasetra harus membuat surat agaknya perlu belajar bagaimana menjalankan
pertnyaan tidak akan mengulangi kesalahan sebuah transformasi konflik, yakni suatu upaya
dalam hal pengelolaan dana bantuan JPS dan mengatasi sumber-sumber konflik yang lebih luas
d an a B P P D y an g d in ila i tid a k d a p a t dan berusaha mengubah kekuatan negatif dari
dipertanggungjawabkan oleh Kades. Sementara konflik terbuka (konflik fisik) menjadi kekuatan

79
sosial dan p o litik yang p o sitif.6 K onflik m encoba melakukan intimidasi secara fisik,
sesungguhnya dapat dikelola secara efektif dengan m enculik anggota BPD. Peristiw a
m elalui kom binasi beberapa in isiatif dan penculikan m em buat BPD menduga bahwa
tindakan, yang meliputi serangkaian usaha-usaha pihak Polsek berpihak pada Kades, sebab
penyelesaian m asalah bersam a, negosiasi, p e ristiw a “p e n je m p u ta n ” an g g o ta B PD
mediasi, atau arbitrasi yang dilaksanakan secara dilakukan oleh aparat dari Binmas Polri atas
seim b an g , a d il, p ro s e s y an g ju ju r dan perintah Kapolsek Majalaya. Alasan Kapolsek,
mengedepankan kepentingan pihak-pihak yang penjem putan dilakukan setelah m asuknya
berkonflik; sebab proses sebaliknya biasanya laporan dari masyarakat bahw a rumah enam
akan gagal mengatasi perselisihan dan sebaliknya orang anggota BPD mau dibakar oleh massa.
justru menghasilkan kecurigaan-kecurigaan dan Laporan kepada K apolsek ini belakangan
prasangka-prasangka baru dari pihak-pihak diketahui dibuat oleh kelom pok pendukung
yang berkonflik. Kades yang datang ke kantor Polsek dengan
Kecuali kecenderungan elite politik di m enggunakan ikat kepala hitam bertuliskan
pedesaan untuk melanggengkan konflik, mereka “Forum Cinta Damai”.
tergoda pula untuk m enggunakan metode- Begitu pula halnya, akibat tidak puas
m e to d e violence (k e k e ra s a n ) d a la m dengan pelantikan Kepala Desa Bero (Klaten)
keberlangsungan konflik, baik itu melalui dan pelantikan istri K ades sebagai ketua
ancaman, intimidasi, bahkan teror dan tindakan penggerak PKK teijadi demonstrasi, termasuk
kekerasan. Pada beberapa kasus konflik yang pemblokiran beberapa mas jalan di Bero. Pihak-
memakai cara violence, biasanya konfliknya pihak yang m erasa tidak puas lantaran kalah
cenderung m enjadi lebih m endalam dan d a la m p ilk a d e s a k h irn y a m e n e ru sk a n
meninggalkan benih-benih luka yang relatif lebih kekecewaan dan perseteruan di sebuah lembaga
sukar untuk disembuhkan. Ini karena tindakan baru bernam a BPD. Calkades kalah segera
kekerasan fisik, intim idasi, teror terhadap “mem-PTUN-kan” Bupati. Demonstrasi para
golongan tertentu akan menimbukan dampak pen d u k u n g n y a kem udian tak lagi hanya
yang m erusak dan berakibat jangka panjang. diarahkan pada Bupati, tetapi diarahkan pula
Luka-luka ini dapat terus berlanjut. Efek paling pada Kades Bero (Klaten). Berbagai tuduhan
sederhana yang kita alami akibat cara-cara mulai digelorakan khususnya seputar penentuan
demikian ialah terhalangnya kreativitas untuk aparat desa era kepem im pinan Kades 1990-
berfikir, untuk menjaling hubungan dan bertindak. 1998. Penyerangan pada rumab (dan mobil)
M ungkin belum m erasa puas dengan Kades dan juga terjadi. Pohon-pohon bahkan
m em bentuk sebuah forum yang bertujuan dijadikan sasaran kem arahan, ditebang lalu
m embubarkan BPD, kelom pok pendukung ditaruh untuk menghalangi jalan. Penyerangan
K ades di D esa M ajasetra, B andung, ju g a secara fisik sempat teijadi, seperti dialami ta’mir
m a sjid , H . T h o y ib y an g ja d i k o rb a n
6 Transformasi konflik meliputi berbagai macam tindakan, pengeroyokan.
mulai dari pencegahan konflik, penyelesaian konflik
(mengakhiri perilaku kekerasan/teror/ancaman melalui
suatu persetujuan damai), pengelolaan konflik (bertujuan Dilema Demokrasi Perwakilan di Tingkat
untuk m em batasi dan m enghindari ancaman atau Desa
kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang
positif bagi pihak-pihak bertikai), serta resolusi konflik Penelitian ini menemukan bahwa model
(yang mengarah pada segala bentuk upaya penanganan
sebab-sebab konflik seraya berusaha mem bangun
demokrasi perwakilan yang hendak diterapkan
hubungan baru dan yang bisa tahan lama di atara di desa melalui pem bentukan lembaga BPD
kelompok-kelompok yang bermusuhan). Simon Fisher,
masih mengandung sejumlah dilemma. Dilemma
dkk, Mengelola Konflik, (Jakarta: The British Council,
2000), h.6-8. pertama ialah, kecenderungan BPD yang
80
bukannya tampil sebagai wakil rakyat, melainkan Namun ketika itu diberlakukan pada sebuah
justru sebagai oligarki baru. Di sini kehadiran desa di mana persentase warga berpendidikan
BPD telah meleset dari harapan sebagai lembaga semakin meningkat, berkarakter relatif dinamis
yang mampu m enerjem ahkan aspirasi dan dan kritis, maka hal itu akan menyulut munculnya
kepentingan rakyat. BPD hanya merupakan pengkotak-kotakan dan kecenderungan anarki
representasi dari elite-elite desa yang memegang yang justru m em perum it arena konflik di
kekuasaan. Warga Desa Sitanggal, Brebes, pedesaan. Penerapan sistem distrik (perwakilan
m enghendaki agar BPD m em perjuangkan suatu dusun) pada pemilihan anggota BPD telah
masalah semakin m eningkatnya harga alat membuat w arga terkotak-kotak antara satu
produksi dan obat-obatan pertanian, sementara dusun dengan dusun lainnya. Di beberapa desa
di sisi lain harga baw ang semakin merosot, yang diteliti, seperti Desa Gelap (Lamongan) dan
namun BPD lebih tertarik untuk sibuk dengan D esa Sitanggal (Brebes) terlihat bagaimana
isu-isu “strategis” yang bertendensi dapat mekanisme pem ilihan yang didasarkan pada
m enjatuhkan kepala desa. Di D esa Bero, sistem distrik, di mana calon anggota BPD adalah
Klaten, oligarki itu mengental sedemikian rupa w akil dari d u su n -d u su n yang ada, pada
dalam bentuk pengelompokan antara dua kubu gilirannya telah turut m emperuncing ketika
yang saling bertentangan di internal BPD, yang m uncul konflik. A nggota BPD cenderung
m erupakan k elan ju ta n dari p ertaru n g an memanipulasi dukungan dari dusun di mana
pilkades, sehingga BPD terbelah menjadi mereka berasal, sehingga membuat masyarakat
k e lo m p o k p e n d u k u n g c a lk a d e s k a la h desa semakin terkotak-kotak dalam konflik. Di
berhadapan dengan kelompok yang netral/anti. sini logika demokrasi perwakilan tidak beijalan,
Hal demikian ditemui pula di Desa Majasetra, dan justru melahirkan adegan-adegan yang
ketika kasus bantuan beras operasi pasar khusus kontra-produktif bagi pengembangan demokrasi
(OPK) digunakan semata-mata sebagai “peluru” di pedesaan.
untuk “menembak” kades. Di sini otonomi desa Kegagalan penerapan prinsip demokrasi
telah berubah arti menjadi otonomi elite. Bahwa perwakilan di pedesaan m em aksa kita untuk
BPD secara sepihak m erum uskan apa yang memikirkan mekanisme-mekanisme tambahan
dim aksud dengan aspirasi rakyat, sementara yang mungkin dapat digunakan sebagai wahana
yang sesungguhnya d ip erju an g k an ialah untuk lebih mengefektifkan peranan BPD. Hal
kepentingan dari segelintir elite desa. Di sini ini dilatarbelakangi kenyataan di lapangan yang
berarti pula bahwa BPD telah gagal menyerap menunjukkan bahwa BPD mengklaim dirinya
aspirasi m asyarakat, di lain p ih ak tidak sebagai wakil rakyat, namun di lain pihak tidak
terdapatnya partisipasi masyarakat dari berbagai tersedia mekanisme apapun yang memungkinkan
ele m e n m a sy a ra k a t s e c a ra lu a s d a la m B PD h a ru s m e m b e rik a n
penyelenggaraan urusan publik, telah membuat p e rta n g g u n g ja w a b a n n y a k ep ad a rak y at
tujuan otonomisasi desa menjadi tidak tercapai. pem ilihnya (konstituen), serta di lain pihak
D ilem a kedua terkait dengan usaha menyediakan ruang bagi publik untuk dapat
penerapan prinsip demokrasi perwakilan pada m e m b e rik a n m a su k a n k e p a d a B P D .
suatu wilayah yang luas dan jumlah penduduknya Akuntabilitas BPD penting dikemukakan guna
masih amat terbatas seperti pedesaan. Hal ini meminimalisir kecenderungan lembaga ini justru
mungkin akan bermanfaat sejauh rakyat desa m e n ja d i le m b a g a e litis d an tid a k lagi
dalam suatu kondisi yang sama-sekali belum mempeijuangkan aspirasi rakyatnya. Terlebih lagi
terperdayakan, pasif, berpendidikan rendah, sukar mendeteksi sedari awal bahwa BPD bukan
serta kemampuan masyarakat secara umum amat hanya dijadikan sebagai kendaraan politik para
lemah dalam mengartikulasikan aspirasinya. anggotanya.

81
Yang dibutuhkan oleh sebuah desa ialah beijalan optimal akibat sebagian perhatian para
suatu lembaga lain yang dapat mengontrol BPD. aparat desa tersita pada isu-isu konflik yang
Lem baga mana memiliki wewenang untuk melelahkan. Di semua desa penelitian, konflik
meminta pertangungjawaban atas kinerja BPD. B P D d e n g a n p e m e rin ta h a n d e sa te la h
M ekanism e tam bahan itu ju g a m em buat m engakibatkan public Service (pelayanan
kesibukan BPD bukan hanya terpaku pada masyarakat) menjadi terganggu, pembangunan
rapat-rapat yang diselenggarakan di Balai Desa, te rb e n g k a la i d an b a h k a n m e n g a la m i
namun juga BPD aktif bertemu dan bertatap kemunduran. Sekalipun konflik yang cenderung
muka dengan rakyatnya. Perluasan mang publik elitis belum m elibatkan m assa secara masif,
ini dapat dilaksanakan dengan mengaktifkan nam un k o n flik yang b erla ru t-laru t telah
berbagai kelompok sosial, forum dialog, atau menimbulkan bukan saja ketegangan antar-elite
jaringan warga, LSM, organisasi-organisasi lokal melainkan juga dikhawatirkan dapat menganggu
yang tumbuh dalam masyarakat baik yang hubungan sosial warga.
berbasiskan budaya, pekerjaan, maupun agama UU No.22 Tahun 1999 maupun perda-
seperti forum pertemuan masjid. Sebagai salah p erd a b elu m m em u at k lau su l m engenai
satu organisasi sosial korporatis yang ada di bagaim ana mekanism e penyelesaian konflik
desa, BPD tetap harus diawasi oleh masyarakat tatkala muncul ketegangan atau perselisihan di
guna mewujudkan otonomi masyarakat secara antara lembaga-lembaga yang ada di pedesaan.
utuh yang menjamin keterlibatan warga secara Pada desa-desa di mana institusi adat masih
aktif dalam proses pengambilan kebijakan. Pada berfungsi dan cukup dihormati seperti di Bali,
akhirnya, cita-cita dem okratisasi pedesaan m a k a k o n flik d a p a t d ita n g a n i dan
berpulang pada kem auan dan kem ampuan dimusyawarahkan melalui lembaga-lembaga
warga desa sendiri dalam mengorganisasi diri adat. Namun, pada desa-desa di mana institusi
menjadi kekuatan sipil yang otonom. Ini karena lokal dan adat telah nyaris runtuh dan tidak lagi
keberhasilan otonomi desa sangat ditentukan cukup berwibawa -bersam aan dengan itu para
oleh sejauhm ana m asyarakat desa dapat pem uka masyarakat, pem uka adat maupun
m e n g e k p re s ik a n k e b u tu h a n n y a dan p e m u k a ag a m a ju g a se m a k in k u ra n g
berpartisipasi dalam proses pembangunan yang dihormati— maka konflik antar elite di desa akan
berlangsung di desanya. B ahw a semestinya cenderung menjadi berlarut-larut.
implikasi nyata dari otonomi desa nampak dalam D a la m p e m b e n tu k a n B P D dan
aktivitas pemberdayaan masyarakat desa. keberlangsungan perannya perlu diperhatikan
b eb erap a hal m endasar. Pertama, m esti
Penutup dan Rekomendasi dihindari bentuk penyeragaman yang terlalu
kaku dalam aturan perundangan sehingga
Konflik yang melibatkan lembaga BPD
m engabaikan heteronitas antara satu desa
dengan pem erintahan desa telah m em buat
dengan desa lain. Kedua, perlu dirumuskan
gagasan ideal tentang pengembangan otonomi
ketentuan yang lebih jelas mengenai fungsi dan
dan dem okrasi di pedesaan m enjadi tidak
wewenang yang dapat dijalankan oleh BPD
tercapai. Di satu sisi otonomi daerah mungkin
supaya lem baga ini dalam praktek tidak
bisa bergerak tak terarah, tanpa pelembagaan
cenderung menjadi over capacity (kelebihan
politik dan kepastian hukum atau membuat
w ew en an g , k e b a b la sa n p eran ). Ketiga,
otonomi desa sebatas otonomi elite saja, di sisi
m enyediakan m ekanism e tam bahan yang
lain BPD jusru menjadi institusi yang sulit
memungkinkan BPD dapat menyampaikan
dikontrol dan mengabaikan aspirasi masyarakat,
pertanggungjawabnnya kepada konstituennya,
sem entara pem erintahan desa ju g a tidak
sekaligus sebagai bentuk upaya perluasan mang

82
publik di mana rakyat pada um um nya dapat _______________ “Village Govemance: Past,
memberikan masukan kepada BPD. Present, and Future” . M akalah dalam
M engingat, salah satu penyebab over seminar internasional Dinamika Politik
capacity BPD ialah akibat adanya aturan yang Lokal di Indonesia: Perubahan,
Tantangan, dan Harapan, oleh Yayasan
m em b eri w ew e n a n g B PD u n tu k d a p a t
P ercik S a la tig a , 3-7 Ju li 20 0 0 , di
mengusulkan (kepada bupati) pemberhentian
Yogyakarta.
kepala desa. Kami mengusulkan peninjauan
kem bali atas aturan terseb u t, m engingat B em ard Mayer. The Dinamics o f Conflict
kew enangan dem ikian telah m em otivasi Resolution a Practitioner’s Guide. San
tumbuhnya: politisasi lembaga BPD maupun F ra n s ic o , J o s e y -B a s s A W illey
Company.
kecenderungan BPD untuk bersikap arogan;
serta di lain pihak membuat sebagian kepala desa Bidang Advokasi Forum Pemuda Piyungan.
mempersepsikan BPD sebagai “lembaga yang “Antara Democracy dan D em ocrazy”,
mengancam”, sehingga secara psikologis kepala d a la m Beberapa Catatan Proses
desa bersikap “pasang kuda-kuda” . Dengan Pilurah (Pilkades) Desa Sitimulyo,
dem ikian, perundangan telah sejak aw al Piyungan, Bantul.
mengkondisikan sebuah hubungan yang tidak C handra, E ka, dkk. Membangun Forum
nyaman antara Kades-BPD. warga, Implementasi Partisipasi dan
B ah w a B P D a c a p k a li b e ru b a h Penguatan Masyarakat Sipil. Bandung,
karakternya dari lem baga perw akilan desa Akatiga, 2003.
menjadi sebuah oligarki baru di desa, di samping D w ip a y a n a , A ri d an S u ro to E k o , Ed.
pemerintah desa. BPD cenderung mewakili Membangun Good Governance di
k e p e n tin g a n d irin y a s e n d iri d e n g a n Desa. Yogyakarta, IRE Press, 2003.
mengatasnamakan kepentingan rakyat. Untuk Fealy, Greg andEdw ardA spinall, eds. Local
itu, perlunya dilakukan revisi atas ketentuan Power and Politics in Indonesia.
mengenai BPD, sehingga lembaga ini bisa lebih Singapore, ISEAS, 2003.
dikontrol oleh publik. Revisi perlu dilakukan dari
Fischer, Sim on, dkk. Mengelola Konflik.
semua level peraturan perundangan baik di
Jakarta, The British Council, 2000.
tingkat nasional, propinsi, hingga kabupaten.
H o rto n , P au l B d an C h e s te r L. H u n t.
Hal penting lainnya ialah, pemerintah perlu
Sosiologi. Jakarta, Erlangga, 1992.
m em ikirkan duku n g an d an a, p em b erian
renumerasi yang lebih baik kepada anggota H S , A b d u lla h . “ H ila n g n y a A k se s dan
BPD, sarana maupun prasarana operasional bagi K ontrol M asyarakat terhadap Sumber
BPD agar lembaga ini dapat berfungsi secara D a y a E k o n o m i P e d e s a a n : K ritik
baik. Persoalan amat minimnya dana operasional te rh a d a p U U N o .3 2 /2 0 0 4 te n tan g
P em erintah D aerah ”, dalam Http://
maupun honor anggota BPD merupakan salah
www. ireyogya. org/
satu sum ber kekecewaan anggota-anggota
BPD. Keller, Suzane. Penguasa dan Kelompok
Elite: Peranan Elite Penentu dalam
Daftar Pustaka Masyarakat Modem. Jakarta, Yayasan
Ilm u-ilm u Sosial, 1984.
A n tlo v ,H an s. Exem plary Centre,
L. K an a, N ico . Politik Pemberdayaan:
Adm inistrative Periphery. N o rd ic
Dinamika Politik Lokal di Indonesia.
Institute, Curzon Press, 1989.
Salatiga, Percik, 2002.

83
P itan a, I G de. “D esa A d at d alam A rus Swara Otonomi, Tahun I/No.9, Juli 2002.
M o d e rn is a s i” , d a la m D inam ika
Tata Pemerintahan menunjang Pembangunan
Masyarakat dan Kebudayaan Bal.
Manusia Berkelanjutan. Dokumen
Denpasar, Bali Post, 1994.
Kebijakan UNDP. Jakarta, Januari,
Renai, Tahun I No.3, Juli-September 2001 dan 1997.
Tahun I No.4, O ktober 2001.
W arren, Carol. Adat and Dinas: Balinese
Rozaki, Abdur, et.al. Promosi Otonomi Desa. Communities in the Indonesian State.
Yogyakarta, IRE Press, 2004. K u ala L um pur, O x fo rd U n iv ersity
Press, 1993.
Sajogyo dan Pudjiwati Sajogyo. Sosiologi
Pedesaan. Yogyakarta, Gadjah M ada Zakaria, R. Yando. Pemulihan kehidupan
University Press, 2002. Desa dan UU No. 22/1999 dalam
Selly Tohan, “Pengalam an Yasmara dalam
fppm. org/Makalah/PF-6.
Pendam pingan Penguatan K apasitas Http://www.damar.or.id/library.makalah
B ad an P e rw a k ila n D e s a se c a ra
Http://www.forumdesa.org/
P a rtisip a tif di W ilayah K ab u p aten
Kupang, N TT” . Http://www.Republika. co. id. 25 April 2005.
Suwondo, Kutut. Civil Society di Aras Lokal.
Salatiga, Pustaka Percik, 2003.

84

Anda mungkin juga menyukai