Anda di halaman 1dari 76

14

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Modal Sosial

Modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang tercipta dan

norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam

masyarakat dalam spectrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue)

yang menjaga kesatuan anggota masyarakat (bangsa) secara bersama-sama. Modal

sosial ditransmisikan melalui mekanisme-mekanisme kultural, seperti agama,

tradisi, atau kebiasaan sejarah (Fukuyama, 1996).

Modal sosial dibutuhkan guna menciptakan jenis komunitas moral yang

tidak bias diperoleh seperti dalam kasus bentuk-bentuk human capital. Akuisisi

modal sosial memerlukan pembiasaan terhadap norma-norma moral sebuah

komunitas masyarakat dan dalam konteksnya sekaligus mengadopsi kebajikan-

kebajikan seperti kesetiaan, kejujuran, dan keteguhan hati (dependability). Modal

sosial lebih didasarkan pada kebajikan-kebajikan sosial umum, dimana

merupakan tempat meleburnya kepercayaan dan faktor yang penting bagi

kesehatan ekonomi sebuah negara, yang bersandar pada akar-akar kultural

(Fukyama,1996). Modal sosial merupakan energi kolektif masyarakat (atau

bangsa) guna mengatasi problem bersama dan merupakan sumber motivasi untuk

mencapai kemajuan ekonomi bagi masyarakat atau bangsa tersebut (Durkheim,

1973). Secara umum modal sosial adalah merupakan hubungan-hubungan yang

tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan

sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial

14
15

(social glue) yang menjaga kesatuan anggota masyarakat secara bersama-sama.

Unsur utama dan terpenting dari modal sosial adalah kepercayaan (trust). Atau

dapat dikatakan bahwa trust dapat dipandang sebagai syarat keharusan (necessary

condition) dari terbentuk dan terbangunnya modal sosial yang kuat (atau lemah)

dari suatu masyarakat. Pada masyarakat memiliki kapabilitas trust yang tinggi

(high trust), atau memiliki spectrum of trust yang lebar (panjang), maka akan

memiliki potensi modal sosial yang kuat. Sebaliknya pada masyarakat yang

memiliki kapabilitas trust yang rendah (low trust), atau memiliki spectrum of

trust yang sempit (pendek), akan memiliki potensi modal sosial yang lemah.

Modal sosial dirintis Hanifan (1916) di Virginia (Aghajanian, 2012)

menyatakan bahwa modal sosial merupakan sesuatu yang nyata dalam kehidupan

sehari-hari masyarakat seperti simpati, hubungan sosial dalam masyarakat, dan

kehidupan bermasyarakat yang membentuk suatu unit sosial. Makna modal sosial

itu mengacu pada kekuatan hubungan sosial dalam bermasyarakat, termasuk

kehidupan individu dalam keluarga, maupun kelompok sosial. Kekuatan hubungan

sosial tercermin dari perilaku baik, rasa bersahabat, saling simpati, serta membina

hubungan dan kerja sama yang erat diantara individu dalam keluarga yang

membentuk suatu kelompok sosial dalam kehidupan bermasyarakat (Kushandajani,

2006). Konsep ini didaur ulang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Konsep modal

sosial (social capital) diperkenalkan kembali oleh Putnam (1993) sewaktu meneliti

Italia pada tahun 1985. Fukuyama berpendapat bahwa tidak ada kesepakatan

tentang definisi yang pasti tentang modal sosial.


16

Menurut Putnam (1993) modal sosial adalah kemampuan warga untuk

mengatasi masalah publik dalam iklim demokratis. Schaft dan Brown (2002)

menyatakan bahwa modal sosial adalah norma dan jaringan yang melancarkan

interaksi dan transaksi sosial sehingga segala urusan bersama masyarakat dapat

diselenggarakan dengan mudah. Modal sosial menurut Fukuyama ( 1991) adalah

serangkaian nilai atau norma sosial yang dihayati oleh anggota kelompok, yang

memungkinkan terjadinya kerja sama diantara para anggota. Salah satu modal

sosial yang terpenting adalah trust atau kepercayaan. Pendapat tersebut didukung

oleh Paldam (2000) bahwa kepercayaan adalah keyakinan para anggota masyarakat

dan dapat diandalkan karena saling berlaku jujur. Kepercayaan bagaikan minyak

pelumas yang akan membuat kelompok masyarakat atau organisasi dapat bertahan.

Setiap masyarakat memiliki persediaan modal sosial yang berbeda-beda

dalam radius dari kepercayaan, yaitu seberapa jauh jangkauan norma-norma moral

kerjasama, seperti kejujuran pemenuhan kewajiban, solidaritas, dan rasa keadilan

berlaku. Apakah kepercayaan satu terhadap lainnya berlaku untuk keluarga atau

kelompoknya saja, atau berlaku juga bagi kelompok yang lebih luas. Kepercayaan

merupakan unsur penting dalam pembentukan modal sosial (social capital), yang

pada akhirnya berdampak pada produktivitas nasional. Hilangnya kepercayaan

ini mengakibatkan banyak energi dan waktu terbuang untuk mengatasi berbagai

konflik yang terjadi. Pembentukan modal sosial dan kepercayan tidak terlepas dari

permasalahan budaya. Semakin tinggi nilai modal sosial suatu masyarakat semakin

tinggi pula tingkat kebudayaannya. Pada akhirnya budaya menjadi fokus dalam

perbaikan kualitas kehidupan bangsa.


17

Coleman (1990) mengemukakan konsep modern tentang modal sosial.

Modal sosial menjadi fokus diskusi dan penelitian serta pengembangannya dalam

berbagai kebijakan pembangunan terutama banyak diilhami oleh karya-karya

Robert D Putnam seperti; (1) making democracy work: civic transition in modern

Italy, 1993, dan bowling alone: america’s declining social capital,1995. Begitu

juga dengan Fukuyama dengan karyanya; (1) the end of history and the last man,

1992; (2) trust, the social virtues and the creation of prosperity, 1995; (3) the great

disruption, human nature and the reconciliation of human order, 1999; (4) social

capital and civil society, 1999; (5) social capital and development: the coming,

2002, dan karyanya yang lain. Bordieu (1983, 1986) dengan teori sosialnya.

Coleman (1998) yang mengkhususkan bahasannya pada dimensi modal sosial dan

pendidikan serta masih banyak lagi para pemikir modal sosial yang lainnya.

Berdasarkan teori yang dikemukakan tersebut, modal sosial merupakan

kemampuan seseorang untuk bekerja sama dalam kelompoknya. Kemampuan

tersebut terlaksana karena adanya kepercayaan yang kuat untuk membangun kerja

sama melalui jaringan interaksi dan komunikasi yang harmonis dan kondusif.

Intensitas komunikasi yang tinggi dan dalam waktu yang lama memungkinkan

hubungan tersebut diikat dengan norma aturan yang belaku.

2.1.1 Definisi modal sosial

Modal sosial adalah sumber daya yang dapat dipandang sebagai investasi

untuk mendapatkan sumber daya baru. Seperti diketahui bahwa sesuatu yang

disebut sumber daya (resources) adalah sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
18

dikonsumsi, disimpan dan diinvestasikan. Sumberdaya yang digunakan untuk

investasi disebut sebagai modal.

Modal sosial berbeda dengan istilah populer lainnya yaitu modal manusia

(human capital). Pada modal manusia segala sesuatunya lebih merujuk ke dimensi

individual yaitu daya dan keahlian yang dimiliki oleh seorang individu. Modal

sosial juga sangat dekat dengan terminologi sosial lainnya seperti yang dikenal

sebagai kebajikan sosial (social virtue). Perbedaan keduanya terletak pada dimensi

jaringan. Kebajikan sosial akan sangat kuat dan berpengaruh jika di dalamnya

melekat perasaan keterikatan untuk saling berhubungan yang bersifat timbal balik

dalam suatu bentuk hubungan sosial.

Putnam (2000) memberikan proposisi bahwa suatu entitas masyarakat yang

memiliki kebajikan sosial yang tinggi, tetapi hidup secara sosial terisolasi akan

dipandang sebagai masyarakat yang memiliki tingkat modal sosial rendah. Collin

(1981) melakukan kajian tentang apa yang dia sebut sebagai phenomena mikro dan

interaksi sosial yaitu norma dan jaringan (the norms and networks) yang sangat

berpengaruh pada kehidupan organisasi sosial. Norma yang terbentuk dan

berulangnya pola pergaulan keseharian akan menciptakan aturan-aturan tersendiri

dalam suatu masyarakat.

Aturan yang terbentuk tersebut kemudian akan menjadi dasar yang kuat

dalam setiap proses transaksi sosial, dan akan sangat membantu menjadikan

berbagai urusan sosial lebih efisien. Ketika norma ini kemudian menjadi norma

asosiasi atau norma kelompok, akan sangat banyak manfaatnya dan

menguntungkan kehidupan institusi sosial tersebut. Kekuatan-kekuatan sosial


19

dalam melakukan interaksi antar kelompok akan terbentuk. Pada akhirnya

mempermudah upaya mencapai kemajuan bersama.

Bank Dunia (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai sesuatu yang

merujuk ke dimensi institusional, hubungan- hubungan yang tercipta, dan norma

norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat.

Cohen dan Prusak (2001) memberikan pengertian bahwa modal sosial sebagai stok

dan hubungan yang aktif antarmasyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat

oleh kepercayaan (trust) kesalingpengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai

bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat

kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif.

Berdasarkan berbagai definisi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan

bahwa modal sosial adalah modal yang dalam prakteknya telah lahir sejak manusia

membentuk komunitas dalam kurun waktu yang cukup lama. Kebersamaan

tersebut melahirkan rasa saling percaya, saling terbuka, saling memperhatikan atau

saling memberi dan menerima tanpa pamrih. Kepercayaan yang melekat pada

setiap individu dalam komunitas tersebut memberi ruang untuk selalu melakukan

interaksi dan membangun relasi yang intim, serta jaringan yang lebih luas dalam

memenuhi kebutuhan baik individu maupun kelompok yang dibingkai oleh norma

aturan yang dibuat bersama.

Jadi modal sosial dapat dikatakan sebagai pendorong terlaksananya modal-

modal lain. Modal sosial lebih menekankan pada hubungan antar manusia yang

terlihat jelas dari adanya relasi dan interaksi diantara pihak yang terlibat dan modal

manusia ditekankan pada kemampuan manusia dalam kualitas diri yang ditunjukan
20

oleh kinerja yang nyata dapat diukur melalui kemampuan pengetahuan, sikap,

keterampilan, dan lain-lain.

2.1.2 Unsur pokok modal sosial

1. Partisipasi dalam suatu jaringan. Salah satu kunci keberhasilan membangun

modal sosial terletak pula pada kemampuan sekelompok orang dalam suatu

asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan

hubungan sosial. Masyarakat selalu berhubungan sosial dengan masyarakat

yang lain melalui berbagai variasi hubungan yang saling berdampingan dan

dilakukan atas prinsip kesukarelaan (voluntary), kesamaan (equality),

kebebasan (freedom), dan keadaban (civility). Kemampuan anggota anggota

kelompok/masyarakat untuk selalu menyatukan diri dalam suatu pola

hubungan yang sinergetis akan sangat besar pengaruhnya dalam menentukan

kuat tidaknya modal sosial suatu kelompok.

2. Resiprocity. Modal sosial senantiasa diwarnai oleh kecenderungan saling tukar

kebaikan antar individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri.

Pola pertukaran ini bukanlah sesuatu yang dilakukan secara resiprokal seketika

seperti dalam proses jual beli, melainkan suatu kombinasi jangka pendek dan

jangka panjang dalam nuansa altruism (semangat untuk membantu dan

mementingkan kepentingan orang lain). Semangat untuk membantu bagi

keuntungan orang lain. Imbalannya tidak diharapkan seketika dan tanpa batas

waktu tertentu. Pada masyarakat, dan pada kelompok-kelompok sosial yang

terbentuk, yang di dalamnya memiliki bobot resiprositas kuat akan melahirkan

suatu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Keuntungan


21

lain, masyarakat tersebut akan lebih mudah membangun diri, kelompok,

lingkungan sosial, dan fisik secara hebat.

3. Trust. Trust atau rasa percaya (mempercayai) adalah suatu bentuk keinginan

untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang didasari

oleh perasaan yakin bahwa orang lain akan melakukan sesuatu seperti yang

diharapkan dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang

saling mendukung, paling kurang yang lain tidak akan bertindak merugikan

diri dan kelompoknya (Putnam, 1993, 1995, dan 2002). Dalam pandangan

Fukuyama (1996), kepercayaan adalah sikap saling mempercayai di masya-

rakat, memungkinkan masyarakat tersebut bersatu dengan yang lain dan

memberikan kontribusi pada peningkatan modal sosial.

4. Norma sosial. Norma-norma sosial akan sangat berperan dalam mengontrol

bentuk-bentuk perilaku yang tumbuh dalam masyarakat. Pengertian norma itu

sendiri adalah sekumpulan aturan yang diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh

anggota masyarakat pada suatu entitas sosial tertentu. Norma-norma ini

biasanya terinstusionalisasi dan mengandung sangsi sosial yang dapat

mencegah individu berbuat sesuatu yang menyimpang dan kebiasaan yang

berlaku di masyarakatnya. Aturan-aturan kolektif tersebut biasanya tidak

tertulis tapi dipahami oleh setiap anggota masyarakatnya dan menentukan pola

tingkah laku yang diharapkan dalam konteks hubungan sosial.

5. Nilai-Nilai. Nilai adalah sesuatu ide yang telah turun temurun dianggap benar

dan penting oleh anggota kelompok masyarakat.


22

6. Tindakan proaktif. Salah satu unsur penting modal sosial adalah keinginan

yang kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi

senantiasa mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan

masyarakat. Ide dasar dan premis ini, bahwa seseorang atau kelompok

senantiasa kreatif dan aktif. Mereka melibatkan diri dan mencari kesempatan

kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja dan sisi material tapi juga

kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan kelompok, tanpa merugikan

orang lain, secara bersama-sama. Mereka cenderung tidak menyukai bantuan

bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan untuk lebih

banyak melayani secara proaktif.

7. Modal sosial yang menjembatani (bridging social capital). Bentuk modal

sosial ini atau biasa juga disebut bentuk modern dan suatu pengelompokan,

group, asosiasi atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasian yang dianut

didasarkan pada prinsip universalisme tentang persamaan, kebebasan, nilai-

nilai kemajemukan dan kemanusiaan (humanitarian), terbuka, dan mandiri.

Prinsip pertama yaitu persamaan bahwasanya setiap anggota dalam

suatu kelompok memiliki hak hak dan kewajiban yang sama. Setiap keputusan

kelompok berdasarkan kesepakatan yang egaliter dan setiap anggota kelompok.

Kedua, adalah kebebasan, bahwasanya setiap anggota kelompok bebas

berbicara, mengemukakan pendapat dan ide yang dapat mengembangkan

kelompok tersebut. Ketiga, adalah kemajemukan dan kemanusiaan. Bahwasan-

nya nilai-nilai kemanusiaan, penghormatan terhadap hak asasi setiap anggota


23

dan orang lain merupakan prinsip-prinsip dasar dalam pengembangan asosiasi,

group, kelompok atau melalui masyarakat tertentu.

2.1.3 Bentuk modal sosial

Memperhatikan berbagai pengertian modal sosial yang sudah dikemukakan,

maka pengertian modal sosial yang lebih luas adalah berupa jaringan sosial,

atau sekelompok orang yang dihubungkan oleh perasaan simpati dan kewajiban

serta oleh norma pertukaran dan civic engagement. Jaringan terbentuk karena

berasal dari daerah yang sama, kesamaan kepercayaan politik atau agama,

hubungan genealogis, dan lain-lain. Namun pembentukan jaringan masyarakat

untuk mendapatkan modal sosial perlu diorganisasikan dalam suatu institusi

dengan perlakuan khusus. Mekanisme modal sosial yang dapat dilakukan adalah

dengan cara kerjasama.

Kerjasama merupakan salah satu upaya penyesuaian dan koordinasi tingkah

laku dalam mengatasi konflik. Konflik tersebut timbul karena tingkah laku

seseorang atau kelompok yang dianggap menjadi penghambat bagi orang atau

kelompok lain dan berdampak pada ketidakharmonisan. Dengan demikian ciri

modal sosial sebagai sebuah modal yang bersifat sosial, dapat membentuk relasi

sosial yang mampu bersinergi dan berkompetisi untuk mencapai kemenangan.

Modal sosial merupakan konsep yang sering digunakan untuk menggam-

barkan kapasitas sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memelihara

integrasi sosial. Berdasarkan penjabaran yang dikemukakan pengertian modal

sosial yang berkembang selama ini mengarah pada terbentuknya tiga level modal
24

sosial, yakni pada level nilai, kultur, persepsi, dan institusi, serta mekanisme,

sebagaimana terlihat pada Gambar 2.1.

Nilai, Kultur, Persepsi :


Simpati, kewajiban, kepercayaan,
norma pertukaran

Institusi:
Mekanisme :
Ikatan antar dan
Tingkah laku, kerja
dalam institusi,
sama, sinergi
jaringan
Gambar 2.1
Level Modal Sosial
Sumber : Diadaptasi dari Praktikno, dkk. (2001)

Berdasarkan paparan yang telah dikemukakan, dalam pengertian yang luas,

modal sosial bisa berbentuk jaringan sosial atau sekelompok orang yang

dihubungkan oleh perasaan simpati, kewajiban, norma pertukaran, dan civic

engagement yang kemudian diorganisasikan menjadi sebuah institusi yang

memberikan perlakuan khsusus terhadap mereka yang dibentuk oleh jaringan

untuk mendapatkan modal sosial dari jaringan tersebut. Dalam level mekanis-

menya, modal sosial dapat mengambil bentuk kerjasama sebagai upaya penye-

suaian dan koordinasi tingkah laku yang diperlukan untuk mengatasi konflik.

Kahne dan Baeily (1999) membingkai modal sosial dengan kebersamaan

yaitu modal sosial dengan karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat

sosial) dalam suatu sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota

keluarga mempunyai hubungan kekerabatan dengan keluarga yang lain yang

mungkin masih berada dalam satu etnis. Disini masih berlaku sistem kekerabatan
25

berdasarkan klen. Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa

empati/kebersamaan, mewujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya,

resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yang mereka percaya.

Dalam komunitas ini, rule of law/aturan main merupakan aturan atau

kesepakatan bersama dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan

sanksi yang jelas seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sanksi non

formal yang akan diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa

pengucilan, rasa tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan

komunitasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang

tidak melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya ( Kahne dan Bailey, 1999).

Hal ini berakibat akan adanya social order/keteraturan dalam masyarakat.

Selanjutnya, adalah tipe perikatan, merupakan suatu ikatan sosial yang timbul

sebagai reaksi atas berbagai macam karakteristik kelompoknya. Hal ini muncul

karena berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya sehingga kelompok

masyarakat tersebut memutuskan untuk membangun suatu kekuatan dari

kelemahan yang ada.

Aldridge (2001) menggambarkannya sebagai “pelumas sosial”, yaitu

pelancar dari roda-roda penghambat jalannya modal sosial dalam sebuah

komunitas. Wilayah kerjanya lebih luas dari pada tipe yang pertama.

Modal sosial bisa bekerja lintas kelompok etnis, maupun kelompok

kepentingan. Misalnya “Asosasi Masyarakat Adat Indonesia.” Kelompok ini bisa

beranggotakan seluruh masyarakat adat yang ada di Indonesia, baik di Sumatra,


26

Kalimantan, sampai dengan Papua. Keanggotaannya lebih luas dan tidak hanya

berbasis pada kelompok tertentu (Tempo Interaktif Kamis 20 September 2001).

Sementara itu secara lebih jelas, Woolcock (2002) mencoba membedakan

tiga macam tipe modal sosial yaitu: ( 1) Modal Sosial: karakteristik karena adanya

ikatan yang kuat (atau "perekat sosial") seperti antara anggota atau antara anggota

keluarga dari kelompok etnis; (2) hubungan yang menjembatani; dan (3) hubungan

sosial yakni menghubungkan karakteristik sosial melalui hubungan antara orang

dengan tingkat kekuasaan yang berbeda atau seperti hubungan status sosial antara

elit politik dan masyarakat atau antara individu dari kelas sosial yang berbeda.

Ketiga pandangan tersebut sebenarnya merupakan prinsip yang menjadi

dasar pengelompokan modal sosial, seperti yang sudah dibahas sebelumnya. Modal

sosial yang mengikat (bounding social capital) merupakan jenis modal sosial lebih

banyak bekerja secara internal dan solidaritas yang dibangun karenanya

menimbulkan kohesi sosial yang lebih bersifat mikro dan komunal karena itu

hubungan yang terjalin di dalamnya lebih bersifat eksklusif. Sedangkan modal

sosial yang menjembatani) sebaliknya, ia lebih bersifat inklusif dengan lebih

banyak menjalin jaringan dengan potensi eksternal yang melekat padanya. Modal

sosial yang menghubungkan (social linking) merupakan modal sosial yang

bergerak pada tataran lebih luas, karena mereka tidak membedakan kelas dan

status sosialnya.

Konferensi tingkat tinggi (KTT) pembangunan sosial yang dilaksanakan di

Kopenhagen Maret 1995, konsep modal sosial menjadi topik yang hangat dan

kata kunci dalam merespon tiga agenda pokok konferensi yakni: mengurangi
27

kemiskinan, menciptakan angkatan kerja yang produktif, dan meningkatkan

integrasi sosial (Raharjo, 2001). Gambar 2.2 menunjukkan bahwa modal sosial

pada praktiknya tidak hanya membawa dampak positif tapi juga dampak negatif

aktivitas agroekowisata, bila tidak dikelola dengan baik. Munculnya dampak

negatif ini, disebabkan oleh keterbatasan dalam modal sosial, antara lain akibat

dari pendekatan, unit analisis, rentang cakupan, dan orientasi analisis yang masih

sangat luas dan multidimensional, sehingga menyulitkan dalam pengukuran dan

pengembangan kapasitas modal sosial untuk berperan aktif dalam memberdayakan

masyarakat pada segala bidang, termasuk dalam pengembangan agroekowisata.

Faktor Luar Komunitas Faktor Dalam Komunitas


1. Agama Modal Sosial 1. Organisasi sosial dalam
2. Globalisasi 1.Kelompok/Group komunitas: Kepercayaan
3. Urbanisasi 2.Identitas Kolektif: Norma / lokal, pola, dan sistem
4. Politik dan pemerintahan nilai; trust reciprocity, produksi, serta reproduksi,
5. Kebijakan pemerintah partisipasi dan proactivity serta politik lokal
6. Pendidikan 3. Tujuan bersama 2. Norma dan nilai-nilai
7. Hukum dan UU 4. Kerja sama kelompok (group (nilai uang, waktu, dan
8. Tingkat kriminalitas collaboration) nilai-nilai yang melekat
9. Nilai-nilai universal dalam komunitas)

Jaringan Sosial (Group and Social Network)


1. Typology jaringan (Network type : bonding, bridging & lingking)
2. Struktur jaringan ( relasi kekuasaan, rentang, & besaran, orientasi hubungan, dll)
3. Spektrum transaksi jaringan & kualitas jaringan (network transaction and network qualities:
support strukture, kualitas interaksi)

Hasil/Dampak Positif Social Capital Hasil/Dampak Negatif Social Capital


1. Kohesifitas kelompok 1. Eksklusifisme sosial, kesukuan, & sektarian
2. Memperluas jaringan eskternalitas positif 2. Sikap intoleran pada perbedaan & pihak lain
3. Sikap toleran dan inklusif 3. Hancurnya kesatuan
4. Meningkatnya ketahanan sosial dan komu- 4. Korupsi & nepotisme atas nama kelompok
nitas, mampu mengatasi kerawanan sosial. 5. Munculnya hambatan pembangunan
5. Lebih mengoptimalkan pd pembangunan 6. Penentangan terhadap perubahaan
6. Meningkatnya pengetahuan, ide baru dan
kesejahteraan masyarakat

Gambar 2.2
Interrelasi Modal Sosial dengan Berbagai Faktor
Sumber: diadaptasi dari Hasbullah ( 2006)
28

2.1.4 Peran dan fungsi modal sosial

Modal sosial mempunyai peran dan fungsi sebagai berikut: (1) alat untuk

menyelesaikan konflik yang ada di dalam masyarakat; (2) memberikan kontribusi

tersendiri bagi terjadinya integrasi sosial; (3) membentuk solidaritas sosial

masyarakat dengan pilar kesukarelaan; (4) membangun partisipasi masyarakat;

(5) sebagai pilar demokrasi; dan (6) menjadi alat tawar menawar pemerintah

Disintegrasi sosial terjadi karena potensi konflik sosial yang tidak dikelola

secara efektif dan optimal, sehingga termanifest dengan kekerasan. Sebagai alat

untuk mengatasi konflik yang ada di dalam masyarakat dapat dilihat dari adanya

hubungan antara individu atau kelompok yang ada di dalam masyarakat yang bisa

menghasilkan trust, norma pertukaran serta civic engagement yang berfungsi

sebagai perekat sosial yang mampu mencegah adanya kekerasan.

Namun demikian, perlu dicatat bahwa dalam kehidupan yang positif

diperlukan adanya perubahan di dalam masyarakat. Dari modal sosial yang

eksklusif dalam suatu kelompok menjadi modal sosial yang inklusif yang

merupakan esensi penting dalam sebuah masyarakat yang demokratis.

2.1.5 Tiga tipe modal sosial

Woolcock (2001) menyebutkan tiga tipe modal sosial sebagai berikut.

1. Social bounding ( perekat sosial) nilai, kultur, persepsi, dan tradisi atau adat-

istiadat. Pengertian social bounding adalah, tipe modal sosial dengan

karakteristik adanya ikatan yang kuat (adanya perekat sosial) dalam suatu

sistem kemasyarakatan. Misalnya, kebanyakan anggota keluarga mempunyai

hubungan kekerabatan dengan keluarga lain.


29

Hubungan kekerabatan ini bisa menyebabkan adanya rasa empati

/kebersamaan. Bisa juga menwujudkan rasa simpati, rasa berkewajiban, rasa

percaya, resiprositas, pengakuan timbal balik nilai kebudayaan yg mereka

percaya. Rule of law/aturan main merupakan aturan atau kesepakatan bersama

dalam masyarakat, bentuk aturan ini bisa formal dengan sanksi yang jelas

seperti aturan Undang-Undang. Namun ada juga sangsi non-formal yang akan

diberikan masyarakat kepada anggota masyarakatnya berupa pengucilan, rasa

tidak hormat bahkan dianggap tidak ada dalam suatu lingkungan komuni-

tasnya. Ini menimbulkan ketakutan dari setiap anggota masyarakat yang tidak

melaksanakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal ini berakibat akan adanya

sosial order/ keteraturan dalam masyarakat.

2. Social bridging (jembatan sosial), bisa berupa institusi maupun mekanisme.

Social bridging merupakan suatu ikatan sosial yang timbul sebagai reaksi atas

berbagai macam karakteristik kelompoknya. Ia bisa muncul karena adanya

berbagai macam kelemahan yang ada di sekitarnya, sehingga mereka

memutuskan untuk membangun kekuatan dari kelemahan.

Social bridging bisa juga dilihat dengan adanya keterlibatan umum

sebagai warga negara (civic engagement), asosiasi, dan jaringan. Tujuannya

adalah mengembangkan potensi yang ada dalam masyarakat agar masyarakat

mampu menggali dan memaksimalkan kekuatan yang mereka miliki baik SDM

(sumber daya manusia) dan SDA (sumber daya alam) dapat dicapai.

Kapasitas modal sosial termanifestasikan dalam ketiga bentuk modal

sosial tersebut (nilai, institusi, dan mekanisme) yang dapat memfasilitasi dan
30

menjadi arena dalam hubungan antarwarga, antarkelompok yang berasal dari

latar belakang berbeda, baik dari sudut etnis, agama, maupun tingkatan sosial

ekonomi. Ketidakmampuan untuk membangun nilai, institusi, dan mekanisme

bersifat lintas kelompok akan membuat masyarakat yang bersangkutan tidak

mampu mengembangkan modal sosial untuk membangun integrasi sosial.

3. Social linking (hubungan/jaringan sosial). Merupakan hubungan sosial yang

dikarakteristikkan dengan adanya hubungan di antara beberapa level dari

kekuatan sosial maupun status sosial yang ada dalam masyarakat. Misalnya:

Hubungan antara elite politik dengan masyarakat umum. (Dalam hal ini elite

politik yang dipandang khalayak sebagai public figure/tokoh, dan mempunyai

status sosial dari pada masyarakat kebanyakan. Namun mereka sama-sama

mempunyai kepentingan untuk mengadakan hubungan.

Pada dasarnya ketiga tipe modal sosial ini dapat bekerja tergantung

dari keadaannya. Ia dapat bekerja dalam kelemahan maupun kelebihan dalam

suatu masyarakat. Ia dapat digunakan dan dijadikan pendukung sekaligus

penghambat dalam ikatan sosial tergantung bagaimana individu dan

masyarakat memaknainya.

2.1.6 Parameter dan indikator modal sosial

Modal sosial mirip bentuk-bentuk modal lainnya, dalam arti ia juga bersifat

produktif. Modal sosial dapat dijelaskan sebagai produk relasi manusia satu sama

lain, khususnya relasi yang intim dan konsisten. Modal sosial menunjuk pada

jaringan, norma, dan kepercayaan yang berpotensi pada produktivitas masyarakat.


31

Namun demikian, pada masyarakat dikenal beberapa jenis modal, yaitu modal

budaya (cultural capital), modal manusia (human capital), modal keuangan

(financial capital) dan modal fisik.

Modal budaya lebih menekankan pada kemampuan yang dimiliki

seseorang, yang diperoleh dari lingkungan keluarga atau lingkungan sekitarnya

Modal keuangan merupakan uang tunai yang dimiliki, tabungan pada bank,

investasi, fasilitas kredit dan lainya yang bisa dihitung dan memiliki nilai nominal.

Modal fisik dikaitkan dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan material atau

fisik. (Putnam, 1993).

Modal manusia lebih merujuk pada kemampuan, keahlian yang dimiliki

individu. Manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam organisasi.

Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan

menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal manusia,

yakni: modal intelektual, modal emosional, modal sosial, modal ketabahan

(adversity), modal moral, dan modal kesehatan (Ancok, 2007). Jadi modal sosial

berbeda dengan modal lain tersebut, karena modal sosial bersifat kumulatif dan

berkembang dengan sendirinya (Putnam, 1993). Karenanya, modal sosial tidak

akan habis jika dipergunakan, melainkan semakin meningkat. Rusaknya modal

sosial lebih sering disebabkan bukan karena dipakai, melainkan karena ia tidak

dipergunakan.

Berbeda dengan modal manusia, modal sosial juga menunjuk pada

kemampuan orang untuk berasosiasi dengan orang lain (Coleman, 1988). Manusia

sebagai makhluk multidimensi berkontribusi besar sebagai modal tenaga kerja


32

melalui dua potensi modal yang melekat padanya yakni modal manusia dan modal

sosial. Pembangunan ekonomi suatu wilayah sepantasnya diawali dengan

pembangunan komponen modal sosial dan modal manusia. Modal sosial sendiri

diukur melalui partisipasi dalam kegiatan sosial sehingga dapat mengurangi

kemiskinan. Penekanan tingkat kemiskinan ini dilaksanakan melalui eksternalitas

positif (transfer pengetahuan dan teknologi) yang memengaruhi produktivitas

rumah tangga (Alesina dan Ferrara, 1999).

Setiap program pengembangan pembangunan diperlukan sumberdaya

manusia berkualitas untuk mencapai tujuannya. Sumber daya manusia yang

dimaksud mencakup modal manusia yang ditekankan pada kualitasnya, dan modal

sosial untuk memercepat proses dan mutu hasil pengembangan pembangunan.

Mengacu pada norma-norma dan nilai-nilai bersama, asosiasi antarmanusia

tersebut menghasilkan kepercayaan dan memiliki nilai ekonomi yang besar dan

terukur (Fukuyama, 1996).

Kedua sumberdaya tersebut memiliki keunikan masing-masing. Jadi

keunikan pada modal manusia terlihat pada kecerdasan yang nyata dilihat melalui

ketrampilan, jenjang pendidikan formal, dan pada modal sosial terlihat pada

kemampuan bekerja sama dan meluasnya jaringan kerja sama dan relasi yang

dibangun oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu komunitas.

Perbedaan modal manusia dan modal sosial tersebut dapat dilihat dari sisi fokus,

ukuran, output, dan model (Coleman, 1988).


33

Tabel 2.1
Perbedaan Modal Manusia dan Modal Sosial

No. Faktor Modal


pembeda Manusia Sosial
1. Fokus terletak pada potensi perorangan terletak pada hubungannya
misalnya dalam hal mutu dengan jejaring sosial yang
sumberdaya manusia dibentuk organisasi. Basisnya
adalah saling percaya di antara
individu. Hal ini menjadi
modal dalam membangun
kerjasama dan solidaritas.

2. Pengukuran Jauh lebih mudah, bisa dilihat Cukup sulit dilihat dari gam-
dari lamanya sekolah, kualifi- baran abstrak tentang sikap
kasi, dan kompetensinya. Terma- (nilai), partisipasi dan keperca-
suk dapat diukur kiner-janya yaan. Dan sering dilihat dari
yang merupakan fungsi dari gambaran sejauh mana modal
mutu sumberdaya manusianya. sosial, misalnya kekuatan jeja-
ring sosial ekonomi mampu
mengembangkan program
pengembangan organisasi.

3. Output Pendapatan dan produktifitas; Bisa berdampak pada ekonomi


dan tak langsung berupa kese- masyarakat. Misalnya kohesi
hatan dan kegiatan sosial di sosial akan mampu memerkuat
lingkungan organisasi jejaring sosial sehingga dapat
memerlancar usaha-usaha eko-
nomi bisnis masyarakat seki-
tarnya. Begitu pula pelatihan
dapat berpengaruh terhadap
produktivitas kerja namun juga
bisa meningkatkan kemam-
puan seseorang dalam memba-
ngun jejaring sosial.

4. Model Sangat terkait dengan keberha- Tidak mudah melihat dampak-


silan investasi. Secara langsung nya terhadap pengembangan
pengaruhnya dapat dilihat dalam organisasi.
meningkatkan pendapatan bisnis. Lebih menonjol adalah terja-
dinya proses interaktif antar-
komponen karyawan secara
sirkular. Pengaruhnya adalah
dalam memerkuat model
pengembangan elemen modal
sosial yang ada.
34

Merujuk pada Ridell (1997), ada tiga parameter modal sosial, yaitu

kepercayaan (trust), norma-norma (norms), dan jaringan-jaringan (networks).

1. Kepercayaan. Sebagaimana dijelaskan Fukuyama (1996), kepercayaan adalah

harapan yang tumbuh di dalam sebuah masyarakat yang ditunjukkan oleh

adanya perilaku jujur, teratur, dan kerjasama berdasarkan norma-norma yang

dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap

pemahaman ini. Cox (1995) kemudian mencatat bahwa dalam masyarakat yang

memiliki tingkat kepercayaan tinggi, aturan-aturan sosial cenderung bersifat

positif; hubungan-hubungan juga bersifat kerjasama. Menurutnya kita

mengharapkan orang lain untuk mewujudkan niat baik, dan percaya kepada

sesama manusia. Kita cenderung untuk bekerja sama, untuk berkolaborasi

dengan orang lain dalam hubungan kolegial / kekerabatan. (Cox, 1995).

Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang

baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga

sosial yang kokoh; modal sosial melahirkan kehidupan sosial yang harmonis

(Putnam, 1995). Kerusakan modal sosial akan menimbulkan anomie

(kekacauan tanpa aturan) dan perilaku anti sosial (Cox, 1995).

2. Norma. Norma-norma terdiri atas pemahaman-pemahaman, nilai-nilai,

harapan-harapan dan tujuan-tujuan yang diyakini dan dijalankan bersama oleh

sekelompok orang. Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan

moral, maupun standar-standar sekuler seperti halnya kode etik profesional.

Norma-norma dibangun dan berkembang berdasarkan sejarah kerjasama di

masa lalu dan diterapkan untuk mendukung iklim kerjasama (Putnam, 1993;
35

Fukuyama, 1995). Norma-norma dapat merupakan pra-kondisi maupun

produk dari kepercayaan sosial.

3. Jaringan sosial. Infrastruktur dinamis dari modal sosial berwujud jaringan-

jaringan kerjasama antar manusia (Putnam, 1993). Jaringan tersebut

memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi, memungkinkan tumbuhnya

kepercayaan dan memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat cenderung

memiliki jaringan-jaringan sosial yang kokoh. Orang mengetahui dan bertemu

dengan orang lain, mereka kemudian membangun inter-relasi yang kental, baik

bersifat formal maupun informal (Onyx, 1996). Putnam (1995) berargumen

bahwa jaringan-jaringan sosial yang erat akan memperkuat perasaan kerjasama

para anggotanya serta manfaat-manfaat dari partisipasinya itu.

Berdasarkan pada parameter tersebut, beberapa indikator kunci yang

dapat dijadikan ukuran modal sosial antara lain: (1) perasaan identitas;

(2) perasaan memiliki atau sebaliknya, perasaan alienasi; (3) sistem kepercayaan

dan ideologi; (4) nilai-nilai dan tujuan-tujuan; (5) ketakutan-ketakutan; (6) sikap-

sikap terhadap anggota lain dalam masyarakat; (7) persepsi mengenai akses

terhadap pelayanan, sumber dan fasilitas (misalnya pekerjaan, pendapatan,

pendidikan, perumahan, kesehatan, transportasi, jaminan sosial); (8) opini

mengenai kinerja pemerintah yang telah dilakukan terdahulu; (9) keyakinan dalam

lembaga-lembaga masyarakat dan orang-orang pada umumnya; (10) tingkat

kepercayaan; (11) kepuasaan dalam hidup dan bidang-bidang kemasyarakatan

lainnya; dan (12) harapan yang ingin dicapai di masa depan (Spellerber, 1997;

Suharto, 2005).
36

Modal sosial dapat dikatakan lahir dari bawah (bottom-up), tidak hierarkis

dan berdasar pada interaksi yang saling menguntungkan. Oleh karena itu, modal

sosial bukan merupakan produk dari inisiatif dan kebijakan pemerintah. Namun

demikian, modal sosial dapat ditingkatkan atau dihancurkan oleh negara melalui

kebijakan publik (Cox, 1995; Onyx, 1996).

Kaitannya dengan agroekowisata bahwa modal sosial yang bersifat bottom-

up lebih menekankan pada pemberdayaan berbasis masyarakat. Kepercayaan

pemerintah kepada masyarakat untuk membangun diri sendiri dapat membang-

kitkan semangat kemandirian yang tinggi. Sebaliknya pengembangan agroeko-

wisata berbasis investasi, sarat dengan berbagai kebijakan publik yang cenderung

mengikat dan memaksa. Jika kebijakan tersebut tidak mempertimbangkan modal

sosial, dapat mematikan kreativitas masyarakat dan menjurus pada kehancuran.

Untuk mengatasi masalah tersebut, Pretty menampilkan posisi strategis dalam

pengentasan kemiskinan dan pembanguan pertanian.

Posisi strategis modal sosial dalam pengentasan kemiskinan dan

pembangunan pertanian tergambar dalam konsep dan pendekatan “asset-based

sustainable development” atau pembangunan pertanian berkelanjutan dari Pretty

(1999), dan konsep “The Sustainable Livelihoods Framework” atau kerangka

penghidupan berkelanjutan sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 2.3 dan

Gambar 2.4.
37

Akumulasi pada:
Faktor konstektual: Modal alam yang
Modal alam
1) Lingkungan terbarukan Petani, sistem ke-
Fungsi Modal manusia
pertanian hidupan, masy.
positif Modal sosial
2) iklim
3) budaya Modal sosial: Dengan akses
4) ekonomi vertikal dan pada stok modal
5) hukum yag horisontal berikut:
6) politi proses modal alam,
7) sosial partisipasi modal sosial,
modal manusia, Makanan dan produk
modal fisik, dan pasar lain
Keterampilan dan modal finansial
teknologi baru
Dibentuk oleh:
lembaga dan input bukan
Fungsi
kebijakan eksternal yang terbarukan
negatif

Finansial:
pendapatan, Menipisnya:
kredit, jaminan Modal alam
Modal manusia
Modal sosial

Gambar 2.3
Konsep Aset Berbasis Model Sistem Pertanian ( Pretty, 1999)

Kerangka penghidupan berkelanjutan merupakan aset penghidupan

berkelanjutan yang ditunjukkan pada Gambar 2.4, mencakup modal alam, modal

sosial, modal manusia, modal finansial, dan modal fisik yang dijabarkan berikut.

(1) Modal alam : tanah dan penghasilan, sumber air dan air, pohon dan hasil hutan,

margasatwa, makanan liar dan serat, keanekaragaman hayati, jasa lingkungan;

(2) Modal sosial: jaringan dan koneksi, perlindungan, lingkungan, kekerabatan,

hubungan kepercayaan dan saling mendukung, kelompok formal dan informal,

aturan umum dan sanksi representasi kolektif, mekanisme partisipasi dalam

pengambilan keputusan, kepemimpinan; (3) Modal manusia: kesehatan, makanan,

pendidikan, pengetahuan dan keterampilan, kapasitas untuk bekerja, kapasitas

untuk beradaptasi; (4) Modal fisik : infrastruktur; transportasi - jalan, kendaraan,


38

penampungan aman dan bangunan; pasokan air dan sanitasi; energi; komunikasi;

alat dan teknologi; alat dan peralatan untuk produksi; benih, pupuk, pestisida;

teknologi tradisional; (5) Modal finansial : tabungan, kredit / utang - formal,

informal, LSM , pengiriman uang, pensiun, dan upah (IFAD, 2014).

Mengacu pada paparan tentang modal sosial yang telah dikemukakan,

maka parameter modal sosial yang digunakan untuk kajian dalam penelitian ini

adalah kepercayaan, norma, dan jaringan sosial. Pretty (1999), Dharmawan (2007),

IFAD (2014)

Modal
manusia

Modal Modal
sosial alam

Kemiskinan

Modal Modal
fisik finansial

Gambar 2.4
Aset Penghidupan Berkelanjutan
Sumber: Dharmawan (2007), IFAD (2014)
39

2.2 Agroekowisata, Partisipasi, Pengetahuan, dan Sikap

2.2.1 Agroekowisata

Sebelum memahami agroekowisata, perlu diulas tentang agrowisata. Dalam

istilah sederhana, agrowisata atau agritourism didefinisikan sebagai perpaduan

antara pariwisata dan pertanian dimana pengunjung dapat mengunjungi kebun,

peternakan atau kilang anggur untuk membeli produk, menikmati pertunjukan,

mengambil bagian aktivitas, dan makan suatu makanan atau melewatkan malam

bersama di suatu areal perkebunan atau taman.

Agrowisata atau agritourism adalah sebuah alternatif untuk meningkatkan

pendapatan dan kelangsungan hidup, menggali potensi ekonomi petani kecil dan

masyarakat pedesaan (Farmstop, 2013). Di Indonesia, agrowisata atau agroturisme

didefinisikan sebagai sebuah bentuk kegiatan pariwisata yang memanfaatkan usaha

agro (agribisnis) sebagai objek wisata dengan tujuan untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang pertanian.

Agrowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan usaha

pertanian (agro) sebagai objek wisata dan bertujuan untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.

Melalui pengembangan agrowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam

memanfaatkan lahan, diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani sambil

melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal

(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan

alaminya (Deptan, 2012).


40

Pada saat ini pandangan tentang pertanian tampaknya dilihat dari dua kutub

yang berbeda. Saragih (2001) melihat sektor pertanian sebagai suatu kegiatan

bisnis (agribisnis), dan Mubyarto (1975 dan 2002) memandang kegiatan sektor

pertanian sebagai pandangan hidup (way of life) dari masyarakat. Makna aktivitas

pertanian berdasarkan pendapat kedua pakar tersebut adalah aktivitas pertanian

sebagai bisnis dan sebagai pandangan hidup. Dengan demikian aktivitas pertanian

merupakan integrasi antara bisnis dan pandangan hidup. Hal ini berarti merupakan

bagian dari budaya yang melekat pada petani. Karenanya, bahasan tentang sektor

pertanian dalam konteks apapun (termasuk dalam konteks pariwisata, dalam

rangka pengembangan agroekowisata) haruslah dipandang pertanian itu sebagai

bagian dari budaya masyarakat.

Selanjutnya, berbicara tentang budaya/kebudayaan sebagai suatu sistem,

maka pengembangan agroekowisata haruslah meliput aspek konsep /pola-pikir,

aspek sosial, dan aspek artefact/kebendaan (Koentjaraningrat,1993).

Penelitian Windia (2003) mengemukakan elemen pada berbagai aspek

dalam pengembangan agrowisata adalah sebagai berikut.

1. Aspek konsep/pola pikir. Cakupan aspek pola pikir dalam pengembangan

agrowisata adalah: (1) ada kesadaran dari masyarakat setempat tentang potensi

yang dimiliki dalam rangka pengembangan agrowisata, (2) ada sesuatu yang

khas, yang diperkirakan dapat menarik bagi kalangan wisatawan, (3) ada

kehendak dari masyarakat setempat bahwa potensi itu harus dikembangkan,

(4) ada kesepakatan dari masyarakat setempat untuk menerima uluran tangan

dari pihak luar (lembaga indipenden) dalam rangka pengembangan potensi itu,
41

(5) ada inisiatif dari pihak luar (lembaga indipenden) untuk mendorong

masyarakat setempat untuk mengembangan potensinya, dalam rangka konsep

keberlanjutan, (6) ada kesepakatan dengan masyarakat disekitarnya yang

terkait/tersentuh dalam pengembangan potensi tersebut, untuk mengembangkan

potensi agrowisata itu, khususnya yang berkait dengan hak dan kewajibannya

masing-masing, (7) ada kesepakatan antara masyarakat setempat dengan

pihak komponen kepariwisataan (biro perjalanan) bahwa potensi agrowisata

itu memang relevan untuk dikembangkan, (8) ada kesepakatan dengan

pemerintah setempat untuk membantu pengembangan potensi agrowisata,

(9) ada kesepakatan dengan semua stakeholder tentang visi dari pengembangan

agrowisata, dan (10) secara tradisional, kawasan itu memang sudah menarik

bagi masyarakat setempat dan kalangan wisatawan-nusantara.

2. Aspek sosial. Elemen dari aspek sosial dalam pengembangan agrowisata adalah

(1) ada kesepakatan dari masyarakat untuk memberikan pengorbanan terhadap

lahan yang dimiliki dalam rangka penataan kawasan agrowisata tersebut,

(2) ada kesepakatan tentang proporsi pembagian pendapatan yang diterima dari

kegiatan agrowisata baik pembagian pendapatan di kalangan internal kawasan,

maupun dengan kawasan di sekitarnya yang terkait, (3) ada kesepakatan

tentang siapa pengelola kegiatan agrowisata itu, dan bagaimana strukturnya,

(4) ada kesepakatan tentang pembagian penerimaan antara pihak biro

perjalanan dengan pihak pengelola agrowisata, (5) ada kesepakatan bahwa

masyarakat tidak menggantungkan hidupnya hanya dari kedatangan para

wisatawan. Untuk itu mereka harus berusaha meningkakan nilai tambah


42

komoditas yang dihasilkan di kawasan itu, (6) ada kesepakatan dari masyarakat

setempat untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya dalam proses

peningkatan nilai tambah komoditas yang dihasilkan, serta dalam pengelolaan

agroekowisata, (7) mempersiapkan berbagai paket kegiatan di kawasan

agroekowisata itu, dan menyepakati biaya yang harus dibayar oleh wisatawan,

(8) mempersiapkan awig-awig (aturan tertulis) tentang apa-apa yang boleh

dan tidak boleh dilakukan/dibangun di kawasan agroekowisata tersebut,

(9) mempersiapkan masyarakat setempat untuk mampu menjadi pemandu-

wisata di kawasan agroekowisata itu, (10) melakukan penyuluhan yang

dilaksanakan oleh PEMDA setempat agar masyarakat bisa memperlakukan

wisatawan dengan sikap yang sopan, dan (11) melakukan studi-banding ke

kawasan lain yang kegiatan agroekowisatanya sudah operasional.

3. Aspek artefact (kebendaan). Elemen-elemen aspek artefact meliputi:

(1) memperbaiki prasarana (jalan, tempat berteduh bagi kalangan wisatawan,

lokasi bagi wisatawan untuk menikmati pemandangan alam, toilet, dan lain-

lain), (2) menyiapkan lokasi kawasan parkir, (3) mempersiapkan peta/sketsa

untuk setiap paket-perjalanan di kawasan tersebut, (4) mempersiapkan rumah-

rumah penduduk sebagai tempat penginapan bagi wisatawan yang ingin

bermalam, (5) mempersiapkan masyarakat setempat untuk mampu membuat

cendramata yang khas dari kawasan itu, dan (6) mempersiapkan lokasi untuk

menjual cendramata bagi wisatawan.

Sejak terjadinya perubahan pola kegiatan pariwisata dari matahari, laut

dan pasir pantai (sun, sea and sand) mengarah ke pariwisata bentuk alami, terjadi
43

pula perubahan pola kegiatan industri pariwisata dari kegiatan wisata massal

(mass tourism) ke wisata minat (nice tourism). Salah satu kegiatan wisata minat

khusus yang banyak dibicarakan akhir-akhir ini, bahkan telah menjadi isu global

yaitu dengan berkembangnya ekowisata (ecotourism) sebagai kegiatan wisata

alam yang berdampak ringan.

Kehadiran ekowisata dalam era pembangunan berwawasan lingkungan

merupakan suatu misi pengembangan pariwisata alternatif yang tidak banyak

menimbulkan dampak negatif, baik terhadap lingkungan maupun terhadap sosial

budaya dan daya tarik wisata lainnya. Kegiatannya lebih berorientasi pada

pemanfaatan sumberdaya alami, asli dan belum tercemar.

Isu ekowisata yang sedang berkembang tersebut, dilandasi suatu rumusan

definisi (Boo, 1991) yang menyatakan bahwa ekowisata adalah perjalanan ke

daerah yang relatif alami dan belum terkontaminasi, dengan tujuan khusus yaitu

mempelajari, mengagumi, menikmati, tanaman, hewan, dan menifestasi budaya

yang ada sekarang maupun peninggalan jaman dahulu yang dapat ditemukan di

daerah tersebut. Sebagai kegiatan wisata alam yang mempunyai tujuan khusus

dan bertanggung jawab, ekowisata semakin banyak diminati masyarakat

sebagai kegiatan wisata yang menyenangkan. Kecenderungan ini ditandai

dengan semakin banyaknya masyarakat pencinta alam di dunia termasuk

masyarakat Indonesia yang melakukan berbagai kegiatan wisata alam berupa

lintas alam (hiking), panjat tebing (climbing), arung jeram (rafting), berkemah

(camping ground), naik sepeda gunung (rising bycicle), menikmati keindahan

alam, serta keaslian budaya lokal (Dawi, 2006).


44

Ekowisata tidak melakukan eksploitasi alam, tetapi hanya menggunakan jasa

alam dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan, fisik dan atau

psikologis wisatawan. Ekowisata bukan menjual destinasi tetapi menjual

filosofi (Fandeli, 2007). Dalam pemanfaatan areal alam untuk ekowisata

mempergunakan pendekatan pelestarian dan pemanfaatan. Kedua pendekatan ini

dilaksanakan dengan menitikberatkan pelestarian dibanding pemanfaatan.

Kemudian pendekatan lainnya adalah pendekatan pada keberpihakan kepada

masyarakat setempat agar mampu mempertahankan budaya lokal dan

sekaligus meningkatkan kesejahteraannya.

Agroekowisata merupakan bagian dari objek wisata yang memanfaatkan

usaha pertanian (agro) sebagai objek wisata. Tujuannya adalah untuk memperluas

pengetahuan, pengalaman rekreasi, dan hubungan usaha dibidang pertanian.

Melalui pengembangan agroekowisata yang menonjolkan budaya lokal dalam

memanfaatkan lahan, diharapkan bisa meningkatkan pendapatan petani sambil

melestarikan sumber daya lahan, serta memelihara budaya maupun teknologi lokal

(indigenous knowledge) yang umumnya telah sesuai dengan kondisi lingkungan

alaminya. (Deptan, 2011).

Menurut Sutawan (2009) agroekowisata merupakan salah satu bentuk

kegiatan pariwisata yang obyeknya adalah usahatani dengan aktivitas–aktivitas

yang terkait seperti kegiatan penelitian dan eksplorasi sumberdaya pertanian.

Agroekowisata merupakan wisata dalam bentuk perjalanan ke tempat khusus

yang memanfaatkan usaha agro sebagai obyek wisata untuk berekreasi atau

mengisi waktu senggang lainnya dengan tujuan untuk menikmati, mengagumi,


45

menghargai, dan mempelajari alam, lingkungan, dan budaya pertanian pada

suatu daerah/areal pertanian dengan tujuan untuk melestarikan/ mengkonservasi

lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat.

Berdasarkan uraian di atas, agroekowisata dimaksudkan sebagai salah satu

bentuk kegitan pariwisata yang obyeknya adalah usahatani dengan aktivitas-

aktivitas yang terkait dengannya, dan dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan

pelestarian lingkungan agar dapat mengurangi dampak negatif berupa kerusakan

atau pencemaran lingkungan dan budaya lokal akibat kegiatan wisata. Di samping

itu, juga memberikan keuntungan finansial dan pemberdayaan bagi masyarakat

lokal dengan menciptakan produk wisata yang mengedepankan nilai-nilai lokal.

Pemberdayaan bagi masyarakat setempat dapat dilakukan dengan

memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk terlibat dalam kegiatan

agroekowisata. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh masyarakat setempat antara

lain: (1) mengelola pengusahaan agroekowisata melalui badan usaha bersama

seperti koperasi; ( 2) menyediakan jasa penginapan/akomodasi pada rumah-rumah

penduduk; (3) menjadi pemandu wisata; (4) menyediakan jasa kuliner/ konsumsi

yang merupakan khas daerah setempat dengan penyajian tradisional namun bersih

dan sehat; (5) terlibat dalam kegiatan penyajian atraksi wisata; (6) menyediakan

jasa transportasi tradisional; dan 7) menjual souvenir atau kenang-kenangan

(Sutawan, 2009). Berdasarkan paparan tentang agroekowisata, dapat disimpulkan

bahwa agroekowisata menghendaki peran serta pengunjung baik sebagai penikmat

maupun sebagai partisipan dalam seluruh aktivitasnya.


46

2.2.2 Agroekowisata berbasis modal dan berbasis masyarakat

Pola agroekowisata berbasis modal adalah pola pengembangan di mana

swasta lebih berperan dalam pelaksanaan kegiatan agroekowisata terutama

pemasaran, penyediaan jasa dan opersional kegiatan, di sini karena peran swasta

melengkapi sektor publik. Oleh karena itu, kedua stakeholder tersebut harus

bekerjasama dan berkoordinasi agar kegiatan agroekowisata dapat berjalan

baik (Sutawan, 2009).

Dunia usaha dan masyarakat sesuai dengan prinsip agroekowisata,

keterlibatan dunia usaha dan masyarakat setempat sangat penting dan mutlak

diperlukan. Kegiatan ini harus mengakomodasi dan terintegrasi dengan budaya

lokal serta harus memberikan manfaat ekonomi dalam kehidupan masyarakat

sekitar. Oleh karena itu, perlu diupayakan peningkatan ketrampilan melalui

pendidikan latihan agar kesempatan dan kemampuan masyarakat meningkat dan

dapat memberikan peran yang lebih besar dalam kegiatan agroekowisata.

Kerjasama dan koordinasi antar berbagai stakeholder terkait dalam pengusahaan

agroekowisata sangat penting dan menjadi faktor kunci keberhasilan dalam

pengembangan agroekowisata. Kerjasama dan koordinasi tersebut dapat bervariasi,

mulai dari informasi sampai dengan bentuk kerjasama yang legal dan formal.

Sedangkan, areal kerjasama juga sangat luas meliputi semua proses pengembangan

agroekowisata, mulai dari perencanaan seperti penetapan lokasi kawasan,

pelaksanaan kegiatan termasuk operasional sampai kepada pemantauan kegiatan

agar dapat dicapai sasaran secara berkelanjutan dengan memberikan manfaat yang
47

besar bagi masyarakat setempat khususnya, sebagaimana konsep pengembangan

kawasan agroekowisata (Sutawan, 2009).

Selanjutnya agroekowisata berbasis masyarakat merupakan pola

pengembangan agroekowisata yang memberikan peluang seluas-luasnya kepada

masyarakat lokal mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan usaha, dan

pengawasan, serta evaluasi terhadap seluruh aktivitas agroekowisata. Agroeko-

wisata berbasis masyarakat merupakan aktivitas agroekowisata yang lebih

mengutamakan pada partisipasi aktif masyarakat lokal. Dengan demikian,

agroekowisata berbasis masyarakat dapat menciptakan kesempatan kerja bagi

masyarakat lokal dan meminimalisir kemiskinan yang diperoleh dari pelayanan

jasa wisatawan melalui jasa penginapan, restoran, transportasi, kerajianan, dan jasa

pemandu wisata, dan lain-lain (Sutawan, 2009).

Mengacu pada landasan teori dan tinjauan pustaka tentang agroekowisata

yang telah dikemukakan, maka fokus kajian dalam penelitian ini adalah aspek

pola pikir, aspek sosial dan aspek kebendaan.

2.2.3 Pemberdayaan dan partisipasi masyarakat tani

Pemberdayaan, diadaptasi dari istilah empowerment yang berkembang di

Eropa mulai abad pertengahan, terus berkembang hingga diakhir 70-an, 80-an, dan

awal 90-an. Berkenaan dengan pemaknaan konsep pemberdayaan masyarakat,

Ife (1995) menyatakan bahwa pemberdayaan (empowerment) sebagai upaya

memberikan otonomi, wewenang, dan kepercayaan kepada setiap individu dalam

suatu organisasi, serta mendorong mereka untuk kreatif agar dapat menyelesaikan

tugasnya sebaik mungkin. Di sisi lain Paul (1987, dalam Prijono dan Pranarka,
48

1996) mengatakan bahwa pemberdayaan berarti pembagian kekuasaan yang adil

sehingga meningkatkan kesadaran politis dan kekuasaan pada kelompok yang

lemah serta memperbesar pengaruh mereka terhadap ”proses dan hasil-hasil

pembangunan.”Sedangkan konsep pemberdayaan menurut Friedman (1992) dalam

hal ini pembangunan alternatif menekankan keutamaan politik melalui otonomi

pengambilan keputusan untuk melindungi kepentingan rakyat yang berlandaskan

pada sumberdaya pribadi, langsung melalui partisipasi, demokrasi dan

pembelajaran sosial melalui pengamatan langsung.

Jika dilihat dari proses operasionalisasinya, maka ide pemberdayaan

memiliki dua kecenderungan, antara lain : pertama, kecenderungan primer, yaitu

kecenderungan proses yang memberikan atau mengalihkan sebagian kekuasaan,

kekuatan, atau kemampuan (power) kepada masyarakat atau individu menjadi

lebih berdaya. Proses ini dapat dilengkapi pula dengan upaya membangun asset

material guna mendukung pembangunan kemandirian mereka melalui organisasi;

dan kedua, kecenderungan sekunder, yaitu kecenderungan yang menekankan pada

proses memberikan stimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar

mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi

pilihan hidupnya melalui proses dialog. Dua kecenderungan tersebut memberikan

(pada titik ekstrem) seolah berseberangan, namun seringkali untuk mewujudkan

kecenderungan primer harus melalui kecenderungan sekunder terlebih dahulu

(Gunawan,2002) .

Menurut Chambers (1995) pemberdayaan masyarakat adalah sebuah

konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial. Konsep ini


49

mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni yang bersifat “people centred,

participatory, empowering, and sustainable”, dan lebih luas dari hanya semata-

mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme

untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net ), yang pemikirannya

belakangan ini banyak dikembangkan sebagai upaya mencari alternatif terhadap

konsep-konsep pertumbuhan di masa yang lalu.

Gunawan (2002) mengemukakan bahwa upaya memberdayakan masyarakat

dapat dilihat dari tiga sisi, yaitu. Pertama, menciptakan suasana atau iklim yang

memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Disini titik tolaknya

adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat, memiliki potensi

yang dapat dikembangkan. Artinya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa

daya, karena jika demikian akan sudah punah. Pemberdayaan adalah upaya untuk

membangun daya itu, dengan mendorong, memotivasikan, dan membangkitkan

kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya.

Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering).

Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya

menciptakan iklim dan suasana. Perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata, dan

menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke

dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi

berdaya. Pemberdayaan bukan hanya meliputi penguatan individu anggota

masyarakat, tetapi juga pranata-pranatanya. Menanamkan nilai-nilai budaya

modern, seperti kerja keras, hemat, keterbukaan, dan kebertanggungjawaban

adalah bagian pokok dari sosial dan pengintegrasiannya ke dalam kegiatan


50

pembangunan serta peranan masyarakat di dalamnya. Yang terpenting disini

adalah peningkatan partisipasi rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang

menyangkut diri dan masyarakatnya. Oleh karena itu, pemberdayaan masyarakat

amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan, pengamalan demokrasi.

Ketiga, memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses

pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh karena

kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat. Oleh karena itu, perlindungan

dan pemihakan kepada yang lemah amat mendasar sifatnya dalam konsep

pemberdayaan masyarakat. Melindungi tidak berarti mengisolasi atau menutupi

dari interaksi, karena hal itu justru akan mengerdilkan yang kecil dan melunglaikan

yang lemah. Melindungi harus dilihat sebagai upaya untuk mencegah terjadinya

persaingan yang tidak seimbang, serta eksploitasi yang kuat atas yang lemah.

Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung

pada berbagai program pemberian (charity). Karena, pada dasarnya setiap apa

yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri (yang hasilnya dapat

dipertukarkan dengan pihak lain). Dengan demikian tujuan akhirnya adalah

memandirikan masyarakat, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke

arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan yang terdiri atas:

Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang

lemah atau tidak beruntung (Ife, 1995). Pemberdayaan menunjuk pada usaha

pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan

Levin, 1987). Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi,

dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (atau berkuasa atas) kehidup-
51

annya (Rappaport,1984). Pemberdayaan adalah proses yang menjadikan orang

cukup kuat untuk berpartisipasi dalam berbagi pengontrolan atas, dan mem-

pengaruhi terhadap, kejadian serta lembaga yang mempengaruhi kehidupannya.

Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan,

dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan orang lain

yang menjadi perhatiannya (Parsons, et al., 1994). Pemberdayaan menunjuk pada

kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah, untuk (1) memiliki

akses terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat

meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang

mereka perlukan, dan (2) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-

keputusan yang mempengaruhi mereka.

Mengacu pada definisi pemberdayaan yang dikemukakan para pakar

tersebut, maka pemberdayaan masyarakat adalah upaya untuk memampukan dan

memandirikan masyarakat. Atau upaya menolong masyarakat untuk mampu

menolong dirinya sendiri. Pendekatan utama dalam konsep pemberdayaan adalah

bahwa masyarakat tidak dijadikan objek dari berbagai proyek pembangunan, tetapi

merupakan subjek dari upaya pembangunannya sendiri. Berdasarkan konsep

tersebut, maka pemberdayaan masyarakat harus mengikuti pendekatan sebagai

berikut: (1) Upaya itu harus terarah. Ini yang secara populer disebut pemihakan.

Upaya ini ditujukan langsung kepada yang memerlukan, dengan program yang

dirancang untuk mengatasi masalahnya dan sesuai kebutuhannya; (2) Program ini

harus langsung mengikutsertakan atau bahkan dilaksanakan oleh masyarakat yang

menjadi sasaran. Mengikutsertakan masyarakat yang akan dibantu mempunyai


52

beberapa tujuan, yakni agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan

kehendakdan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka. Selain itu, sekaligus

meningkatkan kemampuan masyarakat dengan pengalaman dalam merancang,

melaksanakan, mengelola, dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri

dan ekonominya; dan (3) menggunakan pendekatan kelompok, karena secara

sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah- masalah yang

dihadapinya. Juga lingkup bantuan menjadi terlalu luas jika penanganannya

dilakukan secara individu. Pendekatan kelompok ini paling efektif dan dilihat dari

penggunaan sumber daya juga lebih efisien (Gunawan, 2002).

Indikator pemberdayaan. Schuler, Hashemi dan Riley mengembangkan

beberapa indikator pemberdayaan, yang dikutip Girvan (2004) dengan sebutan

empowerment index atau indeks pemberdayaan adalah. (1) Kebebasan mobilitas:

kemampuan individu untuk pergi ke luar rumah atau wilayah tempat tinggalnya,

seperti ke pasar, fasilitas medis, bioskop, rumah ibadah, ke rumah tetangga.

Tingkat mobilitas ini dianggap tinggi jika individu mampu pergi sendirian;

(2) Kemampuan membeli komoditas ‘kecil’: kemampuan individu untuk membeli

barang-barang kebutuhan keluarga sehari-hari (beras, minyak tanah, minyak

goreng, bumbu); kebutuhan dirinya (minyak rambut, sabun mandi, rokok, bedak,

sampo). Individu dianggap mampu melakukan kegiatan ini terutama jika ia dapat

membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih jika ia dapat

membeli barang tersebut dengan menggunakan uangnya sendiri; (3) Kemampuan

membeli komoditas ‘besar’: kemampuan individu untuk membeli barang-barang

sekunder atau tersier, seperti lemari pakaian, TV, radio, koran, majalah, pakaian
53

keluarga. Seperti halnya indikator di atas, poin tinggi diberikan terhadap individu

yang dapat membuat keputusan sendiri tanpa meminta ijin pasangannya; terlebih

jika ia dapat membeli barang-barang tersebut dengan menggunakan uangnya

sendiri; (4) Terlibat dalam pembuatan keputusan-keputuan rumah tangga: mampu

membuat keputusan secara sendiri maupun bersama suami/istri mengenai

keputusan-keputusan keluarga, misalnya mengenai renovasi rumah, pembelian

kambing untuk diternak, memperoleh kredit usaha; (5) Kebebasan relatif dari

dominasi keluarga: responden ditanya mengenai apakah dalam satu tahun terakhir

ada seseorang (suami, istri, anak-anak, mertua) yang mengambil uang, tanah,

perhiasan dari dia tanpa ijinnya; yang melarang mempunyai anak; atau melarang

bekerja di luar rumah; (6) Kesadaran hukum dan politik: mengetahui nama salah

seorang pegawai pemerintah desa/kelurahan; seorang anggota DPRD setempat;

nama presiden; mengetahui pentingnya memiliki surat nikah dan hukum-hukum

waris; (7) Keterlibatan dalam kampanye dan protes-protes: seseorang dianggap

‘berdaya’ jika ia pernah terlibat dalam kampanye atau bersama orang lain

melakukan protes, misalnya, terhadap suami yang memukul istri; istri yang

mengabaikan suami dan keluarganya; gaji yang tidak adil; penyalahgunaan

bantuan sosial; atau penyalahgunaan kekuasaan polisi dan pegawai pemerintah;

dan (8) Jaminan ekonomi dan kontribusi terhadap keluarga: memiliki rumah,

tanah, asset produktif, tabungan. Seseorang dianggap memiliki poin tinggi jika ia

memiliki aspek-aspek tersebut secara sendiri atau terpisah dari pasangannya

(Suharto, 2004).
54

Pemberdayaan, erat kaitannya dengan partisipasi. Partisipasi merupakan

komponen penting dalam pembangkitan kemandirian dan proses pemberdayaan.

Lebih lanjut dijelaskan, pemberdayaan dan partisipasi merupakan strategi yang

sangat potensial dalam rangka meningkatkan ekonomi, sosial dan transformasi

budaya. Proses ini, pada akhirnya akan dapat menciptakan pembangunan yang

berpusat pada rakyat (Hikmat, 2004).

Partisipasi menurut Hoofsteede (1971) yang dikutip oleh Khairuddin

(2000) berarti mengambil bagian dalam suatu tahap atau lebih dari suatu proses,

dalam hal ini proses pembangunan. Sedangkan, menurut Fithriadi, dkk. (1997)

partisipasi adalah pokok utama dalam pendekatan pembangunan yang terpusat

pada masyarakat dan berkesinambungan serta proses interaktif yang berlanjut.

Prinsip dalam partisipasi adalah melibatkan atau peran serta masyarakat

secara langsung, dan hanya mungkin dicapai jika masyarakat sendiri ikut ambil

bagian, sejak dari awal, proses dan perumusan hasil. Keterlibatan masyarakat akan

menjadi penjamin bagi suatu proses yang baik dan benar. Dengan demikian,

Abe (2005) mengasumsikan bahwa hal ini menyebabkan masyarakat telah terlatih

secara baik. Tanpa adanya pra kondisi, dalam arti mengembangkan pendidikan

politik maka keterlibatan masyarakat secara langsung tidak akan memberikan

banyak arti.

Lebih lanjut Abe (2005) mengemukakan, melibatkan masyarakat secara

langsung akan membawa dampak penting, yaitu: (1) terhindar dari peluang

terjadinya manipulasi. Keterlibatan masyarakat akan memperjelas apa yang

sebenarnya dikehendaki oleh masyarakat; (2) memberikan nilai tambah pada


55

legitimasi rumusan perencanaan karena semakin banyak jumlah mereka yang

terlibat akan semakin baik; dan (3) meningkatkan kesadaran dan keterampilan

politik masyarakat.

Banyak definisi yang dikemukakan para ahli tentang partisipasi. Namun

secara harfiah, partisipasi berarti "turut berperan serta dalam suatu kegiatan”,

“keikutsertaan atau peran serta dalam suatu kegiatan”, “peran serta aktif atau

proaktif dalam suatu kegiatan”. Partisipasi dapat didefinisikan secara luas sebagai

"bentuk keterlibatan dan keikutsertaan masyarakat secara aktif dan sukarela, baik

karena alasan-alasan dari dalam dirinya (intrinsik) maupun dari luar dirinya

(ekstrinsik) dalam keseluruhan proses kegiatan yang bersangkutan" Pada dasarnya

pembangunan desa merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan

masyarakat. Dalam hal ini masyarakat menjadi sasaran sekaligus pelaku

pembangunan. Keterlibatan masyarakat pada setiap tahapan pembangunan di desa,

merupakan salah satu kunci keberhasilan pembangunan. Kegagalan berbagai

program pembangunan perdesaan di masa lalu adalah disebabkan antara lain

karena penyusunan, pelaksanaan dan evaluasi program-program pembangunan

tidak melibatkan masyarakat.

Menurut Cohen dan Uphoff (1977) partisipasi adalah keterlibatan masyarakat

dalam proses perencanaan dan pembuatan keputusan tentang apa yang dilakukan,

dalam pelaksanaan program dan pengambilan keputusan untuk berkontribusi

sumberdaya atau bekerjasama dalam organisasi atau kegiatan khusus, berbagi

manfaat dari program pembangunan dan evaluasi program pembangunan.


56

Berbagai hasil penelitian melaporkan bahwa banyak program pembangunan

perdesaan di masa lalu dinilai tidak berhasil karena penyusunan, pelaksanaan dan

evaluasi program-program pembangunan tidak melibatkan masyarakat. (Siregar,

2001; Team Work Lapera, 2001; P3P Unram, 2001; Hadi, Hayati dan

Hilyana,2003). Proses pembangunan lebih mengedepankan paradigma politik

sentralistis dan dominannya peranan negara pada arus utama kehidupan

bermasyarakat, sementara keterlibatan masyarakat hanya dalam tataran wacana

dan dalam implementasi hanya menjadi sekedar pelengkap proses pembangunan.

Akibat dari mekanisme pembangunan yang kurang aspiratif dan tidak partisipatif,

membuat proses dan hasil menjadi parsial dan tidak berkelanjutan. Sebagian besar

kegiatan pembangunan merupakan program dari atas (Top down), sangat

berorientasi proyek, dan menonjolkan ego sektoral.

Selanjutnya dijelaskan mengenai tingkatan partisipasi. Menurut Prety

(1995) ada tujuh karakteristik tipologi partisipasi, yang berturut-turut semakin

dekat kepada bentuk yang ideal, sebagai berikut. (1) Partisipasi pasif atau

manipulatif. Ini merupakan bentuk partisipasi yang paling lemah. Karakteristiknya

adalah masyarakat menerima pemberitahuan apa yang sedang dan telah terjadi.

Pengumuman sepihak oleh pelaksana proyek tidak memperhatikan tanggapan

masyarakat sebagai sasaran program. Informasi yang dipertukarkan terbatas pada

kalangan profesional di luar kelompok sasaran belaka; (2) Partisipasi informatif. Di

sini masyarakat hanya menjawab pertanyaan untuk proyek, namun tidak

berkesempatan untuk terlibat dan mempengaruhi proses keputusan. Akurasi hasil

studi, tidak dibahas bersama masyarakat; (3) Partisipasi konsultatif. Masyarakat


57

berpartisipasi dengan cara berkonsultasi, sedangkan orang luar mendengarkan,

serta menganalisis masalah dan pemecahannya. Dalam pola ini belum ada

peluang untuk pembuatan keputusan bersama. Para profesional tidak berkewajiban

untuk pengajukan pandangan masyarakat (sebagai masukan) untuk ditindaklanjuti;

(4) Partisipasi insentif. Masyarakat memberikan korbanan dan jasa untuk

memperoleh imbalan insentif berupa upah, walau tidak dilibatkan dalam proses

pembelajaran atau eksperimen yang dilakukan. Masyarakat tidak memiliki andil

untuk melanjutkan kegiatan-kegiatan setelah insentif dihentikan; (5) Partisipasi

fungsional. Masyarakat membentuk kelompok sebagai bagian proyek, setelah ada

keputusan-keputusan utama yang disepakati. Pada tahap awal, masyarakat

tergantung kepada pihak luar, tetapi secara bertahap kemudian menunjukkan

kemandiriannya; (6) Partisipasi interaktif. Masyarakat berperan dalam proses

analisis untuk perencanaan kegiatan dan pembentukan atau penguatan

kelembagaan. Pola ini cenderung melibatkan metode interdisipliner yang mencari

keragaman perspektif dalam proses belajar yang terstruktur dan sistematis.

Masyarakat memiliki peran untuk mengontrol atas pelaksanaan keputusan-

keputusan mereka, sehingga memiliki andil dalam keseluruhan proses kegiatan;

dan (7) Mandiri (self mobilization). Masyarakat mengambil inisiatif sendiri secara

bebas (tidak dipengaruhi pihak luar) untuk merubah sistem atau nilai-nilai yang

mereka junjung. Mereka mengembangkan kontak dengan lembaga-lembaga lain

untuk mendapatkan bantuan dan dukungan teknis serta sumberdaya yang

diperlukan. Yang terpenting, masyarakat juga memegang kendali atas peman-

faatan sumberdaya yang ada dan atau digunakan.


58

Mengemukanya tuntutan reformasi politik, pembangunan, dan munculnya

kebijakan desentralisasi pembangunan, membawa konsekuensi terhadap penguatan

peran masyarakat, dan penguatan semangat tata pemerintahan yang baik (good

governance), dimana proses pembangunan diselenggarakan dengan memperhati-

kan prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta

memperhatikan potensi dan keaneka-ragaman daerah. Dalam era demokratisasi dan

otonomi daerah pasca pemerintahan Orde Baru, pentingnya partisipasi masyarakat

dalam semua tahapan proses pembangunan merupakan suatu keniscayaan.

Wacana pembangunan yang partisipatif di Indonesia sesungguhnya telah

dimulai sejak 30 tahun lalu, dimana konsep pembangunan dari rakyat, oleh rakyat

dan untuk rakyat telah dimasukkan dalam GBHN pada dekade 1970-an. Sementara

kebijakan yang lebih konkret dimulai pada dekade 1980-an. Sejak dekade 1990-an,

kegiatan pembangunan daerah dirancang lebih partisipatif melalui lembaga

pengambilan keputusan tingkat desa, kecamatan, kabupaten, propinsi hingga

nasional (Siregar, 2001; Chandra et al, 2003). Akan tetapi, menurut Team Work

Lapera (2001) pada saat itu partisipasi masyarakat lebih sebagai jargon

pembangunan, dimana partisipasi lebih diartikan pada bagimana upaya mendukung

program pemerintah dan upaya-upaya yang pada awal dan konsep pelaksanaanya

berasal dari pemerintah. Berbagai keputusan umumnya sudah diambil dari atas,

dan sampai ke masyarakat dalam bentuk sosialisasi yang tidak bisa ditolak.

Sejalan dengan dikedepankannya prinsip tata pemerintahan yang baik

terutama di tingkat Kabupaten/Kota, maka konsep pembangunan yang partisipatif

mulai digagas dan dikembangkan di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai


59

program pemberdayaan masyarakat dilaksanakan dengan pendekatan partisipatif

dan meliputi semua sektor, mulai dari pembangunan infrastruktur perdesaan,

pengembangan pertanian, desentralisasi pendidikan dasar, pelayanan kesehatan,

perencanaan pembangunan partisipatif, dan sebagainya.

Konsep pembangunan yang partisipatif merupakan suatu proses pember-

dayaan pada masyarakat sehingga masyarakat mampu untuk mengidentifikasi

kebutuhannya sendiri atau kebutuhan kelompok masyarakat sebagai suatu dasar

perencanaan pembangunan. Oleh karena itu, maka konsep pembangunan

partisipatif mengandung tiga unsur penting, yaitu : (1) peningkatan peran

masyarakat dalam perencanaan, implementasi pembangunan, pemanfaatan hasil

pembangunan, dan evaluasi proses pembangunan, (2) orientasi pemahaman masya-

rakat akan peran tersebut, dan (3) peran pemerintah sebagai fasilitator.

Partisipasi mendorong setiap warga masyarakat untuk mempergunakan hak

dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan yang

menyangkut kepentingan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak

langsung. Partisipasi masyarakat dapat terwujud seiring tumbuhnya rasa percaya

masyarakat kepada penyelenggara pemerintahan di daerah. Rasa percaya

akan tumbuh jika masyarakat memperoleh pelayanan dan kesempatan

yang setara. Pembedaan perlakuan atas dasar apapun akan menumbuhkan

kecemburuan dan memicu terjadinya konflik sosial di masyarakat (Nasdian, 2014).

Selanjutnya partisipasi memiliki bentuk, tipe, dan peran masyarakat lokal. Enam

bentuk, tipe partisipasi, dan peran masyarakat lokal, terlihat pada Tabel 2.2.
60

Tabel 2.2
Bentuk, Tipe Partisipasi dan Peran Masyarakat Lokal

Bentuk Tipe partisipasi Peran


partisipasi masyarakat
Co-option Tak ada input apapun dari masyarakat lokal yg Subjek
dijadikan bahan
Co-operation Terdapat insentif, namun proyek telah didesain oleh Employees
pihak luar yang menentukan seluruh agenda dan atau
proses secara langsung subordinat
Consultation Opini masyarakat ditanya, namun pihak luar Clients
menganalisis informasi sekaligus memutuskan
bentuk aksinya sendiri
Collaboration Masyarakat bekerja sama dengan pihak luar untuk Collaboration
menentukan prioritas, dn pihak luar bertanggung
jawab kepada proses
Co-learning Masyarakat lokal dan luar saling membagi Patners
pengetahuannya, untuk memperoleh saling
pengertian, dan bekerja sama untuk merencanakan
aksi, sementara pihak luar hanya memfasilitasi
Collective Masyarakat lokal menyusun dan melaksanakan Directors
action agendanya sendiri, pihak luar absen sama sekali

Melalui pembangunan yang partisipatif, masyarakat diharapkan:

(1) mampu secara kritis menilai lingkungan sosial ekonomi mereka sendiri

mengidentifikasi bidang-bidang yang perlu diperbaik; (2) mampu menentukan visi

masa depan yang ingin masyarakat wujudkan; (3) dapat berperan dalam

perencanaan masa depan mereka sendiri dalam masyarakatnya tanpa

menyerahkannya kepada ahli atau kelompok berkuasa; (4) dapat menghimpun

sumber-sumber daya di dalam masyarakat dan juga di dalam lingkup anggotanya

untuk merealisasi tujuan bersama; (5) dapat memperoleh pengalaman dalam

menyatakan, menganalisa situasi dan mengidentifikasi strategi yang tepat dan

realistis untuk suatu kehidupan yang baik; (6) karenanya anggota masyarakat

menjadi tokoh individual yang dapat bekerja atas dasar persamaan; (7) desa dan

masyarakat akan menyelesaikan tugas dan proyek swadaya, karena masyarakat


61

tidak tergantung pada bantuan dari luar, yang juga akan menjadi dasar menuju

kemandirian; dan (8) dalam proses ini akan dibangun hubungan yang erat dan

integratif diantara anggota masyarakat (P3P Unram, 2001).

Partisipasi dapat membangun kapasitas masyarakat dan modal sosial.

Pendekatan partisipatif akan meningkatkan pengetahuan dari tiap stakeholders

tentang kegiatan / aksi yang dilakukan oleh stakholders lain. Pengetahuan ini dan

ditambah dengan peningkatan interaksi antar sesama stakeholders akan

meningkatkan kepercayaan diantara para stakeholders dan memberikan kontribusi

yang positif bagi peningkatan modal sosial.

Sedangkan jenis-jenis partisipasi menurut Sulaiman (1998) adalah:

(1) Partisipasi pikiran (psychological participation); (2) Partisipasi tenaga

(physical participation); (3) Partisipasi pikiran dan tenaga (psychological and

physical participation); (4) Partisipasi keahlian (participation with skill);

(5) Partisipasi barang (material participation); (6) Partisipasi Uang/Dana (money

participation).

2.2.4 Kelembagaan dan kelompok

2.2.4.1 Kelembagaan

Pengertian lembaga sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan yang

sengit di kalangan ilmuan sosial. Terdapat kebelumsepahaman tentang arti

“kelembagaan” di kalangan ahli. Dalam literatur, istilah “kelembagaan”(social

institution) disandingkan dengan “organisasi” (social organization).

Sementara itu, Koentjaraningrat (1997) mengemukakan bahwa belum

terdapat istilah yang mendapat pengakuan umum dalam kalangan para sarjana
62

sosiologi untuk menterjemahkan istilah Inggris‘social institution’. Ada yang

menterjemahkannya dengan istilah ‘pranata’ ada pula yang ‘bangunan sosial’.

Istilah lembaga dan organisasi secara umum penggunaannya dapat

dipertukarkan dan hal tersebut menyebabkan keambiguan dan kebingungan

diantara keduanya. Pembedaan antara lembaga dan organisasi masih sangat kabur.

Organisasi yang telah mendapatkan kedudukan khusus dan legitimasi dari

masyarakat karena keberhasilannya memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat

dalam waktu yang panjang dapat dikatakan bahwa organisasi tersebut telah

“melembaga”. Namun demikian, menurut para ahli setidaknya ada empat cara

membedakan kelembagaan dengan organisasi, yaitu (Syahyuti, 2006):

1) Kelembagaan adalah tradisional, organisasi modern; 2) Kelembagaan dari

masyarakat itu sendiri, organisasi datang dari atas; 3) Kelembagaan dan organisasi

berada dalam satu kontinuum. Organisasi adalah kelembagaan yang belum

melembaga. Organisasi yang sempurna adalah organisasi yang melembaga; dan

4) Organisasi merupakan bagian dari kelembagaan. Organisasi sebagai organ

kelembagaan (Koentjaraningrat, 1997).

Komponen kelembagaan mencakup hal-hal berikut. (1) Person (=orang).

Orang-orang yang terlibat di dalam satu kelembagaan dapat diidentifikasi dengan

jelas, (2) Kepentingan. Orang-orang tersebut sedang diikat oleh satu kepentingan/

tujuan, sehingga mereka terpaksa harus saling berinteraksi, (3) Aturan. Setiap

kelembagaan mengembangkan seperangkat kesepakatan yang dipegang secara

bersama, sehingga seseorang dapat menduga apa perilaku orang lain dalam

lembaga tersebut, dan (4) Struktur. Setiap orang memiliki posisi dan peran, yang
63

harus dijalankannya secara benar. Orang tidak bisa merubah-rubah posisinya

dengan kemauan sendiri (Syahyuti, 2006).

Inti dari kelembagaan adalah interaksi. Untuk mempelajari kelembagaan

adalah dengan memperhatikan interaksi yang terjadi : Apakah interaksi tersebut

berbentuk formal ataukah nonformal? Apakah berpola horizontal atau vertikal?

Apakah berbasiskan ekonomi atau bukan (biasanya disebut ”sosial”)? Apakah

hanya sesaat atau berlangsung lama? Apakah merupakan hal yang biasa atau hal

baru? Apakah berpola atau acak? Apakah karena perintah atau bukan?. Dari

interaksi yang terjadi dalam kelembagaan, maka ada sepuluh prinsip dalam

pengembangan kelembagaan yakni : (1) bertolak atas existing, (2) kebutuhan,

(3) berpikir dalam kesisteman, (4) partisipatif, (5) efektifitas, (6) efisiensi,

(7) fleksibilitas, (8) nilai tambah dan keuntungan, (9) desentralisasi, dan

(10) keberlanjutan (Syahyuti, 2006).

2.2.4.2 Kelompok

Dalam perspektif pembangunan, kelompok dianggap sangat strategis dalam

meningkatkan partisipasi sosial, memfasilitasi proses belajar, dan bahkan sebagai

wadah bersama dalam penyaluran aspirasi. Sejalan dengan pandangan ini,

kenyataan menunjukkan bahwa di setiap desa terdapat banyak jenis dan jumlah

kelompok, seperti kelompok tani, kelompencapir, kelompok masyarakat – Inpres

Desa Tertinggal (pokmas IDT), dan perkumpulan petani pemakai air (P3A). Selain

itu ada lagi yang disebut sebagai kelompok petani kecil melalui Proyek

Peningkatan Pendapatan Petani dan Nelayan Kecil (P4K) dan lain-lainnya.


64

Kelompok adalah kumpulan orang-orang yang merupakan kesatuan sosial

yang mengadakan interaksi yang intensif dan mempunyai tujuan bersama. Menurut

DeVito (1997) kelompok merupakan sekumpulan individu yang cukup kecil bagi

semua anggota untuk berkomunikasi secara relatif mudah. Para anggota saling

berhubungan satu sama lain dengan beberapa tujuan yang sama dan memiliki

semacam organisasi atau struktur diantara mereka. Kelompok mengembangkan

norma-norma, atau peraturan yang mengidentifikasi tentang apa yang dianggap

sebagai perilaku yang diinginkan bagi semua anggotanya.

Kelompok mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) terdiri dari dua

orang atau lebih, (2) berinteraksi satu sama lain, (3) saling membagi beberapa

tujuan yang sama, (4) melihat dirinya sebagai suatu kelompok. Berdasarkan

berbagai pendapat ahli tentang pengertian kelompok adalah persekutuan minimal

dua orang yang melakukan aktivitas bersama, interaksi, dan menjadikan kelompok

sebagai bagian dari dirinya untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan bersama.

Kelompok tidak sekedar instrumen untuk implementasi kebijakan, tetapi

merupakan wadah pemberdayaan masyarakat pedesaan. Menilik pada konsep Ife

(1995) dimana pemberdayaan sebagai suatu proses untuk meningkatkan kekuatan

pihak-pihak yang kurang beruntung, hanya dapat dilakukan melalui pendekatan-

pendekatan yang mampu melibatkan mereka dalam proses pengembangan

kebijakan, perencanaan, aksi sosial politik, dan proses pendidikan.

Esensi proses pemberdayaan yang digarikan oleh Ife (1995) tersebut

menjadi argumentasi bahwa upaya revitalisasi peran kelompok hanya dapat

dilakukan melalui proses-proses yang partisipatif, dari tahap pembentukan atau


65

inisiasi, perencanaan, aksi, pengawasan atau evaluasi, hingga pada berbagi hasil

yang diperoleh kelompok.

Chamala (1995) dengan konsepnya tentang Participative Action

Management (PAM) menggarisbawahi bahwa suatu kelompok yang efektif

terbentuk minimal dalam waktu enam bulan, sejak tahap inisiasi hingga tahap

pengembangan fungsi kelompok. Pada tahap inisiasi misalnya, diperlukan suatu

kesadaran bersama akan eksistensi masalah dan kebutuhan.

Melibatkan anggota dan pengurus kelompok dalam proses inisiasi hingga

pengembangan fungsi kelompok, menurut Chamala (1995) menjadi bagian sentral

dari proses pemberdayaan kelompok, yang pada gilirannya munculnya keperca-

yaan akan kemampuan diri (self-empowerment), tanggung jawab, dan komitmen.

Fase-fase berikut memberikan satu ilustrasi praktis tentang proses pembentukan

kelompok dalam pemberdayaan masyarakat (Chamala, 1995).

Fase 1: Inisiasi dengan tahap berikut. Tahap 1: Kesadaran tentang adanya

masalah internal dan external (oleh pemimpin lokal, warga, petugas atau pihak-

pihak lainnya); Tahap 2: Penyatuan perhatian terhadap masalah (diskusi informal

diantara pihak-pihak yang sadar akan adanya masalah); Tahap 3: Testing tentang

adanya perhatian yang lebih luas (diskusi informal dengan tokoh masyarakat atau

instansi terkait); dan Tahap 4: Mencari dukungan lebih lanjut (khususnya dari

tokoh masyarakat, agen pembaharu, dinas, dan lain-lain).

Fase 2 : Pembentukan mencakup tahap berikut. Tahap 1: Undang untuk

pertemuan (meliputi staf dari instansi terkait dan tokoh masyarakat. Hal pokok

yang ingin dicapai adalah pemilihan panitia pengarah, kemudian bertugas


66

menyusun draf rencana umum dan struktur kelompok); Tahap 2: Mengembangkan

struktur kelompok sementara dan rencana umum (dengan mempertimbangkan

kebijakan pemerintah, dan mencari informasi serta bantuan dari pihak-pihak

terkait); dan Tahap 3: Pengesahan struktur dan rencana umum kelompok dalam

suatu rapat umum (biasanya panitia pengarah terpilih sebagai pengurus kelompok).

Fase 3 : Aksi terdiri atas tahapan berikut. Tahap 1: Memeriksa rencana

umum guna merumuskan tujuan jangka pendek (fokuskan pada satu proyek yang

viable); Tahap 2: Mengembangkan rencana kerja dan menetapkan program kerja

(misalnya memutuskan apa yang perlu dilakukan, sumberdaya, waktu, koordinasi,

dan lain-lain); Tahap 3: Implementasi rencana kerja (pelatihan, demonstrasi); dan

Tahap 4: Evaluasi dan dokumentasi kemajuan.

Fase 4: Pengembangan/ pembubaran atau restrukturisasi dengan cakupan

tahapan berikut. Tahap 1: Mengembangkan fungsi yang sudah ada (tangani lebih

banyak masalah, capai sasaran atau target yang lebih luas, perbanyak inisitif.

Dalam hal kelompok tani, tingkatkan jumlah penyaluran saprodi, kurangi kredit

macet, dan lain-lain); Tahap 2: Kembangkan fungsi baru (tidak saja

memperbanyak pelayanan buat anggota, tetapi juga kembangkan fungsi "berperan

ke atas dan atau ke samping", menjalin hubungan dengan pihak-pihak yang lebih

luas; dan Tahap 3: Perluasan kelompok dengan mengembangkan jangkauan lokasi

atau membentuk subkelompok baru yang sesuai (Hadi, 2002).

Model atau konsep dan pendekatan berikut, serta membaca berbagai

definisi dan uraian tentang modal sosial maka sesungguhnya hubungan antara

modal sosial dengan pengembangan agroekowisata adalah hubungan yang


67

langsung atau sebab akibat. Ketika modal sosial tersedia, kuat dan memfasilitasi

kerjasama yang menguntungkan, maka akan terjadi peningkatan kinerja

agroekowisata melalui peningkatan atraksi wisata, jumlah kunjungan wisatawan,

dan pada gilirannya ikut menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan

pendapatan orang-orang atau petani dan masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Pretty (1999) dan Pretty dan Ward (2001) mengemukakan modal sosial

adalah “kekompakan orang-orang dalam suatu masyarakat, terbentuk dari

hubungan saling percaya, memberi dan menerima, dan mempertukarkan antar

individu, yang memfasilitasi kerjasama; terikat oleh kesamaan aturan, norma, dan

sanksi yang disepakati bersama dan diturunkan dari generasi ke generasi;

keterhubungan, jaringan dan kelompok, baik formal maupun informal, horizontal

atau vertikal, dan antar individu atau organisasi; dan akses pada lingkup

kelembagaan yang lebih luas dari suatu masyarakat di luar dari rumah tangganya

atau masyarakatnya”. Untuk itu pola hubungan antara petani atau masyarakat

dengan agroekowisata dapat digambarkan sebagai berikut. (1) Kelompok atau

gabungan kelompok atau bentuk modal sosial lainnya memiliki anggota yang

masing-masing memiliki kepercayaan, nilai dan perilakunya/ partisipasi dalam

kelompok diatur melalui norma atau aturan dalam berinteraksi di dalam dan di luar

kelompok. Ketika semua unsur ini positif (saling percaya tinggi diantara anggota

dan anggota dengan pengurus, memegang nilai kebersamaan yang kuat, aturan dan

norma kelompok efektif, terjadi saling memberi dan menerima), maka modal sosial

akan memiliki kekuatan untuk melakukan kegiatan dan perubahan, dan sebaliknya

jika semua unsur modal sosial ini lemah, maka modal sosial lemah dan tidak
68

mendukung kegiatan yang terkait dengan pengembangan agroekowisata.

Kelompok yang Kohesif (ada saling percaya, memiliki nilai tentang pentingnya

kerjasama, diatur interaksinya melalui norma/aturan yang efektif dan

dikembangkan bersama). Kelompok yang Rapuh (interaksi terbatas, tidak ada

saling bertukar/ reciprocity, karena tidak saling percaya dan terbatasnya nilai

kebersamaan serta aturan tidak mendukung); (2) Agroekowisata adalah sebuah

pendekatan dalam meningkatkan pendapatan petani melalui penawaran jasa dan

barang yang ada di lingkungan usahatani seperti atraksi wisata, home-stay dan

produk-produk pertanian. Rancangan dan impelemntasi program pengembangan

agroekowisata yang baik idealnya melibatkan masyarakat (melalui kelompok

sebagai modal sosial dan stakeholder lainnya yang ada di tingkat desa, kecamatan

dan kabupaten Ende. Partisipasi petani melalui kelompok dapat diakomodir dengan

baik ketika kelompok atau gapoktan sebagai bentuk modal sosial aktif karena

unsur-unsurnya mendukung; dan (3) Apabila kelompok sebagai sebuah modal

sosial yang ada di tingkat desa memiliki kohesifitas yang tinggi, maka kelompok

dapat memfasilitasi terbentuknya jaringan kerjasama yang lebih luas dengan

stakeholder lainnya dalam pengembangan agroekowisata. Pemetaan stakeholder

seharusnya dilakukan dalam rangka mengetahui semua pihak yang terkait seperti

terlihat pada ilustrasi berikut ini. Dalam konteks ini, maka modal sosial pada

lingkup yang lebih luar akan terbentuk, seperti gabungan kelompok tani, asosiasi

pemerhati agroekowisata, komisi pengembangan agroekowisata Kabupaten Ende,

dan lainnya. Pada tataran ini maka relevan membahas tentang unsur-unsur modal

sosial yang lebih luas yang mempengaruhi interaksi petani dan kelompok tani
69

dengan pihak lainnya (kepercayaan, nilai, norma, aturan yang mempengaruhi

interaksi antar stakeholders).

Stakeholder kunci pengembangan agroekowisata Kabupaten Ende mencakup

beberapa level dan jenis stakeholder. (1) Aparat kabupaten terdiri atas hotel dan

travel, dinas pariwisata, dinas pertanian, dan BP4K; (2) Aparat kecamatan yakni

UPTD, dan BP3K; dan (3) Level aparat desa yakni PPL, kelompok tani, petani,

dan P3A.

Fakta pada masyarakat desa, banyak program pembangunan, pemerintah

dan lembaga pemrakarsa pembangunan lainnya sering menggunakan kelompok

atau organisasi sosial lainnya untuk melancarkan atau melaksanakan program-

program mereka. Ada yang membentuk kelompok baru dan ada yang

menggunaan kelompok yang sudah ada sebagai bagian dari modal sosial.

Kelompok-kelompok ini diperankan dalam merubah perilaku anggota dan

masyarakat di sekitarnya (peran ke bawah), membangun kerjasama dan

koordinasi dengan kelompok atau lembaga lainnya (peran ke samping), dan

bahkan memberikan masukkan kepada pemerintah dalam pengembangan dan

impelementasi kebijakan (peran ke atas).

2.2.5 Model modal sosial dalam pengembangan agroekowisata di Kabupaten


Ende Provinsi NTT.

Model adalah contoh sederhana dari sistem dan menyerupai sifat-sifat

sistem yang dipertimbangkan, tetapi tidak sama dengan sistem. Model

dikembangkan dengan tujuan untuk studi tingkah laku sistem melalui analisis rinci

terhadap komponen atau unsur. Jadi pengembangan model adalah suatu

pendekatan yang tersedia untuk mendapatkan pengetahuan yang layak akan sistem
70

tanaman. Model berperanan penting dalam pengembangan teori karena berfungsi

sebagai konsep dasar yang menata rangkaian aturan yang digunakan untuk

menggambarkan sistem. Model, hakekatnya tidak harus kuantitatif yang

melibatkan banyak rumus matematika, tetapi dapat berupa model mental.

Senge (1990) menguraikan model mental sebagai generalisasi asumsi yang

melekat secara mendalam (deeply ingrained), atau bahkan gambaran serta

bayangan yang mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia dan bagaimana

kita bertindak. Dikatakan model mental karena seseorang yang melakukan suatu

pekerjaan haruslah diawali dengan konsep dalam pikirannya tentang apa yang akan

dikerjakannya. Khayalan yang ada dalam pikiran tersebut adalah representasi

sederhana dari suatu sistem yang kompleks. Model dalam kaitan dengan penelitian

ini adalah model pemberdayaan masyarakat desa atau petani. Salah satu model

pemberdayaan yang dapat dikembangkan adalah melalui aktivitas agroekowisata

berbasis modal sosial. Model pemberdayaan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah perpaduan model naratif dan model normatif. Yaya dan Nandang (2009)

mengemukakan model naratif adalah model yang menggambarkan entititas dalam

bentuk lisan dan atau tulisan, dan Simamarta (1983), Noorwick dan Lusiana (1999)

berpendapat bahwa model normatif adalah model yang menyediakan jawaban

terbaik terhadap suatu persoalan. Model ini memberi rekomendasi tindakan-

tindakan yang perlu diambil.

Model pemberdayaan kelompok tani dalam pengembangan agroekowisata

di Kabupaten Ende dapat dilihat pada Gambar 2.5. Digambarkan bahwa budaya

atau tata-nilai masyarakat menjadi arah penentu ke arah mana, dengan landasan
71

pengetahuan dan teknologi seperti apa kegiatan pengelolaan agroekowisata

dikembangkan. Pengelolaan agroekowisata dalam pengembangannya tidak saja

ditinjau dari obyek material pemberdayaan masyarakat pedesaan, tetapi juga

harus dilihat dari aspek subyek material dan budaya. Dengan demikian,

pengelolaan agroekowisata di Kabupaten Ende dapat ditentukan oleh penguatan

budaya atau tata nilai berupa modal sosial masyarakat desa atau petani. Secara

umum model pengembangan agroekowisata di Indonesia yang dilakukan

pemerintah selama ini lebih fokus pada pemberian bantuan fisik bagi petani

dan pengenalan melalui kegiatan percontohan fisik di lapangan.

Secara teoritis, upaya pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan

agroekowisata yang dilakukan pemerintah terhadap masyarakat di desa kurang

memperhitungkan penguatan modal sosial setempat. Dinamika dan penguatan

modal sosial dalam pengelolaan agroekowisata ditentukan oleh kekuatan budaya

dan tata-nilai yang hidup di masyarakat. Pengelolaan agroekowisata yang terlihat

pada Gambar 2.5 menampilkan agroekowisata sebagai obyek yang pasif.

Budaya dan tata nilai masyarakat


Pemerintah Desa Masyarakat lokal

Penguatan
modal sosial

Pemberdayaan masyarakat Teknologi dan keterampilan


Ilmu pengetahuan dan
dalam pengelolaan konservasi dan pengelolaan
pegelolaan tentang
agroekowisata agroekowisata
agroekowisata

Usaha agroekowisata

Gambar 2.5
Model Hubungan Antara Budaya dan Tata-Nilai, serta Penguatan Modal Sosial dalam Pengembangan
Agroekowisata di Kabupaten Ende. Diadaptasi dari Merton (1962), Odum (1971), Rambo (1982), Rachman
(1996), Altiery, et al (1997), dan Lewis, et al (1997).
72

Keberadaan agroekowisata di Kabupaten Ende harus terintegrasi dengan

kehidupan sistem masyarakat lokal, atau pengembangan agroekowisata yang

mencakup pemberdayaan masyarakat lokal.

Pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan pedesaan yang

diwujudkan dalam bentuk pemberian bantuan dan pengetahuan fisik pada

petani hanya pada tahap pengenalan awal. Atau dapat dikatakan, pendekatan

pemberdayaan semacam ini yang dilakukan secara terus-menerus oleh petugas

pemerintah bukan saja akan membuat partisipasi petani menjadi sangat dangkal

atau shallow participation, dan tidak akan mempunyai pengaruh positif

terhadap penguatan modal sosial bagi petani dan masyarakat setempat (Malvicini

and Sweetser, 2003).

Model atau konsep dan pendekatan pada Gambar 2.5, serta membaca

berbagai definisi dan uraian tentang modal sosial maka sesungguhnya hubungan

antara modal sosial dengan pengembangan agroekowisata adalah hubungan yang

langsung atau sebab akibat. Ketika modal sosial tersedia, kuat dan memfasilitasi

kerjasama yang menguntungkan, maka akan terjadi peningkatan kinerja

agroekowisata melalui peningkatan atraksi wisata, jumlah kunjungan wisatawan,

dan pada gilirannya ikut menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan

pendapatan orang-orang atau petani dan masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Pretty (1999) dan Pretty dan Ward (2001) mengemukakan modal sosial

adalah “kekompakan orang-orang dalam suatu masyarakat, terbentuk dari

hubungan saling percaya, memberi dan menerima, dan mempertukarkan antar

individu, yang memfasilitasi kerjasama; terikat oleh kesamaan aturan, norma, dan
73

sanksi yang disepakati bersama dan diturunkan dari generasi ke generasi;

keterhubungan, jaringan dan kelompok, baik formal maupun informal, horizontal

atau vertikal, dan antar individu atau organisasi; dan akses pada lingkup

kelembagaan yang lebih luas dari suatu masyarakat di luar dari rumah tangganya

atau masyarakatnya”. Untuk itu pola hubungan antara petani atau masyarakat

dengan agroekowisata dapat digambarkan sebagai berikut.

(1) Kelompok atau gabungan kelompok atau bentuk modal sosial lainnya memiliki

anggota yang masing-masing memiliki kepercayaan, nilai dan perilakunya/

partisipasi dalam kelompok diatur melalui norma atau aturan dalam

berinteraksi di dalam dan di luar kelompok. Ketika semua unsur ini positif

(saling percaya tinggi diantara anggota dan anggota dengan pengurus,

memegang nilai kebersamaan yang kuat, aturan dan norma kelompok efektif,

terjadi saling memberi dan menerima), maka modal sosial akan memiliki

kekuatan untuk melakukan kegiatan dan perubahan, dan sebaliknya jika semua

unsur modal sosial ini lemah, maka modal sosial lemah dan tidak mendukung

kegiatan yang terkait dengan pengembangan agroekowisata. Kelompok yang

Kohesif (ada saling percaya, memiliki nilai tentang pentingnya kerjasama,

diatur interaksinya melalui norma/aturan yang efektif dan dikembangkan

bersama). Kelompok yang Rapuh (interaksi terbatas, tidak ada saling

bertukar/reciprocity, karena tidak saling percaya dan terbatasnya nilai

kebersamaan serta aturan tidak mendukung)

(2) Agroekowisata adalah sebuah pendekatan dalam meningkatkan pendapatan

petani melalui penawaran jasa dan barang yang ada di lingkungan usahatani
74

seperti atraksi wisata, home-stay dan produk-produk pertanian. Rancangan dan

impelemntasi program pengembangan agroekowisata yang baik idealnya

melibatkan masyarakat (melalui kelompok sebagai modal sosial dan

stakeholder lainnya yang ada di tingkat desa, kecamatan dan kabupaten Ende.

Partisipasi petani melalui kelompok dapat diakomodir dengan baik ketika

kelompok atau gapoktan sebagai bentuk modal sosial aktif karena unsur-

unsurnya mendukung.

(3) Apabila kelompok sebagai sebuah modal sosial yang ada di tingkat desa

memiliki kohesifitas yang tinggi, maka kelompok dapat memfasilitasi

terbentuknya jaringan kerjasama yang lebih luas dengan stakeholder lainnya

dalam pengembangan agroekowisata. Pemetaan stakeholder seharusnya

dilakukan dalam rangka mengetahui semua pihak yang terkait seperti terlihat

pada ilustrasi berikut ini. Dalam konteks ini, maka modal sosial pada lingkup

yang lebih luar akan terbentuk, seperti gabungan kelompok tani, asosiasi

pemerhati agroekowisata, komisi pengembangan agroekowisata Kabupaten

Ende, dan lainnya. Pada tataran ini maka relevan membahas tentang unsur-

unsur modal sosial yang lebih luas yang mempengaruhi interaksi petani dan

kelompok tani dengan pihak lainnya (kepercayaan, nilai, norma, aturan yang

mempengaruhi interaksi antar stakeholders).

Stakeholder kunci pengembangan agroekowisata Kabupaten Ende menca-

kup beberapa level dan jenis stakeholder. (1) Aparat kabupaten terdiri atas hotel

dan travel, dinas pariwisata, dinas pertanian, dan BP4K; (2) Aparat kecamatan
75

yakni UPTD, dan BP3K; (3) Level aparat desa yakni PPL, kelompok tani, petani,

dan P3A.

Fakta pada masyarakat desa, banyak program pembangunan, pemerintah

dan lembaga pemrakarsa pembangunan lainnya sering menggunakan kelompok

atau organisasi sosial lainnya untuk melancarkan atau melaksanakan program-

program mereka. Ada yang membentuk kelompok baru dan ada yang menggunaan

kelompok yang sudah ada sebagai bagian dari modal sosial. Kelompok-kelompok

ini diperankan dalam merubah perilaku anggota dan masyarakat di sekitarnya

(peran ke bawah), membangun kerjasama dan koordinasi dengan kelompok atau

lembaga lainnya (peran ke samping), dan bahkan memberikan masukkan kepada

pemerintah dalam pengembangan dan impelementasi kebijakan (peran ke atas).

2.2.6 Pengetahuan

Aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi usahatani dan

konservasi di tingkat basis yakni petani, masih belum optimal. Fakta menunjukkan

bahwa pihak penyuluh lapang jarang mendapatkan materi pelatihan dalam konteks

penguatan modal sosial. Aktivitas yang sering dilakukan hanya sebatas

peningkatan kualitas modal manusia (human capital) dalam bentuk peningkatan

ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pengertian Pengetahuan. Pengetahuan ialah merupakan hasil “tahu” dan ini

terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu obyek tertentu.

Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yaitu : indera penglihatan,

pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia

diperoleh melalui mata dan telinga (Soekidjo, 2003).


76

Bloom (1956), seorang ahli pendidikan, membuat klasifikasi (taxonomy)

pertanyaan-pertanyaan yang dapat dipakai untuk merangsang proses berfikir pada

manusia. Menurut Bloom kecakapan berfikir pada manusia dapat dibagi dalam

enam kategori yaitu : (1) Pengetahuan (knowledge) yang mencakup ketrampilan

mengingat kembali faktor-faktor yang pernah dipelajari; (2) Pemahaman

(comprehension) yang meliputi pemahaman terhadap informasi yang ada;

(3) Penerapan (application) mencakup ketrampilan menerapkan informasi atau

pengetahuan yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru; (4) Analisis

(analysis) meliputi pemilahan informasi menjadi bagian-bagian atau meneliti dan

mencoba memahami struktur informasi; (5) Sintesis (synthesis) mencakup

menerapkan pengetahuan dan ketrampilan yang sudah ada untuk menggabungkan

elemen-elemen menjadi suatu pola yang tidak ada sebelumnya; dan (6) Evaluasi

(evaluation) meliputi pengambilan keputusan atau menyimpulkan berdasarkan

kriteria-kriteria yang ada biasanya pertanyaan memakai kata: pertimbangkanlah,

bagaimana kesimpulannya (Soekidjo, 2003).

Pengukuran pengetahuan. Menurut Soekidjo (2003) pengukuran penge-

tahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang

isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.

Cara memperoleh pengetahuan. Menurut Soekidjo (2003) cara untuk

memperoleh pengetahuan ada dua yaitu : Cara tradisional atau non ilmiah terdiri

atas (1) Cara coba salah (Trial and error). Cara ini telah dipakai orang sebelum

adanya kebudayaan bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu

seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya


77

dilakukan dengan coba-coba saja. Bahkan sampai sekarang pun metode ini masih

sering dipergunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui

suatu cara tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. (2) Cara kekuasaan

atau otoritas. Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama

maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama

di dalam penemuan pengetahuan. Prinsip ini adalah orang lain menerima pendapat

yang dikemukakan oleh orang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dahulu menguji

atau membuktikan kebenarannya baik berdasarkan fakta empiris ataupun

berdasarkan penalaran sendiri. Hal ini disebabkan karena orang yang menerima

pendapat tersebut menganggap bahwa apa yang ditemukannya adalah sudah benar,

(3) Berdasarkan pengalaman pribadi Hal ini dilakukan dengan cara mengulang

kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang

dihadapi pada masa yang lalu; dan (4) Melalui jalan pikiran. Sejalan dengan

perkembangan kebudayaan umat manusia, cara pikir manusia pun ikut

berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam

memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran

pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya. Cara modern atau cara

ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan yang sistematis, logis dan ilmiah.

2.2.7 Sikap

Notoadmodjo (2003) mengemukakan bahwa sikap (attitude) adalah

merupakan reaksi yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau

obyek. Wawan dan Dewi (2010) mengemukakan bahwa sikap dapat diposisikan

sebagai hasil evaluasi terhadap obyek sikap yang diekspresikan ke dalam proses-
78

proses kognitif, afektif (emosi) dan perilaku. Dari definisi-definisi tersebut

menunjukkan bahwa secara garis besar sikap terdiri dari komponen kognitif (ide

yang umumnya berkaitan dengan pembicaraan dan dipelajari), perilaku (cenderung

mempengaruhi respon sesuai dan tidak sesuai) dan emosi (menyebabkan respon-

respon yang konsisten).

2.2.7.1 Ciri-ciri sikap

Ciri-ciri sikap menurut Notoadmodjo (2003) adalah: (1) Sikap bukan

dibawa sejak lahir melainkan dibentuk atau dipelajari sepanjang perkembangan itu

dalam hubungannya dengan obyeknya; (2) Sikap dapat berubah-ubah karena itu

sikap dapat dipelajari dan sikap dapat berubah pada orang-orang bila terdapat

keadaan-keadaan dan syarat-syarat tertentu yang mempermudah sikap pada orang

itu; (3) Sikap tidak berdiri sendiri, tetapi senantiasa mempunyai hubungan tertentu

terhadap suatu obyek. Dengan kata lain sikap itu terbentuk, dipelajari, atau berubah

senantiasa berkenaan dengan suatu obyek tertentu yang dapat dirumuskan dengan

jelas; (4) Obyek sikap itu merupakan suatu hal tertentu tetapi dapat juga

merupakan kumpulan dari hal-hal tersebut; dan (5) Sikap mempunyai segi-segi

motivasi dan segi-segi perasaan, sifat alamiah yang membedakan sikap dan

kecakapan-kecakapan atau pengetahuan-pengetahuan yang dimiliki orang.

2.2.7.2. Tingkatan sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2010), sikap terdiri dari berbagai tingkatan

yaitu: (1) Menerima (receiving) Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau

dan memperhatikan stimulus yang diberikan (obyek); (2) Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan


79

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi sikap karena dengan suatu usaha untuk

menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan. Terlepas dari

pekerjaan itu benar atau salah adalah berarti orang tersebut menerima ide itu;

(3) Menghargai (valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau men-

diskusikan dengan orang lain terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap

tingkat tiga; dan (4) Bertanggung jawab (responsible). Bertanggung jawab atas

segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala resiko adalah mempunyai sikap

yang paling tinggi.

2.2.7.3 Fungsi sikap

Menurut Wawan dan Dewi (2010) sikap mempunyai beberapa fungsi,

yaitu: (1) Fungsi instrumental atau fungsi penyesuaian atau fungsi manfaat. Fungsi

ini berkaitan dengan sarana dan tujuan. Orang memandang sejauh mana obyek

sikap dapat digunakan sebagai sarana atau alat dalam rangka mencapai tujuan. Bila

obyek sikap dapat membantu seseorang dalam mencapai tujuannya, maka orang

akan bersifat positif terhadap obyek tersebut. Demikian sebaliknya bila obyek

sikap menghambat pencapaian tujuan, maka orang akan bersikap negatif terhadap

obyek sikap yang bersangkutan; (2) Fungsi pertahanan ego. Ini merupakan sikap

yang diambil oleh seseorang demi untuk mempertahankan ego atau akunya. Sikap

ini diambil oleh seseorang pada waktu orang yang bersangkutan terancam keadaan

dirinya atau egonya; (3) Fungsi ekspresi nilai. Sikap yang ada pada diri seseorang

merupakan jalan bagi individu untuk mengekspresikan nilai yang ada pada dirinya.

Dengan mengekspresikan diri seseorang akan mendapatkan kepuasan dapat

menunjukkan kepada dirinya. Dengan individu mengambil sikap tertentu akan


80

menggambarkan keadaan sistem nilai yang ada pada individu yang bersangkutan;

dan (4) Fungsi pengetahuan Individu mempunyai dorongan untuk ingin mengerti

dengan pengalaman-pengalamannya. Ini berarti bila seseorang mempunyai sikap

tertentu terhadap suatu obyek, menunjukkan tentang pengetahuan orang terhadap

obyek sikap yang bersangkutan.

2.2.7.4 Komponen sikap

Menurut Azwar (2011) sikap terdiri dari tiga komponen yang saling

menunjang yaitu: (1) Komponen kognitif. Merupakan representasi apa yang

dipercayai oleh individu pemilik sikap. Komponen kognitif berisi kepercayaan

stereotipe yang dimiliki individu mengenai sesuatu dapat disamakan penanganan

(opini) terutama apabila menyangkut masalah isu atau yang controversial;

(2) Komponen afektif. Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional.

Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen

sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh

yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen efektif disamakan

dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu; dan (3) Komponen

konatif. Merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai sikap yang

dimiliki oleh seseorang. Aspek ini berisi tendensi atau kecenderungan untuk

bertindak atau bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu.

2.2.7.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

Menurut Azwar (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi sikap yaitu.

(1) Pengalaman pribadi. Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan

sikap apabila pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan
81

lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi

yang melibatkan faktor emosional; (2) Pengaruh orang lain yang dianggap

pentingm Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang

konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan

untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut;

(3) Pengaruh kebudayaan. Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-

individu masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan

telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah; (4) Media

massa. Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi

lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan; (5) secara obyektif

berpengaruh terhadap sikap konsumennya yakni lembaga pendidikan dan lembaga

agama. Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama

sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada

gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap; dan (6) Faktor emosional. Kadang

kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi

sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme

pertahanan ego.

2.2.8 Perilaku sosial


2.2.8.1 Pengertian perilaku sosial

Perilaku sosial adalah suasana saling ketergantungan yang merupakan

keharusan untuk menjamin keberadaan manusia (Ibrahim, 2010). Sebagai bukti

bahwa manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup sebagai diri pribadi tidak dapat
82

melakukannya sendiri melainkan memerlukan bantuan dari orang lain. Ada ikatan

saling ketergantungan diantara satu orang dengan yang lainnya. Artinya bahwa

kelangsungan hidup manusia berlangsung dalam suasana saling mendukung dalam

kebersamaan. Untuk itu manusia dituntut mampu bekerja sama, saling menghor-

mati, tidak menggangu hak orang lain, toleran dalam hidup bermasyarakat.

Menurut Ibrahim (2010), perilaku sosial seseorang itu tampak dalam pola

respons antar orang yang dinyatakan dengan hubungan timbal balik antar pribadi.

Perilaku sosial juga identik dengan reaksi seseorang terhadap orang. Perilaku itu

ditunjukkan dengan perasaan, tindakan, sikap keyakinan, kenangan, atau rasa

hormat terhadap orang lain. Perilaku sosial seseorang merupakan sifat relatif untuk

menanggapi orang lain dengan cara-cara yang berbeda-beda. Misalnya dalam

melakukan kerja sama, ada orang yang melakukannya dengan tekun, sabar dan

selalu mementingkan kepentingan bersama diatas kepentingan pribadinya.

Sementara di pihak lain, ada orang yang bermalasan, tidak sabaran dan hanya

ingin mencari untung sendiri.

Sesungguhnya yang menjadi dasar dari uraian di atas adalah bahwa pada

hakikatnya manusia adalah makhluk sosial (Gerungan, 2012). Sejak dilahirkan

manusia membutuhkan pergaulan dengan orang lain untuk memenuhi kebutuhan

biologisnya. Pada perkembangan menuju kedewasaan, interaksi sosial diantara

manusia dapat merealisasikan kehidupannya secara individual. Hal ini dika-

renakan jika tidak ada timbal balik dari interaksi sosial maka manusia tidak dapat

merealisasikan potensi-potensinya sebagai sosok individu yang utuh sebagai hasil

interaksi sosial. Potensi-potensi itu pada awalnya dapat diketahui dari perilaku
83

kesehariannya. Pada saat bersosialisasi maka yang ditunjukkannya adalah perilaku

sosial. Pembentukan perilaku sosial seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor

baik yang bersifat internal maupun yang bersifat eksternal. Pada aspek eksternal

situasi sosial memegang peranan yang cukup penting. Situasi sosial diartikan

sebagai tiap-tiap situasi di mana terdapat saling hubungan antara manusia yang

satu dengan yang lain (Gerungan,2012). Dengan kata lain setiap situasi yang

menyebabkan terjadinya interaksi sosial dapatlah dikatakan sebagai situasi sosial.

Contoh situasi sosial misalnya di lingkungan pasar, pada saat rapat, atau dalam

lingkungan pembelajaran pendidikan jasmani.

2.2.8.2 Faktor-faktor pembentuk perilaku sosial

Baron dan Byrne berpendapat bahwa ada empat kategori utama yang dapat

membentuk perilaku sosial seseorang, yaitu. (1) Perilaku dan karakteristik orang

lain. Jika seseorang lebih sering bergaul dengan orang-orang yang memiliki

karakter santun, ada kemungkinan besar ia akan berperilaku seperti kebanyakan

orang-orang berkarakter santun dalam lingkungan pergaulannya. Sebaliknya, jika

ia bergaul dengan orang-orang berkarakter sombong, maka ia akan terpengaruh

oleh perilaku seperti itu. Pada aspek ini guru memegang peranan penting sebagai

sosok yang akan dapat mempengaruhi pembentukan perilaku sosial siswa karena ia

akan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam mengarahkan siswa untuk

melakukan sesuatu perbuatan; (2) Proses kognitif. Ingatan dan pikiran yang

memuat ide-ide, keyakinan dan pertimbangan yang menjadi dasar kesadaran sosial

seseorang akan berpengaruh terhadap perilaku sosialnya. Misalnya seorang calon

pelatih yang terus berpikir agar kelak dikemudian hari menjadi pelatih yang baik,
84

menjadi idola bagi atletnya dan orang lain akan terus berupaya dan berproses

mengembangkan dan memperbaiki dirinya dalam perilaku sosialnya. Contoh lain

misalnya seorang siswa karena selalu memperoleh tantangan dan pengalaman

sukses dalam pembelajaran penjas maka ia memiliki sikap positif terhadap

aktivitas jasmani yang ditunjukkan oleh perilaku sosialnya yang akan mendukung

teman-temannya untuk beraktivitas jasmani dengan benar; (3) Faktor lingkungan.

Lingkungan alam terkadangdapat mempengaruhi perilaku sosial seseorang. Misal-

nya orang yang berasal dari daerah pantai atau pegunungan yang terbiasa berkata

dengan keras, maka perilaku sosialnya seolah keras pula, ketika berada di

lingkungan masyarakat yang terbiasa lembut dan halus dalam bertutur kata;

dan (4) Tata budaya sebagai tempat perilaku dan pemikiran sosial itu terjadi.

Misalnya, seseorang yang berasal dari etnis budaya tertentu mungkin akan terasa

berperilaku sosial aneh ketika berada dalam lingkungan masyarakat yang beretnis

budaya lain atau berbeda.

2.2.8.3 Bentuk dan jenis perilaku sosial

Bentuk dan perilaku sosial seseorang dapat pula ditunjukkan oleh sikap

sosialnya. Sikap menurut Azhari (2004) adalah “suatu cara bereaksi terhadap

suatu perangsang tertentu. Sedangkan sikap sosial dinyatakan oleh cara-cara

kegiatan yang sama dan berulang-ulang terhadap obyek sosial yang menyebabkan

terjadinya cara-cara tingkah laku yang dinyatakan berulang-ulang terhadap salah

satu obyek sosial (Gerungan, 2012).

Berbagai bentuk dan jenis perilaku sosial seseorang pada dasarnya

merupakan karakter atau ciri kepribadian yang dapat teramati ketika seseorang
85

berinteraksi dengan orang lain. Seperti dalam kehidupan berkelompok, kecen-

derungan perilaku sosial seseorang yang menjadi anggota kelompok tertentu

terlihat jelas diantara anggota kelompok yang lainnya. Perilaku sosial dapat

dilihat melalui sifat-sifat dan pola respon antarpribadi sebagai berikut.

1. Kecenderungan perilaku peran mencakup: (1) Sifat pemberani dan pengecut

secara sosial. Orang yang memiliki sifat pemberani secara sosial, biasanya

dia sukamempertahankan dan membela haknya, tidak malu-malu atau tidak

seganmelakukan sesuatu perbuatan yang sesuai norma di masyarakat dalam

mengedepankan kepentingan diri sendiri sekuat tenaga. Sedangkan

sifatpengecut menunjukkan perilaku atau keadaan sebaliknya, seperti kurang

suka mempertahankan haknya, malu dan segan berbuat untuk menge-

depankan kepentingannya; (2) Sifat berkuasa dan sifat patuh. Orang yang

memiliki sifat sok berkuasa dalam perilaku sosial biasanya ditunjukkan oleh

perilaku seperti bertindak tegas, berorientasi kepada kekuatan, percaya diri,

berkemauan keras, suka memberi perintah dan memimpin langsung.

Sedangkan sifat yang patuh atau penyerah menunjukkan perilaku sosial yang

sebaliknya, misalnya kurang tegas dalam bertindak, tidak suka memberi

perintah dan tidak berorientasikepada kekuatan dan kekerasan; (3) Sifat

inisiatif secara sosial dan pasif. Orang yang memiliki sifat inisiatif biasanya

suka mengorganisasi kelompok, tidak sauka mempersoalkan latar belakang,

suka memberi masukan atau saran-saran dalam berbagai pertemuan, dan

biasanya suka mengambil alih kepemimpinan. Sedangkan sifat orang yang

pasif secara sosial ditunjukkan oleh perilaku yang bertentangan dengan sifat
86

orang yang aktif, misalnya perilakunya yang dominan diam, kurang

berinisiatif, tidak suka memberi saran atau masukan; dan (4) Sifat mandiri dan

tergantung. Orang yang memiliki sifat mandiri biasanya membuat segala

sesuatunya dilakukan oleh dirinya sendiri, seperti membuat rencana sendiri,

melakukan sesuatu dengan cara-cara sendiri, tidak suak berusaha mencari

nasihat atau dukungan dari orang lain, dan secara emosiaonal cukup stabil.

Sedangkan sifat orang yang ketergantungan cenderung menunjukkan perilaku

sosial sebaliknya dari sifat orang mandiri, misalnya merencanakan dan

melakukan segala sesuatu harus mendapat saran dan dukungan orang lain, dan

keadaan emosionalnya relatif labil.

2. Kecenderungan perilaku dalam hubungan sosial: (1) Dapat diterima atau ditolak

oleh orang lain. Orang yang memiliki sifat dapat diterima oleh orang lain

biasanya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, loyal, dipercaya,

pemaaf dan tulus menghargai kelebihan orang lain. Sementara sifat orang

yang ditolak biasanya suak mencari kesalahan dan tidak mengakui kelebihan

orang lain; (2) Suka bergaul dan tidak suka bergaul. Orang yang suka bergaul

biasanya memiliki hubungan sosial yang baik, senang bersama dengan yang

lain dan senang bepergian. Sedangkan orang yang tidak suak bergaul

menunjukkan sifat dan perilaku yang sebaliknya; (3) Sifat ramah dan tidak

ramah. Orang yang ramah biasanya periang, hangat, terbuka, mudah didekati

orang,dan suka bersosialisasi. Sedang orang yang tidak ramah cenderung

bersifat sebaliknya; dan (4) Simpatik atau tidak simpatik. Orang yang memiliki

sifat simpatik biasanya peduli terhadap perasaan dan keinginan orang lain,
87

murah hati dan suka membela orang tertindas.Sedangkan orang yang tidak

simpatik menunjukkna sifat-sifat yang sebaliknya.

3. Kecenderungan perilaku ekspresif yakni: (1) Sifat suka bersaing (tidak

kooperatif) dan tidak suka bersaing (suka bekerjasama). Orang yang suka

bersaing biasanya menganggap hubungan sosial sebagai perlombaan, lawan

adalah saingan yang harus dikalahkan, memperkaya diri sendiri. Sedangkan

orang yang tidak suka bersaing menunjukkan sifat-sifat yang sebaliknya;

(2) Sifat agresif dan tidak agresif. Orang yang agresif biasanya suka

menyerang orang lain baik langsung ataupun tidak langsung, pendendam,

menentang atau tidak patuh pada penguasa, suka bertengkar dan suka

menyangkal. Sifat orang yang tidak agresif menunjukkan perilaku yang

sebaliknya; dan (3) Sifat kalem atau tenang secara sosial. Orang yang kalem

biasanya tidak nyaman jika berbeda dengan orang lain, mengalami kegugupan,

malu, ragu-ragu, dan merasa terganggu jika ditonton orang. Orang yang suka

pamer biasanya berperilaku berlebihan, suka mencari pengakuan, berperilaku

aneh untuk mencari perhatian orang lain.

Perilaku sosial individu menurut Krech, et al. (1962), bahwa sebagai

makhluk sosial, seorang individu sejak lahir hingga sepanjang hayatnya senantiasa

berhubungan dengan individu lainnya atau dengan kata lain melakukan relasi

interpersonal. Dalam relasi interpersonal itu ditandai dengan berbagai aktivitas

tertentu, baik aktivitas yang dihasilkan berdasarkan naluriah semata atau justru

melalui proses pembelajaran tertentu. Berbagai aktivitas individu dalam relasi

interpersonal ini biasa disebut perilaku sosial. Lebih lanjut Krech et al. (1962)
88

mengungkapkan bahwa untuk memahami perilaku sosial individu, dapat dilihat

dari kecenderungan-kecenderungan ciri-ciri respon interpersonalnya, yang terdiri

dari : (1) Kecenderungan peranan (role disposition); yaitu kecenderungan yang

mengacu kepada tugas, kewajiban dan posisi yang dimiliki seorang individu,

(2) Kecenderungan sosiometrik (sociometric disposition); yaitu kecenderungan

yang bertautan dengan kesukaan, dan kepercayaan terhadap individu lain, dan

(3) Ekspressi (expression disposition); yaitu kecenderungan yang bertautan dengan

ekpresi diri dengan menampilkan kebiasaaan-kebiasaan khas (particular fashion).

Selanjutnya diuraikan pula bahwa dalam kecenderungan peranan (role

disposition) terdapat empat kecenderungan yang bipolar, yaitu. (1) Ascendance-

social timidity. ascendance yaitu kecenderungan menampilkan keyakinan diri,

dengan arah berlawanannya social timidity yaitu takut dan malu bila bergaul

dengan orang lain, terutama yang belum dikenal; (2) Dominace-submissive.

Dominace yaitu kecenderungan untuk menguasai orang lain, dengan arah

berlawanannya kecenderungan submissive, yaitu mudah menyerah dan tunduk

pada perlakuan orang lain; (3) Social initiative-social passivity. Social

initiative yaitu kecenderungan untuk memimpin orang lain, dengan arah yang

berlawanannya social passivity yaitu kecenderungan pasif dan tak acuh; dan

(4) Independent–dependence. Independent yaitu untuk bebas dari pengaruh orang

lain, dengan arah berlawanannya dependence yaitu kecenderungan untuk bergan-

tung pada orang lain.

Dengan demikian, perilaku sosial individu dilihat dari kecenderungan

peranan (role disposition) dapat dikatakan memadai, jika menunjukkan ciri-ciri


89

respons interpersonal sebagai berikut: (1) yakin akan kemampuannya dalam

bergaul secara sosial; (2) memiliki pengaruh yang kuat terhadap teman sebaya;

(3) mampu memimpin teman-teman dalam kelompok; dan (4) tidak mudah

terpengaruh orang lain dalam bergaul. Sebaliknya, perilaku sosial individu

dikatakan kurang atau tidak memadai ketika menunjukkan ciri-ciri respons

interpersonal sebagai berikut. (1) kurang mampu bergaul secara sosial; (2) mudah

menyerah dan tunduk pada perlakuan orang lain; (3) pasif dalam mengelola

kelompok; dan (4) tergantung kepada orang lain bila melakukan suatu tindakan.

Kecenderungan tersebut adalah hasil dan pengaruh dari faktor

konstitutsional, pertumbuhan dan perkembangan individu dalam lingkungan sosial

dan pengalaman kegagalan dan keberhasilan berperilaku pada masa lampau.

Berdasarkan bentuknya perilaku dapat dibedakan ke dalam tiga domain

yaitu pengetahuan, sikap, dan tindakan atau partisipasi yang sering disebut dengan

istilah knowledge, attitude, practice (Sarwono, 2004).

Anda mungkin juga menyukai