Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN KASUS BEDAH VASKULER

HEMORRHOID

Pembimbing:

dr. Adriansyah, Sp.B

Disusun oleh:

Assifa Ridzi Najiah

Dimas Widyanto

Indah Novika

Shella Arditha

KEPANITERAAN KLINIK STASE ILMU BEDAH

RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2018
BAB I
STATUS PASIEN

1.1 Identitas
 Nama : Ny. N
 Umur : 35 tahun
 Jenis kelamin : Wanita
 Nomor RM : 00-86-xx-xx
 Alamat : Cakung
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Agama : Islam

1.2 Anamnesis
Autoanamnesis pada 24 Agustus 2018
Keluhan Utama :
Nyeri pada anus sejak 3 hari SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang :


Tiga hari sebelum masuk rumah sakit pasien mengeluh nyeri pada anus sesaat setelah
BAB. Nyeri dirasakan terus - menerus dan berdenyut. Nyeri hanya dirasakan pada anus tanpa
penjalaran dan terasa lebih sakit saat tidur terlentang dan saat duduk. Nyeri berkurang setelah
pemberian obat melalui anus. Keluhan nyeri disertai dengan adanya benjolan pada anus.
Demam (-).

Dua mingu sebelumnya, timbul benjolan sebesar kelereng dari anus saat BAB, namun
tidak nyeri dan benjolan juga dapat dimasukkan kembali dengan jari. Pasien mengaku saat
BAB sering keluar darah menetes berwarna kemerahan. Nyeri pada daerah perut disangkal.
Penurunan berat badan drastis dalam setahun terakhir disangkal.

Adanya kesulitan buang air besar dan diare berkepanjangan disangkal. Pasien tidak
rutin BAB setiap hari.

Riwayat Penyakit Dahulu:

Pasien belum pernah mengalami keluhan yang sama. Riwayat hipertensi dan Diabetes
melitus disangkal.

1
Riwayat Penyakit Keluarga:

Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Alergi

Pasien tidak memiliki alergi apapun.

Riwayat Psikososial

Konsumsi sayur rutin setiap hari, namun jarang konsumsi buah. Asupan air minum
biasanya kurang dari 8 gelas per hari. Pasien terbiasa menggunakan toilet duduk di rumah.
Pasien memiliki 2 anak yang dilahirkan secara spontan di rumah sakit. Riwayat merokok dan
konsumsi alkohol disangkal.

1.3 Status Generalis


 Keadaan umum : tampak sakit ringan

 Kesadaran : Compos mentis

 Tanda Vital

o Tekanan Darah : 110/70 mmHg

o Heart Rate : 78 x/m

o Respiratory Rate : 20 x/m

o Temperature : 36.8°C

 Kepala : Normochepal

 Mata : Conjunctiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), Refleks cahaya +/+

 Telinga : Bentuk normal, liang telinga lapang, serumen (- / -)

 Hidung : Bentuk normal, sekret (- /-), krepitasi (- / -)


 Mulut : Bibir lembap, sianosis tidak ada, faring tidak hiperemis
 Leher : Pembesaran KGB (-), tidak teraba adanya benjolan
 Thorax :
Paru-paru

2
o Inspeksi : Bentuk thoraks simetris
o Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, vocal fremitus sama dikedua lapang paru
o Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
o Auskultasi : Vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

o Inspeksi : Ictus cordis tidak teraba


o Palpasi : Teraba ictus cordis di ICS V parasternal sinistra
o Perkusi : Redup
 Batas atas : ICS III parasternal sinistra
 Batas kiri : ICS V midclavicula sinistra
 Batas kanan : ICS V parasternal dextra
o Auskultasi : Bunyi jantung I-II regular murni, Murmur -/-, Gallop -/-
 Abdomen
o Inspeksi : datar, tidak tampak adanya kelainan
o Palpasi : supel, hepar dan lien tidak teraba, tidak ada nyeri tekan dan nyeri
lepas
o Perkusi : timpani
o Auskultasi : bising usus (+) normal
 Ekstremitas : Akral hangat, Capillary Refill Time < 2 detik, Edema (-/-)

1.4 Status Lokalis


 Regio anal
Inspeksi: benjolan pada anus di arah jam 7 berukuran 1x2 cm, hiperemis, dan
permukaan licin. Tidak ada luka, tidak ada pus. Tidak ada darah.
Palpasi : konsistensi benjolan kenyal. Nyeri tekan (+).

1.5 Diagnosis
 Hemorrhoid interna grade III

1.6 Terapi

3
Farmakoterapi:
 Suplemen serat
 Obat pencahar
 Analgetik
 Bioflavonoid

Rencana Tindakan
 Hemoroidektomy

1.8 Prognosis

Quo ad vitam : Bonam

Quo ad functionam : Bonam

Quo ad sanastionam : Dubia

4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Anus


Anus merupakan organ akhir di saluran gastrointestinal yang berfungsi sebagai tempat
pengeluaran sisa pencernaan makanan. Anus dihubungkan dengan rektum melalui kanalis
anal. Kanalis anal memiliki ukuran ± 4 cm dan dikelilingi oleh sfingter ani interna dan
eksterna. Di sepanjang kanalis anal ini terdapat linea dentata (pectinea) yang merupakan
pertemuan antara mukosa rektal dan mukosa anus yang berbeda. Mukosa rektal, proksimal
dari linea dentata terdiri atas epitel kolumner sementara mukosa anus, distal dari linea dentata
merupakan epitel skuamosa yang termodifikasi. Bagian atas linea dentata terdiri atas lipatan-
lipatan longitudinal mukosa rektal yang disebut columns of Morgagni yang dibentuk oleh
pleksus arteriovenosus di submukosa. Innervasi dari hemoroid interna terdiri atas saraf
parasimpatis dan simpatis tanpa nervus somatik, sementara innervasi hemoroid eksterna
berasal dari nervus somatik.

Bantalan fibrovaskular hemorrhoid berasal dari jaringan penyambung subepitelial di


5
dalam kanalis anal. Hemoroid interna memiliki 3 bantalan yang terletak umumnya pada
sebelah lateral kiri, posterior dan anterior kanan kanalis anal. Bantalan ini mengelilingi dan
membantu anastomosis distal antara arteri rektal superior dan vena rektalis superior, media
dan inferior.

Vena hemoroid eksterna ditemukan disekeliling anoderm. Drainase vena dari jaringan
hemoroid interna berakhir pada sistem porta melalui vena rektalis superior. Vena rektalis
inferior membawa drainase vena dari hemoroid eksterna ke vena kava inferior.

Fungsi utama dari kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses yang terbentuk
di tempat yang lebih tinggi dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol.

Peranan hemorrhoid masih dalam pengamatan. Hemorrhoid memiliki peranan penting


sebagai proteksi muskulus sfingter ani dan memastikan tertutupnya kanalis anal pada saat
6
peningkatan tekanan intraabdominal untuk mencegah inkontinensia. Hemorrhoid juga
berkontribusi terhadap 15 – 20% dari tekanan istirahat kanalis anal. Peningkatan tekanan
intraabdominal meningkatkan tekanan vena kava inferior dan bantalan vaskuler anal
membengkak dan mencegah kebocoran. Jaringan hemorrhoid juga dapat membedakan benda
padat, cair dan gas yang melalui kanalis anal.

2.2 Hemorrhoid
Penyakit hemorrhoid merupakan pembesaran dan dilatasi pleksus vena submukosa
anus dan perianal. Dilatasi ini sering terjadi setelah usia 50 tahun yang berkaitan dengan
peningkatan tekanan vena di dalam pleksus hemoroidalis. Secara global, prevalensi dari
hemorrhoid simptomatik diperkirakan berkisar 4.4% dari populasi. Di Amerika Serikat,
sepertiga dari 10 juta orang mengalami hemorrhoid. Pasien hemorrhoid sering berasal dari
golongan sosioekonomi yang menengah ke atas. Prevalensi kejadiannya meningkat bersama
usia.

Penurunan aliran balik vena dapat memprovokasi terjadinya hemorrhoid. Makanan


yang kurang berserat menyebabkan feses yang kecil dan keras sehingga dapat menyebabkan
naiknya tekanan saat defekasi. Naiknya tekanan di sekitar anus dapat menyebabkan
pembengkakan hemorrhoid. Kehamilan dan tingginya tekanan pada muskulus sfingter ani
dapat menyebabkn bengkaknya hemorrhoid. Terlalu lama duduk, atau kurangnya mobilitas
dapat menyebabkan masalah aliran vena balik relatif di area perianal hal ini juga
menyebabkan hemorrhoid. Struktur penyokong di daerah anal melemah bersama dengan
penuaan dan hal ini dapat memfasilitasi terjadinya prolaps hemorrhoid. Selain itu, konstipasi
dan regangan pada anus, hipertensi portal dan varises anorektal, kelainan genetik, diare
kronis, keganasan kolon, penyakit liver, obesitas, trauma medulla spinalis hilangnya tonus
otot rektal, episiotomi, IBD, dan hubungan seksual melalui anus dapat mencetuskan
hemorrhoid.

Patofisiologi pasti dari hemorrhoid belum diketahui, namun teori tentang bergesernya
canalis anal banyak diterima. Dari teori ini didapatkan bahwa penyakit hemorrhoid terjadi
saat jaringan penyokong dari bantalan anal mengalami deteriorasi atau disintegrasi.
Bendungan dan hipertrofi pada bantalan anus menjadi mekanisme dasar terjadinya hemoroid.
Pertama, kegagalan pengosongan vena bantalan anus secara cepat saat defekasi. Kedua,

7
bantalan anus terlalu mobile, dan ketiga, bantalan anus terperangkap oleh sfingter anus yang
ketat. Akibatnya, vena intramuskular kanalis anus akan terjepit (obstruksi). Proses
pembendungan diatas diperparah lagi apabila seseorang mengedan atau adanya feses yang
keras melalui dinding rektum. Beberapa kemungkinan penyebab terjadinya penyakit
hemorrhoid adalah:

1. Deteriorasi dari jaringan pengikat yang berada menempel pada otot.


2. Perpindahan atu prolaps dari jaringan hemorrhoid
3. Distensi abnormal dari anastomosis arteriovenosus di dalam bantalan anal
4. Dilatasi abnormal dari vena-vena di dalam pleksus venosus hemorrhoid interna.

Karena meregangnya mukosa atau kulit, dapat terbentuk jaringan sinusoid dan fibrosa yang
baru dan seiring dengan waktu, struktur anatomis yang menyokong muskulus submukosa
melemah, menyebabkan berlanjutnya prolaps dari jaringan hemorrhoid. Jaringan berlebih
tersebut bergerak turun ke ujung anus dan menyebabkan timbulnya gejala-gejala.

Gejala dari hemorrhoid biasanya terjadi akibat pembesaran hemorrhoid interna


dengan perdarahan sebagai gejala yang paling umum terjadi. Darah yang keluar dari anus
pada penyakit ini biasanya berwarna merah segar dan dapat ditemukan saat membasuh anus
pada tisu toilet atau menetes saat buang air besar. Darah biasanya tidak bercampur dengan
feses. Hemorrhoid interna juga menghasilkan mukus yang dapat menyebabkan rasa gatal dan
iritasi pada area perianal. Nyeri pada hemorrhoid biasanya terjadi akibat trombosis yang
terjadi pada hemorrhoid eksterna yang sering timbul sebagai nyeri akut di daerah perianal
yang membengkak. Nyeri pada hemorrhoid interna muncul apabila terjadi strangulasi atau
trombosis pada pembuluh darah di hemorrhoid interna. Nyeri pada pasien dengan penyakit
hemorrhoidal lebih sering terjadi pada pasien dengan fistula ani atau abses perianal.

Hemorrhoid dibagi dalam 4 derajat menurut keparahannya, yakni pada prolaps


hemorrhoid saat defekasi. Menurut klasifikasi Goligher: Derajat I, dimana bantalan anal
mengalami perdarahan namun tidak ada prolaps. Derajat II adalah kondisi prolaps
hemorrhoid melalui anus pada regangan tetapi hemorrhoid masuk kembali secara spontan.
Derajat III adalah ketika hemorrhoid prolaps melalui anus pada regangan (seperti pada saat
mengedan) dan perlu dimasukkan kembali dengan jari ke dalam anus. Derajat IV yaitu
kondisi hemorrhoid yang tidak dapat dimasukkan kembali ke dalam anus. Hemorrhoid
interna yang mengalami trombosis akut dan inkarserata, termasuk prolaps mukosa rektal
8
sirkumferensial juga merupakan hemorrhoid grade IV.

Pemeriksaan untuk menentukan hemorrhoid melibatkan anamnesis, pemeriksaan fisik


dan colok dubur. Pada anamnesis akan ditemukan gejala-gejala subjektif dan faktor risiko
seperti yang telah dibahas sebelumnya. Informasi tambahan yang mungkin penting adalah
hubungan antara gejala dan defekasi, apakah benjolan muncul saat defekasi dapat
dimasukkan kembali. Dalam pemeriksaan fisik, pada inspeksi harus dilihat kelainan lain
selain pembesaran jaringan fibrovaskular hemorrhoid seperti kondilomata, kelainan kulit,
skin tags, fisura ani, fistula ani, abses, neoplasma, papilla hipertrofik. Posisi pemeriksaan bisa
dilakukan pada posisi litotomi atau posisi dekubitus lateral kiri yang lebih nyaman bagi
pasien. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa saja tidak didapatkan massa yang menonjol di
dalam anus, karena bantalan fibrovaskular hemorrhoid bersifat compressible, kecuali telah
terjadi trombosis atau strangulasi pada hemoroid. Namun, pada colok dubur dapat teraba
adanya massa anorektal abnormal.

Bergantung pada usia, riwayat, gejala yang mengkhawatirkan, risiko kanker kolon dan
hasil pemeriksaan colok dubur, anuskopi, sigmoidoscopy, atau kolonoskopi harus dilakukan.
Pada pemeriksaan anuskopi, dapat ditemukan ukuran hemorrhoid, lokasi, derajat inflamasi
dan perdarahan. Anuskopi juga dilakukan sebagai cara terapi.

2.2.1 Tatalaksana Hemorrhoid

9
Keberhasilan tatalaksana pada hemorrhoid tergantung pada anamnesis pasien
yang meliputi seluruh faktor yang menyebabkan dan memperberat gejala hemorrhoidnya, dan
penanganan yang mengatasi keluhan simptomatik dan pelebaran hemorrhoid tersebut.
Tatalaksana hemorrhoid dibagi atas terapi konservatif, non bedah dan prosedur bedah.

 Konservatif

Modifikasi diet dan perilaku sehari-hari merupakan rekomendasi utama pada


pasien hemorrhoid. Diet yang dianjurkan bagi penderita hemorrhoid merupakan
makanan yang tinggi serat. Selain itu juga mengurangi mengedan atau berlama-
lama duduk di toilet saat defekasi. Penggunaan sitz bath beberapa kali sehari
mengurangi tekanan pada sfingter ani interna dan kanalis anal. Pemberian
analgesik, kortikosteroid, dan keratolitik hanya dapat mengurangi keluhan
subjektif pasien untuk beberapa waktu sehingga tidak disarankan untuk
penggunaan jangka panjang.

 Non Bedah
Tatalaksana non bedah termasuk di dalamnya ligasi karet, skleroterapi, koagulasi
inframerah, dan diatermi bipolar.
o Ligasi karet (Rubber band ligation) merupakan tatalaksana non bedah
pilihan untuk hemorrhoid derajat I, II dan III.Ligasi ini melibatkan proses
nekrosis jaringan yang diikat. Reaksi inflamasi yang dihasilkan membantu
proses refiksasi mukosa dan menghilangkan prolaps hemorrhoid. Hasil
dari ligasi ini adalah kembalinya bantalan hemorrhoid ke ukuran yang
lebih normal dan berkurangnya keluhan pasien. Kontraindikasi dari proses
ini adalah pasien dengan kelainan pembekuan darah atau pasien yang
mengonsumsi obat-obatan antiplatelet atau antikoagulan.
o Skleroterapi merupakan pilihan terapi untuk hemorrhoid interna grade I
dan II. Terapi ini meliputi menginjeksi sclerosant ke ruang submukosa dari
hemorrhoid yang dituju atau apeks dari hemorrhoid tersebut. Reaksinya
pada jaringan lunak menyebabkan trombosis dari pembuluh darah,
sklerosis dari jaringan penyokong dan refiksasi jaringan yang prolaps ke
balik jaringan muskularis rektal.

10
o Koagulasi inframerah. Tindakan ini dilakukan untuk hemorrhoid derajat
I dan II. Tiga hingga 4 pulsasi energi inframerah di berikan kepada
mukosa normal di atas jaringan hemorrhoid. Satu atau 2 hemorrhoid
ditatalaksana per sesi, dengan pengulangan sesi tiap 2 – 4 minggu. Reaksi
terjadi di mukosa, menghasilkan destruksi jaringan, koagulasi protein, dan
inflamasi yang berujung pada pembentukan scar dan fiksasi jaringan.
Namun tindakan ini memerlukan dana yang tinggi.
o Diathermi bipolar. Teknik ini dilakukan melalui anuskopi dan digunakan
pada hemorrhoid derajat I, II dan III. Alat diathermi bipolar ini
menghasilkan panas yang membuat koagulasi jaringan dan reaksi fibrotik
di daerah tersebut. Tindakan ini dilakukan berulang, terutama untuk lesi
yang lebih besar. Tingkat kesuksesannya 88% - 100%, namun
komplikasinya relatif tinggi. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
perdarahan, nyeri, pembentukan fistula, dan spasme otot sfingter interna.

 Bedah
o Hemorrhoidektomi eksisional
Teknik bedah digunakan ketika prosedur non bedah tidak memberikan
hasil. Teknik hemorrhoidektomi eksisional dikatakan lebih efektif dari
ligasi pada hemorrhoid derajat III, memiliki derajat rekurensi yang lebih
rendah, tetapi memberikan nyeri dan masa penyembuhan yang lama.
Terdapat banyak teknik pada hemoroidektomi eksisional.

o Hemorrhoid dearterialisasi transanal


Teknik ini merupakan teknik baru yang menggunakan Doppler untuk
mengidentifikasi cabang arteri rektalis distal dan suturing ligasi pembuluh
darah untuk mengurangi aliran darah ke bantalan hemorrhoid. Efek
postinflamasinya akan memberikan efek terapi.

2.2.2 Prognosis

11
Kebanyakan hemorrhoid akan teratasi dengan sendirinya atau dengan
terapi konservatif saja. Tetapi komplikasi seperti trombosis, infeksi sekunder,
ulserasi, abses, dan inkontinensia dapat terjadi. Tingkat kekambuhan dengan
terapi non bedah adalah sebesar 10 – 50% dalam 5 tahun, sementara dengan
prosedur bedah kurang dari 5%. Komplikasi pasca bedah yang dapat terjadi
meliputi, stenosis, perdarahan, infeksi, kekambuhan dan pembentukan fistula.

12
DAFTAR PUSTAKA

1. Brunicardi CF, et al. 2010. Schwartz’s Principle of Surgery, 9th ed. McGraw-Hill
Companies, Inc.: USA.
2. Gami, et al. 2011. Hemorrhoids – A Common Ailment among Adults, Causes and
Treatment: A Review. Int J Pharm Pharm Sci, Vol 3, Suppl 5, 5-12
3. Ganz R.A. The Evaluation and Treatment of Hemorrhoids: A Guide for
Gastroenterologist. Clinical Gastroenterology and Hepatology 2013;11:593–603.
4. Lohsiriwat V. 2012. Hemorrhoid: from basic pathophysiology to clinical
management. World J Gastroenterol 2012 May 7; 18(17): 2009-2017.\
5. Riss S,et al. 2012. The prevalence of hemorrhoid in adults. Int J Colorectal Dis (2012)
27:215–220.
6. Sanchez C, et al. 2011. Hemorrhoids. Clin Colon Rectal Surg 2011;24:5–13.
7. Thornton SC, et al. 2012. Hemorrhoids. Medscape.
http://emedicine.medscape.com/article/775407-overview#aw2aab6b2b5 Diakses
pada: 15- 07-2014.
8. Townsend, CM, et al. 2012. Sabiston Textbook of Surgery: The Biological Basis of
Modern Surgical Practice, 19th ed. Elsevier Inc.: Philadelphia.

13

Anda mungkin juga menyukai