Anda di halaman 1dari 38

INTEGRATED CRIMINAL JUSTICE SYSTEM TERHADAP

SISTEM PERADILAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa


izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan
kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanasan
global yang telah menjadi isu nasional, regional, dan internasional . Perusakan
hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi, dan
lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah
mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka
pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan yang efektif dan pemberian
efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan yang mampu menjamin
efektivitas penegakan hukum. 
Peraturan perundang-undangan telah ada dianggap tidak memadai dan
belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan
hutan yang terorganisasi; berdasarkan pertimbangan tersebut disusun dan
diundangkanlah Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
Pencegahan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk
menghilangkan kesempatan terjadinya perusakan hutan, sedangkan
Pemberantasan perusakan hutan adalah segala upaya yang dilakukan untuk
menindak secara hukum terhadap pelaku perusakan hutan baik langsung, tidak
langsung, maupun yang terkait lainnya.
Dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, dari total 12 pasal yang
mengatur ketentuan pidana, 2 pasal hanya menambahkan mekanisme
pemidanaan, 2 pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara, 1 pasal
mengenai kejahatan korporasi, dan 7 pasal mengatur pidana-pidana perbuatan

1
langsung. Terlihat bahwa UU Nomor 18 Tahun 2013 ttg P2H tidak
diperuntukkan bagi otak kejahatan (master mind), tetapi hanya para pelaku
langsung yang umumnya adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisasi
atau pelaku tunggal yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin.
Penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus perusakan lingkungan,
pencemaran limbah industri, pencemaran udara dan sebagainya masih jauh dari
harapan. Ironisnya lagi, kasus pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan
lingkungan yang dilakukan terus menerus terutama pengrusakan kawasan hutan
tanpa tindakan yang berarti dari aparat penegak hukum sehingga menambah
catatan “ hitam” kejahatan lingkungan. Terlebih lagi masyarakat kurang perduli
terhadap kasus kejahatan lingkungan tersebut, karena dampaknya baru disadari
oleh masyarakat setelah terjadi musibah
Selama ini, kredibilitas dan efektivitas penanganan oleh KPK menjadi
faktor kunci penanganan kasus korupsi kehutanan. Namun, tidak semua
kejahatan kehutanan ada unsur korupsi sehingga bukan domain KPK. Inilah
yang tampaknya ingin dijawab UU Nomor 18 Tahun 2013 dengan mengusulkan
Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H). Akan tetapi, lembaga
tersebut justru berpeluang menambah kerumitan. Dimasukkannya fungsi
pencegahan menjadikan lembaga ini tumpang tindih peran dengan Kementerian
Kehutanan. Dibatasinya peran LP2H hanya sebatas penyidikan membuatnya tak
lebih dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenhut yang saat ini ada.
Padahal, kendala terbesar selama ini adalah peran penuntutan yang tidak
maksimal serta PPNS yang kerap terhalang oleh penyidik Polri.
Penegakan hukum diharapkan sebagai salah satu upaya penanggulangan
terhadap tindak pidana Kehutanan berdasarkan hukum yang telah ada, jika
kordinasi antara penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana
kehutanan dapat terjalin dengan harmonis maka tujuan Negara untuk
mensejahterakan masyarakat dapat terlaksana.
Dalam tahap Pra-penuntutan penanganan perkara perusakan hutan,
masih sering terjadi bolak-balik perkara antara penyidik dengan penuntut umum.
Bolak baliknya perkara tersebut disebabkan berbagai macam faktor yang salah
satunya penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang diberikan oleh penuntut

2
umum sehingga menyebabkan ketidaklengkapan berkas perkara. Dengan adanya
kewajiban penuntut umum untuk melakukan penyidik maka akan memecah
kebuntuan serta dapat mempercepat proses penanganan perkara sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 39 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Akan tetapi, sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang P3H
pada tanggal 6 Agustus 2013, dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu
alasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat
melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, dan selanjutnya penyidik memberitahukan penghentian penyidikan
tersebut kepada penuntut umum.
Tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam
tindak pidana perusakan hutan juga akan memunculkan kembali polemik lama
perebutan kewenangan penyidikan oleh lembaga lembaga penegak hukum yakni
Polisi dan Jaksa. Keadaan tersebut sangat berkaitan dengan proses penghentian
penyidikan terhadap dalam penanganan perkara perusakan hutan apabila terjadi
ketidaklengkapan berkas perkara baik secara formil maupun materil dalam
tahapan penyidikan.
Perbenturan kewenangan tersebut tentunya akan mengakibatkan
terhambatnya proses beracara dalam penanganan perkara perusakan hutan. Pada
akhirnya kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakadilan dan kepastian hukum
kepada tersangka maupun pencari keadilan sehingga apa yang dicita-citakan
proses penegakan hukum yang adil dalam kerangka Due Proces of law atau
“proses hukum yang adil atau layak tidak akan terwujud”.

B. RUMUSAN MASALAH

 Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka muncul pertanyaan dalam


penyusunan makalah ini, antara lain

1. Bagaimana pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana


Kehutanan di Indonesia?

3
2. Apakah kendala yang ditemukan pada pelaksanaan Criminal Justice System
Peradilan Tindak Pidana Kehutanan?
3. Bagaimana penyelesaian permasalahan yang ditemukan pada pelaksanaan
Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana Kehutanan?

C. RUANG LINGKUP

Untuk memperjelas permasalahan yang akan dibahas, dan agar tidak


terjadi pembahasan yang meluas dan menyimpang, maka penulis akan
membatasi ruang lingkup permasalahan dalam makalah ini. Adapun Penulisan
dalam makalah ini dibatasi pada hal-hal sebagai berikut :

1. Penelitian dilakukan untuk mengetahui pelaksanaan Criminal Justice System


Peradilan Tindak Pidana Kehutanan
2. Hasil analisis akan dijadikan pemecahan permasalahan dan saran dalam
pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana Kehutanan

D. METODE PENELITIAN

Tipe penelitian penulisan ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian


hukum dalam Bahasa Inggris disebut legal research atau dalam Bahasa Belanda
rechtsonderzoek.1 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas
isu hukum yang timbul, yaitu memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya atas isu yang diajukan.2 Penelitian hukum pada tulisan ini bertujuan
untuk memberikan sudut pandang pada kajian yuridis dalam pelaksanaan
Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana Kehutanan.

E. SISTEMATIKA PENELITIAN

Penelitian dalam penulisan ini disusun terdiri atas empat bab. Setiap bab
tersusun lagi menjadi sub bab untuk lebih memperjelas ruang lingkup penelitian
sebagai berikut:
1
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April 2001, h.103
2
Ibid.

4
Bab I (pendahuluan) menguraikan latar belakang masalah yang memuat
terjadinya pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana
Kehutanan. Bab I juga memuat pokok permasalahan, Ruang Lingkup, metode
penelitian dan Sistematika penelitian.

Dalam rangka mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai korupsi


dalam pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana Kehutanan
maka harus dimulai dengan ulasan mengenai Data dan Fakta. Oleh sebab itu,
Bab II menguraikan Gambaran Keadaan, maka Bab II juga mengkaji mengenai
Fakta dan Permasalahan dalam pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan
Tindak Pidana Kehutanan.

Pada Bab III ditelaah mengenai Analisis dan Pemecahan Masalah.

Bab IV berisi Kesimpulan dan Saran. Simpulan adalah jawaban singkat


dari rumusan masalah yang diketengahkan. Saran merupakan rekomendasi
berdasarkan hasil simpulan dalam penelitian

5
BAB II

GAMBARAN DAN KEADAAN

A. DATA DAN FAKTA

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang
cukup luas. Dari data yang ada, luas hutan tropis Indonesia menduduki tempat
ke-3 (ketiga) di dunia setelah Kongo dan Brazil. Kondisi tersebut tentunya
menjadikan hutan indonesia sebagai oksigen sekaligus memiliki sumber plasma
nutfah yang sangat bermanfaat. Luasnya hutan Indonesia pada dasarnya telah
memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Bahkan lebih dari tiga dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama
pembangunan nasional. Namun, di sisi lain kerusakan hutan sebagai akibat
pencurian kayu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan dari
hasil hutan semakin memperihatinkan. Salah satu contoh kerusakan hutan
(Deforestasi) di 5 (lima) pulau besar sudah mencapai 2,83 juta hektar pertahun.
Sebagai contoh adalah gambaran kerusakan hutan di wilayah Lampung
Barat. Berdasarkan data Departemen Kehutanan Daerah kerusakan hutan di
wilayah Lampung Barat akibat praktik pencurian kayu diperkirakan mencapai
triliunan per tahun, belum termasuk nilai kerugian dari aspek ekologis seperti
musnahnya spesies langka, terganggunya daerah aliran sungai yang berimbas
pada kehidupan manusia dan sekitarnya yang berpotensi menimbulkan bencana
seperti tanah longsor, banjir, kekeringan serta kebakaran hutan.
Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-
undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan
hidup dengan undang-undang kehutanan, menurut Andi Hamzah “Undang-
Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh
Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam
konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”.3
Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang
kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana

3
(Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.)

6
yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat
kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang
lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi
administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat
melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi
dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-
undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
Menurut Indonesia Corruption Watch, dari 205 pelaku illegal logging
kakap pada 2005-2008, yang diadili hanya 19,51 persen. Sisanya, 80,48 persen,
pelaku kelas teri (sopir, operator, dan petani). Dari pelaku kelas kakap yang
diadili, 82 persen divonis bebas. Pada pelaku kelas teri, 66 persen divonis bebas,
21 persen divonis di bawah setahun, 7 persen divonis 1-2 tahun, dan 5 persen
divonis di atas 2 tahun.4
Penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus perusakan lingkungan,
pencemaran limbah industri, pencemaran udara dan sebagainya masih jauh dari
harapan. Ironisnya lagi, kasus pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan
lingkungan yang dilakukan terus menerus terutama pengrusakan kawasan hutan
tanpa tindakan yang berarti dari aparat penegak hukum sehingga menambah
catatan “ hitam” kejahatan lingkungan. Terlebih lagi masyarakat kurang perduli
terhadap kasus kejahatan lingkungan tersebut, karena dampaknya baru disadari
oleh masyarakat setelah terjadi musibah terhadap diri mereka, misalnya : banjir,
longsor, kekeringan sesak napas, demam berdarah dan sebagainya. Meningkat
sangat besarnya kerugian yang di timbulkan oleh pencemaran atau pengrusakan
kawasan hutan, maka terhadap pelakunya perlu diambil tindakan tegas yang
berupa penuntutan dan pengadilan atau dengan kata lain perlu di adakan
penegakan hukum pidana secara tegas kepada mereka yang melanggar
ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
4
https://www.kompasiana.com/satriya1998/552023d6a33311d42bb67879/pro-dan-kontra-uu-
pemberantasan-perusakan-hutan

7
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya di sebut UUPLH) yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Penegakan hukum disini diharapkan sebagai salah satu upaya
penanggulangan terhadap tindak pidana illegal logging berdasarkan hukum yang
telah ada, yang mana sebagai akibat dari illegal logging ini dapat menimbulkan
banyak kerugian baik pada pemerintah, hutan berserta lingkungan hidup dan
ekosistemnya, masyarakat juga segala kehidupan yang mulai langka baik flora
maupun faunanya.
Keberadaan penegakan hukum dalam suatu Negara hukum, ialah bahwa
di negara itu hanya memiliki satu criminal justice system yang kesemuanya
berada dalam tatanan pro-yustisia, dan secara universal berlaku di Negara
manapun. Tidak ada satu Negara yang benar-benar sebagai Negara Hukum
membuka kemungkinan keberadaan berbagai jenis institusi ekstra yudisial yang
bersifat ad hoc, dan seluruh institusi yang termasuk bagian resmi dari criminal
justice system telah memiliki aparat profesional yang telah memperoleh
pendidikan khusus, mereka semua adalah sarjana hukum yang bukan sekedar
menguasai hukum positif dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana,
melainkan juga memahami dan mendalami asas-asas yang berlaku dalam proses
pidana, dari awal sampai akhir.
Dalam rangka untuk menjamin perlindungan hak fundamental tersebut,
maka lahirlah mekanisme yang berfungsi untuk menjaga terwujudnya hak warga
negara melalui sistem penegakan hukum. Salah satu sistem penegakan hukum di
Indonesia adalah sistem terpadu penegakan hukum pidana, yang jamak dikenal
dengan Integrated Criminal Justice System (ICJS). Tujuan ICJS adalah
menegakkan keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat serta melindungi
setiap individu, dengan cara melakukan penanganan dan pencegahan tindak
pidana (Mochtar, 2009). Pintu gerbang kerja simultan dalam ICJS adalah
lembaga kepolisian.
Acuan utama operasional Sistem Peradilan Pidana di negara hukum
Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi fungsional

8
(fungsi yang berbeda-beda) diantara komponen penegak hukum yang
melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu :
a. Penyelidikan dan penyidikan,
b. Penuntutan,
c. Pelaksanaan putusan pengadilan, dan
d. Pemberian jasa hukum

“The Criminal Justice System” di manapun di Negara Hukum di


seluruh dunia, sangat menghormati dan memegang teguh asas legalitas. 4
(empat) komponen asas legalitas yang merupakan asas terpenting dalam hukum
pidana dan “The Criminal Justice System” yaitu: lex scripta, lex certa, non
retroaktif dan non analogi. Para legislator di era reformasi dan era keterbukaan
dewasa ini, telah menghasilkan produk perundang-undangan yang justru
bertentangan dengan asas legalitas, seperti halnya Undang-undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, di mana dalam materi muatannya antara
lain mengingkari asas non retroaktif dan tidak mengenal adanya kadaluarsa.
Koordinasi atau hubungan hukum antara Penuntut Umum dengan
Penyidik dan antara Penuntut Umum dengan Hakim, Rutan (Rumah
Tahanan)/Lapas (Lembaga Pemasyarakatan), Rupbasan (Rumah Barang
Sitaan/Rampasan) sering diwarnai oleh sikap arogansi kewenangan, lemahnya
integritas dan komitmen penegak hukum, serta lemahnya substansi KUHAP
yang mengatur hubungan kerja antar sub Sistem Peradilan Pidana.
Realita empiris mengenai tantangan dengan kondisi yang diharapkan
belum selaras karena KUHAP memiliki pertama,kompartemenisasi kewenangan
pada sub Sistem Peradilan Pidana yang sangat rigid; kedua, ketiadaan sanksi
terhadap segala bentuk pelanggaran KUHAP; ketiga, lemahnya sistem
pengawasan secara preventif dan represif terhadap kemungkinan penyimpangan
yang akan terjadi; keempat ketiadaan peraturan penatalaksanaan yang aplikatif
dan implementatif; kelima, masih terdapat perbedaan pandangan atau persepsi
dalam menafsirkan unsur (elemen) pidana dalam peristiwa pidana.

9
B. PERMASALAHAN

1. Konflik Kewenangan antar Penyidik dalam penanggulangan Tindak


Pidana Kehutanan

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis


yang cukup luas. Dari data yang ada, luas hutan tropis Indonesia menduduki
tempat ke-3 (ketiga) di dunia setelah Kongo dan Brazil. Kondisi tersebut
tentunya menjadikan hutan indonesia sebagai oksigen sekaligus memiliki
sumber plasma nutfah yang sangat bermanfaat. Luasnya hutan Indonesia pada
dasarnya telah memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan
ekonomi nasional. Bahkan lebih dari tiga dekade sektor kehutanan telah
menjadi modal utama pembangunan nasional. Namun, di sisi lain kerusakan
hutan sebagai akibat pencurian kayu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang
mencari keuntungan dari hasil hutan semakin memperihatinkan.

Melihat fenomena tersebut diatas, pemerintah secara yuridis melalui


Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara
ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik
Indonesia, bertekad untuk memberantas Illegal Logging sampai keakar-
akarnya melalui kerjasama komprehensif dari berbagai Instansi Pemerintah.

Polri sebagai salah satu institusi dalam the criminal justice system
yang diberi kewenangan untuk melakukan law enforcement terhadap tindak
pidana pencurian kayu tentu saja memainkan peranan yang sangat penting
guna melakukan investigasi dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana
illegal loging yang terjadi secara tuntas. Hal tersebut tentu saja bukanlah
persoalan mudah, para pelaku pada umumnya telah sangat matang
memperhitungkan resiko yang akan dihadapi bila perbuatannya terungkap.
Melarikan diri dan menyembunyikan hasil curiannya adalah hal-hal yang
biasanya akan mereka lakukan untuk menghindari diri dari jeratan hukum.
Kewenangan dalam pelaksanaan penanganan tindak pidana pencurian kayu
terjadi tarik menarik antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan
penyidik kepolisian.

10
Menurut KUHP dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, jelas
tercantum Polri merupakan satu-satunya lembaga yang diberi tugas sebagai
penyidik tindak pidana termasuk illegal logging. Oleh karena itu perlu
ditingkatkannya kerjasama antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
maupun Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana Kehutanan, guna
mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana illegal
logging, sehingga diharapkan terjalin hubungan yang baik yang pada
gilirannya dapat sangat bermanfaat dalam melakukan penanggulangan tindak
pidana pencurian kayu terkait dengan tugas pencarian, pengangkapan bahkan
melacak aset-aset para tersangka sehingga kamtibmas dapat terwujud dengan
aman, tertib dan kondusif.
Penegakan hukum disini diharapkan sebagai salah satu upaya
penanggulangan terhadap tindak pidana illegal logging berdasarkan hukum
yang telah ada, yang mana sebagai akibat dari illegal logging ini dapat
menimbulkan banyak kerugian baik pada pemerintah, hutan berserta
lingkungan hidup dan ekosistemnya, masyarakat juga segala kehidupan yang
mulai langka baik flora maupun faunanya.
Kewenangan Anggota Polhut apabila tertangkap tangan dalam tindak
pidana kehutanan hanya sampai penangkapan tersangka dan pengamanan
barang bukti. Tugas ini selanjutnya harus segera diserahkan kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disingkat (PPNS) untuk diproses
pemeriksaan lebih lanjut. PPNS Kehutanan berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999). Selanjutnya PPNS Kehutanan dan penyidik Polri melakukan
tugas lex specialist, karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya
dibandingkan dengan Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran penyidikan
dibidang pidana kehutanan, seharusnya penyidikan dilakukan oleh PPNS
bekerjasama dengan Penyidik Polri. Pengalaman menunjukkan bahwa
penyidikan yang dilakukan sendiri lebih cepat, murah dan tepat. Secara
informal PPNS harus memonitor perkembangan kasus apa yang sudah
divonis dan berapa lama vonisnya. Selain itu, saksi ahli sedapat mungkin
harus dari instansi kehutanan karena secara keilmuan dan pengalaman dia

11
lebih menguasai dibidangnya dibandingkan dengan institusi lain. Koordinasi
formal dan informal harus dibina dan ditingkatkan diantara penegak hukum
(Polisi, Jaksa dan Pengadilan). Pengalaman menunjukkan bahwa hubungan
informal jauh lebih efektif daripada formal.
Di samping pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil, pejabat penyidik
Polri juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-
kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 (1) KUHAP juncto Pasal 77 (1)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Demikian pula dengan aparat
kejaksaan juga mempunyai kewenangan menyidik tindak pidana khusus,
yaitu kasus-kasus korupsi termasuk korupsi dalam illegal logging. Penyidik
perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan Departemen Kehutanan juga
mempunyai kewenangan serupa seperti dalam rangka penyidikan terhadap
penyelundupan kayu ilegal yang merupakan bagian dari illegal logging..
Selain hal tersebut yang telah diuraikan diatas, dalam Pasal 39 huruf
b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan
Hutan (P2H), diberi kewenangan kepada penuntut umum untuk melakukan
penyidikan yang diharapkan dapat memecah kebuntuan serta dapat
mempercepat proses penanganan perkara tindak pidana kehutanan.
Dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu alasan sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat melakukan penghentian
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, dan selanjutnya
penyidik memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut
umum.
Tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
dalam tindak pidana perusakan hutan juga akan memunculkan kembali
polemik lama perebutan kewenangan penyidikan oleh lembaga lembaga
penegak hukum yakni Polisi dan Jaksa. Keadaan tersebut sangat berkaitan
dengan proses penghentian penyidikan terhadap dalam penanganan perkara
perusakan hutan apabila terjadi ketidaklengkapan berkas perkara baik secara
formil maupun materil dalam tahapan penyidikan.

12
Perbenturan kewenangan tersebut tentunya akan mengakibatkan
terhambatnya proses beracara dalam penanganan perkara perusakan hutan.
Pada akhirnya kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakadilan dan
kepastian hukum kepada tersangka maupun pencari keadilan sehingga apa
yang dicita-citakan proses penegakan hukum yang adil dalam kerangka Due
Proces of law atau “proses hukum yang adil atau layak tidak akan terwujud.

2. Polemik Pro dan Kontra dalam Undang-undang Pemberantasan


Pengrusakan Hutan

Setelah Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan


di ubah menjadi Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang
Pemberantasan Perusakan Hutan (P2H). terdapat beberapa perubahan, salah
satunya pada frase illegal logging diperkenalkan karena ketiadaan terminologi
yang tepat saat itu. Di Indonesia, frase illegal logging kerap dipakai
EIA/Telapak melalui serangkaian publikasi tentang penebangan hutan
Indonesia secara ilegal. Dalam The Final Cut (1999), Above the Law (2002),
dan The Last Frontier (2005) ditegaskan bahwa illegal logging didalangi
tokoh-tokoh yang mengorkestrasi operasi secara terorganisasi. Publikasi
EIA/Telapak lewat investigasi menyamar menunjukkan bahwa illegal logging
di Indonesia kerap didalangi penjahat internasional lintas Negara.
The Ramin Rackets (2004) dan Profiting from Plunder (2004)
mengekspos bagaimana pengusaha jahat Malaysia mengobok- obok hutan
Indonesia. Singapore’s Illegal Timber Trade (2003) mengekspos pemain
sejenis di Singapura. Behind the Veneer (2006) mengupas tentang pasar kayu
Eropa dan Amerika yang menampung kayu ilegal dari Indonesia.
Merajalelanya mafia kayu (timber baron) berpadu dengan lemahnya
penegakan hukum sehingga perlu aturan khusus untuk menyasar para pemain
kakap. Fokus inilah yang tidak tampak dalam UU Nomor 18 Tahun 2013
karena hanya menyasar rantai terendah organisasi mafia kayu, yaitu
masyarakat.
Dalam UU Nomor 18 Tahun 2013, dari total 12 pasal yang mengatur
ketentuan pidana, 2 pasal hanya menambahkan mekanisme pemidanaan, 2

13
pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara, 1 pasal mengenai
kejahatan korporasi, dan 7 pasal mengatur pidana-pidana perbuatan langsung.
Terlihat bahwa UU Nomor 18 Tahun 2013 ttg P2H tidak diperuntukkan bagi
otak kejahatan (master mind), tetapi hanya para pelaku langsung yang
umumnya adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisasi atau pelaku
tunggal yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin. Adanya 1 pasal
mengenai kejahatan korporasi di dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 pun tak
sesuai harapan karena sanksinya diwakilkan ke pengurus serta tiadanya sanksi
kompensasi pemulihan ekosistem yang terlanjur rusak.
Selama ini, kredibilitas dan efektivitas penanganan oleh KPK
menjadi faktor kunci penanganan kasus korupsi kehutanan. Namun, tidak
semua kejahatan kehutanan ada unsur korupsi sehingga bukan domain KPK.
Inilah yang tampaknya ingin dijawab UU Nomor 18 Tahun 2013 dengan
mengusulkan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H). Akan
tetapi, lembaga tersebut justru berpeluang menambah kerumitan.
Dimasukkannya fungsi pencegahan menjadikan lembaga ini tumpang tindih
peran dengan Kementerian Kehutanan. Dibatasinya peran LP2H hanya
sebatas penyidikan membuatnya tak lebih dari penyidik pegawai negeri sipil
(PPNS) Kemenhut yang saat ini ada. Padahal, kendala terbesar selama ini
adalah peran penuntutan yang tidak maksimal serta PPNS yang kerap
terhalang oleh penyidik Polri.

14
BAB III

ANALISIS DAN PEMECAHAN MASALAH

A. ANALISIS

1. Proses Peradilan Terhadap Pelanggaran Hukum Kehutanan


a. Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan

Dalam proses peradilan pidana umumtermasuk pelanggaran hukum


kehutananpenegakan hukumnya dilakukan oleh aparat penegak hukum,
yakni aparat penyidik (dari Kepolisian Republik Indonesia), penuntut
umum (dari kejaksaan) dan hakim (dari pengadilan). Di samping itu juga
dilibatkan pengacara/advokat yang bertugas untuk memberikan bantuan
hukum atau pembelaan kepada terdakwa. Pembelaan tersebut bukan
berarti melindungi terdakwa, akan tetapi adalah untuk proses pengawasan
agar hak-hak terdakwa selarna proses peradilan tidak dilanggar.
Hukum pidana formil yang digunakan dalam menjalankan
penegakan hukum di bidang kehutanan adalah Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana atau biasa disebut dengan
Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut KUHAP
proses pidana dimulai dari penyidikan yang dilakukan penyidik dari aparat
kepolisian. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penvidik dalam hal
dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta
mengumpulkan bukti-bukti yang dengan bukti-bukti itu membuat terang
tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Jadi, penyidikan dilakukan oleh penyidik sesuai ketentuan undang-
undang guna mencari alat bukti dan menemukan tersangkanya. Yang
bertindak sebagai penyidik adalah pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri) atau Pegawai Negeri Sipil (INS) tertentu yang diberi
wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan
(Pasal 1 angka 1 KUHAP). Penyidik dari lingkungan pejabat Poiri
diangkat oleh Kapolri yang dapat dilimpahkan.
kepada pejabat Polri di bawahnya, sedang penyidik di lingkungan
Pegawai Negeri Sipil diangkat oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi

15
Manusia atas usul Menteri yang membawahi pegawai negeri tersebut.
Penyidik dari lingkungan Pegawai Negeri Sipil hanya berwenang
melakukan penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam peraturan
perundang-undangan pidana khusus atau perundang-undangan
administrasi yang bersanksi pidana.
Secara lebih lengkap ketentuan mengenai tugas dan kewenangan
penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kementerian kehutanan
diatur dalam Peraturann Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985. Menurut Pasal
16 (2) Peraturann Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, pejabat penyidik
Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan mempunyai wewenang :
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan dan wilayah
sekitar hutan (kring);
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan: hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar
hutan (kring) dan daerahdaerah lain yang oleh Pemerintah daerah
ditentukan sebagai wilayah kewenangan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tersebut untuk memeriksa hasil hutan;
c. menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan dan kehutanan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana di bidang
kehutanan;
e. menangkap tersangka untuk diserahkan kepada penyidik Polri dalam
hal tertangkap tangan;
f. membuat dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana
di bidang kehutanan
Berdasarkan kewenangan tersebut di atas maka pejabat penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kehutanan dapat melakukan proses
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan dengan melakukan
semua proses penyidikan sampai pemberkasan atau membuat berita acara
penyidikan. Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum sesuai ketentuan dalam KUHAP

16
Dari ketentuan tersebut berarti bahwa pejabat penyidik Pegawai Negeri
Sipil di bidang kehutanan dapat melakukan penyidikan tanpa koordinasi
dengan penyidik Polri.
Di samping pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil, pejabat
penyidik Polri juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 (1) KUHAP juncto
Pasal 77 (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Demikian pula
dengan aparat kejaksaan juga mempunyai kewenangan menyidik tindak
pidana khusus, yaitu kasus-kasus korupsi termasuk korupsi dalam illegal
logging. Penyidik perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan
Departemen Kehutanan juga mempunyai kewenangan serupa seperti
dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan kayu ilegal yang
merupakan bagian dari illegal logging.
Salah satu tahapan dan kewenangan penyidik dalam proses
penyidikan adalah melakukan penangkapan dan penahanan. Terhadap
tersangka pelaku kejahatan kehutanan dapat dikenakan penangkapan dan
penahanan. Menurut Pasal 1 butir 20 Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang dimaksud
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Wewenang melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan kehutanan
di samping ada di tangan penyidik Polri juga diberikan kepada penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Kehutanan.
Menurut ketentuan Pasal 77 ayat (2) huruf f Undang Undang
Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan berwenang melakukan penangkapan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan (bidang Kehutanan). Bahkan dalam peraturan pelaksana
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan disebutkan bahwa

17
"Polisi Kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka" (Pasal 36
ayat (3).
Jadi, Undang-undang Kehutanan dan peraturan pelaksananya telah
memberikan wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
dan polisi kehutanan atas perintah pimpinan untuk melakukan
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana bidang kehutanan, namun
tidak diatur mekanismenya dan menyerahkannya kepada Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana, sedangkan menurut Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh
petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Pasal 18 ayat (1) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Ketidaklengkapan pengaturan mekanisme penangkapan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan polisi kehutanan dalam
undang-undang kehutanan menimbulkan perbedaan persepsi penerapannya
bahkan menyebabkan kewenangan tersebut "mandul" sehingga dalam hal
tidak tertangkap tangan maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
masih meminta bantuan POLRI untuk melakukan penangkapan terhadap
tersangka tindak pidana bidang kehutanan meskipun polisi kehutanan dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sebenarnya sudah memiliki
kewenangan itu. Setelah dilakukan penangkapan maka untuk kepentingan
proses penyidikan terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan.
Apabila penyidikan telah selesai dilakukan, maka berkas perkara
oleh penyidik diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum.
Apabila pihak kejaksaan menyatakan berkas penyidikan sudah cukup
memenuhi syaratdalam istilah penyidikan disebut P21-maka oleh jaksa
kemudian dibuatkan surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri untuk disidang. Sebaliknya apabila berkas penyidikan
dinilai belum sempurna oleh jaksa, maka jaksa meminta kepada penyidik
untuk menyempurnakan dengan disertai petunjuk yang diberikan oleh
kejaksaan.

18
b. Penuntutan terhadap Pelaku Kejahatan Kehutanan

Koordinasi dalam penanganan perkara antara Kejaksaan dengan


Kepolisian terwujud dalam sebuah konsep yang disebut pra-penuntutan.
Tahap pra-penuntutan merupakan wewenang penuntut umum disamping
juga merupakan wewenang penyidik termasuk tindakan lain yang
bertanggung jawab. Pertanggungjawaban penuntutan ada pada penuntut
umum, oleh sebab itu kalau menurut penuntut umum berkas perkara belum
lengkap untuk dilakukan penuntutan, maka penuntut umum harus
mengembalikan kepada penyidik yang berwenang menyidik untuk
disempurnakan.5
Wewenang penuntut umum menurut Pasal 14 Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana adalah:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau
penyidik pembantu;
b. mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memberikan petunjuk dalam penyempurnaan berita acara
penyidikan kepada penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik.
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu
perkara disidangkan yang disertai surat panggilan baik kepada terdakwa
maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab
sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang;
j. melaksanakan penetapan hakim

5
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan
Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 81

19
Dalam Undang-Undang P3H, adanya kewajiban penuntut umum
untuk melakukan penyidikan dengan maksud untuk mempercepat proses
penanganan perkara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 39 huruf b
Undang-Undang P3H. Dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu
alasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat
melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum, dan selanjutnya penyidik memberitahukan penghentian
penyidikan tersebut kepada penuntut umum

c. Proses Pengadilan terhadap Kejahatan Kehutanan

Dalam proses persidangan maka pembuktian merupakan penentu


berhasil tidaknya proses penuntutan dan dakwaan yang diajukan oleh
penuntut umum. Artiny'a jaksa selaku penuntut umum harus dapat
membuktikan semua unsur-unsur dalam dakwaannya jika menginginkan
pelaku tindak pidana (terdakwa) dijatuhi hukuman. Dalam menjatuhkan.
pidana, hakim harus mendasarkan pada sekurangkurangnya dua alat bukti
danberdasarkan alatbukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya
(Pasal 183 Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana).
Apabila pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di
sidang pengadilan kesalahan terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. Sedangkan jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan terdakwa terbukti akan tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa dilepas dari segala
tuntutan hukuman. Namun sebaliknya jika terdakwa dinyatakan bersalah
melakukan tindak pidana maka berdasarkan Pasal 193 Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana pengadilan menjatuhkan pidana.
Pada waktu menjatuhkan putusan apabila terdakwa tidak ditahan
maka pengadilan dapat memerintahkan supaya terdakwa ditahan. Perintah
segera masuk tahanan itu dimaksudkan agar selama putusan belum
memperoleh kekuatan hukum tetap terpidana tidak melarikan diri, atau

20
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana
lagi. Sedang terhadap barang bukti yang merupakan obyek tindak pidana,
pihak pengadilan dapat memutuskan dirampas untuk dimusnahkan atau
untuk negara. Dalam kejahatan di bidang kehutanan terhadap barang bukti
berupa kayu-kayu curian maka putusan hakim sebaiknya menyatakan
barang bukti disita untuk negara.
Untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku yang
lain, maka pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan harus dijatuhkan secara optimal dan syukur jika bisa dijatuhkan
secara maksimal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kejahatan
di bidang kehutanan menimbulkan dampak yang sangat luas, tidak saja
menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan, tetapi juga merugikan
negara dalam skala yang sangat besar.
Pengadilan adalah benteng terakhir keadilan, maka dalam
mengadili kasus (perkara) tindak pidana di bidang kehutanan para hakim
tidak boleh melakukan kolusi dan korupsi, karena dampak kejahatan ini
sangat luas. Di samping itu profesionalisme hakim dalam mengadili kasus
tindak pidana di bidang kehutanan harus baik agar dapat menjatuhkan
putusan yang tepat. Paling tidak para hakim harus menguasai modus
operandi dan teknikteknik yang sering digunakan oleh sindikat pencuri
kayu agar dapat menentukan ada tidaknya kesalahan mereka manakala
diperiksa di depan persidangan.
Lembaga peradilan di semua tingkatan harus ikut berperan serta
dalam memberantas kejahatan di bidang kehutanan. Jangan sampai terjadi
main mata antara hakim di lembaga peradilan dengan terdakwa atau
sindikat pencurian kayu di hutan agar upaya pemerintah untuk
memberantas tindak pidana di bidang kehutanan mendapat sambutan dari
lembaga peradilan. Upaya pemberantasan tindak pidana dibidang
kehutanan harus dilakukan melalui koordinasi yang erat antara aparat
penegak hukum, dalam arti mereka bersungguhsungguh untuk
memberantas kejahatan jenis ini karena menimbulkan kerugian yang
sangat besar dan luas.

21
2. Pelaksanaan Integreted Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana
Kehutanan.

Konsep sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system)


yang dikenal di Indonesia ialah suatu keadaan dimana terjalinnya hubungan
yang bersifat fungsional dan instansional yaitu koordinasi di antara sub sistem
satu dengan lainnya menurut fungsi dan kewenangannya masing-masing
sebagaimana fungsi dan kewenangan yang diatur dalam hukum acara pidana
dalam rangka menegakkan hukum pidana yang berlaku. Berarti, sistem
peradilan pidana (integrated criminal justice system) meliputi proses
penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan hingga pada pelaksanaan
putusan hakim. Ada pun sub sistem yang terkait ialah penyidik,
jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan peradilan umum,
penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan

Dalam sistem peradilan pidana, Integrated criminal justice system


memiliki dua peranan penting, yakni sebagai sebuah sistem dan sebagai
sebuah proses. Sebagai sebuah sistem dimaksudkan bahwa ada hubungan
fungsional dan institusional antar masing-masing sub bagian dalam rangka
penegakkan hukum. Sedangkan sebagai sebuah proses, dimaksudkan bahwa
peradilan menempuh proses sesuai dengan ketentuan hukum pidana dan
hukum acara pidana yang berlaku. Dalam bagian ini akan dijelaskan tentang
bagaimana Integrated criminal justice system dalam sistem peradilan pidana
sebagai sebuah sistem dan sebagai sebuah proses.

a. Integrated Criminal Justice System sebagai sebuah sistem

Integrated criminal justice system dalam konteks peradilan di


Indonesia ialah suatu keadaan dimana terjalinnya hubungan yang bersifat
fungsional dan instansional yaitu koordinasi diantara sub sistem satu
dengan lainnya menurut fungsi dan kewenangannya masing-masing
sebagaimana fungsi dan kewenangan yang diatur dalam hukum acara
pidana dalam rangka menegakkan hukum pidana yang berlaku. Dengan
demikian, sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system)

22
meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan
hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Ada pun sub sistem yang terkait
ialah penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan
peradilan umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan.6

b. Integrated Criminal Justice System sebagai sebuah Proses

Selain sebagai sebuah sistem, integrated criminal justice system


juga berperan sebagai sebuah proses. Maksudnya hukum pidana perikanan
sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat keterkaitan antara satu
bagian dengan bagian lain dan antara satu sub bagian dengan sub bagian
lain, serta antara satu instansi dengan instansi lain, integrated criminal
justice system sebagai sebuah proses merupakan kelanjutan dari hubungan
antar sistem dalam instansi penegak keadilan tersebut. Jadi prosesnya
dimulai dari terjadinya kasus sampai pada proses persidangan merupakan
satu kesatuan proses.

Jika sistem peradilan pidana (integrated criminal justice system)


meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di persidangan
hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Sub sistem yang terkait ialah
penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan peradilan
umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan. Maka proses
peradilan menunjuk pada jalannya persidangan mulai dari fakta kejadian
terjadinya pelanggaran hingga pada putusan pengadilan merupakan satu
kesatuan proses.

Adapun hubungan koordinasi fungsional dan instansional di antara


sub sistem dalam sistem peradilan pidana sesuai dengan fungsi dan
kewenangannya masing-masing sebagaimana dimaksud di atas, meliputi
hubungan koordinasi fungsional dan instansional antara:

1. Penyidik dengan penuntut umum;


2. Penyidik dengan pengadilan;

6
Bandingkan V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap
Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 251-254

23
3. Penyidik dengan pejabat pegawai negeri sipil;
4. Penyidik dengan penasihat hukum;
5. Penuntut umum dengan pengadilan;
6. Penuntut umum dengan pengadilan;
7. Jaksa, lembaga pemasyarakatan dan pengadilan;
8. Penasihat hukum dengan pengadilan.

Koordinasi dalam penanganan perkara antara Kejaksaan dengan


Kepolisian terwujud dalam sebuah konsep yang disebut pra-penuntutan.
Tahap pra-penuntutan merupakan wewenang penuntut umum disamping juga
merupakan wewenang penyidik termasuk tindakan lain yang bertanggung
jawab. Pertanggungjawaban penuntutan ada pada penuntut umum, oleh sebab
itu kalau menurut penuntut umum berkas perkara belum lengkap untuk
dilakukan penuntutan, maka penuntut umum harus mengembalikan kepada
penyidik yang berwenang menyidik untuk disempurnakan.7
Dalam tahap Pra-penuntutan penanganan perkara perusakan hutan,
masih sering terjadi bolak-balik perkara antara penyidik dengan penuntut
umum. Bolak baliknya perkara tersebut disebabkan berbagai macam faktor
yang salah satunya penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang diberikan
oleh penuntut umum sehingga menyebabkan ketidaklengkapan berkas
perkara.
Ketidaklengkapan baik secara formil maupun materil dalam tahapan
penyidikan menjadi suatu kendala dalam proses beracara penyelesaian
perusakan hutan. Kendala tersebut dapat membuat perkara menumpuk dan
menunggak yang akhirnya menimbulkan ketidakadilan. Perkara-perkara yang
menumpuk dan tidak dilanjuti oleh penyidik sama saja dengan tertundanya
keadilan yang dituntut oleh pencari keadilan. Pernyataan tersebut sejalan
dengan pendapat Hiroshi Ishikawa yang menyatakan “delay of justice is
denied of justice” penundaan keadilan merupakan ketidakadilan. 8 Di sisi lain,
KUHAP tidak menentukan batas berapa kali menyerahkan berkas perkara

7
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan
Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 81
8
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dalam Perspektif Hukum, PT. Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta, 2005, hlm. 179

24
secara bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya.
Kondisi tersebut jelas akan sangat merugikan kepada tersangka, dimana hak-
hak tersangka jelas di atur oleh KUHAP yang salah satunya tersangka berhak
mendapat kepastian hukum.
Dengan adanya penambahan kewenangan penuntut umum untuk
melakukan penyidik maka akan memecah kebuntuan serta dapat
mempercepat proses penanganan perkara sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 39 huruf b Undang-Undang P3H. Oleh sebab itu, kewenangan penuntut
umum dalam melakukan penyidikan tentunya menjadi suatu keniscayaan
dalam upaya penyelesaian atau penanganan kasus-kasus perusakan hutan.
Akan tetapi, sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang P3H pada
tanggal 6 Agustus 2013, fungsi kewenangan penyidikan dalam tindak pidana
perusakan hutan belum pernah dilaksanakan oleh penuntut umum karena
sampai saat ini belum terdapat kejelasan dalam peraturan pelaksana dari
ketentuan tersebut. Sedangkan urgensi pemanfaatan kewenangan tersebut
sangat diperlukan dalam menyelesaikan kebuntuan dalam proses penanganan
kasus perusakan hutan. Padahal dalam praktik kehidupan sehari-hari, setelah
dilakukan proses penyidikan terhadap perkara ternyata tidak bisa diteruskan
ke tahap penuntutan.

3. Kendala yang ditemukan pada pelaksanaan Criminal Justice System


Peradilan Tindak Pidana Kehutanan

Adapun kendala dalam pelaksanaan Criminal Justice System antara lain


adanya hubungan yang kurang harmonis antara pihak terkait yang menangani
perkara kehutanan. Kondisi disharmonis antara aparat penegak hukum dalam
menanganani kasus-kasus kejahatan, sejatinya telah memperoleh perhatian
utama dari masing-masing Pimpinan. Oleh karena itu, perhatikan pentingnya
terwujudnya koordinasi yang melibatkan penegak hukum, khusus dalam
penegakan hukum, sebagai salah satu wujud membangun kebersamaan /
kemitraan (gedung kemitraan) , maka diperlukan strategi yang dirancang guna
mendukung hubungan antar penegak hukum.

25
Dalam sistem peradilan pidana (sistem peradilan pidana), peran
aparatur penegak hukum, khusus penyidik, lengkap strategis. Penyidik
merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran
materiil. Melalui proses penyidikan upaya penegakan hukum berawal. Karena
itu, perlu bantuan penyidikan atas tindak lanjut perlu mendapat kebenaran,
tidak perlu terkait dengan mana yang menyatukan tetapi juga memerlukan izin
yang lebih luas, guna menghindari menarik menarik yang berpotensi
dilanggarnya rasa masyarakat.

Diberikannya komitmen pada hubungan lain untuk terlibat dalam proses


penyidikan sejatinya telah memiliki landasan yuridis, baik dalam Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) maupun Undang-undang No.
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Beberapa faktor penyebab yang menjadi penyebab timbulnya


disharmonis, yaitu :

a. Fungsi Pengawas Internal masing-masing instansi masih belum


melaksanakan fungsinya sesuai yang diharapkan.
b. Lemahnya sumber daya manusia dapat pula muncul dari aspek budaya yaitu
sikap-sikap otoritas penyidik arogan, tidak memiliki sifat melayani,
manipulatif, diskriminatif dan sebagainya.
c. Koordinasi lintas pemerintahan antar instansi belum berjalan secara sinerjis.
Indikatornya. Di samping itu, pelaksanaan koordinasi antar penegak hukum
dengan PPNS belum berjalan dengan baik, sehingga dilapangan masih
muncul menarik menarik untuk melakukan pernyidikan;
d. Perundang-undangan yang menjadi dasar hukum bagi penyidik dalam
perizinan yang masih menyisakan beragam perdebatan, seperti:
a) Adanya peraturan-undangan yang bertentangan satu dengan yang lain,
baik dari segi substansi maupun hierarkinya (ketentuan statusnya di
bawah dapat menentang / persetujuan ketentuan yang lebih tinggi,
misalnya: peraturan pemerintah (PP / KEPPRES) terkait dengan
undang-undang);

26
b) Masih banyak peraturan-undangan yang berasal dari zaman Belanda
yang tidak dapat mengakomodir perkembangan yang ada, namun
eksistensinya tetap dipertahankan;
c) Masih ditemukan peraturan-undangan yang mengamanatkan segera
dibentuknya peraturan pelaksana belum selesai dibuat;
d) Masih ada undangan-undang yang substansinya tidak jelas sehingga
memunculkan multitafsir.

B. PEMECAHAN MASALAH

1. Penguatan Peran Instansi Yang Berwenang Dalam Menangani Tindak


Pidana Kehutanan

Ketentuan dalam UU Kehutanan mengatur mengenai alur penanganan


atas kejahatan bidang kehutanan oleh penegak hukum. Adapaun unsur
penegak hukum yang berwenang dalam pelaksanaan pemberantasan
kejahatan Kehutanan berdasarkan KUHAP, maka pihak yang dapat berperan
sebagai penyidik dalam kejahatan kehutanan adalah Penyidik Polri, Polisi
Hutan, dan PPNS Departemen Kehutanan, TNI, Kejaksaan.
Sebagai upaya penguatan pemberantasan tindak pidana kehutanan
berdasarkan UU No.18 Tahun 2013 maka di bentuklah Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H) yang saling bekerja sama di
bawah koordinasi penyidik Polri. Adapun masing-masing tugas fungsi dan
peran instansi yang berwenang dalam penanganan tindak pidana kehutanan
yaitu :
a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)
Kepolisian Negara Republik Indonesia menurut Undang-undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
memiliki peranan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat,
menegakkan hukum, memberikan perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan
dalam negeri. Adapun tugas pokok kepolisian dalam Pasal 13 Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 ada tiga yaitu ;
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;

27
2. Menegakkan hukum dan,
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat
Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan oleh
undangundang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum atau
kejahatan, termasuk penanganan tindak pidana khusus/tertentu. Penega
kan hukum dilakukan meliputi upaya penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana umum sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus yang diatur dalam
Undang-undang Khusus

b. Polisi Kehutanan - Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC) dan


PPNS Kehutanan
Sejarah panjang sejak zaman penjajahan sampai dengan
kemerdekaan pengelolaan dan perlindungan hutan menjadi sangat strategis
dan penting, kekhususan dibidang kehutanan, sumber daya alam dan
ekosistemnya. Dampak dan manfaat, sifat dan karakternya hal ini
melahirkan fungsifungsi dalam usaha pengelolaan, perlindungan hutan dan
konservasi alam. Kehadiran Polisi Kehutanan dan dibentuknya satuan
khusus Brigade Satuan Polisi Kehutanan Reaksi Cepat (SPORC)19
sebagai bagian dari upaya perlindungan hutan dan menegakkan hukum
kehutanan merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 46 sampai Pasal
51, Pasal 77 dan Pasal 80 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tetang
Kehutanan. Pelaksanaan ketentuan Undang-undang ini kemudian diatur
dengan lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 tahun 2004
tentang Perlindungan Hutan.
Pada ketentuan lain, Polisi Kehutanan dijelaskan dalam Undang-
undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan, pada Pasal 1 ayat 15 bahwa Polisi Kehutanan adalah
pejabat tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan/atau daerah
yang sesuai dengan sifat pekerjaannya menyelenggarakan dan/ atau

28
melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang
diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu
kesatuan komando.

c. Kejaksaan Republik Indonesia


Diketahui bersama lembaga Kejaksaan memiliki tugas dan
kewenangan baik dalam bidang pidana, perdata, tata usaha negara dan juga
dalam bidang ketertiban umum. Dalam Undangundang Nomor 16 Tahun
2004 tetang Kejaksaan Republik Indonesia pada pasal 30 ayat 1
kewenangan dibidang Pidana Kejaksaan berwenang melakukan:
- Melakukan penuntutan
- Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pidana bersyarat,
putusan pidana pengawasan dan keputusan pidana lepas bersyarat.
- Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan
Undang-undang.
- Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan
pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang
dalam pelaksanaanya dikoordinasikan dengan penyidik.
Dalam hal ini Kejaksaan dapat melakukan tugas pokok melakukan
penuntutan, ditentukan juga dalam Undang-undang Nomor 4 tahun 2004
tentang Kejaksaan, kejaksaan dapat melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana tertentu khusus pada tindak pidana korupsi.

d. Tentara Nasional Indonesia (TNI)


Adapun yang menjadi dasar hukum terlibatnya TNI dalam dalam
penanggulangan tindak pidana dibidang kehutanan ini adalah sebagai
berikut ;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
(MPR-RI) RI dengan TAP Nomor VI dan TAP Nomor

29
VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic
Mission
- Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun
2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI
untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap terjadinya
penebangan liar illegal logging diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
- Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan
Nomor : 51/II/PIK-I/ 2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan
tropis Indonesia
Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya
pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan
dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk
dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat
penyidik pegawai negeri sipil, peyidik kejaksaan terkait dengan tindak
pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI
Angkatan Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya.

e. Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)


Dalam melakukan penanggulangan tindak pidana kehutanan atau
tindak pidana perusakan hutan melalui upaya pencegahan dan proses
penegakan hukum (law enforcement) yang dilakukan tentu harus
memperhatikan asas-asas hukum yaitu, dengan memperhatikan keadilan
(gerechtigkeit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan kepastian hukum
(rechtssicherheit), karena hukum bersifat umum dan mengikat semua
orang selalu identik dengan keadilan.
Amanat yang ada dalam Undangundang untuk melakukan
pencegahan dan pemberantasan terhadap perusakan hutan atau tindak
pidana dibidang kehutanan selain lembaga atau instansi yang ada
sebelumnya, diamanatkan juga oleh Undang-undang Nomor 18 Tahun

30
2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa; dalam
rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,
Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak
memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana
perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pem -
bentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha
pencegahan dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H,
diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55
dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan pemberantasan Perusakan Hutan
Dalam upaya penanggulangan perusakan hutan, kerjasama dan
koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a
antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi
Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang
terstruktur dan terintegrasi.9 Upaya untuk dapat mengoptimalkan
pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter
berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.

9
Terintegrasi adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama
oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain, penjelsan Pasal
57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang P3H

31
2. Kebijakan Formulasi sebagai Upaya Pembenahan dalam
Mengoptimalkan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan

Beberapa kendala dalam penegakan hukum terhadap kejahatan di


bidang kehutanan sebagaimana diuraikan di atas menunjukan bahwa
ketentuan hukum di bidang kehutanan belum dapat mengakomodasi
perkembangan kejahatan di bidang kehutanan termasuk illegal logging.
Ketentuan pidana dalam Undang-undang Kehutanan ternyata belum efektif
untuk menangani kasus kasus kejahatan di bidang kehutanan yang belakangan
ini semak berkembang pesat dan luas.
Upaya perbaikan kinerja penegakan hukum dapat mengacu pada
parameter penegakan hukum sebagaimana yang dikemukakan Laurence M
Friedmann tersebut di atas. Di samping itu mengacu pula pada tiga faktor
penting yang mempengaruhi pelaksanaan penegakan hukum sebagaimana
dikemukakan oleh Mochamad Munir, yaitu:

a. Aparat penegak hukumnya sendiri


b. Sumber daya manusia dan sarana atau fasilitas; dan
c. Hukumnya sendiri.
Bekerjanya hukum dalam masyarakat sangat bergantung pada
tindakan manusia. Ketentuanketentuan hukum seringkali tidak dapat
dilaksanakan karena tindakan atau perbuatan manusia. Dalam banyak kasus
perkara pidana, sekalipun pada diri seseorang telah nyata-nyata ada indikasi
melanggar aturan hukum dan seharusnya diadili di pengadilan namun dapat
saja terjadi sebaliknya, yakni tidak diadili akibat adanya tindakan manusia
karena sebab-sebab tertentu. Hal itu merupakan contoh ketidakberdayaan
hukum karena tindakan manusia.
Persoalan kedua yang mempengaruhi penegakan hukum ialah
berkaitan dengan sumber daya manusia (SDM), sarana atau fasilitas aparat
penegak hukum dalam menjalankan tugasnya. Penegakan hukum
memerlukan sumber daya manusia, sarana atau fasilitas yang memadai, baik
dalam arti kuantitas maupun kualitasnya. Jumlah dan kualitas sumber daya
manusia, sarana atau fasilitas yang terbatas yang dimiliki oleh kepolisian,

32
polisi kehutanan, kejaksaan dan pengadilan tentunya dapat menghambat
penegakan hukum di bidang kehutanan. Bahkan dibidang teknologi modem
tidak tertutup kemungkinan sarana atau fasilitas yang dimiliki para pelaku
kejahatan di bidang kehutanan, yang tergolong dalam kejahatan yang kerah
putih (White Collar Crime), lebih canggih dari pada yang dimiliki oleh aparat
penegak hukum. Permasalahan ketiga ialah berkaitan dengan materi hukum
itu sendiri. Dalam kasus tertentu, hukum yang berlaku tidak dapat
dilaksanakan karena berbagai sebab, salah satunya karena sudah tidak sesuai
lagi atau ketinggalan dengan perkembangan jaman.
Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang
optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary),
salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, didalamnya
mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas
dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain melakukan upaya
pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan pemberantasan
atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum
maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun
perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan
fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui
penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan
terintegrasi, LP3H juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap
lembaga lain yang menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau
perusakan hutan.
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak
memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana
perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pem -
bentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan

33
perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam
ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
pemberantasan Perusakan Hutan.
Dalam upaya penanggulangan perusakan hutan, kerjasama dan
koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a
antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi
Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang
terstruktur dan terintegrasi. Upaya untuk dapat mengoptimalkan
pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter
berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.

34
BAB IV

PENUTUP

1. KESIMPULAN

Integrated criminal justice system adalah sistem peradilan pidana yang


mengatur bagaimana penegakan hukum pidana dijalankan. Integrated criminal
justice system dapat dijadikan sebagai sebuah system dan sebuah proses.
Sebagai sebuah sistem maksudnya ada hubungan fungsional dan institusional
antar masing-masing sub bagian dalam rangka penegakkan hukum. Sedangkan
sebagai sebuah proses, dimaksudkan bahwa peradilan menempuh proses sesuai
dengan ketentuan hukum pidana dan hukum acara pidana yang berlaku.

Untuk penerapan Integrated Criminal Justice System dibidang


perikanan maka sangat dibutuhkan penguatan fungsi dan peran pengawas
perikanan yakni PNS di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan,
Polri, Kejaksaan RI., dan KPK. Penguatan fungsi pengawasan perikanan ini
dilakukan dengan memperhatikan asas pengolahan perikanan, yaitu: Asas
Manfaat, Asas Keadilan, Asas Kebersamaan, Asas Kemitraan, Asas
Kemandirian, Asas Pemerataan, Asas Keterpaduan, Asas Keterbukaan, Asas
Efisiensi, Asas Kelestarian, dan Asas Pembangunan yang Berkelanjutan.

Bertititk tolak dari hal terswebut diatas, dilihat dari praktek yang terjadi
di Indonesia masih banyak kendala yang dihadapi untuk menciptakan suatu
Sistem peradilan Pidana tersebut agar Integreted (terpadu) dimana salah satu
kendala yang mencolok adalah belum maksimalnya keijasama yang terscipta
diantara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut sehingga dalam
prakteknya akan mengakibatkan suatu efek bagi pelaksanaan istem peradilan
pidana secara menyeluruh. Peranan polisis dalam sistem ini adalah
mengumpulkan bukti-bukti untuk membantu Jaksa dalam proses pembuktian
sehingga jaksa dapat membuktikan dakwaannya, oleh sebab itu peranan polisi
yang hanya bertindak sebelum persidangan terjadi dan apabila terlibat itupun
hanya sebatas kesaksian dalam pembuktian dan itupun apabila diperlukan.

35
Konsepsi Integrated criminal justice sistem menghendaki adanya
keterpaduan antar komponen penegak hukum guna mencapai tujuan penegakan
hukum. Masing-masing komponen harus berangkat dari kebersamaan persepsi
dalam melaksanakan tatanan operasional agar tercapai tujuan bersama yaitu
mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian diharapkan benturan
kepentingan antar komponen dapat dihilangkan dan tiap-tiap komponen tidak
bekerja secara terkotak-kotak.

Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H)


adalah bersumber dari kewenangan yang diamanatkan Undang-undang. Tugas
dan fungsi pencegahan dilakukan dengan memenuhi sumber kayu alternatif
ataupun kebutuhan lainnya dengan mendorong pengembangan hutan tanaman
yang produktif dan teknologi pengolahan serta kebijakan penghilangan
kesempatan dengan meningkatkan peran serta masyarakat, partisipasi dalam
pengelolaan dan pelestarian hutan, melakukan kampanye anti perusakan hutan
dan lainnya. Sedangkan fungsi penindakan dilakukan lembaga P3H, melalui
penegakan hukum (law enforcement) melalui penyelidikan, penyidikan,
penuntutan sampai proses pemeriksaan di persidangan, diatur dengan hukum
acara tersendiri. Lembaga P3H juga, memiliki fungsi koordinasi dan supervisi
terhadap penanganan tindak pidana kehutanan.

2. SARAN

Dalam mencegah tindak pidana kehutanan dan menghindari adanya


benturan kewenangan dalam penanganan perkara tindak pidana kehutanan,
diperlukannya kesungguhan dan komitmen, saling membuka diri akan adanya
kontrol, koreksi atau saran dari masing-masing instansi berwenang dalam rangka
melaksanakan tugas fungsi Integrated Criminal Justice Sistem.

36
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar
Grafika, Jakarta
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan
Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia
Bandingkan V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana,
Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta:
Referensi, 2012
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan
Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 2010
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dalam Perspektif
Hukum, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2005
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April
2001
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Jakarta: Transparency International
Indonesia, 2003
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, STHM
, Jakarta:, 1996
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Prenada, Jakarta
2014

JURNAL/MAKALAH/LAPORAN-LAPORAN
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April
2001
Anthony O Nwator, Corporate Criminal Responsibility: A Comparative
Analysis, Journal African Law, Volume 57, Issue 01, April 2013

INTERNET
https://www.kompasiana.com/satriya1998/552023d6a33311d42bb67879/pr
o-dan-kontra-uu-pemberantasan-perusakan-hutan

37
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya di sebut UUPLH) yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara ilegal
di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia

38

Anda mungkin juga menyukai