Anda di halaman 1dari 35

REFERAT ILMU KESEHATAN ANAK

ANEMIA DEFISIENSI BESI

Disusun oleh :
Nita Rahmatunnisa 1102011196

Pembimbing :
dr. Nurvita Susanto, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

RSUD SOREANG
FEBRUARI 2016

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

1. Anemia Defisiensi Besi


1.1. Definisi Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan karena kekurangan


besi yang digunakan untuk sintesis hemoglobin (Hb) 1

Defisiensi besi merupakan defisiensi nutrisi umum di seluruh dunia dan


merupakan masalah kesehatan yang penting terutama di negara berkembang.
Berdasarkan data WHO 2001, 30% anak usia 0-4 tahun dan 48% anak usia 5-14
tahun di negara-negara berkembang menderita anemia.2

Di Indonesia sendiri, Anemia defisiensi besi (ADB) masih merupakan suatu


masalah kesehatan. Hasil survai rumah tangga tahun 1995 ditemukan 40,5% anak
balita dan 47,2% anak usia sekolah menderita ADB. Anemia defisiensi besi dapat
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi antara lain berupa gangguan fungsi
kognitif, penurunan daya tahan tubuh, tumbuh kembang yang terlambat,
penurunan aktivitas, dan perubahan tingkah laku.3

1.2. Etiologi

Penyebab paling umum dari ADB diamati pada anak-anak termasuk


kurangnya asupan bersama dengan pertumbuhan yang cepat, berat badan lahir
rendah serta gangguan pencernaan akibat konsumsi berlebihan susu sapi. Pada
periode intrauterine, satu-satunya sumber zat besi adalah besi yang dialirkan
melalui plasenta. Pada periode akhir kehamilan, jumlah total besi pada janin
adalah 75 mg / kg. Anemia fisiologis terjadi pada periode postnatal dan simpanan
besi yang tersedia cukup untuk melakukan eritropoiesis dalam 6 bulan pertama
kehidupan jika tidak ada kehilangan darah yang signifikan. Pada bayi berat lahir
rendah dan pada bayi dengan kehilangan darah sebelum kelahiran, cadangan besi
habis lebih awal, karena cadangan tersebut lebih kecil. Jumlah zat besi dalam ASI
berada pada tingkat tertinggi pada bulan pertama, tetapi menurun secara bertahap
dalam periode berikutnya dan berkurang hingga 0,3 mg / L kira-kira pada bulan
kelima. Namun, jumlah ini bervariasi dari individu ke individu. Telah terbukti
bahwa diet ibu tidak mempengaruhi jumlah zat besi dalam ASI. Meskipun jumlah
zat besi yang diterima dari ASI biasanya rendah, penyerapannya cukup tinggi
(50%). Hal ini diketahui bahwa makanan lain yang diberikan selama 6 bulan
pertama selain ASI mengganggu penyerapan zat besi dalam ASI. Oleh karena itu,
makanan ini harus diberikan pada waktu makan yang terpisah. Dikayini bahwa
penyerapannya tinggi, tetapi lebih rendah dari jumlah yang diperlukan untuk
pertumbuhan. Dengan demikian, bayi menggunakan besi dari cadangan besi yang
ada dalam 6 bulan pertama sampai jumlah zat besi yang diterima dari makanan
meningkat.2

Makanan padat yang diberikan setelah bulan ke-6 harus kaya terutama zat
besi, zinc, fosfor, magnesium, kalsium dan vitamin B6. Menurut data WHO, 98%
dari kebutuhan zat besi pada bayi berusia 6-23 bulan harus dipenuhi oleh makanan
padat. Makanan padat harus mencakup produk yang kaya seperti daging, ikan,
telur dan vitamin C untuk memenuhi kebutuhan zat besi ini. Kesalahan lain yang
terjadi pada bayi menyusui yaitu memberikan susu sapi yang berlebihan pada
waktu awal. Pada bayi, kehilangan darah kronis dapat diamati dalam kaitannya
dengan protein yang sensitif terhadap pabas yang terdapat dalam susu sapi. Selain
itu, penyerapan zat besi dalam susu sapi jauh lebih rendah dibandingkan dengan
ASI. Susu sapi akan menggantikan makanan kaya besi, oleh sebab itu kalsium dan
caseinophosphopeptides dalam susu sapi dapat mengganggu penyerapan zat besi.
Jika bayi diberi makan dengan makanan dengan kandungan besi yang rendah
setelah bulan ke-6 ketika mereka menguras hampir semua cadangan besi mereka,
kekurangan zat besi berkembang dengan mudah.2

Pada pasien dan terutama pada anak-anak yang lebih tua, kehilangan darah
sebagai penyebab harus dipertimbangkan, jika asupan yang tidak memadai dapat
disingkirkan atau ada respon yang memadai untuk pengobatan besi oral. Anemia
defisiensi besi kronis yang berkembang dengan perdarahan tersembunyi diamati
dengan tingkat yang relatif rendah pada anak-anak dan dapat terjadi sebagai akibat
dari masalah pencernaan termasuk ulkus peptikum, divertikulum Meckel, polip,
hemangioma atau penyakit inflamasi usus. Kehilangan darah yang tidak disadari
mungkin jarang berhubungan dengan penyakit celiac, diare kronis atau
hemosiderosis paru; diagnosis banding dapat dibuat dengan melihat riwayat
penyakit. Perlu diingat bahwa parasitosis juga dapat berkontribusi untuk
kekurangan zat besi terutama di negara-negara berkembang. Anemia defisiensi
besi diamati pada 2% dari remaja perempuan dan sebagian besar terkait dengan
percepatan pertumbuhan dan kehilangan darah akibat menstruasi. Riwayat
menstruasi yang rinci harus diperoleh pada remaja perempuan dan mendasari
gangguan perdarahan termasuk penyakit von-Willebrand harus diingat pada anak
perempuan yang telah perdarahan lebih dari yang diharapkan. 2

Penyebab anemia defisiensi besi jika dilahat dari umur, yaitu: 3

1. Bayi dibawah umur 1 tahun


 Persediaan besi yang kurang karena berat badan lahir rendah dan
bayi kembar.
2. Anak umur 1-2 tahun
 Masukan (intake) besi yang kurang karena tidak mendapat
makanan tambahan (hanya minum susu)
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang
 Malabsorbsi
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena infeksi
parasit dan divertikulum Meckeli
3. Anak berumur 2-5 tahun
 Masukan besi berkurang karena jenis makanan kurang
mengandung Fe-heme
 Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/menahun
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan divertikulum Meckeli
4. Anak berumur 5 tahun – masa remaja
 Kehilangan berlebihan karena perdarahan antara lain karena
infestasi parasit dan poliposis
5. Usia remaja – dewasa.
 Pada wanita antara lain karena menstruasi berlebihan.

Pengetahuan mengenai klasifikasi penyebab menurut umur ini penting


untuk diketahui, untuk mencari penyebab berdasarkan skala prioritas dengan
tujuan menghemat biaya dan waktu. 3
1.3. Patofisiologi

Metabolisme Besi

Metabolisme besi terutama ditujukan untuk pembentukan hemoglobin.


Sumber utama untuk reutilisasi terutama bersumber dari hemoglobin eritrosit
tua yang dihancurkan oleh makrofag sistem retikuloendotelial. Pada kondisi
seimbang terdapat 25 ml eritrosit atau setara dengan 25 mg besi yang
difagositosis oleh makrofag setiap hari, tetapi sebanyak itu pula eritrosit yang
akan dibentuk dalam sumsum tulang atau besi yang dilepaskan oleh makrofag
ke dalam sirkulasi darah setiap hari.4

Besi dari sumber makanan yang diserap duodenum berkisar 1–2 mg,
sebanyak itu pula yang dapat hilang karena deskuamasi kulit, keringat, urin
dan tinja. Besi plasma atau besi yang beredar dalam sirkulasi darah terutama
terikat oleh transferin sebagai protein pengangkut besi. Kadar normal
transferin plasma ialah 250 mg/dl, secara laboratorik sering diukur sebagai
protein yang menunjukkan kapasitas maksimal mengikat besi. Secara normal
25–45% transferin terikat dengan besi yang diukur sebagai indeks saturasi
transferin. Total besi yang terikat transferin ialah 4 mg atau hanya 0,1% dari
total besi tubuh.4

Sebanyak 65% besi diangkut transferin ke prekursor eritrosit di sumsum


tulang yang memiliki banyak reseptor untuk transferin. Sebanyak 4%
digunakan untuk sintesis mioglobin di otot, 1% untuk sintesis enzim
pernafasan seperti sitokrom C dan katalase. Sisanya sebanyak 30% disimpan
dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Kompleks besi transferin dan reseptor
transferin masuk ke dalam sitoplasma prekursor eritrosit melalui endositosis.
Sebanyak 80–90% molekul besi yang masuk ke dalam prekursor eritrosit akan
dibebaskan dari endosom dan reseptor transferin akan dipakai lagi, sedangkan
transferin akan kembali ke dalam sirkulasi. Besi yang telah dibebaskan dari
endosom akan masuk ke dalam mitokondria untuk diproses menjadi hem
setelah bergabung dengan protoporfirin, sisanya tersimpan dalam bentuk
feritin. Dalam keadaan normal 30–50% prekursor eritrosit mengandung
granula besi dan disebut sideroblast. Sejalan dengan maturasi eritrosit, baik
reseptor transferin maupun feritin akan dilepas ke dalam peredaran darah.
Feritin segera difagositosis makrofag di sumsum tulang dan setelah proses
hemoglobinisasi selesai eritrosit akan memasuki sirkulasi darah. Ketika
eritrosit berumur 120 hari akan difagositosis makrofag sistem
retikuloendotelial terutama yang berada di limpa. Sistem tersebut berfungsi
terutama melepas besi ke dalam sirkulasi untuk reutilisasi. Terdapat jenis
makrofag lain seperti makrofag alveolar paru atau makrofag jaringan lain yang
lebih bersifat menahan besi daripada melepaskannya. Proses penghancuran
eritrosit di limpa, hemoglobin dipecah menjadi hem dan globin. 4

Dalam keadaan normal molekul besi yang dibebaskan dari hem akan
diproses secara cepat di dalam kumpulan labil (labile pool) melalui laluan
cepat pelepasan besi (the rapid pathway of iron release) di dalam makrofag
pada fase dini. Molekul besi ini dilepaskan ke dalam sirkulasi, yang
selanjutnya berikatan dengan transferin bila tidak segera dilepas. Maka
molekul besi akan masuk jalur fase lanjut yang akan diproses untuk disimpan
oleh apoferitin sebagai cadangan besi tubuh. Kemudian dilepas ke dalam
sirkulasi setelah beberapa hari melalui laluan lambat (the slower pathway).
Penglepasan besi dari makrofag tidak berjalan secara langsung, tetapi melalui
proses oksidasi di permukaan sel agar terjadi perubahan bentuk ferro menjadi
ferri, sehingga dapat diangkut oleh transferin plasma. Reaksi oksidasi tersebut
dikatalisasi oleh seruloplasmin. Kecepatan pelepasan besi ke dalam sirkulasi
oleh makrofag lebih cepat terjadi pada pagi hari, sehingga kadar besi plasma
menunjukkan variasi diurnal.4

Anemia Defisiensi Besi

Keadaan anemia defisiensi besi ditandai dengan saturasi transferin


menurun, dan kadar feritin atau hemosiderin sumsum tulang berkurang.
Menurut Walmsley et al. Secara berurutan perubahan laboratoris pada
defisiensi besi sebagai berikut: (1) penurunan simpanan besi, (2) penurunan
feritin serum, (3) penurunan besi serum disertai meningkatnya transferin
serum, (4) peningkatan Red cell Distribution Width (RDW), (5) penurunan
Mean Corpuscular Volume (MCV), dan terakhir (6) penurunan hemoglobin.
Didasari keadaan cadangan besi, akan timbul defisiensi besi yang terdiri atas
tiga tahap, dimulai dari tahap yang paling ringan yaitu tahap pralaten (iron
depletion), kemudian tahap laten (iron deficient erythropoesis) dan tahap
anemia defisiensi besi (iron deficiency anemia).

Pada tahap pertama terjadi penurunan feritin serum kurang dari 12μg/L dan
besi di sumsum tulang kosong atau positif satu, sedangkan komponen yang
lain seperti kapasitas ikat besi total/total iron binding capacity (TIBC), besi
serum/serum iron (SI), saturasi transferin, RDW, MCV, hemoglobin dan
morfologi sel darah masih dalam batas normal, dan disebut tahap deplesi besi.

Pada tahap kedua terjadi penurunan feritin serum, besi serum, saturasi
transferin dan besi di sumsum tulang yang kosong, tetapi TIBC meningkat
>390 μg/dl. Komponen lainnya masih normal, dan disebut eritropoesis
defisiensi besi.

Tahap ketiga disebut anemia defisiensi besi. Anemia defisiensi besi ialah
tahap defisiensi besi yang berat dari dan ditandai selain kadar feritin serum
serta hemoglobin yang turun. Semua komponen lain juga akan mengalami
perubahan seperti gambaran morfologi sel darah mikrositik hipokromik,
sedangkan RDW dan TIBC meningkat >410 μg/dl. 4

Sumber gambar: Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA


PENYAKIT KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F ( Determination of iron
deficiency in chronic disease anemia by the role of sTfR-F index ). Indonesian Journal of Clinical
Pathology and Medical Laboratory, 2(1), 9–15.

1.4. Manifestasi Klinis

Gejala dari keadaan deplesi besi maupun defisiensi besi tidak spesifik.
Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yaitu
penurunan kadar feritin/saturasi transferin serum dan kadar besi serum. Pada ADB
gejala klinis terjadi secara bertahap. Kekurangan zat besi di dalam otot jantung
menyebabkan terjadinya gangguan kontraktilitas otot organ tersebut. Pasien ADB
akan menunjukkan peninggian ekskresi norepinefrin; biasanya disertai dengan
gangguan konversi tiroksin menjadi triodotiroksin. Penemuan ini dapat
menerangkan terjadinya iritabilitas, daya persepsi dan perhatian yang berkurang,
sehingga menurunkan prestasi belajar kasus ADB. Anak yang menderita ADB
lebih mudah terserang infeksi karena defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan
fungsi neutrofil dan berkurangnya sel limfosit T yang penting untuk pertahanan
tubuh terhadap infeksi. Perilaku yang aneh berupa pika, yaitu gemar makan atau
mengunyah benda tertentu antara lain kertas, kotoran, alat tulis, pasta gigi, es dan
lain lain, timbul sebagai akibat adanya rasa kurang nyaman di mulut. Rasa kurang
nyaman ini disebabkan karena enzim sitokrom oksidase yang terdapat pada
mukosa mulut yang mengandung besi berkurang. Dampak kekurangan besi
tampak pula pada kuku berupa permukaan yang kasar, mudah terkelupas dan
mudah patah. Bentuk kuku seperti sendok (spoon-shaped nails) yang juga disebut
sebagai kolonikia terdapat pada 5,5% kasus ADB. Pada saluran pencernaan,
kekurangan zat besi dapat menyebabkan gangguan dalam proses epitialisasi. Papil
lidah mengalami atropi. Pada keadaan ADB berat, lidah akan memperlihatkan
permukaan yang rata karena hilangnya papil lidah. Mulut memperlihatkan
stomatitis angularis dan ditemui gastritis pada 75% kasus ADB.3

1.5. Diagnosis

Dalam pengobatan, anamnesa riwayat terperinci dan pemeriksaan fisik sangat


penting dalam mendiagnosis semua penyakit secara umum. Sebuah penelitian
menunjukkan bahwa anemia dapat didiagnosis dengan riwayat terperinci dengan
sensitivitas 71% dan spesifisitas 79%. Terutama mengenai periode prenatal, gizi,
waktu memulai ASI dan makanan padat dan riwayat pendarahan harus ditanyakan
secara rinci. Tanda-tanda anemia dan penyakit sistemik lainnya yang dapat
menyertai harus dicari.2

Tes laboratorium yang dapat digunakan dirangkum dalam Tabel dibawah ini.

Sumber gambar: Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9.

Tindakan primer yaitu dengan melakukan pemeriksaan hitung darah lengkap dan
apusan darah tepi. Ketika hitung darah lengkap dinilai baik, akan dapat
memberikan banyak petunjuk dalam mendiagnosis berbagai penyakit pada anak-
anak. Dalam hitung darah lengkap, harus diperiksa apakah kadar hemoglobin dan
hematokrit normal untuk usia dan jenis kelamin pasien (jika anemia ada). Batas
bawah normal dengan usia dan jenis kelamin yang ditentukan oleh WHO dapat
digunakan, karena praktis dan nilai lebih rendah dari batas-batas ini dapat
dianggap anemia (Tabel 3). Pada bayi yang lebih muda dari 6 bulan, nilai-nilai
yang lebih rendah diamati karena anemia fisiologis, namun hemoglobin
diperkirakan tidak lebih rendah dari 9 g / dL pada anemia fisiologis pada bayi jika
tidak ada faktor lain yang menyertainya.
Sumber gambar: Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9.

Eritrosit tampak pucat dan lebih kecil dari normal ketika jumlah hemoglobin
didalam berkurang. Hal ini ditunjukan dengan berkurangnya mean erythrocyte
volume (MCV) dan berkurangnya mean eryhtrocyte hemoglobin (MCH) pada
hitung darah lengkap. Pada hapusan darah perifer, eritrosit nampak mikrositik dan
hipokromik. MCV dan MCH sejajar satu sama lain; ini berarti bahwa eritrosit
nampak mikrositik dan hipokromik pada waktu yang sama. Jika MCH di bawah
27 pg, adalahrendah. Nilai normal MCV berkisar antara 80 dan 99 fL, tetapi nilai
normal berdasarkan usia harus dipertimbangkan pada anak-anak. Terdapat rumus
yang dapat digunakan untuk praktik klinik (Tabel 4). Pada tabel ini, penting untuk
menggunakan rumus batas bawah untuk anak-anak kurang dari 10 tahun, karena
batas bawah 80 fL pada anak-anak yang lebih dari 10 tahun seperti pada orang
dewasa.
Sumber gambar: Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in
children. Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9.

Pada anemia terkait dengan kekurangan gizi, terdapat volume eritrosit non-
homogen yang berbeda dengan anemia bawaan seperti thalassemia; eritrosit
mungkin memiliki ukuran bervariasi menurut jumlah hemoglobin. Hal ini
tercermin dari anisocytosis pada apusan darah tepi dan dengan peningkatan
eryhtrocyte distribution width (RDW) pada tes darah. Pada dasarnya, kekurangan
gizi harus dipertimbangkan, jika peningkatan RDW bersamaan dengan adanya
anemia; jika penurunan MCV juga hadir, kekurangan zat besi dapat dianggap dan
jika peningkatan MCV hadir, defisiensi vitamin B12 atau defisiensi asam folat
dapat hadir. Namun, harus diingat bahwa penarikan atau kekurangan anemia di
mana semua variabel yang terganggu tidak diamati jarang di sebagian besar anak-
anak dengan gizi buruk. Nilai RDW normal dan microcytosis menunjukan
keadaan thalassemia carier bukan anemia defisiensi zat besi. Umumnya, dua hasil
RDW terpisah dicatat dalam hasil hitung darah lengkap; RDW-CV dan RDW-SD.
Hal ini muncul dari perbedaan perhitungan statistik. RDW-SD adalah standar
deviasi dari eritrosit dan merupakan rata-rata penyimpangan dari MCV setiap
eritrosit; rentang normal adalah 37-54 fL. RDW-CV adalah koefisien variabilitas
volume distribusi eritrosit dan persentase ekspresi standar deviasi volume eritrosit
rata-rata. RDW-CV adalah pengukuran yang lebih handal dan tidak normal jika>
14. Selain itu, RDW adalah variabel pertama yang berubah dalam hitung darah
lengkap pada anemia defisiensi besi. Secara paralel, temuan pertama ADB pada
apusan darah tepi adalah anisocytosis.

Lebar distribusi hemoglobin (HDW) merupakan variabel yang tidak dicatat oleh
sebagian besar individu dalam hasil hitung darah lengkap. Ini menunjukkan
distribusi hemoglobin dalam eritrosit dan meningkat pada defisiensi besi. Hal ini
tercermin sebagai anisochromia pada apusan darah tepi. Konsentrasi HDW diukur
secara tidak langsung oleh perangkat hemocounter dan secara klasik berkurang
pada kekurangan zat besi. Hal ini juga penting untuk menarik perhatian pada
hitungan eritrosit di hitung darah lengkap. Sementara jumlah eritrosit meningkat
pada thalassemia ditandai dengan eritropoiesis tidak efisien (produksi eritrosit
meningkat, tetapi kerusakan terjadi di sumsum tulang sebelum sel memasuki
darah periperal), itu berkurang pada anemia defisiensi besi karena produksinya
tidak mencukupi. Sebuah rumus yang diperoleh dengan menggunakan hitungan
eritrosit dan nilai MCV mungkin bermanfaat dalam membedakan ADB dari
keadaan thalassemia carrier. Sementara MCV berkurang baik dalam carrier
thalassemia dan ADB, jumlah eritrosit berkurang pada ADB, tetapi meningkat
pada keadaan thalassemia carrier. Dalam hal ini, rasio MCV / RBC lebih tinggi
pada ADB karena RBC berkurang dan lebih rendah pada keadaan thalassemia
carrier karena nilai RBC lebih tinggi. Sebagai hasil dari rumus ini yang disebut
indeks Metzner, thallasemia dipertimbangkan ketika rasio ini adalah di bawah 13
dan ADB dipertimbangkan ketika rasio ini adalah di atas 13.

Selain itu, trombositosis sehubungan dengan ADB dapat diamati di hitung darah
lengkap. Alasan trombositosis adalah reaksi silang dari peningkatan eritropoietin
pada ADB dengan reseptor Trombopoietin di megakaryocytes yang mengarah ke
jumlah trombosit meningkat. Meskipun jarang, thromobocytopenia juga dapat
diamati pada ADB. Jumlah leukosit biasanya normal, tetapi leukopenia juga dapat
diamati. Namun, diagnosis lain harus dipertimbangkan terutama dalam kasus
anemia khususnya yang disertai leukopenia dan / atau trombositopenia.
Eosinofilia pada hitung darah lengkap atau apusan darah tepi dapat memberikan
petunjuk dalam hal ada tidaknya parasitosis. Pada titik ini, pengobatan dapat
dimulai secara langsung, jika jumlah darah lengkap dan apusan darah tepi sangat
menunjukan ADB. Jika ada kecurigaan, pengobatan itu sendiri adalah alat
diagnostik yang baik. Namun, pemeriksaan variabel besi di baseline merupakan
pendekatan ilmiah yang lebih baik; lebih lanjut itu akan berharga untuk
melakukan diagnosis banding dan jika anemia tidak menanggapi pengobatan besi.
Bahkan, hemogram mungkin cukup dalam diagnosis ADB, tetapi mungkin normal
pada tahap awal dari kekurangan zat besi. Kekurangan zat besi berkembang dalam
tubuh dalam tiga tahap.

 Tahap Prelatent: cadangan besi menurun atau tidak, konsentrasi besi


serum, hemoglobin dan hematokrit normal. Pada tahap defisiensi zat besi
ini ditunjukan dengan pengurangan atau tidak adanya cadangan besi
sumsum tulang dan berkurangnya kadar serum feritin.
 Tahap laten: besi serum (SI) dan saturasi trasferrin berkurang selain
berkurangnya cadangan besi. Hemoglobin dan hematokrit berada dalam
batas normal.
 Marked ADB: Selain menipisnya simpanan zat besi, serum besi dan kadar
saturasi transferin hemoglobulin dan hematokrit berkurang.

Semua variabel tidak berubah pada saat yang sama karena pembangunan tahap ini
pada anak-anak dengan kekurangan zat besi. Kita harus sangat berhati-hati ketika
mengevaluasi variabel besi. Tingkat serum feritin adalah indikator terbaik dari
simpanan besi dalam tubuh dan variabel biokimia pertama yang berubah dalam
defisiensi besi. Batasan kadar serum feritin 10-12 mg / L sangat mendukung
defisiensi besi, tapi feritin merupakan reaktan fase akut dan harus diingat bahwa
itu dapat meningkat pada infeksi dan peradangan. Kadar besi plasma berkurang
karena zat besi dalam tubuh habis. Sampel harus diperoleh di pagi hari setelah
puasa satu malam, karena nilainya menunjukkan varians selama siang hari dan
dipengaruhi oleh diet. Kadar zat besi plasma tidak membantu dalam diagnosis
diferensial dari ADB karena juga berkurang pada anemia penyakit kronis.
Kapasitas pengikatan besi (total iron binding capacity TIBC) meningkat ketika
serum besi menurun. Nilai yang diperoleh dengan membagi nilai besi serum
dengan TIBC menunjukkan saturasi transferrin dan menurun pada ADB. Besi dan
TIBC juga merupakan reaktan fase akut dan meningkat pada peradangan / infeksi.

Beberapa metode baru telah dikembangkan untuk digunakan dalam mendiagnosis


yang pasti karena beberapa kekurangan pada tes hematologi dan tes biokimia. Tes
tambahan termasuk zinc protoporphyrine (ZnPP), free erythrocyte
protoporphyrine, serum soluble transferrin receptor  (sTfR) dan konten retikulosit
hemoglobin dapat membantu. Diagnosis akan tertunda bila kadar hemoglobin dari
eritrosit yang diukur, karena masa hidup eritrosit yang normal adalah 120 hari.
Kadar hemoglobin retikulosit berkurang sebelumnya, karena rentang hidup
reticulocyute adalah 24-48 jam. Dalam beberapa penelitian, hal itu terbukti
variabel yang paling sensitif dalam diagnosis ADB, namun keterbatasan paling
penting bagi Turki adalah fakta bahwa kadarnya juga berkurang pada keadaan
thalassemia carrier. Reseptor serum transferin dapat diuji dengan metode
immunoassay di beberapa laboratorium. Reseptor ini ditemukan pada retikulosit
dan peningkatan diamati di trasferrin reseptor pada ADB. Zinc protoporphyrine
diproduksi dengan substitusi seng bukan besi ketika besi tidak ada dan dengan
demikian terjadi peningkatan pada ADB. Karena sumsum tulang adalah tempat
pertama di mana serum besi berkurang, aspirasi sumsum tulang adalah standar
emas dalam ADB, tetapi tidak digunakan secara rutin. Dalam beberapa kasus,
diagnosis pasti dapat dibuat hanya dengan menggunakan gabungan dari beberapa
tes. Jumlah retikulosit mungkin normal atau rendah. Ureum dan kreatinin nilai
harus diperiksa dalam hal gagal ginjal yang menyertainya terutama pada pasien
yang tidak memadai menanggapi pengobatan.2

1.6. Pengobatan

Bila diagnosis defisiensi besi sudah ditegakkan, pengobatan harus segera


dimulai untuk mencegah berlanjutnya keadaan ini. Pengobatan terdiri atas
pemberian preparat besi secara oral berupa garam fero (sulfat, glukonat, fumarat
dan lain-lain), pengobatan ini tergolong murah dan mudah dibandingkan dengan
cara lain. Pada bayi dan anak, terapi besi elemental diberikan dengan dosis 3-6
mg/kg bb/hari dibagi dalam dua dosis, 30 menit sebelum sarapan pagi dan makan
malam; penyerapan akan lebih sempurna jika diberikan sewaktu perut kosong.
Penyerapan akan lebih sempurna lagi bila diberikan bersama asam askorbat atau
asam suksinat. Bila diberikan setelah makan atau sewaktu makan, penyerapan
akan berkurang hingga 40-50%.8 Namun mengingat efek samping pengobatan
besi secara oral berupa mual, rasa tidak nyaman di ulu hati, dan konstipasi, maka
untuk mengurangi efek samping tersebut preparat besi diberikan segera setelah
makan. Penggunaan secara intramuskular atau intravena berupa besi dextran dapat
dipertimbangkan jika respon pengobatan oral tidak berjalan baik misalnya karena
keadaan pasien tidak dapat menerima secara oral, kehilangan besi terlalu cepat
yang tidak dapat dikompensasi dengan pemberian oral, atau gangguan saluran
cerna misalnya malabsorpsi. Cara pemberian parenteral jarang digunakan karena
dapat memberikan efek samping berupa demam, mual, ultikaria, hipotensi, nyeri
kepala, lemas, artralgia, bronkospasme sampai reaksi anafilatik. Respons
pengobatan mula-mula tampak pada perbaikan besi intraselular dalam waktu 12-
24 jam. Hiperplasi seri eritropoitik dalam sumsum tulang terjadi dalam waktu 36-
48 jam yang ditandai oleh retikulositosis di darah tepi dalam waktu 48-72 jam,
yang mencapai puncak dalam 5-7 hari. Dalam 4-30 hari setelah pengobatan
didapatkan peningkatan kadar hemoglobin dan cadangan besi terpenuhi 1-3 bulan
setelah pengobatan. Untuk menghindari adanya kelebihan besi maka jangka waktu
terapi tidak boleh lebih dari 5 bulan. Transfusi darah hanya diberikan sebagai
pengobatan tambahan bagi pasien ADB dengan Hb 6g/dl atau kurang karena pada
kadar Hb tersebut risiko untuk terjadinya gagal jantung besar dan dapat terjadi
gangguan fisiologis. Transfusi darah diindikasikan pula pada kasus ADB yang
disertai infeksi berat, dehidrasi berat atau akan menjalani operasi besar/ narkose.
Pada keadaan ADB yang disertai dengan gangguan/kelainan organ yang berfungsi
dalam mekanisme kompensasi terhadap anemia yaitu jantung (penyakit arteria
koronaria atau penyakit jantung hipertensif ) dan atau paru (gangguan ventilasi
dan difusi gas antara alveoli dan kapiler paru), maka perlu diberikan transfusi
darah. Komponen darah berupa suspensi eritrosit (PRC) diberikan secara bertahap
dengan tetesan lambat.

Telah dikemukakan di atas salah satu penyebab defisiensi besi ialah kurang
gizi. Besi di dalam makanan dapat berbentuk Fe-heme dan non-heme. Besi non-
heme yang antara lain terdapat di dalam beras, bayam, jagung, gandum, kacang
kedelai berada dalam bentuk senyawa ferri yang harus diubah dulu di dalam
lambung oleh HCL menjadi bentuk ferro yang siap untuk diserap di dalam usus.
Penyerapan Fe-non heme dapat dipengaruhi oleh komponen lain di dalam
makanan. Fruktosa, asam askorbat (vitamin C), asam klorida dan asam amino
memudahkan absorbsi besi sedangkan tanin (bahan di dalam teh), kalsium dan
serat menghambat penyerapan besi. Berbeda dengan bentuk non-heme, absorpsi
besi dalam bentuk heme yang antara lain terdapat di dalam ikan, hati, daging sapi,
lebih mudah diserap. Disini tampak bahwa bukan hanya jumlah yang penting
tetapi dalam bentuk apa besi itu diberikan. Anak yang sudah menunjukkan gejala
ADB telah masuk ke dalam lingkaran penyakit, yaitu ADB mempermudah
terjadinya infeksi sedangkan infeksi mempermudah terjadinya ADB. Oleh karena
itu antisipasi sudah harus dilakukan pada waktu anak masih berada di dalam
stadium I & II. Bahkan di Inggris, pada bayi dan anak yang berasal dari keluarga
dengan sosial ekonomi yang rendah dianjurkan untuk diberikan suplementasi besi
di dalam susu formula.3

1.7. Pencegahan

Usaha sederhana mencegah ADB adalah dengan mengonsumsi makanan yang


kaya akan zat besi. Usahakan bayi mendapat air susu ibu eksklusif. Setelah usia 6
bulan apabila tidak mendapat air susu ibu sebaiknya diberi susu formula yang
difortifikasi zat besi. Pemberian tambahan zat besi dianjurkan pula sejak bayi
sampai usia remaja, diberikan sebagai usaha pencegahan terhadap anemis.5

Banyak bahan makanan di sekitar kita yang kaya kandungan zat besi. Sayuran
berdaun hijau seperti selada air, kangkung, brokoli, bayam hijau, buncis dan
kacang-kacangan kaya akan zat besi. Bahan makanan hewani seperti daging
merah dan kuning telur juga kaya zat besi dan lebih mudah diserap oleh tubuh
dibandingkan sumber nabati. Dalam proses pengolahan bahan makanan, sangat
perlu diperhatikan pengolahan yang baik dan benar sehingga kandungan zat
makanan misalkan zat besi tidak berkurang dari bahan makanan tersebut.
Usahakan anak banyak mengonsumsi makanan yang kaya zat besi untuk
mencegah ADB.5

Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi (DB). Kelompok
usia yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5 tahun) sehingga
kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB. Kekurangan besi dengan
atau tanpa anemia, terutama yang berlangsung lama dan terjadi pada usia 0-2
tahun dapat mengganggu tumbuh kembang anak, antara lain menimbulkan defek
pada mekanisme pertahanan tubuh dan gangguan pada perkembangan otak yang
berdampak negatif terhadap kualitas sumber daya manusia pada masa mendatang.6

Rekomendasi suplementasi besi rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia


Sumber gambar: Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, & Hendarto,
A. (2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

1. Suplementasi untuk bayi prematur/bayi berat lahir rendah (BBLR)

Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan kelompok risiko tinggi mengalami
DB. Menurut World Health Organization (WHO), suplementasi besi dapat
diberikan secara massal, mulai usia 2-23 bulan dengan dosis tunggal 2
mg/kgBB/hari. Bayi dengan berat lahir rendah memiliki risiko 10 kali lipat lebih
tinggi mengalami DB. Pada dua tahun pertama kehidupannya, saat terjadi pacu
tumbuh, kebutuhan besi akan meningkat. Bayi prematur perlu mendapat
suplementasi besi sekurangkurangnya 2 mg/kg/hari sampai usia 12 bulan.
Suplementasi sebaiknya dimulai sejak usia 1 bulan dan diteruskan sampai bayi
mendapat susu formula yang difortifikasi atau mendapat makanan padat yang
mengandung cukup besi.15 Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di
Amerika merekomendasikan bayi-bayi yang lahir prematur atau BBLR diberikan
suplementasi besi 2-4 mg/kg/hari (maksimum 15 mg/hari) sejak usia 1 bulan,
diteruskan sampai usia 12 bulan.10 Pada bayi berat lahir sangat rendah (BBSLR),
direkomendasikan suplementasi besi diberikan lebih awal.6

2. Suplementasi untuk bayi cukup bulan

Pada bayi cukup bulan dan anak usia di bawah 2 tahun, suplementasi besi
diberikan jika prevalens ADB tinggi (di atas 40%) atau tidak mendapat makanan
dengan fortifikasi. Suplementasi ini diberikan mulai usia 6-23 bulan dengan dosis
2 mg/kgBB/hari. Hal tersebut atas pertimbangan bahwa prevalens DB pada bayi
yang mendapat ASI usia 0-6 bulan hanya 6%, namun meningkat pada usia 9-12
bulan yaitu sekitar 65%. Bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan
kemudian tidak mendapat besi secara adekuat dari makanan, dianjurkan
pemberian suplementasi besi dengan dosis 1 mg/kg/hari.10 Untuk mencegah
terjadinya defisiensi besi pada tahun pertama kehidupan, pada bayi yang
mendapatkan ASI perlu diberikan suplementasi besi sejak usia 4 atau 6 bulan. The
American Academy of Pediatrics (AAP) merekomendasikan pemberian
suplementasi besi pada bayi yang mendapat ASI eksklusif mulai usia 4 bulan
dengan dosis 1 mg/kg/hari dilanjutkan sampai bayi mendapat makanan tambahan
yang mengandung cukup besi. Bayi yang mendapat ASI parsial (>50% asupannya
adalah ASI) atau tidak mendapat ASI serta tidak mendapatkan makanan tambahan
yang mengandung besi, suplementasi besi juga diberikan mulai usia 4 bulan
dengan dosis 1 mg/kg/hari.6

3. Suplementasi untuk balita dan anak usia sekolah

Pada anak usia balita dan usia sekolah, suplementasi besi tanpa skrining diberikan
jika prevalens ADB lebih dari 40%. Suplementasi besi dapat diberikan dengan
dosis 2mg/kgBB/hari (dapat sampai 30 mg/hari) selama 3 bulan.6

4. Suplementasi untuk remaja

Suplementasi besi pada remaja lelaki dan perempuan diberikan dengan dosis 60
mg/hari selama 3 bulan. Pemberian suplementasi besi dengan dosis 60 mg/hari,
secara intermiten (2 kali/minggu), selama 17 minggu, pada remaja perempuan
ternyata terbukti dapat meningkatkan feritin serum dan free erythrocyte
protoporphyrin (FEP). Centers for Disease Control and Prevention (CDC) dan
AAP merekomendasikan suplementasi besi pada remaja lelaki hanya bila terdapat
riwayat ADB sebelumnya, tetapi mengingat prevalens DB yang masih tinggi di
Indonesia sebaiknya suplementasi besi pada remaja lelaki tetap diberikan.
Penambahan asam folat pada remaja perempuan dengan pertimbangan
pencegahan terjadinya neural tube defect pada bayi yang akan dilahirkan
dikemudian hari.6

2. Diagnosis Banding Anemia


Berdasarkan gambaran morfologik, anemia diklasifikasikan menjadi tiga jenis
anemia:

2.1. Anemia normositik normokrom.

Anemia normositik normokrom disebabkan oleh karena perdarahan akut,


hemolisis, dan penyakit-penyakit infiltratif metastatik pada sumsum tulang.
Terjadi penurunan jumlah eritrosit tidak disertai dengan perubahan konsentrasi
hemoglobin (Indeks eritrosit normal pada anak: MCV 73 – 101 fl, MCH 23 – 31
pg , MCHC 26 – 35 %), bentuk dan ukuran eritrosit.7

Etiologi dan pathogenesis :

a. Pemendekan usia eritrosit kemungkinan akibat produksi sitokin yang


berlebihan karena kerusakan jaringan akibat adanya infeksi, inflamasi,
atau kanker. Sitokin menyebabkan sekuestrasi makrofag sehingga
mengikat lebih banyak zat besi, meningkatkan destruksi eritrosit di
limfa, menekan produksi eritopoietin oleh ginjal, serta menyebabkan
perangsangan inadekuat pada eritropoiesis di sumsum tulang.

b. Penghancuran Eritrosit akibat adanya peningkatan daya fagositosis


makrofag oleh aktivasi sitokin dan sebagai bagian dari filter limpa
menjadi kurang toleran terhadap perubahan/kerusakan minor dari
eritrosit.
c. Produksi eritrosit terganggu oleh adanya gangguan metabolism zat
besi, kadar zat besi yang rendah meskipun cadangan besi cukup
menunjukkan adanya penurunan kemampuan Fe dalam sintesis Hb.

d. Penurunan fungsi sumsum tulang, pada penyakit kronis, kompensasi


yang terjadi kurang dari yang diharapkan akibat berkurangnya
penglepasan atau menurunnya respon terhadap eritropoietin yang
kemungkinan besar juga disebabkan oleh adanya aktivasi sitokin IL-1
dan TNF-alpha dari sel-sel yang mengalami cedera.

Anemia normokromik normositer biasanya dapat ditemukan pada :

Penyakit kronis yang disebabkan oleh adanya inflamasi, anemia oleh karena CKD
sehingga eritopoetin menurun, defisiensi endocrine menyebabkan
hipometabolisme, penurunan kebutuhan oksigen oleh karena penyakit kelenjar
tiroid, adrenal, hipofise, dan paratiroid.

Temuan laboratorium : MCV Normal (80 fl), RDW normal

Diagnosa : Adanya penurunan serum Fe, penurunan TIBC disertai saturasi


transferrin yang normal atau rendah, dan peningkatan ferritin.

2.2. Anemia makrositik hiperkrom

Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih besar dari normal dan hiperkrom
karena konsentrasi hemoglobinnya lebih dari normal. (Indeks eritrosit pada anak
MCV > 73 fl, MCH = > 31 pg, MCHC = > 35 %). Ditemukan pada anemia
megaloblastik (defisiensi vitamin B12, asam folat), serta anemia makrositik non-
megaloblastik (penyakit hati, dan myelodisplasia)

Sumber gambar: Oehadian, A. (2012). Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia. Continuing
Medical Education, 39(6), 407–412.

a. Anemia megaloblastik

Anemia megaloblastik secara umum memiliki ukuran melebihi normal dan


mempunyai kromatin inti longgar tersebar halus dan asinkroni antara maturasi inti
dan sitoplasma. Anemia makrositer megaloblastik disebabkan adanya gangguan
terhadap sintesa DNA sehingga sitoplasma matur lebih dahulu dibanding dengan
nucleus yang mengakibatkan timbulnya proses eritropoiesis yang tidak efektif dan
makrositosis. Biasanya disebabkan oleh defisiensi asam folat dan vitamin B12.

Defisiensi asam folat :


Asam folat terkandung dalam sayur-sayuran hijau dan buah-buahan. Etiologi
defisiensi asam folat adalah adanya malnutrisi, penurunan absorbsi asam folat
akibat penggunaan beberpa obat antikonvulsan seperti fenitoin, phenobarbital,
primidone, serta dapat disebabkan adanya peningkatan kebutuhan akan asam folat
akibat anemia hemolitik kronis, kehamilan, neoplasma, dan dialysis.

Defisiensi vitamin B12 :

Vitamin B12 terdapat banyak pada sumber makanan hewani, vitamin ini diserap
dengan mengikatkan diri pada factor intrinsic pada sel parietal di lambung, untuk
kemudian diabsorbsi pada ileum bagian terminal. Etiologi oleh karena adanya
malnutrisi, anemia perniciousa (Autoimun terhadap sel parietal pada lambung),
penurunan absorbs oleh karena gastrectomi, maupun peningkatan kompetisi di
dalam saluran pencernaan oleh bakteri dan mikroorganisme lain di dalam tubuh.

Temuan laboratorium

Anemia makrositik (MCV> 100 fl). Jumlah retikulosit rendah, dan eritrosit
bernuklei dengan morfologi megaloblastik sering tampak pada darah tepi.
Neutropenia dan trombositopenia mungkin ada terutama pada kasus defisiensi
yang lama. Neutrofil besar-besar, beberapa memiliki nuclei hipersegmentasi lebih
dari 5% neutrophil mempunyai inti berlobus 5 atau lebih. Kadar asam folat serum
dinyatakan kurang jika jumlahnya kurang dari 3ng/mL (normal 5-20 ng/mL).

b. Anemia makrositer non megaloblastik

1. Liver disease: ada target cells, makrositer

2. Peminum alkhohol : adanya supresi terhadap Bone Marrow dan menimbulkan


terjadinya makrositer akibat defisiensi vitamin B12 dan sirosis.

3. Retikulositosis

4. Penyebab lain : Hipertiroid, penggunaan obat yang mengganggu sintesa DNA


(zidovudine, hydroxyurea, 5- FU).

2.3. Anemia mikrositik hipokrom


Anemia dengan ukuran eritrosit yang lebih kecil dari normal dan mengandung
konsentrasi hemoglobin yang kurang dari normal. (Indeks eritrosit : MCV < 73 fl,
MCH < 23 pg, MCHC 26 - 35 %).

Penyebab anemia mikrositik hipokrom:

1) Berkurangnya zat besi: Anemia Defisiensi Besi.

2) Berkurangnya sintesis globin: Thalasemia dan Hemoglobinopati.

3) Berkurangnya sintesis heme: Anemia Sideroblastik.

Thalasemia

Merupakan suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang


diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh kekurangan sintesis rantai
polipeptid yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin. Kelainan produksi
dapat terjadi pada rantai- (-thalassemia), rantai- (-thalassemia), rantai- (
-thalassemia), rantai- (-thalassemia)

 Diagnosis

Anamnesis

Keluhan yang timbul karena anemia antara lain: pucat, gangguan nafsu makan,
gangguan tumbuh kembang, perut membesar karena pembesaran lien dan hati,
yang umumnya keluhan-keluhan ini timbul pada usia 6 bulan

Pemeriksaan Fisik

Pucat, bentuk muka mongoloid, dapat ditemukan ikterus, gangguan pertumbuhan,


splenomegalu dan hepatomegali

Pemeriksaan Penunjang
Darah tepi: Hb rendah (dapat mencapai 2-3 gr%), gambaran morfologi eritrosit:
hipokrom mikrositik, sel target, retikulosit meningkat.

Sumsum tulang: peningkatan eritropoiesis.

Pemeriksaan khusus: HbF meningkat (20-90% Hb total),pedigree: kedua orangtua


pasien talasemia mayor merupakan carrier dengan HbA 2 meningkat (>3.5% dari
Hb total).

Pengobatan

Penderita trait thalassemia tidak memerlukan terapi ataupun perawatan


lanjut setelah diagnosis awal dibuat. Terapi preparat besi sebaiknya tidak
diberikan kecuali memang dipastikan terdapat defisiensi besi dan harus segera
dihentikan apabila nilai Hb yang potensial pada penderita tersebut telah tercapai.
Diperlukan konseling pada semua penderita dengan kelainan genetik, khususnya
mereka yang memiliki anggota keluarga yang berisiko untuk terkena penyakit
thalassemia berat.

Penderita thalassemia berat membutuhkan terapi medis, dan regimen


transfusi darah merupakan terapi awal untuk memperpanjang masa hidup.
Transfusi darah harus dimulai pada usia dini ketika anak mulai mengalami gejala
dan setelah periode pengamatan awal untuk menilai apakah anak dapat
mempertahankan nilai Hb dalam batas normal tanpa transfusi

a.Transfusi Darah

- Transfusi darah bertujuan untuk mempertahankan nilai Hb tetap pada level 9-


9.5gr/dL sepanjang waktu.

- Pada pasien yang membutuhkan transfusi darah reguler, maka dibutuhkan suatu
studi lengkap untuk keperluan pretransfusi. Pemeriksaan tersebut meliputi fenotip
sel darah merah, vaksinasi hepatitis B (bila perlu), dan pemeriksaan hepatitis.

- Darah yang akan ditransfusikan harus rendah leukosit; 10-15 mL/kg PRC
dengan kecepatan 5 mL/kg/jam setiap 3-5 minggu biasanya merupakan regimen
yang adekuat untuk mempertahankan nilai Hb yang diinginkan.
- Pertimbangkan pemberikan asetaminofen dan difenhidramin sebelum transfusi
untuk mencegah demam dan reaksi alergi

b.Terapi Khelasi (Pengikat Besi)

- Apabila diberikan sebagai kombinasi dengan transfusi, terapi khelasi dapat


menunda onset dari kelainan jantung dan, pada beberapa pasien, bahkan dapat
mencegah kelainan jantung tersebut.

- Chelating agent yang biasa dipakai adalah DFO yang merupakan kompleks
hidroksilamin dengan afinitas tinggi terhadap besi. Rute pemberiannya sangat
penting untuk mencapai tujuan terapi, yaitu untuk mencapai keseimbangan besi
negatif (lebih banyak diekskresi dibanding yang diserap). Karena DFO tidak
diserap di usus, maka rute pemberiannya harus melalui parenteral
(intravena,intramuskular, atau subkutan).

- Dosis total yang diberikan adalah 30-40mg/kg/hari diinfuskan selama 8-12 jam
saat pasien tidur selama 5 hari/minggu.6

c.Transplantasi Sel Stem Hematopoetik (TSSH)

TSSH merupakan satu-satunya yang terapi kuratif untuk thalassemia yang saat ini
diketahui. Prognosis yang buruk pasca TSSH berhubungan dengan adanya
hepatomegali, fibrosis portal, dan terapi khelasi yang inefektif sebelum
transplantasi dilakukan. Prognosis bagi penderita yang memiliki ketiga
karakteristikini adalah 59%, sedangkan pada penderita yang tidak memiliki
ketiganya adalah 90%. Meskipun transfusi darah tidak diperlukan setelah
transplantasi sukses dilakukan, individu tertentu perlu terus mendapat terapi
khelasi untuk menghilangkan zat besi yang berlebihan. Waktu yang optimal untuk
memulai pengobatan tersebut adalah setahun setelah TSSH. Prognosis jangka
panjang pasca transplantasi , termasuk fertilitas, tidak diketahui. Biaya jangka
panjang terapi standar diketahui lebih tinggi daripada biaya transplantasi.
Kemungkinan kanker setelah TSSH juga harus dipertimbangkan.

d.Terapi Bedah
Splenektomi merupakan prosedur pembedahan utama yang digunakan pada pasien
dengan thalassemia. Limpa diketahui mengandung sejumlah besar besi nontoksik
(yaitu, fungsi penyimpanan). Limpa juga meningkatkan perusakan seldarah merah
dan distribusi besi. Fakta-fakta ini harus selalu dipertimbangkan sebelum
memutuskan melakukan splenektomi.. Limpa berfungsi sebagai penyimpanan
untuk besi nontoksik, sehingga melindungi seluruh tubuh dari besi tersebut.
Pengangkatan limpa yang terlalu dini dapat membahayakan. Sebaliknya,
splenektomi dibenarkan apabila limpa menjadi hiperaktif, menyebabkan
penghancuran sel darah merah yang berlebihan dan dengan demikian
meningkatkan kebutuhan transfusi darah, menghasilkan lebih banyak akumulasi
besi. Splenektomi dapat bermanfaat pada pasien yang membutuhkan lebih dari
200-250 mL / kg PRC per tahun untuk mempertahankan tingkat Hb 10 gr / dL
karena dapat menurunkan kebutuhan sel darah merah sampai 30%. Risiko yang
terkait dengan splenektomi minimal, dan banyak prosedur sekarang dilakukan
dengan laparoskopi. Biasanya, prosedur ditunda bila memungkinkan sampai anak
berusia 4-5 tahun atau lebih. Pengobatan agresif dengan antibiotik harus selalu
diberikan untuk setiap keluhan demam sambil menunggu hasil kultur. Dosis
rendah Aspirin® setiap hari juga bermanfaat jika platelet meningkat menjadi lebih
dari 600.000 / μL pasca splenektomi.

e.Transplantasi sumsum tulang

Transplantasi sumsum tulang untuk talasemia pertama kali dilakukan tahun 1982.
Transplantasi sumsum tulang merupakan satu-satunya terapi definitive untuk
talasemia. Jarang dilakukan karena mahal dan sulit.

Anemia Sideroblastik

Anemia Siderobelastik adalah suatu kondisi kurang darah di mana pengikatan zat
besi saat pembentukan sel darah merah tidak terjadi. Eritrosit (sel darah merah)
tidak terbentuk secara matang atau imatur dan banyak yang hancur sehingga tidak
terbawa saat sirkulasi darah berlangsung dan tidak tersedia di dalam sum-sum
tulang.

Gejala Anemia Sideroblastik


Ketika seseorang mengalami penyakit anemia sideroblastik, maka keadaan
tubuhnya tampak kurang sehat. Gejala yang muncul biasanya di tandai oleh
keadaan seperti berikut:

 Kuli memucat
 Penderita cepat mengalami lelah
 Sering mengalami pusing
 Rasa letih, dan nyeri sendi
 Terjadi pembengkakan limfa dan hati

Penyebab Anemia Sideroblastik

Ada dua penyebab terjadinya penyakit anemia sideroblastik. Penyebab pertama


adalah faktor primer yaitu penyebab anemia sideroblastik secara spontan yang
biasanya dialami oleh Lansia serta faktor genetik, yaitu keadaan kromosom X
yang tidak normal. Yang kedua adalah faktor sekunder yaitu disebabkan karena
pengaruh obat-obatan pada kemoterapi. Namun dapat diduga juga bahwa
penyebab penyakit ini karena kurangnya ketersediaan Zat Besi, Tembaga dan zat
lainnya yang berperan penting dalam pembentukan sel darah merah.
Gangguan inkorporasi besi ke dalam protoporfirin
(pembentukan heme)

Besi menumpuk gangguan pembentukan hemoglobin


dalam mitokondria

ring sideroblastik hipokromik mikrositer

eritropeisis inefektif

Skema patofisiologi anemia sideroblastik Sumber gambar:


referensisehat.com

Terapi
1. Terapi untuk anemia sideroblastik berupa terapi simptomatik yaitu dengan
transfusi darah.
2. Pemberian vitamin B6 dapat dicoba karena pada sebagian kecil penderita
bersifat responsif terhadap piridoksin. Untuk anak-anak diberikan dalam dosis
200-500 mg/24 jam, kendatipun tidak dijumpai kelainan metabolisme
triptofan atau defensiensi vitamin B6 lainnya. Vitamin B6 merupakan kofaktor
enzim ALA-sintase.

Anemia Penyakit Kronis


Anemia sering dijumpai pada pasien dengan infeksi atau inflamasi kronis
maupun keganasan. Anemia ini umumnya ringan atau sedang, disertai oleh rasa
lemah dan penurunan berat badan dan disebut anemia pada penyakit kronis.
Anemia ini sangat mirip dengan anemia defisiensi besi tetapi pada anemia ini
terjadi sekuestrasi besi di dalam sistem RES karena inflamasi. Pada anemia jenis
ini, terjadi sekuestrasi besi di dalam makrofag. Sekuestrasi ini berfungsi untuk
menghambat pertumbuhan mikroorganisme dependen besi atau untuk
memperkuat aspek imunitas pejamu.4

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS


Laporan/data penyakit tuberkulosis, abses paru, endokarditis bakteri
subakut, osteomielitis dan infeksi jamur kronis serta HIV membuktikan bahwa
hampir semua infeksi supuratif kronis berkaitan dengan anemia. Derajat anemia
sebanding dengan berat ringannya gejala, seperti demam, penurunan berat badan
dan debilitas umum. Untuk terjadinya anemia memerlukan waktu 1-2 bulan
setelah infeksi terjadi dan menetap, setelah terjadi keseimbangan antara produksi
dan penghancuran eritrosit dan Hb menjadi stabil.
Anemia pada inflamasi kronis secara fungsional sama seperti pada infeksi
kronis, tetapi lebih sulit karena terapi yang efektif lebih sedikit. Penyakit kolagen
dan artritis reumatoid merupakan penyebab terbanyak. Enteritis regional, kolitis
ulseratif serta sindrom inflamasi lainnya juga dapat disertai anemia pada penyakit
kronis.
Penyakit lain yang sering disertai anemia adalah kanker, walaupun masih
dalam stadium dini dan asimtomatik, seperti pada sarkoma dan limfoma. Anemia
ini biasanya disebut dengan anemia pada kanker.

Pemendekan Masa Hidup Eritrosit


Anemia pada penyakit kronis diduga merupakan suatu sindrom stres
hematologik, yang terjadi karena diproduksinya sitokin secara berlebihan. Sitokin
yang berlebihan ini yang akan menyebabkan sekuestrasi makrofag. Produksi
sitokin yang berlebihan terjadi karena kerusakan jaringan akibat infeksi, inflamasi,
atau kanker. Sindrom stres hematologik ini terdiri dari peningkatan destruksi
eritrosit di limpa, peningkatan ambilan besi oleh makrofag yang tersekuestrasi,
penurunanan produksi eritropoietin di ginjal, dan penurunan respon eritropoiesis
di sumsum tulang. Selain menyebabkan sekuestrasi makrofag, sitokin yang
berlebihan juga akan menyebabkan peningkatan aktivitas fagositosis makrofag
dan sebagai bagian dari filter limpa menjadi kurang toleran terhadap kerusakan
minor eritrosit. Pada keadaan malnutrisi, terjadi penurunan transformasi T 4
menjadi T3 yang mengakibatkan terjadinya hipotiroid fungsional. Hipotiroid
fungsional menyebabkan penurunan kebutuhan terhadap hemoglobin yang
mengangkut besi sehingga produksi eritropoietin berkurang.

Gangguan Produksi Eritrosit


1. Gangguan metabolisme besi.
Pada anemia jenis ini cadangan besi normal tetapi kadar besi
rendah. Jadi, anemia disebabkan oleh penurunan kemampuan Fe dalam
sintesis Hb. Pada umumnya terdapat gangguan absorpsi Fe walaupun
ringan. Ambilan Fe oleh sel –sel usus dan pengikatan apoferitin intrasel
masih normal sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa defek yang
terjadi pada anemia ini yaitu gangguan pembebasan Fe dari makrofag dan
sel- sel hepar pada pasien.

2. Gangguan fungsi sumsum tulang.


Yaitu respon eritropoietin terhadap anemia yang inadekuat. Hal ini
terkait dengan sitokin- sitokin yang dikeluarkan oleh sel yang cedera yaitu
IL-1, TNF-α, dan IFN-gamma. Kadar IFN- gamma berhubungan langsung
dengan beratnya anemia. TNF –α yang dihasilkan oleh makrofag aktif
akan menekan eritropoiesis pada pembentukan BFU-E dan CFU-E. IL-1
akan menekan CFU-E pada kultur sumsum tulang manusia.

GELAJA KLINIS
Karena anemia yang terjadi umumnya derajat ringan dan sedang, sering
kali gejalanya tertutup oleh gejala penyakit dasarnya, karena kadar Hb sekitar 7-
11 g/dL umumnya asimtomatik. Meskipun demikian apabila demam atau debilitas
fisik meningkat, pengurangan kapasitas transpor O2 jaringan akan memperjelas
gejala anemianya atau memperberat keluhan sebelumnya. Pada pemeriksaan fisik
umumnya hanya dijumpai konjungtiva yang pucat tanpa kelainan yang khas dari
anemia jenis ini dan diagnosis biasanya tergantung dari hasil pemeriksaan
laboratorium. 4
TATALAKSANA
Terapi utama pada anemia penyakit kronis adalah mengobati penyakit
dasarnya. Terdapat beberapa pilihan dalam mengobati anemia jenis ini, antara lain

a. Transfusi.
Merupakan pilihan pada kasus-kasus yang disertai gangguan
hemodinamik. Tidak ada batasan yang pasti pada kadar hemoglobin
berapa kita harus memberi transfusi. Beberapa literatur disebutkan bahwa
pasien anemi penyakit kronik yang terkena infark miokard, transfusi dapat
menurunkan angka kematian secara bermakna. Demikian juga pada pasien
anemia akibat kanker, sebaiknya kadar Hb dipertahankan 10-11 g/dL.

b. Preparat Besi
Pemberian preparat besi pada anemia penyakit kronik masih terus
dalam perdebatan. Sebagian pakar masih memberikan preparat besi
dengan alasan besi dapat mencegah pembentukan TNF-α. Alasan lain,
pada penyakit inflamasi usus dan gagal ginjal, preparat besi terbukti dapat
meningkatkan kadar hemoglobin. Terlepas dari adanya pro dan kontra,
sampai saat ini pemberian preparat besi masih belum direkomendasikan
untuk diberikan pada anemia pada penyakit kronis.

c. Eritropoietin
Data penelitan menunjukkan bahwa pemberian eritropoietin
bermanfaat dan sudah disepakati untuk diberikan pada pasien anemia
akibat kanker, gagal ginjal, mieloma multipel, artritis reumatoid dan
pasien HIV. Selain dapat menghindari transfusi beserta efek sampingnya,
pemberian eritropoietin mempunyai beberapa keuntungan, yakni
mempunyai efek anti inflamasi dengan cara menekan produksi TNF-α dan
IFN-γ. Dilain pihak, pemberian eritropoietin akan menambah proliferasi
sel-sel kanker ginjal serta meningkatkan rekurensi pada kanker kepala dan
leher.
Saat ini terdapat 3 jenis eritropoietin, yakni eritropoietin alfa, beta
dan darbopoietin. Masing-masing berbeda struktur kimiawi, afinitas
terhadap reseptor dan waktu paruhnya sehingga memungkinkan kita
memilih mana yang lebih tepat untuk suatu kasus.

Diagnosis Banding Anemia Mikrositik Hipokrom

Pada talasemia minor morfologi darah tepi sama dengan ADB. Salah satu cara
sederhana untuk membedakan kedua penyakit tersebut adalah dengan melihat
jumlah sel darah merah yang meningkat meski sudah anemia ringan dan
mikrositosis, sebaliknya pada ADB jumlah sel darah merah menurun sejajar
dengan penurunan kadar Hb dan MCV. Cara mudah dapat memperoleh dengan
cara membagi nilai MCV dengan jumlah eritrosit, bila nilainya < menunjukkan
talasemia minor sedangkan bila > 13 merupakan ADB. Pada talasemia minor
terutama β thalassemia didapatkan basophilic stippling, dapat diseratai
peningkatan kadar bilirubin plasma dan peningkatan kadar HbA2.(21,36)

Gambaran morfologi darah tepi anemia karena penyakit kronis biasanya


normokrom mikrositik, tetapi bisa juga ditemukan hipokrom mikrositik.
Terjadinya anemia pada penyakit kronis disebabkan terganggunya mobilisasi besi
dan makrofag oleh transferin. Kadar Fe serum dan TIBC menurun meskipun
cadangan besi normal atau meningkat sehingga nilai saturasi transferin noral atau
sedikit menurun, kadar FEP meningkat. Pemeriksaan kadar reseptor transferin
receptor (TfR) sangat berguna dalam membedakan ADB dengan anemia karena
penyakit kronis. Pada anemia karena penyakit kronis kadar TfR normal karena
pada inflamasi kadarnya tidak terpengaruh, sedangkan pada ADB kadarnya
menurun. Peningkatan rasio TfR/feritin sensitif dalam mendeteksi ADB.

Lead poisoning memberikan gambaran darah tepi yang serupa dengan ADB tetapi
didapatkan basophilic stippling kasar yang sangat jelas. Pada keduanya kadar FEP
meningkat. Diagnosis ditegakkan dengan memeriksa kadar lead dalam darah.
Anemia sideroblastik merupakan kelainan yang disebabkan oleh gangguan
sintesis heme, bisa didapat atau herediter.(22) Pada keadaan ini didapatkan
gambaran hipokrom mikrositik dengan peningkatan kadar RDW yang disebabkan
populasi sel darah merah yang dimorfik. Kadar Fe serum dan ST biasanya
meningkat, pada pemeriksaan apus sumsum tulang didapatkan sel darah merah
berinti yang mengandung granula besi (agregat besi dalam mitokondria) yang
disebut ringed sideroblast. Anemia ini umumnya terjadi pada dewasa.

Sumber gambar: @seconopinionID


DAFTAR PUSTAKA

1. Panter

2. Özdemir, N. (2015). Iron deficiency anemia from diagnosis to treatment in


children. Türk Pediatri Arşivi, 50(1), 11–9. doi:10.5152/tpa.2015.2337

3. Abdulsalam, M., & Daniel, A. (2002). Diagnosis, Pengobatan dan


Pencegahan Anemia Defisiensi Besi. Sari Pediatri, 4(2), 2–5.

4. Muhammad, A. (2005). PENENTUAN DEFISIENSI BESI ANEMIA


PENYAKIT KRONIS MENGGUNAKAN PERAN INDEKS sTfR-F
( Determination of iron deficiency in chronic disease anemia by the role of
sTfR-F index ). Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical
Laboratory, 2(1), 9–15.

5. Endang, W. (2013). IDAI - ANEMIA DEFISIENSI BESI PADA BAYI


DAN ANAK. Retrieved February 28, 2016, from
http://idai.or.id/artikel/seputar-kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-
pada-bayi-dan-anak

6. Gatot, D., Idjradinata, P., Abdulsalam, M., Lubis, B., Soedjatmiko, &
Hendarto, A. (2011). Suplementasi Besi Untuk Anak. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.

7. Oehadian, A. (2012). Pendekatan Klinis dan Diagnosis Anemia.


Continuing Medical Education, 39(6), 407–412.

8. Gejala Anemia Sideroblastik, Penyebab Dan Pencegahannya | Gejala


Penyebab Dan Cara Mengatasi. (2014). Retrieved February 28, 2016, from
http://www.referensisehat.com/2014/12/gejala-anemia-sideroblastik-
penyebab.html

9. Irawan, H. (2013). Pendekatan Diagnosis Anemia pada Anak. CDK-205,


40(6), 422–425.

10. Medlinux. (2007). Anemia Pada Anak ~ Seputar Kedokteran. Retrieved


February 28, 2016, from http://medlinux.blogspot.co.id/2007/09/anemia-
pada-anak.html

Anda mungkin juga menyukai