BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
1
langsung. Terlihat bahwa UU Nomor 18 Tahun 2013 ttg P2H tidak
diperuntukkan bagi otak kejahatan (master mind), tetapi hanya para pelaku
langsung yang umumnya adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisasi
atau pelaku tunggal yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin.
Penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus perusakan lingkungan,
pencemaran limbah industri, pencemaran udara dan sebagainya masih jauh dari
harapan. Ironisnya lagi, kasus pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan
lingkungan yang dilakukan terus menerus terutama pengrusakan kawasan hutan
tanpa tindakan yang berarti dari aparat penegak hukum sehingga menambah
catatan “ hitam” kejahatan lingkungan. Terlebih lagi masyarakat kurang perduli
terhadap kasus kejahatan lingkungan tersebut, karena dampaknya baru disadari
oleh masyarakat setelah terjadi musibah
Selama ini, kredibilitas dan efektivitas penanganan oleh KPK menjadi
faktor kunci penanganan kasus korupsi kehutanan. Namun, tidak semua
kejahatan kehutanan ada unsur korupsi sehingga bukan domain KPK. Inilah
yang tampaknya ingin dijawab UU Nomor 18 Tahun 2013 dengan mengusulkan
Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H). Akan tetapi, lembaga
tersebut justru berpeluang menambah kerumitan. Dimasukkannya fungsi
pencegahan menjadikan lembaga ini tumpang tindih peran dengan Kementerian
Kehutanan. Dibatasinya peran LP2H hanya sebatas penyidikan membuatnya tak
lebih dari penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) Kemenhut yang saat ini ada.
Padahal, kendala terbesar selama ini adalah peran penuntutan yang tidak
maksimal serta PPNS yang kerap terhalang oleh penyidik Polri.
Penegakan hukum diharapkan sebagai salah satu upaya penanggulangan
terhadap tindak pidana Kehutanan berdasarkan hukum yang telah ada, jika
kordinasi antara penegak hukum dalam penanganan perkara tindak pidana
kehutanan dapat terjalin dengan harmonis maka tujuan Negara untuk
mensejahterakan masyarakat dapat terlaksana.
Dalam tahap Pra-penuntutan penanganan perkara perusakan hutan,
masih sering terjadi bolak-balik perkara antara penyidik dengan penuntut umum.
Bolak baliknya perkara tersebut disebabkan berbagai macam faktor yang salah
satunya penyidik tidak dapat memenuhi petunjuk yang diberikan oleh penuntut
2
umum sehingga menyebabkan ketidaklengkapan berkas perkara. Dengan adanya
kewajiban penuntut umum untuk melakukan penyidik maka akan memecah
kebuntuan serta dapat mempercepat proses penanganan perkara sebagaimana
yang tertuang dalam Pasal 39 huruf b Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013
Tentang Pencegahan Pemberantasan Perusakan Hutan.
Akan tetapi, sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang P3H
pada tanggal 6 Agustus 2013, dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu
alasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat
melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi
hukum, dan selanjutnya penyidik memberitahukan penghentian penyidikan
tersebut kepada penuntut umum.
Tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dalam
tindak pidana perusakan hutan juga akan memunculkan kembali polemik lama
perebutan kewenangan penyidikan oleh lembaga lembaga penegak hukum yakni
Polisi dan Jaksa. Keadaan tersebut sangat berkaitan dengan proses penghentian
penyidikan terhadap dalam penanganan perkara perusakan hutan apabila terjadi
ketidaklengkapan berkas perkara baik secara formil maupun materil dalam
tahapan penyidikan.
Perbenturan kewenangan tersebut tentunya akan mengakibatkan
terhambatnya proses beracara dalam penanganan perkara perusakan hutan. Pada
akhirnya kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakadilan dan kepastian hukum
kepada tersangka maupun pencari keadilan sehingga apa yang dicita-citakan
proses penegakan hukum yang adil dalam kerangka Due Proces of law atau
“proses hukum yang adil atau layak tidak akan terwujud”.
B. RUMUSAN MASALAH
3
2. Apakah kendala yang ditemukan pada pelaksanaan Criminal Justice System
Peradilan Tindak Pidana Kehutanan?
3. Bagaimana penyelesaian permasalahan yang ditemukan pada pelaksanaan
Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana Kehutanan?
C. RUANG LINGKUP
D. METODE PENELITIAN
E. SISTEMATIKA PENELITIAN
Penelitian dalam penulisan ini disusun terdiri atas empat bab. Setiap bab
tersusun lagi menjadi sub bab untuk lebih memperjelas ruang lingkup penelitian
sebagai berikut:
1
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April 2001, h.103
2
Ibid.
4
Bab I (pendahuluan) menguraikan latar belakang masalah yang memuat
terjadinya pelaksanaan Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana
Kehutanan. Bab I juga memuat pokok permasalahan, Ruang Lingkup, metode
penelitian dan Sistematika penelitian.
5
BAB II
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis yang
cukup luas. Dari data yang ada, luas hutan tropis Indonesia menduduki tempat
ke-3 (ketiga) di dunia setelah Kongo dan Brazil. Kondisi tersebut tentunya
menjadikan hutan indonesia sebagai oksigen sekaligus memiliki sumber plasma
nutfah yang sangat bermanfaat. Luasnya hutan Indonesia pada dasarnya telah
memberikan kontribusi yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Bahkan lebih dari tiga dekade sektor kehutanan telah menjadi modal utama
pembangunan nasional. Namun, di sisi lain kerusakan hutan sebagai akibat
pencurian kayu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang mencari keuntungan dari
hasil hutan semakin memperihatinkan. Salah satu contoh kerusakan hutan
(Deforestasi) di 5 (lima) pulau besar sudah mencapai 2,83 juta hektar pertahun.
Sebagai contoh adalah gambaran kerusakan hutan di wilayah Lampung
Barat. Berdasarkan data Departemen Kehutanan Daerah kerusakan hutan di
wilayah Lampung Barat akibat praktik pencurian kayu diperkirakan mencapai
triliunan per tahun, belum termasuk nilai kerugian dari aspek ekologis seperti
musnahnya spesies langka, terganggunya daerah aliran sungai yang berimbas
pada kehidupan manusia dan sekitarnya yang berpotensi menimbulkan bencana
seperti tanah longsor, banjir, kekeringan serta kebakaran hutan.
Hutan merupakan bagian dari lingkungan hidup, regulasi perundang-
undangannyapun ada keterkaitan antara undang-undang pengelolaan lingkungan
hidup dengan undang-undang kehutanan, menurut Andi Hamzah “Undang-
Undang Kehutanan merupakan undang-undang sektoral yang dinaungi oleh
Undang-Undang Lingkungan Hidup karena pada bagian “mengingat” dalam
konsideransnya tertulis Undang-Undang Lingkungan Hidup”.3
Penyelesaian sengketa kehutanan menurut ketentuan undang-undang
kehutanan mengadopsi sebagian ketentuan penyelesaian sengketa sebagaimana
3
(Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar Grafika, Jakarta.)
6
yang tertuang dalam undang-undang pengelolaan lingkungan hidup, hal ini dapat
kita lihat dan kita bandingkan antara ketentuan Pasal 30 Undang-Undang No. 23
Tahun 1997 dengan ketentuan Pasal 74 dan 75 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999.
Perbuatan melawan hukum yang melanggar ketentuan undang-undang
lingkungan hidup dan undang-undang kehutanan dapat dikenai sanksi
administrasi, ganti kerugian dan sanksi pidana, sehingga penegakannya dapat
melalui instrumen hukum administrasi, hukum perdata dan hukum pidana, tetapi
dalam penggunaan instrumen hukum pidana ada ketentuan prinsipil dalam
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup yang tidak diadopsi oleh undang-
undang kehutanan yaitu keberlakuan asas subsidiaritas.
Menurut Indonesia Corruption Watch, dari 205 pelaku illegal logging
kakap pada 2005-2008, yang diadili hanya 19,51 persen. Sisanya, 80,48 persen,
pelaku kelas teri (sopir, operator, dan petani). Dari pelaku kelas kakap yang
diadili, 82 persen divonis bebas. Pada pelaku kelas teri, 66 persen divonis bebas,
21 persen divonis di bawah setahun, 7 persen divonis 1-2 tahun, dan 5 persen
divonis di atas 2 tahun.4
Penegakan hukum yang berkaitan dengan kasus perusakan lingkungan,
pencemaran limbah industri, pencemaran udara dan sebagainya masih jauh dari
harapan. Ironisnya lagi, kasus pencemaran dan/atau pengrusakan lingkungan
lingkungan yang dilakukan terus menerus terutama pengrusakan kawasan hutan
tanpa tindakan yang berarti dari aparat penegak hukum sehingga menambah
catatan “ hitam” kejahatan lingkungan. Terlebih lagi masyarakat kurang perduli
terhadap kasus kejahatan lingkungan tersebut, karena dampaknya baru disadari
oleh masyarakat setelah terjadi musibah terhadap diri mereka, misalnya : banjir,
longsor, kekeringan sesak napas, demam berdarah dan sebagainya. Meningkat
sangat besarnya kerugian yang di timbulkan oleh pencemaran atau pengrusakan
kawasan hutan, maka terhadap pelakunya perlu diambil tindakan tegas yang
berupa penuntutan dan pengadilan atau dengan kata lain perlu di adakan
penegakan hukum pidana secara tegas kepada mereka yang melanggar
ketentuan-ketentuan yang di atur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997
4
https://www.kompasiana.com/satriya1998/552023d6a33311d42bb67879/pro-dan-kontra-uu-
pemberantasan-perusakan-hutan
7
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya di sebut UUPLH) yang
kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Penegakan hukum disini diharapkan sebagai salah satu upaya
penanggulangan terhadap tindak pidana illegal logging berdasarkan hukum yang
telah ada, yang mana sebagai akibat dari illegal logging ini dapat menimbulkan
banyak kerugian baik pada pemerintah, hutan berserta lingkungan hidup dan
ekosistemnya, masyarakat juga segala kehidupan yang mulai langka baik flora
maupun faunanya.
Keberadaan penegakan hukum dalam suatu Negara hukum, ialah bahwa
di negara itu hanya memiliki satu criminal justice system yang kesemuanya
berada dalam tatanan pro-yustisia, dan secara universal berlaku di Negara
manapun. Tidak ada satu Negara yang benar-benar sebagai Negara Hukum
membuka kemungkinan keberadaan berbagai jenis institusi ekstra yudisial yang
bersifat ad hoc, dan seluruh institusi yang termasuk bagian resmi dari criminal
justice system telah memiliki aparat profesional yang telah memperoleh
pendidikan khusus, mereka semua adalah sarjana hukum yang bukan sekedar
menguasai hukum positif dalam bidang hukum pidana dan hukum acara pidana,
melainkan juga memahami dan mendalami asas-asas yang berlaku dalam proses
pidana, dari awal sampai akhir.
Dalam rangka untuk menjamin perlindungan hak fundamental tersebut,
maka lahirlah mekanisme yang berfungsi untuk menjaga terwujudnya hak warga
negara melalui sistem penegakan hukum. Salah satu sistem penegakan hukum di
Indonesia adalah sistem terpadu penegakan hukum pidana, yang jamak dikenal
dengan Integrated Criminal Justice System (ICJS). Tujuan ICJS adalah
menegakkan keadilan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat serta melindungi
setiap individu, dengan cara melakukan penanganan dan pencegahan tindak
pidana (Mochtar, 2009). Pintu gerbang kerja simultan dalam ICJS adalah
lembaga kepolisian.
Acuan utama operasional Sistem Peradilan Pidana di negara hukum
Indonesia, bermuara pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP). KUHAP menganut konsep diferensiasi fungsional
8
(fungsi yang berbeda-beda) diantara komponen penegak hukum yang
melaksanakan fungsi yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, yaitu :
a. Penyelidikan dan penyidikan,
b. Penuntutan,
c. Pelaksanaan putusan pengadilan, dan
d. Pemberian jasa hukum
9
B. PERMASALAHAN
Polri sebagai salah satu institusi dalam the criminal justice system
yang diberi kewenangan untuk melakukan law enforcement terhadap tindak
pidana pencurian kayu tentu saja memainkan peranan yang sangat penting
guna melakukan investigasi dalam rangka mengungkap suatu tindak pidana
illegal loging yang terjadi secara tuntas. Hal tersebut tentu saja bukanlah
persoalan mudah, para pelaku pada umumnya telah sangat matang
memperhitungkan resiko yang akan dihadapi bila perbuatannya terungkap.
Melarikan diri dan menyembunyikan hasil curiannya adalah hal-hal yang
biasanya akan mereka lakukan untuk menghindari diri dari jeratan hukum.
Kewenangan dalam pelaksanaan penanganan tindak pidana pencurian kayu
terjadi tarik menarik antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan
penyidik kepolisian.
10
Menurut KUHP dan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981, jelas
tercantum Polri merupakan satu-satunya lembaga yang diberi tugas sebagai
penyidik tindak pidana termasuk illegal logging. Oleh karena itu perlu
ditingkatkannya kerjasama antara Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
maupun Kejaksaan dalam penanganan tindak pidana Kehutanan, guna
mendukung kebijakan pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana illegal
logging, sehingga diharapkan terjalin hubungan yang baik yang pada
gilirannya dapat sangat bermanfaat dalam melakukan penanggulangan tindak
pidana pencurian kayu terkait dengan tugas pencarian, pengangkapan bahkan
melacak aset-aset para tersangka sehingga kamtibmas dapat terwujud dengan
aman, tertib dan kondusif.
Penegakan hukum disini diharapkan sebagai salah satu upaya
penanggulangan terhadap tindak pidana illegal logging berdasarkan hukum
yang telah ada, yang mana sebagai akibat dari illegal logging ini dapat
menimbulkan banyak kerugian baik pada pemerintah, hutan berserta
lingkungan hidup dan ekosistemnya, masyarakat juga segala kehidupan yang
mulai langka baik flora maupun faunanya.
Kewenangan Anggota Polhut apabila tertangkap tangan dalam tindak
pidana kehutanan hanya sampai penangkapan tersangka dan pengamanan
barang bukti. Tugas ini selanjutnya harus segera diserahkan kepada Penyidik
Pegawai Negeri Sipil selanjutnya disingkat (PPNS) untuk diproses
pemeriksaan lebih lanjut. PPNS Kehutanan berwenang melakukan penyidikan
terhadap tindak kejahatan kehutanan (Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999). Selanjutnya PPNS Kehutanan dan penyidik Polri melakukan
tugas lex specialist, karena itu PPNS harus lebih menguasai bidangnya
dibandingkan dengan Penyidik Polri. Untuk menjamin kelancaran penyidikan
dibidang pidana kehutanan, seharusnya penyidikan dilakukan oleh PPNS
bekerjasama dengan Penyidik Polri. Pengalaman menunjukkan bahwa
penyidikan yang dilakukan sendiri lebih cepat, murah dan tepat. Secara
informal PPNS harus memonitor perkembangan kasus apa yang sudah
divonis dan berapa lama vonisnya. Selain itu, saksi ahli sedapat mungkin
harus dari instansi kehutanan karena secara keilmuan dan pengalaman dia
11
lebih menguasai dibidangnya dibandingkan dengan institusi lain. Koordinasi
formal dan informal harus dibina dan ditingkatkan diantara penegak hukum
(Polisi, Jaksa dan Pengadilan). Pengalaman menunjukkan bahwa hubungan
informal jauh lebih efektif daripada formal.
Di samping pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil, pejabat penyidik
Polri juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus-
kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 (1) KUHAP juncto Pasal 77 (1)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Demikian pula dengan aparat
kejaksaan juga mempunyai kewenangan menyidik tindak pidana khusus,
yaitu kasus-kasus korupsi termasuk korupsi dalam illegal logging. Penyidik
perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan Departemen Kehutanan juga
mempunyai kewenangan serupa seperti dalam rangka penyidikan terhadap
penyelundupan kayu ilegal yang merupakan bagian dari illegal logging..
Selain hal tersebut yang telah diuraikan diatas, dalam Pasal 39 huruf
b Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan Perusakan
Hutan (P2H), diberi kewenangan kepada penuntut umum untuk melakukan
penyidikan yang diharapkan dapat memecah kebuntuan serta dapat
mempercepat proses penanganan perkara tindak pidana kehutanan.
Dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu alasan sebagaimana
ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat melakukan penghentian
penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata
bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, dan selanjutnya
penyidik memberitahukan penghentian penyidikan tersebut kepada penuntut
umum.
Tindakan penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik
dalam tindak pidana perusakan hutan juga akan memunculkan kembali
polemik lama perebutan kewenangan penyidikan oleh lembaga lembaga
penegak hukum yakni Polisi dan Jaksa. Keadaan tersebut sangat berkaitan
dengan proses penghentian penyidikan terhadap dalam penanganan perkara
perusakan hutan apabila terjadi ketidaklengkapan berkas perkara baik secara
formil maupun materil dalam tahapan penyidikan.
12
Perbenturan kewenangan tersebut tentunya akan mengakibatkan
terhambatnya proses beracara dalam penanganan perkara perusakan hutan.
Pada akhirnya kondisi tersebut akan menimbulkan ketidakadilan dan
kepastian hukum kepada tersangka maupun pencari keadilan sehingga apa
yang dicita-citakan proses penegakan hukum yang adil dalam kerangka Due
Proces of law atau “proses hukum yang adil atau layak tidak akan terwujud.
13
pasal mengatur pidana yang dilakukan pejabat negara, 1 pasal mengenai
kejahatan korporasi, dan 7 pasal mengatur pidana-pidana perbuatan langsung.
Terlihat bahwa UU Nomor 18 Tahun 2013 ttg P2H tidak diperuntukkan bagi
otak kejahatan (master mind), tetapi hanya para pelaku langsung yang
umumnya adalah rantai terendah dalam kejahatan terorganisasi atau pelaku
tunggal yang biasanya adalah masyarakat lokal yang miskin. Adanya 1 pasal
mengenai kejahatan korporasi di dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 pun tak
sesuai harapan karena sanksinya diwakilkan ke pengurus serta tiadanya sanksi
kompensasi pemulihan ekosistem yang terlanjur rusak.
Selama ini, kredibilitas dan efektivitas penanganan oleh KPK
menjadi faktor kunci penanganan kasus korupsi kehutanan. Namun, tidak
semua kejahatan kehutanan ada unsur korupsi sehingga bukan domain KPK.
Inilah yang tampaknya ingin dijawab UU Nomor 18 Tahun 2013 dengan
mengusulkan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan (LP2H). Akan
tetapi, lembaga tersebut justru berpeluang menambah kerumitan.
Dimasukkannya fungsi pencegahan menjadikan lembaga ini tumpang tindih
peran dengan Kementerian Kehutanan. Dibatasinya peran LP2H hanya
sebatas penyidikan membuatnya tak lebih dari penyidik pegawai negeri sipil
(PPNS) Kemenhut yang saat ini ada. Padahal, kendala terbesar selama ini
adalah peran penuntutan yang tidak maksimal serta PPNS yang kerap
terhalang oleh penyidik Polri.
14
BAB III
A. ANALISIS
15
Manusia atas usul Menteri yang membawahi pegawai negeri tersebut.
Penyidik dari lingkungan Pegawai Negeri Sipil hanya berwenang
melakukan penyidikan tindak pidana yang tersebut dalam peraturan
perundang-undangan pidana khusus atau perundang-undangan
administrasi yang bersanksi pidana.
Secara lebih lengkap ketentuan mengenai tugas dan kewenangan
penyidik Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kementerian kehutanan
diatur dalam Peraturann Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985. Menurut Pasal
16 (2) Peraturann Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985, pejabat penyidik
Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan mempunyai wewenang :
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan dan wilayah
sekitar hutan (kring);
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan
pengangkutan: hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah sekitar
hutan (kring) dan daerahdaerah lain yang oleh Pemerintah daerah
ditentukan sebagai wilayah kewenangan Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tersebut untuk memeriksa hasil hutan;
c. menerima laporan tentang terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan dan kehutanan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana di bidang
kehutanan;
e. menangkap tersangka untuk diserahkan kepada penyidik Polri dalam
hal tertangkap tangan;
f. membuat dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak pidana
di bidang kehutanan
Berdasarkan kewenangan tersebut di atas maka pejabat penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan kehutanan dapat melakukan proses
penyidikan terhadap tindak pidana di bidang kehutanan dengan melakukan
semua proses penyidikan sampai pemberkasan atau membuat berita acara
penyidikan. Pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang kehutanan
memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil
penyidikannya kepada penuntut umum sesuai ketentuan dalam KUHAP
16
Dari ketentuan tersebut berarti bahwa pejabat penyidik Pegawai Negeri
Sipil di bidang kehutanan dapat melakukan penyidikan tanpa koordinasi
dengan penyidik Polri.
Di samping pejabat penyidik Pegawai Negeri Sipil, pejabat
penyidik Polri juga diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan
terhadap kasus-kasus kehutanan berdasarkan Pasal 6 (1) KUHAP juncto
Pasal 77 (1) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999. Demikian pula
dengan aparat kejaksaan juga mempunyai kewenangan menyidik tindak
pidana khusus, yaitu kasus-kasus korupsi termasuk korupsi dalam illegal
logging. Penyidik perwira TNI-AL atas dasar kerjasama dengan
Departemen Kehutanan juga mempunyai kewenangan serupa seperti
dalam rangka penyidikan terhadap penyelundupan kayu ilegal yang
merupakan bagian dari illegal logging.
Salah satu tahapan dan kewenangan penyidik dalam proses
penyidikan adalah melakukan penangkapan dan penahanan. Terhadap
tersangka pelaku kejahatan kehutanan dapat dikenakan penangkapan dan
penahanan. Menurut Pasal 1 butir 20 Kitab Undang Undang Hukum Acara
Pidana (Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981) yang dimaksud
penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan
sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat
cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau
peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Wewenang melakukan penangkapan terhadap pelaku kejahatan kehutanan
di samping ada di tangan penyidik Polri juga diberikan kepada penyidik
Pegawai Negeri Sipil di lingkungan Kementerian Kehutanan.
Menurut ketentuan Pasal 77 ayat (2) huruf f Undang Undang
Nomor 41 Tahun 1999 disebutkan bahwa penyidik Pegawai Negeri Sipil
Kehutanan berwenang melakukan penangkapan terhadap orang yang
diduga melakukan tindak pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan
dan hasil hutan (bidang Kehutanan). Bahkan dalam peraturan pelaksana
Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999, yaitu Peraturan Pemerintah
Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan disebutkan bahwa
17
"Polisi Kehutanan atas perintah pimpinan berwenang untuk melakukan
penyelidikan, dalam rangka mencari dan menangkap tersangka" (Pasal 36
ayat (3).
Jadi, Undang-undang Kehutanan dan peraturan pelaksananya telah
memberikan wewenang kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
dan polisi kehutanan atas perintah pimpinan untuk melakukan
penangkapan terhadap pelaku tindak pidana bidang kehutanan, namun
tidak diatur mekanismenya dan menyerahkannya kepada Kitab Undang
Undang Hukum Acara Pidana, sedangkan menurut Kitab Undang Undang
Hukum Acara Pidana pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh
petugas kepolisian negara Republik Indonesia (Pasal 18 ayat (1) Undang
Undang Nomor 8 Tahun 1981).
Ketidaklengkapan pengaturan mekanisme penangkapan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan dan polisi kehutanan dalam
undang-undang kehutanan menimbulkan perbedaan persepsi penerapannya
bahkan menyebabkan kewenangan tersebut "mandul" sehingga dalam hal
tidak tertangkap tangan maka Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan
masih meminta bantuan POLRI untuk melakukan penangkapan terhadap
tersangka tindak pidana bidang kehutanan meskipun polisi kehutanan dan
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan sebenarnya sudah memiliki
kewenangan itu. Setelah dilakukan penangkapan maka untuk kepentingan
proses penyidikan terhadap tersangka dapat dilakukan penahanan.
Apabila penyidikan telah selesai dilakukan, maka berkas perkara
oleh penyidik diserahkan kepada kejaksaan selaku penuntut umum.
Apabila pihak kejaksaan menyatakan berkas penyidikan sudah cukup
memenuhi syaratdalam istilah penyidikan disebut P21-maka oleh jaksa
kemudian dibuatkan surat dakwaan untuk selanjutnya dilimpahkan kepada
pengadilan negeri untuk disidang. Sebaliknya apabila berkas penyidikan
dinilai belum sempurna oleh jaksa, maka jaksa meminta kepada penyidik
untuk menyempurnakan dengan disertai petunjuk yang diberikan oleh
kejaksaan.
18
b. Penuntutan terhadap Pelaku Kejahatan Kehutanan
5
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan
Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 81
19
Dalam Undang-Undang P3H, adanya kewajiban penuntut umum
untuk melakukan penyidikan dengan maksud untuk mempercepat proses
penanganan perkara sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 39 huruf b
Undang-Undang P3H. Dalam hal-hal tertentu penyidik dengan suatu
alasan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 109 ayat (2) KUHAP, dapat
melakukan penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau
peristiwa tersebut ternyata bukan tindak pidana atau penyidikan dihentikan
demi hukum, dan selanjutnya penyidik memberitahukan penghentian
penyidikan tersebut kepada penuntut umum
20
merusak atau menghilangkan barang bukti atau mengulangi tindak pidana
lagi. Sedang terhadap barang bukti yang merupakan obyek tindak pidana,
pihak pengadilan dapat memutuskan dirampas untuk dimusnahkan atau
untuk negara. Dalam kejahatan di bidang kehutanan terhadap barang bukti
berupa kayu-kayu curian maka putusan hakim sebaiknya menyatakan
barang bukti disita untuk negara.
Untuk memberikan efek jera kepada pelaku atau calon pelaku yang
lain, maka pidana yang diterapkan terhadap tindak pidana di bidang
kehutanan harus dijatuhkan secara optimal dan syukur jika bisa dijatuhkan
secara maksimal. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa kejahatan
di bidang kehutanan menimbulkan dampak yang sangat luas, tidak saja
menimbulkan kerusakan hutan dan lingkungan, tetapi juga merugikan
negara dalam skala yang sangat besar.
Pengadilan adalah benteng terakhir keadilan, maka dalam
mengadili kasus (perkara) tindak pidana di bidang kehutanan para hakim
tidak boleh melakukan kolusi dan korupsi, karena dampak kejahatan ini
sangat luas. Di samping itu profesionalisme hakim dalam mengadili kasus
tindak pidana di bidang kehutanan harus baik agar dapat menjatuhkan
putusan yang tepat. Paling tidak para hakim harus menguasai modus
operandi dan teknikteknik yang sering digunakan oleh sindikat pencuri
kayu agar dapat menentukan ada tidaknya kesalahan mereka manakala
diperiksa di depan persidangan.
Lembaga peradilan di semua tingkatan harus ikut berperan serta
dalam memberantas kejahatan di bidang kehutanan. Jangan sampai terjadi
main mata antara hakim di lembaga peradilan dengan terdakwa atau
sindikat pencurian kayu di hutan agar upaya pemerintah untuk
memberantas tindak pidana di bidang kehutanan mendapat sambutan dari
lembaga peradilan. Upaya pemberantasan tindak pidana dibidang
kehutanan harus dilakukan melalui koordinasi yang erat antara aparat
penegak hukum, dalam arti mereka bersungguhsungguh untuk
memberantas kejahatan jenis ini karena menimbulkan kerugian yang
sangat besar dan luas.
21
2. Pelaksanaan Integreted Criminal Justice System Peradilan Tindak Pidana
Kehutanan.
22
meliputi proses penyidikan, penuntutan, pemeriksaan dipersidangan
hingga pada pelaksanaan putusan hakim. Ada pun sub sistem yang terkait
ialah penyidik, jaksa/penuntut umum, badan peradilan di lingkungan
peradilan umum, penasihat hukum, dan lembaga pemasyarakatan.6
6
Bandingkan V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana, Tinjauan Terhadap
Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, (Jakarta: Referensi, 2012), hlm. 251-254
23
3. Penyidik dengan pejabat pegawai negeri sipil;
4. Penyidik dengan penasihat hukum;
5. Penuntut umum dengan pengadilan;
6. Penuntut umum dengan pengadilan;
7. Jaksa, lembaga pemasyarakatan dan pengadilan;
8. Penasihat hukum dengan pengadilan.
7
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan Pelatihan Kejaksaan
Republik Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 81
8
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dalam Perspektif Hukum, PT. Gramedia
Pustaka Umum, Jakarta, 2005, hlm. 179
24
secara bolak-balik dari penyidik kepada penuntut umum atau sebaliknya.
Kondisi tersebut jelas akan sangat merugikan kepada tersangka, dimana hak-
hak tersangka jelas di atur oleh KUHAP yang salah satunya tersangka berhak
mendapat kepastian hukum.
Dengan adanya penambahan kewenangan penuntut umum untuk
melakukan penyidik maka akan memecah kebuntuan serta dapat
mempercepat proses penanganan perkara sebagaimana yang tertuang dalam
Pasal 39 huruf b Undang-Undang P3H. Oleh sebab itu, kewenangan penuntut
umum dalam melakukan penyidikan tentunya menjadi suatu keniscayaan
dalam upaya penyelesaian atau penanganan kasus-kasus perusakan hutan.
Akan tetapi, sejak disahkan dan diundangkannya Undang-Undang P3H pada
tanggal 6 Agustus 2013, fungsi kewenangan penyidikan dalam tindak pidana
perusakan hutan belum pernah dilaksanakan oleh penuntut umum karena
sampai saat ini belum terdapat kejelasan dalam peraturan pelaksana dari
ketentuan tersebut. Sedangkan urgensi pemanfaatan kewenangan tersebut
sangat diperlukan dalam menyelesaikan kebuntuan dalam proses penanganan
kasus perusakan hutan. Padahal dalam praktik kehidupan sehari-hari, setelah
dilakukan proses penyidikan terhadap perkara ternyata tidak bisa diteruskan
ke tahap penuntutan.
25
Dalam sistem peradilan pidana (sistem peradilan pidana), peran
aparatur penegak hukum, khusus penyidik, lengkap strategis. Penyidik
merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran
materiil. Melalui proses penyidikan upaya penegakan hukum berawal. Karena
itu, perlu bantuan penyidikan atas tindak lanjut perlu mendapat kebenaran,
tidak perlu terkait dengan mana yang menyatukan tetapi juga memerlukan izin
yang lebih luas, guna menghindari menarik menarik yang berpotensi
dilanggarnya rasa masyarakat.
26
b) Masih banyak peraturan-undangan yang berasal dari zaman Belanda
yang tidak dapat mengakomodir perkembangan yang ada, namun
eksistensinya tetap dipertahankan;
c) Masih ditemukan peraturan-undangan yang mengamanatkan segera
dibentuknya peraturan pelaksana belum selesai dibuat;
d) Masih ada undangan-undang yang substansinya tidak jelas sehingga
memunculkan multitafsir.
B. PEMECAHAN MASALAH
27
2. Menegakkan hukum dan,
3. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada
masyarakat
Dalam melaksanakan tugas salah satunya menegakkan hukum
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), diberikan kewenangan oleh
undangundang sebagai penegak hukum terhadap tidak pidana umum atau
kejahatan, termasuk penanganan tindak pidana khusus/tertentu. Penega
kan hukum dilakukan meliputi upaya penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana umum sebagaimana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) maupun tindak pidana tertentu atau khusus yang diatur dalam
Undang-undang Khusus
28
melaksanakan usaha pelindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang
diberikan wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi
sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang berada dalam satu
kesatuan komando.
29
VII/MPR/2000, tentang pelibatan TNI dalam urusan domestik Civic
Mission
- Instruksi Presiden Republik Indonesia (INPRES) Nomor 4 Tahun
2005 tentang Pemberantasan Penebangan Liar di Seluruh Wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Termasuk memerintahkan TNI
untuk melakukan pencegahan dan penangkapan terhadap terjadinya
penebangan liar illegal logging diseluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
- Kerjasama anatara Departemen Kehutanan dengan Mabes TNI dengan
Nomor : 51/II/PIK-I/ 2003 melakukan kegiatan menyelamatkan hutan
tropis Indonesia
Peranan institusi TNI yang dilakukan adalah melakukan upaya
pencegahan, sedangkan kewenangan TNI terbatas pada menerima laporan
dari masyarakat, melakukan penangkapan terhadap pelakunya untuk
dilimpahkan kepada penyidik, baik itu penyidik polri maupun pejabat
penyidik pegawai negeri sipil, peyidik kejaksaan terkait dengan tindak
pidana korupsi dibidang kehutanan ataupun penyidik perwira TNI
Angkatan Laut yang berada pada perairan diwilayah Zona Ekonomi
Eksklusif (ZEE) sesuai dengan ketentuan dan kewenangan yang diberikan
oleh Undang-undang yang menjadi dasar kewenangannya.
30
2013, untuk pembentukan lembaga/badan baru yang disebut Lembaga
Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H), hal ini
didasarkan pada ketentuan Pasal 54 ayat (1) dinyatakan bahwa; dalam
rangka pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan,
Presiden membentuk lembaga yang menangani pencegahan dan
pemberantasan perusakan hutan selanjutnya dalam ayat (2) Lembaga
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berkedudukan di bawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak
memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana
perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pem -
bentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha
pencegahan dan perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H,
diatur dalam ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55
dan Pasal 56 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan
dan pemberantasan Perusakan Hutan
Dalam upaya penanggulangan perusakan hutan, kerjasama dan
koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a
antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi
Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang
terstruktur dan terintegrasi.9 Upaya untuk dapat mengoptimalkan
pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter
berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.
9
Terintegrasi adalah sistem informasi pemberantasan perusakan hutan dapat diakses secara bersama
oleh lembaga-lembaga penegak hukum terkait dengan basis data yang terhubung satu sama lain, penjelsan Pasal
57 ayat 1 huruf d UU Nomor 18 Tahun 2013 Tentang P3H
31
2. Kebijakan Formulasi sebagai Upaya Pembenahan dalam
Mengoptimalkan Penegakan Hukum terhadap Kejahatan di Bidang
Kehutanan
32
polisi kehutanan, kejaksaan dan pengadilan tentunya dapat menghambat
penegakan hukum di bidang kehutanan. Bahkan dibidang teknologi modem
tidak tertutup kemungkinan sarana atau fasilitas yang dimiliki para pelaku
kejahatan di bidang kehutanan, yang tergolong dalam kejahatan yang kerah
putih (White Collar Crime), lebih canggih dari pada yang dimiliki oleh aparat
penegak hukum. Permasalahan ketiga ialah berkaitan dengan materi hukum
itu sendiri. Dalam kasus tertentu, hukum yang berlaku tidak dapat
dilaksanakan karena berbagai sebab, salah satunya karena sudah tidak sesuai
lagi atau ketinggalan dengan perkembangan jaman.
Penanganan Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan yang
optimal harus dilakukan dengan cara-cara yang luar biasa (extra ordinary),
salah satunya dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013, didalamnya
mengamanatkan pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (LP3H), lembaga khusus ini memiliki kewenangan tugas
dan fungsi dalam melakukan pencegahan dan pemberantasan perusakan
hutan. Lembaga khusus anti perusakan hutan ini, selain melakukan upaya
pencegahan, memiliki kewenangan juga dalam melakukan pemberantasan
atau penindakan terhadap tindak pidana perusakan hutan yang bersifat umum
maupun terorganisir, baik dari perbuatan langsung, tidak langsung, maupun
perbuatan yang terkait lainnya dengan perusakan hutan. Lembaga Pencegahan
dan Pemberantasan Perusakan Hutan (LP3H) dengan kewenangan tugas dan
fungsi pemberantasan dengan penegakan hukum yang konprehensif melalui
penyelidikan dan penyidikan, penuntutan dan proses peradilan yang cepat dan
terintegrasi, LP3H juga memiliki fungsi koordinasi dan supervisi terhadap
lembaga lain yang menangani tindak pidana dibidang kehutanan atau
perusakan hutan.
Pembentukan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H), sebagai penegasan dari reformulasi sepertinya tidak
memberikan efek jera dan tidak efektinya pemberantasan tindak pidana
perusakan hutan dari peraturan sebelumnya, sehingga diamanatkan pem -
bentukan kelembagaan Lembaga Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan
Hutan (LP3H) untuk menjamin efektifitas dan usaha pencegahan dan
33
perusakan hutan. Pembentukan lembaga atau badan P3H, diatur dalam
ketentuan yang terdapat pada ketentuan BAB V, Pasal 54, 55 dan Pasal 56
Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
pemberantasan Perusakan Hutan.
Dalam upaya penanggulangan perusakan hutan, kerjasama dan
koordinasi antar lembaga penegak hukum sangat diperlukan. Lembaga
penegak hukum yang dimaksud dalam penjelasan Pasal 56 ayat 1 huruf a
antara lain adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan
Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, PPNS, dan Polisi
Kehutanan. Lembaga atau instansi tersebut menjadi penegak hukum yang
terstruktur dan terintegrasi. Upaya untuk dapat mengoptimalkan
pemberantasan perusakan hutan yang terorganisir yang memiliki karakter
berbagai kepentingan ekonomi, sosial budaya dan politik.
34
BAB IV
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Bertititk tolak dari hal terswebut diatas, dilihat dari praktek yang terjadi
di Indonesia masih banyak kendala yang dihadapi untuk menciptakan suatu
Sistem peradilan Pidana tersebut agar Integreted (terpadu) dimana salah satu
kendala yang mencolok adalah belum maksimalnya keijasama yang terscipta
diantara sub-sistem dalam sistem peradilan pidana tersebut sehingga dalam
prakteknya akan mengakibatkan suatu efek bagi pelaksanaan istem peradilan
pidana secara menyeluruh. Peranan polisis dalam sistem ini adalah
mengumpulkan bukti-bukti untuk membantu Jaksa dalam proses pembuktian
sehingga jaksa dapat membuktikan dakwaannya, oleh sebab itu peranan polisi
yang hanya bertindak sebelum persidangan terjadi dan apabila terlibat itupun
hanya sebatas kesaksian dalam pembuktian dan itupun apabila diperlukan.
35
Konsepsi Integrated criminal justice sistem menghendaki adanya
keterpaduan antar komponen penegak hukum guna mencapai tujuan penegakan
hukum. Masing-masing komponen harus berangkat dari kebersamaan persepsi
dalam melaksanakan tatanan operasional agar tercapai tujuan bersama yaitu
mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Dengan demikian diharapkan benturan
kepentingan antar komponen dapat dihilangkan dan tiap-tiap komponen tidak
bekerja secara terkotak-kotak.
2. SARAN
36
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Hamzah, Andi, 2005, Penegakan Hukum Lingkungan, cetakan pertama, Sinar
Grafika, Jakarta
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan
Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia
Bandingkan V.V. Pillai, dalam Marwan Effendy, Sistem Peradilan Pidana,
Tinjauan Terhadap Beberapa Perkembangan Hukum Pidana, Jakarta:
Referensi, 2012
Mahfud Manan, Pengetahuan Dasar Hukum Acara Pidana, Pusat Diklat dan
Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 2010
Marwan Effendy, Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya Dalam Perspektif
Hukum, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2005
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April
2001
Jeremy Pope, Strategi Memberantas Korupsi, Jakarta: Transparency International
Indonesia, 2003
S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, STHM
, Jakarta:, 1996
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana Prenada, Jakarta
2014
JURNAL/MAKALAH/LAPORAN-LAPORAN
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Yuridika Vol.16, No.1, Maret-April
2001
Anthony O Nwator, Corporate Criminal Responsibility: A Comparative
Analysis, Journal African Law, Volume 57, Issue 01, April 2013
INTERNET
https://www.kompasiana.com/satriya1998/552023d6a33311d42bb67879/pr
o-dan-kontra-uu-pemberantasan-perusakan-hutan
37
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN :
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Tindak Pidana Pencucian Uang
UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi seperti
diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan (P3H)
Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(selanjutnya di sebut UUPLH) yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2009
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM
Inpres Nomor 4 Tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu secara ilegal
di Kawasan Hutan dan Peredarannya di seluruh wilayah Republik Indonesia
38