Bukan Hari Istimewa
Bukan Hari Istimewa
Aku dididik orang tua sejak kecil sangat keras untuk mengejar prestasi dan
tetap menjaga sholat. Disekolahku mempunyai teman-teman yang baik, nakal,
hingga berperilaku aneh. Suasana SMP saat itu menyimpan banyak memori yang
kini hanya kenangan.
Hari itu suasana panas mecekram, masa remaja yang labil menimpaku.
Aku tak tau harus pulang kearah mana. Sekelilingku penuh dengan pohon
menjulang tinggi seperti hutan belantara. Tak ada satupun seseorang yang
berpapasan. Cukup waktu yang lama untuk bertemu seseorang disana, pada
sebuah warung dengan jualan yang tak sebanyak di kota pada umumnya. Aku
membeli segelas air mineral dan menanyakan pada pemilik warung tersebut.
“Bu, mau tanya ini di daerah mana ya?”, kataku yang kebingungan dan
cukup panik karena jaringan handphone tidak ada sama sekali.
“Ini di desa A (salah satu desa terpencil zaman itu), adik darimana?”,
jawab pemilik warung dengan wajah penasaran.
Aku pun menjelaskan dengan pemilik warung tersebut, asalku darimana
dan aku tersesat hingga sampai di desa tersebut. Pemilik warung dengan
ramahnya ingin membantuku untuk pulang ke rumah.
“Adik tak bantu untuk pulang ya, tapi tunggu nanti angkot sehabis
jumatan”, pemilik warung menyakinkanku bahwa aku bisa pulang. Memang
kebetulan saat itu hari Jum’at jadi menjawab kenapa des aitu cukup sepi. Karena
menurut mereka, di hari Jum’at itu tidak boleh keluar jika tidak ada kepentingn.
Setelah sholat Jum’at selesai, aku pun diantarkan oleh pemilik warung
menuju tempat pemilik angkot. Ternyata jaraknya cukup jauh, sekitar 3km, aku
yang sudah cemas hanya berpasrah, namun pemilik warung itu selalu
menyakinkanku.
Saat aku masuk rumah, ternyata orang tua ku mencariku. Dengan rasa
menyesal, aku mengakui kesalahanku karena telah pergi tak berpamitan. Aku
berpikir, jika ada masalah itu harus dihadapi bukan untuk dihindari. Karena saat
kita menghindari, akan timbul masalah baru.