Anda di halaman 1dari 10

TUGAS POKOK- POKOK PERANCANGAN KOTA

(SEJARAH PERKEMBANGAN KOTA)

OLEH

ELWALDUS SURYA MAHARDIKA MALO

(221 18 027)

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG
ABSTRAK

Setelah keluarnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berlaku untuk


seluruh wilayah Republik Indonesia, dibentuklah daerah- daerah otonom baru
di Indonesia. Walaupun dengan keluarnya undang-undang tersebut, Nusa
Tenggara Timur yang pada saat itu merupakan bagian dari Provinsi Nusa
Tenggara masih merupakan Provinsi administratif. Pijakan baru bagi
pembentukan daerah otonom baru di Indonesia, ditujukan melalui keluarnya
Undang-undang Nomor 1 tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan
Daerah. Dengan memperhatikan aspirasi masyarakat dan kemungkinan
pembentukan daerah otonom baru di Indonesia, Pemerintah Pusat
selanjutnya membentuk Panitia Pembangunan Daerah dengan Keputusan
Presiden Nomor 202/1956 yang bertugas mengadakan penelitian tentang
kemungkinan pembagian Provinsi Nusa Tenggara. Berdasarkan pertimbangan
Panitia dengan memperhatikan aspirasi rakyat Nusa Tenggara Timur saat itu,
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RIS nomor 21/1950
(Lembaran Negara RIS) Tahun 1950 nomor 59 Jo. Undang-undang Darurat
Nomor 9 Tahun 1954, Provinsi Nusa Tenggara Timur dibagi atas tiga daerah
tingkat I sesuai dengan semangat Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957.

PENDAHULUAN

Pulau Sumba adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Timur,


Indonesia. Luas wilayahnya 10.710 km², dan titik tertingginya Gunung
Wanggameti (1.225 m). Sumba berbatasan dengan Sumbawa di sebelah
barat laut, Flores di timur laut, Timor di timur, dan Australia di selatan dan
tenggara. Selat Sumba terletak di utara pulau ini. Di bagian timur terletak
Laut Sawu serta Samudra Hindia terletak di sebelah selatan dan barat. Secara
administratif, pulau ini termasuk wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pulau
ini sendiri terdiri dari empat kabupaten: Kabupaten Sumba Barat, Kabupaten
Sumba Barat Daya, Kabupaten Sumba Tengah, dan Kabupaten Sumba Timur.
Kota terbesarnya adalah Waingapu, ibu kota Kabupaten Sumba Timur. Kota
tersebut juga terdapat bandar udara dan pelabuhan laut yang
menghubungkan Pulau Sumba dengan pulau-pulau lainnya di Indonesia
seperti Pulau Sumbawa, Pulau Flores, dan Pulau Timor. Sebelum dikunjungi
bangsa Eropa pada 1522, Sumba tidak pernah dikuasai oleh bangsa
manapun. Sejak 1866, pulau ini dikuasai oleh Hindia Belanda dan selanjutnya
menjadi bagian dari Indonesia. Masyarakat Sumba secara rasial merupakan
campuran dari ras Mongoloid dan Melanesoid. Sebagian besar penduduknya
menganut kepercayaan animisme Marapu dan agama Kristen, baik Protestan
maupun Katolik. Kaum muslim dalam jumlah kecil dapat ditemukan di
sepanjang kawasan pesisir.

Figure 1 peta pulau sumba

Asal-usul nama pulau Sumba berjalinkelindan antara tradisi lisan masyarakat


lokal dan sejarah yang ditulis oleh para penjelajah Eropa dan armada perang
patih Gajah Mada. Para penjelajah Eropa memberi sebutan yang berbeda-
beda berdasarkan pengamatan mereka terhadap kekayaan dan keunikan
alam Sumba. Hingga kini ada beberapa sebutan untuk pulau Sumba antara
lain; pulau Humba, pulau Sumba, pulau Subao, pulau Cendana atau pulau
Sandelwood.Catatan sejarah yang pertama kali menyebut nama pulau Sumba
muncul pada abad ke 14 di Kerajaan Majapahit. Pada jaman Majapahit di
Jawa Timur ada seorang raja yang berkuasa namanya Hayam Wuruk. Hayam
Wuruk mempunyai patih atau orang kepercayaan namanya Gajah Mada. Pada
tahun 1350, Gajah Mada mengucapkan janji bahwa ia tidak akan makan
palapa sebelum mempersatukan nusantara.Pada tahun-tahun itu armada
Gajah Mada menaklukan Sumatera, Kalimantan lalu menuju pulau-pulau
sebelah timur dari pulau Seram, Timor hingga Larantuka (Flores timur). Di
daerah Riang Puho, kecamatan Tanjung Bunga, Flores Timur terdapat bekas
telapak kaki pada sebuah batu yang ukurannya lebih lebar dari manusia.
Dalam tradisi lisan masyarakat sekitar meyakini bahwa itu adalah bekas
telapak kaki Gajah Mada. Sesudah menaklukan Larantuka, armada Gajah
Mada melakukan perjalanan pulang ke tanah Jawa. Dalam perjalanan pulang
mereka menaklukan Bima, Sumbawa dan Bali.Pada tahun 1357 armada Gajah
Mada menaklukan Dompu (Sumbawa). Diperkirakan pada saat yang sama,
Gajah Mada menaklukan Sumba. Hal ini nampak dari buku Negarakertagama
yang ditulis oleh seorang pujangga bernama Empu Prapanca. Buku itu
mendaftar nama-nama pulau yang ditaklukan oleh armada Gajah Mada,
termasuk nama pulau dibagian timur pulau Jawa.

METODE PENILITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian rasionalistik yang dilakukan secara


deskriptif-kualitatif, dengan melakukan kajian terhadap literatur untuk
membentuk sebuah landasan konseptual. Landasan konseptual ini kemudian
menjadi asumsi dasar atau paradigma dalam mengkaji data-data empirik.
Perkembangan yang terjadi sumba barat bukanlah sesuatu yang besar
dikarenakan sampai saat ini belum terjadi banyak perubahan dari masa
pemerintahan pertama hingga sekarang.
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

1. SEJARAH
Kota waikabubak adalah kecamatan dan merupakan ibu kota dari
sumba barat, Nusa tenggara timur- Indonesia. Waikabubak merupakan
kota terbesar kedua dipulau sumba setelah waingapu, kabupaten
sumba timur, luas wilayah 44,71 km² dengan jumlah penduduk 721
jiwa/km², kota waikabubak memiliki 6 kelurahan dan 7 desa. Dahulu
pulau sumba hanya memiliki 2 kabupaten yaitu kabupaten sumba barat
dan sumba timur, hingga tahun 2007 sumba barat kebudian mekar dan
membagi diri sehingga muncullah sumba barat daya dan sumba
tengah. Saat bangsa Belanda pertama kali datang ke Sumba Barat
pada permulaan abad ke 20, mereka menggunakan militer Belanda
untuk memerintah Sumba Barat. Dalam masa pemerintahan Hindia
Belanda, Pulau Sumba dibagi dua bagian yaitu Sumba Barat dan
Sumba Timur. Pada masa itu Sumba Barat dipimpin oleh J.J.
Barendzen, yang pemerintahannya berlangsung sejak 1 januari 1910
s/d 19 april 1913. Saat itu Sumba Barat dibagi menjadi dua wilayah
yakni: Sumba Barat Utara yang meliputi wilayah Kodi, Loura dan
Mamboro, dengan ibu kota Karuni. Sumba Barat Selatan yang meliputi
wilayah Wanokaka, Loli, Wewewa, Lamboya, Anakalang, dan Umbu
Ratu Nggay dengan ibu kota Waikabubak. Pembagian ini dimaksud
untuk mempermuda dan memperlancar strategi perang, karena
pemerintah Belanda bermaksud membentuk swapraja-swapraja di
seluruh Sumba sesuai Korte Verklaring. Jadi, pada permulaan yang
berkuasa di Sumba Barat adalah Pemerintah Militer Belanda.Dalam
masa Pemerintahan J.J. Barendzen inilah diadakan pembuatan jalan
raya yang menghubungkan Waikabubak dan Karuni. Sedangkan jalan
raya yang menghubungkan Waikabubak dan Sumba Timur dibuat
kemudian oleh penggantinya. Pembagian wilayah Sumba Barat ini
berlangsung hingga meletusnya perang dunia ke I, bahkan beberapa
tahun sejak perang dunia ke I, Karena pada saat itu yang memegang
pemerintahan adalah militer Belanda.Pada masa itu Pemerintahan
Hindia Belanda memberikan kewajiban yang cukup berat kepada
masyarakat Sumba Barat. Penduduk Sumba Barat saat itu diwajibkan
membayar pajak yang dikenal dengan nama blasting dan wajib kerja
jalan (kerja rodi).

Figure 2 sumba barat saat masa penjajahan belandan

2. TOPOGRAFI
Kabupaten Sumba Barat berupa pesisir, rangkaian pegunungan dan
bukit-bukit kapur yang curam. Sebagian besar wilayah pesisirnya
berada di bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia.
Ketinggian wilayahnya antara 0-800 meter di atas permukaan air laut
(mdpl) dengan karakteristik wilayah yang sama dengan wilayah lain di
Pulau Sumba tergolong kering. Jenis tanah di Kabupaten Sumba Barat
umumnya mediteran dengan jenis batuan batu gamping dengan
kemiringan lahan 14°-40°. Sebanyak 94,34% wilayah Kabupaten
Sumba Barat digunakan sebagai lahan kering.
3. IKLIM DAN HIDROLOGI
Kabupaten Sumba Barat memiliki iklim tropis basah dan kering (Aw)
dengan dua musim, yaitu musim kemarau dan musim hujan. Musim
hujan di Kabupaten Sumba Barat berdurasi relatif singkat yakni pada
bulan Desember–Maret dibandingkan musim kemarau yang
berlangsung sangat panjang yakni sejak awal bulan April hingga
pekan-pekan pertama di bulan November. Curah hujan tahunan cukup
rendah yakni berkisar antara 800–1300 mm per tahun dengan hari
hujan sekitar 70-130 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar 25 °C -
33 °C dengan suhu minimum 21,8 °C dan maksimum 33,9 °C di musim
kemarau. Sungai-sungai yang melintasi wilayah ini yaitu Sungai
Wanokaka (Sungai Labariri), Sungai Kadengar, Sungai Kalada, dan
Sungai Watupanggata.
4. JUMLAH PENDUDUK
Penduduk Kabupaten Sumba Barat pada tahun 2019 tercatat 148.916
jiwa, mengalami pertumbuhan sebesar 1,7% dari tahun sebelumnya,
dengan jumlah rumah tangga pada tahun 2015 sebanyak 22.929
rumah tangga. Kepadatan penduduk Kabupaten Sumba Barat pada
tahun 2015 sebesar 168 jiwa/km2, dengan Kecamatan Kota
Waikabubak merupakan daerah terpadat penduduknya dengan 712
jiwa/km² dan Kecamatan Lamboya Barat merupakan daerah terjarang
penduduknya dengan 50 jiwa/km².
5. AGAMA DAN SUKU
Berdasarkan data BPS Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2019,
mayoritas agama penduduk Kabupaten Sumba Barat adalah pemeluk
Kristen Protestan 63,01%, kemudian Katolik 27,80%, Islam 8,95%,
dan sebagian kecil memeluk agama Hindu 0,24%.[4] Namun masih
banyak warga Sumba Barat yang meyakini ajaran tradisional Marapu
sebagai keyakinan turun temurun warga sekitar. Kenyataan ini
diakibatkan karena masih kuatnya pengaruh adat-istiadat. Selain itu di
kabupaten ini masih terdapat masyarakat terasing, yaitu suku bangsa
Balikeda di desa Dokakaka, Kecamatan Loli.
6. PEREKONOMIAN
Secara tradisional (renca) sebagian besar penduduk di kabupaten ini
bergantung hidup pada sektor pertanian. Karena keadaan tanahnya,
tanaman cokelat dan tembakau dapat tumbuh di areal seluas 110
hektare dan 2.280 hektare. Sektor peternakan juga merupakan nafkah
tambahan utama penduduk setempat. Kerbau banyak digunakan
dalam pelaksanaan upacara adat. Selain itu kerbau juga digunakan
untuk menggarap tanah pertanian.
7. BUDAYA
Di Kabupaten Sumba Barat masih bisa ditemukan daerah-daerah yang
memiliki nilai historis, baik dari segi sejarah maupun sosial budayanya.
Kampung Kadung Tana, Watu Karagata dan Bulu Peka Mila merupakan
daerah yang terdapat makam-makam megalitik. Juga di desa Tarung
yang berjarak setengah kilometer dari Kota Waikabubak, terdapat
makam megalitik yang bercirikan tanduk kerbau dan taring-taring babi
yang pada masa lalu merupakan hewan sakral. Di Kecamatan Lamboya
dan Kecamatan Wanokaka sering dilaksanakan acara perang tanding di
atas kuda atau pasola pada bulan Februari dan Maret. Pasola adalah
keterampilan menunggang kuda sambil melemparkan tombak kayu
berujung tumpul yang di arahkan ke tubuh lawan. Sebelum upacara
tersebut berlangsung, diadakan terlebih dahulu acara Nyale, yaitu
mencari sejenis cacing yang terdapat di antara batu-batu di tepi pantai
saat menjelang subuh kala purnama mulai muncul dan kemudian akan
dimakan.

BERKEMBANGNYA SUMBA BARAT

Sumba barat dahulunya merupakan kota yang besar, namun saat terjadi
pemekadran pada tahun 2007 sumba barat atau kota waikabubak membagi
diri, berkembangnya kota waikabubak kebanyakan melalui hasil dari
pariwisatanya. Berkembangnya kota waikabubak banyak dilihat dari zaman
pemerintahan bupati yulianus poteleba, dimasa pemerintahannya sudah mulai
banyak Gedung- Gedung besar yang dibangun, dimulai dari pembangunan
ulang kantor- kantor daerah disumba barat dan setelah itu membangun
infrastruktur yang berguna mnghibur masyarakat sumba barat seperti taman,
dan lain- lain. Kemudian pada masa jabatan Drs. Agustinis niga dapawole,
mulailah semakin terlihat berkembangnya kota waikabubak, dari sarana
prasara, fasilitas- fasilitas kota, dan semakin banyak Gedung- Gedung baru
yang dibuat, dengan adanya fasilitas- fasilitas tersebut membuat kota
waikabubak, sumba barat lebih terlihat hidup.

SEGI PENDIDIKAN

Dari segi Pendidikan kota waikabubak merupakan salah satu kota yang
tertinggal, fasilitas- fasilitas Pendidikan masih kurang dan membuat banyak
anak- anak malas sekolah selai fasilitas yang kurang anak- anak lebih memilih
untuk membantu orang tuanya bekerja disawah dan lading untuk kebutuhan
ekonomi mereka.

SEGI EKONOMI

Dipandang dari segi ekonomi kota waikabubak juga dilihat sangat


memprihatinkan karena dituntut oleh adat dan budaya yang masih kental,
pengaruhnya budaya dalam ekonomi kota waikabubak sangatlah besar, untuk
memperkecil hal yang tidak diinginkan perintah daerah kota waikabubak
membuat kebijakan yang dimana untuk urusan adat saat penyembelian
hewan dan mahar nikah dibatasi, namun hal itu tidak berlangsung lama
dikarenakan masih banyak warga sumba barat yang memegang teguh adat
dan budaya dari nenek moyang.

KESIMPULAN

Berkembangnya suatu wilayah kota bukanlah merupakan dari sebelah pihak


saja, malaikan kerja sama dari pemerintah dan masyarakatnya, begitulah
yang terjadi di sumba barat hingga saat ini. Banyak masyarakat yang masih
memegang teguh adat dan budaya dan melupakan peraturan pemerintah
yang telah disah kan oleh pemda. Selain itu juga banyak anak- anak generasi
kota waikabubak yang tak tau bagaimana menerima perkembangan yang
terjadi akibatnya perkembangan yang ingin diwujudkankan pemerintah
menjadi naik turun.

DAFTAR PUSTAKA

Pemda kabupaten sumba barat

www. Wikipedia. Com

https://cserbaserbi.blogspot.com/2012/05/about-me.html

sumba barat bersuara

Anda mungkin juga menyukai