Anda di halaman 1dari 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem respirasi pada manusia terdiri dari jaringan dan organ tubuh yang

merupakan parameter kesehatan manusia. Respirasi adalah suatu peristiwa ketika

tubuh kekurangan oksigen (O2) dan O2 yang berada di luar tubuh dihirup (inspirasi)

melalui organ pernapasan (Syaifuddin, 2011). Menurut Chang, Daly, dan Elliott

(2009), fungsi primer pernapasan adalah menyediakan oksigen (O2) untuk seluruh

proses metabolisme, yang dikirim ke sel dan jaringan tubuh (oksigenasi), dan

mengeluarkan karbon dioksida (CO2) dari limbah metabolisme (ventilasi) yang

berbentuk gas. Jika salah satu sistem respirasi terganggu maka sistem lain yang

bekerja dalam tubuh akan terganggu. Hal ini dapat menimbulkan terganggunya proses

homeostasis tubuh dan dalam jangka panjang dapat menimbulkan berbagai macam

penyakit.

Menurut Susanto, Prasenohadi, dan Yunus (2010), diperkirakan ratusan ribu

sampai jutaan penduduk dunia terkena penyakit paru setiap tahun dan hal tersebut

menyebabkan 19% penyebab kematian di seluruh dunia dan 15% penyebab kecacatan

sepanjang hidup. Menurut proyeksi WHO tahun 2020 infeksi saluran napas bawah,

tuberkulosis, TB-HIV termasuk 10 penyebab masalah kesehatan masyarakat di dunia.

Sedangkan di Indonesia penyakit pernapasan merupakan penyebab kesakitan dan

kematian terbanyak, menduduki 10 besar peringkat utama dengan variasi penyakit

dari infeksi pernapasan akut (ISPA), bronkitis kronik, penyakit paru obstruksi kronik
(PPOK), asma, emfisema sampai kanker paru. Berdasarkan data Kemenkes RI

(2013), prevalensi penduduk Indonesia oleh tenaga kesehatan tahun 2013 yang

didiagnosis TB paru 0.4 persen, ISPA 13.8 persen, Pneumoni 1.6 persen, Asma 4.5

persen, PPOK 3.7 persen, dan di Bali yang didiagnosis TB adalah 0.1 persen, ISPA

12.2 persen, Pneumoni 0.8 persen, Asma 6.2 persen, PPOK 3.5 persen.

Berdasarkan data dari RSUD Wangaya, pada tahun 2013 jumlah pasien

dengan gangguan pernapasan adalah 326 orang yang menjalani rawat inap, dengan

efusi pleura 24 orang, asma 41 orang, PPOK 74 orang, bronkitis 5 orang, pneumoni

43 orang, dan tuberkulosis 30 orang. Tahun 2014 jumlah pasien dengan gangguan

pernapasan adalah 293 orang yang menjalani rawat inap, dengan efusi pleura 17

orang, asma 18 orang, PPOK 51 orang, bronkitis 2 orang, pneumoni 44 orang, dan

tuberkulosis 21 orang. Tahun 2015 jumlah pasien dengan gangguan pernapasan

adalah 321 orang yang menjalani rawat inap, dengan efusi pleura 14 orang, asma 47

orang, PPOK 50 orang, pneumoni 53 orang, dan tuberkulosis 21 orang.

Menurut Nursalam (2008), diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan

yang menjelaskan respon manusia (status kesehatan atau risiko perubahan pola) dari

individu atau kelompok di mana perawat secara akutanbilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan, menurunkan,

membatasi, mencegah dan mengubah. Menurut Herdman (2012), diagnosa

keperawatan yang lazim terjadi pada pasien dengan gangguan pemenuhan kebutuhan

oksigenasi diantaranya adalah    ketidakefektifan bersihan jalan nafas, ketidakefektifan

pola nafas, dan gangguan pertukaran gas.

2
Setiap penyakit sistem pernapasan diawali oleh gejala tertentu. Berdasarkan

acuan 10 besar penyakit di Indonesia, yang didominasi oleh tuberkulosis, asma,

PPOK, ISPA, dan pneumoni memiliki tanda dan gejala. Tuberculosis memiliki gejala

batuk selama 2 minggu atau lebih, batuk berdahak, dahak bercampur darah, sesak

nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam lebih dari 1 bulan. ISPA diawali

dengan panas disertai salah satu atau lebih gejala seperti tenggorokan sakit atau nyeri

telan, pilek, batuk kering atau berdahak. Asma memiliki gejala gangguan pernapasan

(sesak), batuk berdahak terutama pada malam hari atau menjelang pagi, dan dada

terasa tertekan. Pneumonia dengan gejala panas tinggi disertai batuk berdahak, napas

cepat (frekuensi nafas >50 kali/menit), sesak, dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah

dan nafsu makan berkurang). PPOK diawali dengan sesak napas yang bertambah

ketika beraktifitas dan/atau bertambah dengan meningkatnya usia disertai batuk

berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak (Kemenkes RI,

2013).

Masalah keperawatan yang lazim muncul berdasarkan gejala dari masing-

masing penyakit pernapasan, seperti pada pasien asma, tuberkulosis, ISPA,

pneumoni, maupun PPOK adalah ketidakefektifan bersihan jalan napas.

Ketidakefektifan bersihan jalan napas merupakan ketidakmampuan pasien untuk

membersihkan sekresi atau obstruksi saluran napas untuk mempertahankan bersihan

jalan napas. Ketidakefektifan bersihan jalan napas ditandai dengan adanya suara

napas tambahan, perubahan frekuensi napas, sianosis, kesulitan berbicara, penurunan

bunyi napas, dispneu, sekret dalam jumlah yang berlebih, tidak batuk atau batuk yang

3
tidak efektif, gelisah dan mata terbuka lebar (Herdman, 2012). Ketidakefektifan

bersihan jalan napas yang tidak ditangani akan berdampak pada hiperinflasi paru,

abnormalitas ventilasi-perfusi, dan perubahan kadar oksigen serta karbon dioksida

dalam darah arteri (Chang, Daly, dan Elliott, 2009).

Berdasarkan kharakteristik dari gejala yang ditimbulkan dari penyakit asma,

tuberkulosis, ISPA, pneumoni, maupun PPOK lebih didominasi oleh batuk berdahak.

Batuk merupakan proteksi utama pasien terhadap akumulasi sekret dalam bronki dan

bronkiolus (Smeltzer, 2001). Gerakan batuk ini yang kemudian dimanfaatkan

kalangan medis sebagai terapi batuk efektif untuk menghilangkan lendir yang

menyumbat saluran pernapasan akibat sejumlah penyakit. Menurut Uliyah dan

Hidayat (2008), latihan batuk efektif merupakan cara melatih pasien yang tidak

memiliki kemampuan batuk secara efektif untuk membersihkan jalan napas (laring,

trakea, dan bronkiolus) dari sekret atau benda asing.

Menurut Potter dan Perry (2005), batuk efektif dilakukan dengan tujuan untuk

meningkatkan ekspansi paru-paru, memobilisasi sekret, dan mencegah efek samping

dari penumpukan sekret. Menurut Somantri (2007), batuk yang tidak efektif akan

dapat menyebabkan efek yang merugikan pada pasien, seperti kolaps saluran napas,

ruptur dinding alveoli, dan pneumotoraks, sehingga dibutuhkan tindakan

keperawatan. Peran perawat dibutuhkan dalam merencanakan tindakan keperawatan

dan melaksanakan perencanaan batuk efektif yang dibuat dan diaplikasikan ke pasien

dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas.

Berdasarkan hasil studi pendahuluan di Ruang Cendrawasih RSUD Wangaya,

dari 5 pasien dengan gangguan pernapasan yang ada pada rencana keperawatan 3

4
dokumen menunjukkan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas,

dan dari ketiga dokumen tersebut menunjukkan 2 pasien dengan diagnosa empiema

dan efusi pleura dibuatkan perencanaan batuk efektif. Dari kedua dokumen pada

lembar implementasi tidak menunjukkan adanya pendokumentasian pelaksanaan

tindakan keperawatan pemberian batuk efektif. Berdasarkan permasalahan tersebut

peneliti tertarik untuk meneliti mengenai gambaran rencana dan pelaksanaan batuk

efektif pada pasien dengan ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang

Cendrawasih RSUD Wangaya tahun 2016.

B. Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan suatu

permasalahan yaitu “Bagaimanakah gambaran rencana dan pelaksanaan batuk efektif

pada pasien ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang Cendrawasih RSUD

Wangaya tahun 2016?”

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui gambaran rencana dan pelaksanaan batuk efektif pada pasien

ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang Cendrawasih RSUD Wangaya tahun

2016.

2. Tujuan khusus

5
a. Mengidentifikasi rumusan masalah ketidakefektifan bersihan jalan napas

berdasarkan berdasarkan diagnosa medis di Ruang Cendrawasih RSUD Wangaya

tahun 2016.

b. Mengidentifikasi rencana keperawatan pemberian batuk efektif pada pasien

dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas di Ruang

Cendrawasih RSUD Wangaya tahun 2016.

c. Mengidentifikasi pelaksanaan tindakan keperawatan pemberian batuk efektif

pada pasien dengan diagnosa keperawatan ketidakefektifan bersihan jalan napas

di Ruang Cendrawasih RSUD Wangaya tahun 2016.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pengembangan teori

keperawatan khususnya yang berkaitan dengan pemberian batuk efektif dalam

pengeluaran sekret pada pasien ketidakefektifan bersihan jalan napas.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumber data untuk penelitian

selanjutnya dengan kuantitas dan kualitas yang lebih baik.

2. Manfaat praktis

a. Bagi peneliti

Suatu pengalaman dan pengetahuan dalam melakukan penelitian sehingga dapat

meningkatkan wawasan dan keterampilan dalam melakukan penelitian.

6
b. Bagi perawat

Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam upaya

menerapkan pemberian batuk efektif pada pasien ketidakefektifan bersihan jalan

napas.

c. Bagi pasien

Penelitian ini diharapkan menambah wawasan dalam memupuk sikap yang benar

dan aktif dalam melakukan perawatan yang dijalankan, serta bermanfaat dalam

mencegah efek samping dari retensi sekret dengan batuk efektif pasien

ketidakefektifan bersihan jalan napas tidak harus mengeluarkan banyak tenaga

untuk mengeluarkan sekret.

Anda mungkin juga menyukai