Anda di halaman 1dari 75

AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF

DARI KEONG PEPAYA (Melo sp.)

Oleh :

FAUZIAH NARYUNING TIAS


C34060032

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
1
RINGKASAN

FAUZIAH NARYUNING TIAS. C34060032. AKTIVITAS ANTIOKSIDAN


DAN KOMPONEN BIOAKTIF DARI KEONG PEPAYA (Melo sp.).
Dibimbing oleh RUDDY SUWANDY dan NURJANAH.

Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena


mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat
reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan
untuk mengembalikan keseimbangannya maka radikal bebas berusaha
mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak
berpasangan tersebut. Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh sistem
antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Antioksidan akan
menyerahkan satu atau lebih elektronnya kepada radikal bebas sehingga dapat
menghentikan kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas. Antioksidan sintetik
yang berlebih dapat mengakibatkan keracunan. Antioksidan alami dinilai lebih
aman oleh karena itu antioksidan alami harus dikembangkan. Salah satu
komoditas hasil perairan yang diharapkan memiliki antioksidan alami adalah
keong pepaya (Melo sp.).
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan karakteristik, rendemen
ekstrak kasar, aktivitas antioksidan, dan komponen bioaktif dari keong pepaya
dengan berbagai jenis pelarut.
Analisis proksimat dilakukan dengan mengacu pada AOAC (2005). Proses
ekstraksi menggunakan ekstraksi bertingkat (Quinn 1988 diacu dalam Darusman
et al. 1995). Uji aktivitas antioksidan menggunakan metode DPPH (Blois 1958
diacu dalam Hanani et al. 2005). Uji fitokimia dilakukan menurut Harborne
(1987).
Rendemen keong pepaya segar dibagi antara daging, jeroan serta
cangkangnya yang memiliki nilai sebesar 55,18%; 11,06%; dan 30,58%. Daging
dan jeroan keong pepaya diuji secara terpisah. Daging keong pepaya memiliki
kadar air 28,54%, abu 7,40%, abu tidak larut asam 0,18%, lemak 1,08%, protein
61,58% dan karbohidrat 1,40%. Jeroan keong pepaya memiliki kadar air 24,85%,
abu 9,20%, abu tidak larut asam 0,17%, lemak 9,71%, protein 52,84% dan
karbohidrat 3,40%.
Hasil rendemen terbesar yaitu ekstraksi dengan menggunakan pelarut
metanol (polar) sedangkan rendemen terkecil yaitu menggunakan pelarut etil
asetat (semi polar). Hasil aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada jeroan
ekstrak kasar metanol dengan IC50 yaitu 1156 ppm, sedangkan aktivitas terendah
yaitu jeroan yang berasal dari ekstrak kasar kloroform dengan IC50 yaitu 2799
ppm. Keong pepaya memiliki aktivitas antiokisidan yang sangat rendah.
Keong pepaya mengandung komponen alkaloid, karbohidrat. Komponen
bioaktif berupa steroid hanya terdapat pada ekstrak kloroform dan ekstrak etil
asetat. Komponen bioaktif berupa asam amino hanya terdapat pada daging dan
jeroan ekstrak kasar metanol.

2
AKTIVITAS ANTIOKSIDAN DAN KOMPONEN BIOAKTIF
DARI KEONG PEPAYA (Melo sp.)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan


pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor

Oleh :
FAUZIAH NARYUNING TIAS
C34060032

DEPARTEMEN TEKNOLOGI HASIL PERAIRAN


FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
3
SKRIPSI

Judul Skripsi : Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif dari


Keong Pepaya (Melo sp.)

Nama : Fauziah Naryuning Tias

Nrp : C34060032

Departemen : Teknologi Hasil Perairan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil Ir. Nurjanah, MS


NIP. 195805111985031002 NIP. 195910131986012002

Mengetahui,
Ketua Departemen Teknologi Hasil Perairan

Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, MPhil


NIP. 195805111985031002

Tanggal Pengesahan:
4
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Aktivitas


Antioksidan dan Komponen Bioaktif dari Keong Pepaya (Melo sp.) adalah
karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada Perguruan Tinggi
manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2010

Fauziah Naryuning Tias


C34060032

5
KATA PENGANTAR

Ucapan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas
karunia-Nya yang berlimpah, yang membuat penulis sanggup menyelesaikan
skripsi yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif dari
Keong Pepaya (Melo sp.). Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penulisan ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil dan Ibu Ir. Nurjanah MS selaku
dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan dan pencerahan
dalam penyusunan skripsi ini.
2. Ibu Asadatun Abdullah S.Pi, M.Si, M.S.M selaku dosen penguji yang telah
memberikan pengarahan dan masukan sangat membangun bagi penulis.
3. Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil selaku Ketua Departemen
Teknologi Hasil Perairan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
4. Bapak Dr. Ir. Agoes M. Jacob, Dipl, Biol selaku ketua komisi pendidikan
Teknologi Hasil Perairan yang telah banyak memberikan pengarahan bagi
penulis.
5. Kedua orang tua tercinta dan kakakku tersayang, untuk dukungan yang
diberikan baik dukungan moral maupun materiil yang telah diberikan pada
penulis tanpa batas.
6. Om Herman, Tante Ani dan Aulia atas segala kebersamaan dan
kebersediaanya yang telah mengizinkan penulis melakukan preparasi bahan
baku dirumah.
7. Bu Ema, Mba Lastri, Mba Vie dan Mas Ipul yang telah banyak membantu
penulis dan memberikan bantuannya kepada penulis.
8. Seluruh staf THP yang telah banyak membantu penulis dalam pembuatan
skripsi ini.
9. Tim Antioksidan yang telah melakukan penelitian bersama dan selalu saling
membantu, terima kasih kepada Pipit, Dyan, Aul, Abang, Uu, Sabrong,
Azwin.

6
10. Kak Nazar yang sudah bersedia menunggu di laboratorium biotek 1 setiap
penulis melakukan maserasi, dan bersedia direpotkan dihari libur.
11. Dina, Nia, Dini dan Budi Irawan yang selalu mengingatkan dan memberikan
semangat kepada penulis agar cepat lulus.
12. Ginanjar Pratama yang telah banyak membatu dalam pengambilan sampel.
13. Uty, Cubay, Gae, Tika, Abang, Aul teman yang sangat menyenangkan dan
bersahabat.
14. Teman-teman yang sudah sangat membantu penulis dengan tawa dan
supportnya (Ica, Dede, Mba Anjie, Rida, Ratna, Mba Arince, Aciput, Cece,
Era, Memey, Patcet, Wahyu, Uji, Ijal, Bang Io, Bang Hendra, Idek, Jiro, Jeng
Idmar, Iben, Reja)
15. Teman-teman satu PA yang selalu saling support (Roma, Nanang, Anjar).
16. Idris, Joha, Buja yang dulu dianggap garis berbahaya dan memberikan
pertemanan yang sangat mengesankan.
17. Temen-temen THP 43 yang paling hebat atas segala dukungan, kerjasama,
kebersamaan dan semangat yang selalu diberikan kepada penulis.
18. THP 44 dan 45 (spesial untuk Hilma dan Boncel) atas keakraban dan
kebersamaanya.
19. Teman-teman penulis dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu, yang telah memberikan bantuan dan dukungan moril dalam
penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak
sangat penulis harapkan demi perbaikan. Akhir kata, semoga penulisan skripsi ini
dapat bermanfaat dan dapat memberikan informasi yang berguna bagi semua
pihak yang memerlukan.

Bogor, Agustus 2010

Penulis

v
RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 16 Juni


1988. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara
dari pasangan Sunarto dan Lestari Ningsih.
Penulis memulai jenjang pendidikan formal di TK
Asybiah (tahun 1993-1994), SD N tugu VIII Cimanggis
(tahun 1994-1999), SD N 03 pagi Jagakarsa (tahun 1999-
2000), selanjutnya penulis melanjutkan pendidikannya di
SLTP N 166 Jakarta (tahun 2000-2003). Pendidikan
menengah atas ditemph penulis di SMA N 38 Jakarta (2003-2006). Pada tahun
2006, penulis diterima di Institut Pertaian Bogor melalui USMI (Undangan
Seleksi Masuk IPB) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Departemen
Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut
Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai organisasi
kemahasiswaan seperti Himpunan Mahasiswa Teknologi Hasil Perikanan
(Himasilkan) sebagai anggota Divisi Informasi dan Komunikasi periode 2007-
2008, Fisheries Processing Club 2008-sekarang. Selain itu penulis juga aktif
dalam berbagai kepanitiaan di FPIK. Penulis juga pernah mengikuti pelatihan ISO
22000 yang diadakan di Institut Pertanian Bogor. Penulis juga pernah tercatat
sebagai asisten mata kuliah Pengetahuan Bahan Baku Industri Hasil Perairan
2009-2010.
Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar sarjana, penulis melalukan
penelitian yang berjudul Aktivitas Antioksidan dan Komponen Bioaktif dari
Keong Pepaya (Melo sp.). Dibimbing oleh Bapak Dr. Ir. Ruddy Suwandi MS,
M.Phil dan Ibu Ir. Nurjanah MS.

vi
DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ........................................................................................ ix


DAFTAR GAMBAR .................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................ xi
1 PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Tujuan ................................................................................................ 2
2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................... 3
2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Pepaya (Melo sp.) ............................ 3
2.2 Radikal Bebas .................................................................................... 5
2.3 Antioksidan ........................................................................................ 6
2.3.1 Sumber antioksidan ................................................................... 7
2.3.2 Mekanisme kerja antioksidan ..................................................... 8
2.3.3 Uji aktivitas antioksidan ............................................................ 9
2.4 Ekstraksi Senyawa Aktif .................................................................... 10
2.5 Senyawa Fitokimia ............................................................................. 12
2.5.1 Alkaloid .................................................................................... 12
2.5.2 Steroid/Triterpenoid ................................................................... 13
2.5.3 Flavonoid .................................................................................. 13
2.5.4 Saponin ..................................................................................... 14
2.5.5 Fenol Hidroquinon ..................................................................... 14
2.5.6 Karbohidrat ............................................................................... 14
2.5.7 Gula pereduksi ........................................................................... 15
2.5.8 Peptida ...................................................................................... 15
2.5.9 Asam amino .............................................................................. 16
3 METODOLOGI ..................................................................................... 17
3.1 Waktu dan Tempat ............................................................................. 17
3.2 Alat dan Bahan ................................................................................... 17
3.3 Metode Penelitian .............................................................................. 18
3.3.1 Pengambilan bahan baku dan preparasi bahan baku ................... 18
3.3.2 Karakterisasi bahan baku ........................................................... 19
a. Rendemen .............................................................................. 19
b. Uji proksimat ......................................................................... 19
1). Kadar air (AOAC 2005) .................................................. 19
2). Kadar abu (AOAC 2005) ................................................ 19
3). Analisis kadar abu tidak larut asam
(SNI 01-3836-2000) ......................................................... 20
vii
4). Kadar protein (AOAC 2005) ........................................... 20
5). Kadar lemak (AOAC 2005) ............................................ 21
3.3.3 Ekstraksi komponen antioksidan ................................................ 22
a. Uji aktivitas antioksidan DPPH (Bois 1958 diacu dalam
Hanani et al. 2005) .............................................................. 24
b. Uji fitokimia (Harborne 1987) ............................................... 24
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 27
4.1 Karakteristik Bahan Baku ................................................................... 27
4.1.1 Rendemen ................................................................................. 27
4.1.2 Kandungan gizi bahan baku ....................................................... 29
4.2 Ekstraksi Komponen Antioksidan ...................................................... 32
4.3 Ekstrak Kasar ..................................................................................... 35
4.3.1 Aktivitas antioksidan ................................................................. 36
4.3.2 Senyawa fitokimia ..................................................................... 43
5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 47
5.1 Kesimpulan ........................................................................................ 47
5.2 Saran ............................................................................................. 47
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 48
LAMPIRAN ............................................................................................ 51
DAFTAR GLOSARY .................................................................................. 61

viii
DAFTAR TABEL

Nomor Teks Halaman


1 Sumber- sumber radikal bebas ....................................................... 6
2 Bahan pangan sumber antioksidan alami ....................................... 7
3 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya ................................... 11
4 Hasil uji proksimat daging dan jeroan keong pepaya kering ........... 29
5 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstak kasar daging dan jeroan
keong pepaya ................................................................................ 37
6 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong pepaya .............................. 44

ix
DAFTAR GAMBAR

Nomor Teks Halaman


1 Melo sp. .................................................................................... 3
2 Cangkang keong pepaya dan anatomi gastropoda ...................... 4
3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil
reaksi dengan antioksidan .......................................................... 9
4 Tahapan proses ekstraksi daging dan jeroan keong pepaya ........ 23
5 Diagram batang presentasi rendemen keong pepaya .................. 28
6 Ekstrak kasar daging dan jeroan keong pepaya .......................... 34
7 Rendemen ekstrak kasar daging dan jeroan keong pepaya ......... 34
8 Perubahan warna pada ekstrak kasar keong pepaya dan BHT .... 38
9 Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan % inhibisinya .......... 39
10 Grafik hubungan antara ekstrak daging keong pepaya
dengan rata-rata persen inhibisinya ............................................ 39
11 Grafik hubungan antara ekstrak jeroan keong pepaya
dengan rata-rata persen inhibisinya ............................................ 40
12 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar daging dan jeroan
keong pepaya ............................................................................ 41

x
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1 Data uji proksimat ..................................................................... 52
2 Contoh perhitungan uji proksimat .............................................. 53
3 Data rendemen ekstrak kasar keong pepaya ............................... 54
4 Perhitungan pembuatan larutan stok .......................................... 55
5 Hasil persen inhibisi dan IC50 BHT ........................................... 56
6 Hasil uji aktivitas antioksidan .................................................... 56
7 Contoh perhitungan persen inhibisi dan IC50 .............................. 58
8 Gambar hasil uji fitokimia ......................................................... 59

xi
1

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang
radikal bebas dan antioksidan. Reaksi yang melibatkan senyawa radikal bebas
diketahui merupakan sumber dari berbagai penyakit, antara lain penyakit kulit dan
penyakit degeneratif (Supari 1996 diacu dalam Muchtadi 2001). Sebagian besar
penyakit diawali oleh adanya reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh
(Winarsi 2007). Reaksi oksidasi terjadi karena adanya molekul oksigen. Molekul
ini sangat dibutuhkan oleh organisme aerob karena dapat memberikan energi pada
proses metabolisme dan respirasi, namun pada kondisi tertentu keberadaanya
dapat berimplikasi pada berbagai penyakit dan kondisi degeneratif, seperti
penuaan dini, kanker dan lain-lain (Winarsi 2007).
Reaksi oksidasi terjadi setiap saat termasuk pada saat proses pernafasan.
Reaksi ini dapat menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif, yang
dapat merusak struktur serta fungsi sel (Winarsi 2007). Radikal bebas merupakan
suatu molekul yang sangat reaktif karena mempunyai satu atau lebih elektron
yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat reaktif karena kehilangan satu atau
lebih elektron yang bermuatan listrik, dan untuk mengembalikan
keseimbangannya maka radikal bebas berusaha mendapatkan elektron dari
molekul lain atau melepas elektron yang tidak berpasangan tersebut. Radikal
bebas selain dihasilkan dari proses pernafasan juga dapat disebabkan oleh produk
sampingan dari proses metabolisme dalam tubuh (Praptiwi et al. 2006).
Reaktivitas radikal bebas dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang
melengkapi sistem kekebalan tubuh. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat
menghambat spesies oksigen reaktif/spesies nitrogen reaktif (ROS/RNS) dan juga
radikal bebas (Rohman dan Riyanto 2005). Antioksidan akan menyerahkan satu
atau lebih elektronnya pada radikal bebas sehingga dapat menghentikan kerusakan
yang disebabkan oleh radikal bebas. Di dalam tubuh terdapat mekanisme
antioksidan, namun bila jumlah radikal bebas dalam tubuh berlebih maka
dibutuhkan antioksidan yang berasal dari sumber alami atau sintetik dari luar
tubuh (Praptiwi et al. 2006).
2

Antioksidan sintetik merupakan antioksidan yang dibutuhkan dari luar


tubuh atau eksogeneous seperti BHA (butil hidroksi anisol), BHT (butil hidroksi
toluen), PG (propil galat), dan TBHQ (tert-butil Hidrokuinon). Antioksidan ini
dapat meningkatkan terjadinya penyakit karsinogenesis (Amarowicz et al. 2000
diacu dalam Rohman dan Riyanto 2005). Penggunaan antioksidan sintetik dalam
bahan pangan yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan (Winarno 1997
diacu dalam Santoso et al. 2010). Hal inilah yang menyebabkan penggunaan
antioksidan alami mengalami peningkatan.
Salah satu jenis bahan baku alami yang mungkin memiliki aktivitas
antioksidan yaitu keong pepaya (Melo sp). Gastropoda merupakan binatang yang
melekat pada terumbu karang dan dasar laut yang berusaha mempertahankan diri
dengan menghasilkan senyawa kimia dalam bentuk metabolit sekunder yang
ditakuti dan dihindari predator, senyawa metabolit berkhasiat sebagai antikanker
(cytotoxic) dan antibiotik (Proksch 2002 diacu dalam Purwaningsih 2007). Keong
pepaya termasuk Kelas Gastropoda yang diharapkan memiliki aktivitas
antioksidan.
Salah satu jenis dari Famili Volutidae yaitu keong pepaya ditemukan di
perairan pantai Cirebon. Keong pepaya di perairan pantai Cirebon ini umumnya
sudah dikonsumsi oleh masyarakat dan banyak yang menyukai hidangan yang
berasal dari keong pepaya. Masyarakat umumnya belum mengetahui potensi yang
dimiliki oleh keong pepaya. Hal tersebut mendasari penelitian ini untuk
mengetahui potensi antioksidan yang terdapat pada keong pepaya. Hasil penelitian
ini diharapkan dapat memperkaya informasi mengenai kandungan senyawa
antioksidan keong pepaya yang dapat bermanfaat bagi bidang pangan, farmasi dan
industri.

1.2 Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan karakteristik, rendemen
ekstrak kasar, aktivitas antioksidan, dan komponen bioaktif dari keong pepaya
(Melo sp.) dengan berbagai jenis pelarut.
3

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Deskripsi dan Klasifikasi Keong Pepaya (Melo sp.)


Melo sp. termasuk Famili Volutidae yang kebanyakan tidak memiliki
operkulum dan memiliki 180 jenis di seluruh dunia (Grzimex 1974). Melo sp.
memiliki cangkang yang sangat besar. Puncaknya dapat tak terlihat dan terlihat.
Apex halus, besar dan berbentuk seperti kubah. Puncak lingkarannya halus dan
seperti mahkota, terdapat sejumlah columella yang saling berlipat. Klasifikasi
keong papaya (Melo sp.) (Lineaus 1958) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Molusca
Class : Gastropoda
Subclass : Caenogastropoda
Order : Hypsogastropoda
Suborder : Neogastropoda
Superfamiliy : Muricoidea
Family : Volutidae
Subfamily : Amoriinae
Genus : Melo sp.
Famili volutidae merupakan salah satu keong yang disukai oleh para
kolektor. Volutidae termasuk jenis karnivor yang memangsa hewan-hewan kecil,
echinodermata dan moluska lainnya. Hidup di pasir yang bersih, dan berlindung di
bagian bawah (Beechey 2005). Keong pepaya tersebar di perairan Indo-Pacific
(Australia dan New Guinea) dan Indonesia (Grzimek 1974). Bentuk keong pepaya
dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Melo sp.


4

Keong laut masuk dalam Kelas Gastropoda laut. Tubuhnya dilindungi oleh
sebuah cangkang dan biasanya melingkar karena torsi, bentuk kepala jelas,
mempunyai tentakel, mata dan radula. Kaki lebar dan datar, bernafas dengan
sebuah atau sepasang insang, dioecious, larva trocopor, dan veliger
(Purwaningsih 2007).
Tubuh keong terdiri atas empat bagian utama yaitu kepala, kaki, isi perut,
dan mantel. Pada kepala terdapat sepasang mata, sepasang tentakel, sebuah mulut,
dan sebuah siphon. Mantel merupakan arsitek pembentuk struktur cangkang dan
pola luarnya. Di dalam kepala terdapat probosis yang di dalamnya terdapat radula.
Kaki berukuran besar dan berbentuk pipih yang berfungsi untuk merayap dan
melekat (Yulianda 1999). Cangkang dan anatomi gastropoda dapat dilihat pada
Gambar 2.

Gambar 2 Cangkang keong pepaya dan anatomi gastropoda


Sumber: Pretre (1850)

Cangkang gastropoda paling luar disebut periostrakum, merupakan lapisan


tipis yang terdiri atas bahan protein seperti zat tanduk disebut conchiolin atau
choncin. Pada lapisan ini terdapat beberapa pigmen beraneka warna yang
menjadikan banyak cangkang keong laut sangat indah warnanya: kuning, hijau
cemerlang, dengan bercak-bercak merah atau garis-garis. Cangkang pada
gastropoda terdiri atas lapisan kalsium karbonat sebanyak tiga lapis atau lebih,
yang terluar adalah prismatik atau palisade, lapisan tengah atau lamella, dan
paling dalam adalah lapisan nakre atau hipostrakum (Suwignyo et al. 1997 diacu
dalam Purwaningsih 2007). Struktur cangkang terbuat dari kalsium karbonat,
yaitu 89-99% dan sisanya 1-2% fosfat, bahan organik conchiolin dan air (Darma
1988 diacu dalam Purwaningsih 2007).
5

2.2 Radikal Bebas


Radikal bebas merupakan suatu molekul yang sangat reaktif karena
mempunyai satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas sangat
reaktif karena kehilangan satu atau lebih elektron yang bermuatan listrik, dan
untuk mengembalikan keseimbangannya maka radikal bebas berusaha
mendapatkan elektron dari molekul lain atau melepas elektron yang tidak
berpasangan tersebut. Radikal bebas dalam jumlah berlebih di dalam tubuh sangat
berbahaya karena menyebabkan kerusakan sel, asam nukleat, protein dan jaringan
lemak (Dalimartha & Soedibyo 1998 diacu dalam Praptiwi et al. 2006).
Radikal bebas adalah atom, molekul atau sedikit kumpulan yang berisi
satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas bersifat tidak
stabil, reaktif, dan memiliki kemampuan untuk merusak molekul biologi yaitu
DNA, protein, lipid, dan karbohidrat (Surai 2002).
Radikal bebas memiliki reaktivitas yang tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh
sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Senyawa
radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal. Dampak
kerja radikal bebas akan terbentuk radikal bebas yang berasal dari atom atau
molekul yang elektronnya diambil untuk berpasangan dengan radikal sebelumnya,
namun bila dua senyawa radikal bertemu elektron yang tidak berpasangan dari
kedua senyawa tersebut akan bergabung dan membentuk ikatan kovalen yang
stabil. Sebaliknya bila senyawa bertemu dengan senyawa bukan radikal bebas,
akan terjadi tiga kemungkinan yaitu: (1) radikal bebas akan memberikan elektron
yang tidak berpasangan (reduktor) pada senyawa bukan radikal bebas; (2) radikal
bebas menerima elektron (oksidator) dari senyawa bukan radikal bebas; (3)
radikal bebas bergabung dengan senyawa bukan radikal bebas (Winarsi 2007).
Tahapan pembentukan reaksi radikal bebas terjadi melalui tiga tahap yang
terdiri atas tahap inisiasi yaitu awal pembentukan radikal bebas. Tahap propagasi
yaitu pemanjangan rantai radikal. Tahap terminasi yaitu bereaksinya senyawa
radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi
propagasinya rendah (Fessenden dan Fessenden 1986). Sumber radikal bebas
internal dan eksternal dapat dilihat pada Tabel 1.
6

Tabel 1 Sumber-sumber radikal bebas


Sumber Internal Sumber Eksternal
Mitokondria Rokok
Fagosit Radiasi
Xanthin oksidase Sinar UV
Reaksi yang melibatkan logam transisi Polusi
Jalur arakhidonat Obat-obatan kimia
Peroksisom Bahan-bahan kimia
Olahraga Industrial solvents
Peradangan
Iskemia/reperfusi
Sumber: Furst (1996) diacu dalam Surai (2002)

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang
secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak
berpasangan. Radikal bebas dapat terbentuk melalui dua cara, yaitu secara
endogen (sebagai respon normal proses biokimia internal maupun eksternal) dan
secara eksogen (berasal dari polusi, makanan, serta injeksi ataupun absorpsi
melalu injeksi. Senyawa ini terbentuk di dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-
macam faktor (Muchtadi 2001).
Radikal bebas bisa terbentuk, misalnya ketika komponen makanan diubah
menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini
sering kali terjadi kebocoran elektron. Kondisi inilah yang menyebabkan
mudahnya terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-
lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan
radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, contohnya hidrogen
peroksida (H2O2), ozon. Kedua kelompok senyawa tersebut sering diistilahkan
sebagai senyawa oksigen reaktif (SOR) atau reactive oxygen species (ROS)
(Winarsi 2007).

2.2 Antioksidan
Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat memperlambat atau
mencegah proses oksidasi. Antioksidan dapat menghambat laju oksidasi bila
bereaksi dengan radikal bebas (Hudson 1990 diacu dalam Praptiwi et al. 2006).
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (elektron donor) atau
reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil dengan cara mencegah
terbentuknya radikal. Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat
7

reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif,
akibatnya kerusakan sel dapat dihambat (Winarsi 2007).
Antioksidan berfungsi menetralisasi radikal bebas, sehingga atom dan
elektron yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi
stabil. Keberadaan antioksidan dapat melindungi tubuh dari berbagai macam
penyakit degeneratif dan kanker. Antioksidan juga membantu menekan proses
penuaan dini (Tapan 2005).
2.2.1 Sumber antioksidan
Antioksidan berdasarkan sumbernya dapat dibagi menjadi dua, yaitu
antioksidan sintetik (antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia)
dan antioksidan alami (antioksidan hasil ekstraksi bahan alami) (Adawiyah et al.
2001). Antioksidan alami di dalam makanan dapat berasal dari: (a) senyawa
antioksidan yang sudah ada dari suatu atau dua komponen makanan; (b) senyawa
antioksidan yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan; (c)
senyawa antioksidan yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan pada
makanan sebagai bahan tambahan makanan (Pratt 1992 diacu dalam
Adawiyah et al. 2001). Bahan pangan sumber antioksidan alami dapat dilihat
pada Tabel 2.
Tabel 2 Bahan pangan sumber antioksidan alami
Antioksidan Bahan Pangan
Vitamin A Mentega, margarin, buah-buahan berwarna kuning,
dan Karotenoid sayuran hijau
Vitamin E Biji bunga matahari, biji-bijian yang mengandung kadar
minyak tinggi, kacang-kacangan, susu
Vitamin C Buah-buahan (jeruk), sayur-sayuran (sebagian rusak
(asam askorbat) dalam pemasakan), kentang
Vitamin B2 Susu, produk hasil olahan susu, daging, ikan, telur,
(riboflavin) serealia utuh, kacang-kacangan
Seng (Zn) Bahan pangan hewani: daging, udang, ikan, susu
Tembaga (Cu) Hati, udang, biji-bijian, serealia (kadar dalam makanan
tergantung pada konsentrasi Cu dalam tanah)
Selenium (Se) Serealia, daging, ikan (kadar dalam makanan tergantung
pada konsentrasi Cu dalam tanah)
Protein Ovalbumin dalam telur, gliadin dalam gandum
Sumber: Belleville-Nabet (1996) diacu dalam Muchtadi (2001)

Senyawa-senyawa yang umumnya terkandung dalam antioksidan alami


adalah fenol, polifenol, dan yang paling umum adalah flavonoid (flavonol,
8

isoflavon, flavon, katekin, flavonon), turunan asam sinamat, tokoferol, dan asam
organik polifungsi. Saat ini tokoferol sudah diproduksi secara sintetik untuk
tujuan komersil (Pratt dan Hudson 1990).
2.2.2 Mekanisme kerja antioksidan
Antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi
berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi. Hal ini dapat disebabkan
oleh empat macam mekanisme reaksi, yaitu: 1) pelepasan hidrogen dari
antioksidan; 2) pelepasan elektron dari antioksidan; 3) addisi lemak ke dalam
cincin atomatik pada antioksidan; dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara
lemak dan cincin aromatik dari antioksidan (Ketaren 1986).
Antioksidan dapat digolongkan menjadi tiga kelompok berdasarkan
mekanisme kerjanya, yaitu antioksidan primer, sekunder dan tersier. Antioksidan
primer disebut juga antioksidan enzimatis. Suatu senyawa dikatakan sebagai
antioksidan primer, apabila dapat memberikan atom hidrogen secara cepat pada
senyawa radikal, kemudian radikal antioksidan yang terbentuk segera berubah
menjadi senyawa yang lebih stabil (Winarsi 2007). Antioksidan primer bekerja
dengan cara mencegah pembentukan senyawa radikal bebas yang telah terbentuk
menjadi molekul yang kurang reaktif (Belleville-Nabet 1996 diacu dalam
Winarsi 2007).
Antioksidan sekunder disebut juga antioksidan eksogeneus atau non-
enzimatis. Antioksidan dalam kelompok ini disebut pertahanan preventif. Sistem
pertahanan ini, pembentukan senyawa oksigen reaktif dihambat dengan cara
pengkelatan metal, atau dirusak pembetukannya. Antioksidan sekunder bekerja
dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan
cara menangkapnya, akibatnya radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler. Antioksidan sekunder ini dapat berupa komponen non nutrisi,
dan komponen nutrisi dari sayuran dan buah-buahan (Winarsi 2007). Antioksidan
sekunder juga berfungsi memperlambat laju autooksidasi dengan berbagai
mekanisme diluar mekanisme pemutusan rantai autoksidasi dengan pengubahan
radikal lipida ke bentuk lebih stabil (Gordon 1990).
Kelompok antioksidan tersier meliputi sistem enzim DNA-repair dan
metionin sulfoksida reduktase. Enzim-enzim ini berfungsi dalam perbaikan
9

biomolekuler yang rusak akibat reaktivitas radikal bebas. Kerusakan DNA yang
terinduksi senyawa radikal bebas dicirikan oleh rusaknya single dan double
strand, baik gugus non-basa maupun basa (Winarsi 2007).
2.2.3 Uji aktivitas antioksidan
Metode yang umum digunakan dalam pengujian aktivitas antioksidan
adalah metode serapan radikal bebas DPPH (Diphenylpicrylhydrazyl) karena
merupakan metode yang sederhana, mudah, dan menggunakan sampel dalam
jumlah sedikit dengan waktu yang singkat (Hanani et al. 2005). DPPH adalah
radikal bebas yang bersifat stabil dan beraktivitas dengan cara mendelokasi
elektron bebas pada suatu molekul, sehingga molekul tersebut tidak reaktif
sebagaimana radikal bebas yang lain. Proses ini dapat ditunjukkan dengan adanya
warna ungu (violet) pekat yang dapat dikarakterisasi pada pita absorbansi
(Molyneux 2004).
Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui donasi
atom hidrogen dan menyebabkan peluruhan warna DPPH dari ungu menjadi
kuning yang diukur dengan panjang gelombang 517 nm. Senyawa dapat dikatakan
memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa tersebut mampu mendonorkan
atom hidrogennya untuk berikatan dengan DPPH membentuk DPPH tereduksi,
ditandai dengan semakin hilangnya warna ungu menjadi kuning pucat.
Pengukuran aktivitas antioksidan ini dengan metode DPPH menggunakan prinsip
spektrofotometri (Molyneux 2004). Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil
reaksi dengan antioksidan dapat dilihat pada Gambar 3.

Diphenylpicrylhydrazyl (radikal bebas) Diphenylpicrylhydrazine (non radikal)


Gambar 3 Struktur DPPH dan DPPH tereduksi hasil reaksi dengan antioksidan

Parameter untuk menginterpretasikan hasil pengujian dengan metode


DPPH dengan IC50 (Inhibition concentration), yaitu konsentrasi larutan sampel
10

yang dibutuhkan untuk menghambat 50% radikal bebas DPPH


(Andayani et al. 2003). Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan
sangat kuat jika nilai IC50 kurang dari 50 ppm, kuat IC50 antara 50-100 ppm,
sedang jika nilai IC50 101-150 ppm, dan lemah jika nilai IC50 antara 150-200 ppm
(Molyneux 2004).

2.3 Ekstraksi Senyawa Aktif


Ekstraksi merupakan suatu cara memisahkan campuran beberapa zat
menjadi komponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Ragam
ekstraksi tergantung pada tekstur dan kandungan air bahan yang diekstraksi dan
pada jenis senyawa yang diisolasi (Harborne 1987).
Ekstraksi dapat dilakukan dalam dua cara yaitu aqueous phase dan
organik phase. Cara aqueous phase dilakukan dengan menggunakan pelarut air,
misalnya untuk gula, NaCl dan sebagainya. Cara organik phase dilakukan dengan
menggunakan pelarut organik seperti kloroform, eter dan sebagainya, misalnya
untuk bahan-bahan berlemak, karoten dan sebagainya (Winarno et al. 1973).
Metode ekstraksi yang digunakan tergantung dari beberapa faktor, antara
lain tujuan ekstraksi, skala ekstraksi, sifat-sifat komponen yang akan diekstraksi
dan sifat pelarut yang digunakan. Metode umum ekstraksi yang dapat dilakukan
terdiri atas ekstraksi dengan pelarut, destilasi, supercritical fluid extraction (SFE),
pengepresan mekanik dan sublimasi. Metode yang banyak digunakan adalah
destilasi dan ekstraksi menggunakan pelarut (Houghton dan Raman 1998).
Syarat pelarut dapat digunakan di dalam proses ekstraksi, yaitu pelarut
tersebut merupakan pelarut terbaik untuk bahan yang akan diekstraksi dan pelarut
tersebut harus terpisah dengan cepat setelah pengocokkan. Pelarut agar cepat
terpisah harus menggunakan pelarut yang mempunyai berat jenis yang berbeda,
yaitu yang mempunyai berat jenis lebih besar dari 1 atau kurang dari 1
(Winarno et al. 1973). Beberapa pelarut organik dan sifat-sifat fisiknya dapat
dilihat pada Tabel 3.
11

Tabel 3 Beberapa pelarut organik dan sifat fisiknya


Titik didih Titik beku Konstanta
Pelarut
(°C) (°C) dielektrik (Debye)
Dietil eter 35 -116 4,3
Karbon disulfide 46 -111 2,6
Aseton 56 -95 20,7
Kloroform 61 -64 4,8
Metanol 65 -98 32,6
Tetrahidrofuruan 66 -65 7,6
Di-isopropil eter 68 -60 3,9
N-heksan 69 -94 1,9
Karbon tetraklorida 76 -23 2,2
Etil asetat 77 -84 6,0
Etanol 78 -117 24,3
Benzena 80 5,5 2,3
Sikloheksana 81 6,5 2,0
Isopropanol 82 -89 18,3
Air 100 0 78,5
Dioksan 102 12 2,2
Toluena 111 -95 2,4
Asam asetat glacial 118 17 6,2
N.N dimetil formamida 154 -61 34,8
Dietilenaglikol 245 -10 37,7
Sumber: Nur dan Adijuwana (1989)

Kelarutan zat di dalam pelarut-pelarut tergantung dari ikatannya yaitu


polar atau non polar. Zat yang polar contohnya air, sedangkan non polar yaitu
karbontetrakhlorida. Zat-zat yang polar hanya larut dalam pelarut polar,
sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam pelarut non polar
(Winarno et al. 1973). Pelarut yang bersifat polar mampu mengekstrak senyawa
alkaloid kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan
glikosida. Pelarut non polar dapat mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak,
dan minyak yang mudah menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak
senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987).
Metanol merupakan senyawa polar yang disebut sebagai pelarut universal karena
selain mampu mengekstrak komponen polar juga dapat mengekstrak komponen
nonpolar seperti lilin dan lemak (Houhton dan Raman 1998).
Hasil ekstrak tergantung pada beberapa faktor antara lain kondisi alamiah
senyawa tersebut, metode ekstraksi yang digunakan, ukuran partikel sampel,
kondisi dan waktu penyimpanan, lama waktu ekstraksi, dan perbandingan jumlah
12

pelarut terhadap jumlah sampel (Darusman et al. 1995). Jenis dan mutu pelarut
yang digunakan menentukan keberhasilan proses ekstraksi. Pelarut yang
digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkannya. Keberhasilan ekstraksi
tergantung pada banyaknya ekstraksi yang dilakukan. Hasil yang diperoleh
maksimal jika ekstraksi dilakukan berulang-ulang dengan jumlah pelarut yang
sedikit-sedikit. Efisiensi ekstraksi dapat ditingkatkan dengan menggunakan luas
kontak yang besar (Khopkaar 2003).

2.5 Senyawa Fitokimia


Fitokimia merupakan suatu bagian ilmu pengetahuan alam. Istilah
fitokimia (dari kata “phyto” = tanaman) yang berarti kimia tanaman. Fitokimia
menguraikan aspek kimia suatu tanaman (Sirait 2007). Fitokimia atau kimia
tumbuhan berada diantara kimia organik bahan alam dan biokimia tumbuhan,
serta berkaitan erat dengan keduanya. Fitokimia ini mencakup struktur kimianya,
biosintesis, perubahan serta metabolismenya, penyebaran secara alamiah dan
fungsi biologisnya. Senyawa fitokimia berpotensi mencegah berbagai penyakit
degeneratif dan kardiovaskuler (Harborne 1987).
2.5.1 Alkaloid
Alkaloid adalah senyawa kimia tanaman hasil metabolit sekunder, yang
terbentuk berdasarkan prinsip pembentukan campuran (Sirait 2007). Alkaloid
merupakan golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme sekunder pada
tumbuhan. Alkaloid banyak ditemukan dalam berbagai bagian tumbuhan seperti
biji, daun, ranting, dan kulit kayu (Suradikusumah 1989).
Pada umumnya alkaloid merupakan senyawa yang bersifat basa yang
mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai
bagian dari sistem siklik (Harborne 1987). Alkaloid yang mengandung cincin
heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan yang tidak mengandung
cincin heterolistik disebut protoalkaloid. Keduanya diturunkan dari asam amino
(Suradikusumah 1989).
Alkaloid sering kali beracun bagi manusia dan banyak yang mempunyai
kegiatan fisiologi yang menonjol, jadi digunakan secara luas di bidang
pengobatan. Alkaloid sering bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal
tetapi hanya sedikit yang berupa cairan. Fungsi alkaloid dalam tumbuhan tetap
13

belum begitu pasti walaupun beberapa senyawa dilaporkan berperan sebagai


pengatur tumbuhan atau penolak dan pemikat serangga (Harborne 1987).
2.5.2 Steroid/Triterpenoid
Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam
satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C 30 asiklik,
yaitu skualena. Senyawa ini berstruktur siklik yang rumit, kebanyakan berupa
alkohol, aldehida, atau asam karboksilat. Senyawa ini tidak berwarna, berbentuk
kristal, seringkali bertitik leleh tinggi dan aktif optik. Triterpenoid ini dapat dibagi
menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya, steroid, saponin,
dan glikosida jantung. Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau
steroid yang terutama terdapat sebagai glikosida (Harborne 1987).
Steroid atau sterol adalah triterpen yang bentuk dasar sistem cincin
siklopentana perhidrofenantren. Sterol awalnya diduga hanya terdapat pada
binatang. Sterol diketahui juga terdapat pada jaringan tumbuhan (fitosterol).
Fitosterol secara struktural berbeda dengan sterol binatang. Perbedaannya dengan
kolesterol terutama karena adanya substitusi gugus metal, etil atau etilidien
(Suradikusumah 1989).
2.5.3 Flavonoid
Flavonoid adalah senyawa yang terdiri atas C6-C3-C6 (Sirait 2007).
Flavonoid merupakan senyawa fenol terbanyak yang ditemukan di alam.
Flavonoid ditemukan dalam tumbuhan tingkat tinggi, tetapi tidak dalam
mikroorganisme. Senyawa ini menjadi warna merah, ungu, biru, dan kuning
dalam tumbuhan (Suradikusumah 1989).
Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali
dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Flavonoid umumnya
terdapat pada tumbuhan sebagai glikosida. Flavonoid diklasifikasikan menjadi
flavon, flavonol, flavanon, flavanonol, isoflavon, calkon, dihidrokalkon, auron,
antosianidin, katekin, flavan-3,4-diol (Harborne 1987).
Flavonoid dapat berguna bagi kehidupan manusia. Flavon dalam dosis
kecil bekerja sebagai stimulant pada jantung, hesperidin mempengaruhi pembuluh
darah kapiler. Flavon yang terhidroksilasi bekerja sebagai diurematik dan sebagai
antioksidan pada lemak (Sirait 2007).
14

2.5.4 Saponin
Saponin adalah glikosida dan sterol yang telah terdeteksi pada lebih dari
90 suku tumbuhan. Saponin juga merupakan senyawa aktif permukaan dan
bersifat seperti sabun. Saponin dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya
membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Pencarian saponin dalam
tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan terhadap sumber sapogenin yang
mudah diperoleh dan dapat diubah dalam laboratorium menjadi sterol hewan yang
berkhasiat penting (Harborne 1987).
Saponin sebagian besar bereaksi netral (larut dalam air), beberapa ada
yang bereaksi dengan asam (sukar larut dalam air), sebagian besar ada yang
bereaksi dengan basa. Saponin dapat membentuk senyawa kompleks dengan
kolesterol. Saponin dapat bersifat toksik terhadap ikan dan binatang berdarah
dingin lainnya. Saponin yang beracun disebut sapotoksin. Saponin dapat
menyebabkan stimulasi pada jaringan tertentu misalnya pada epitel hidung,
bronkus, ginjal, dan sebagainya. Stimulasi pada ginjal diperkirakan menimbulkan
efek diuretika (Sirait 2007).
2.5.5 Fenol hidrokuinon
Fenol mencakup sejumlah senyawa yang umumnya mempunyai sebuah
cincin aromatik dengan satu atau lebih gugus hidroksil. Senyawa fenol larut dalam
air, karena paling sering bergabung dengan gula glukosida dan biasanya terdapat
dalam rongga sel. Flavonoid merupakan golongan fenol terbesar
(Suradikusumah 1989).
Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti
kromofor pada benzokuinon. Kuinon terdiri atas dua gugus karbonil yang
berkonyugasi dengan dua ikatan rangkap karbon-karbon. Kuinon dapat dibagi
menjadi empat kelompok untuk tujuan identifikasi yaitu, benzokuinon,
naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid (Harborne 1987).
2.5.6 Karbohidrat
Karbohidrat biasa digolongkan menjadi tiga golongan berdasarkan
makromolekulnya menjadi monosakarida sederhana (glukosa, fruktosa)
turunannya; oligosakarida, yang terbentuk dengan kondensasi dua satuan
monosakarida atau lebih (sukrosa), dan polisakarida, yang terdiri atas satuan
15

monosakarida berantai panjang, disambungkan dengan cara kepala ke ekor,


berbentuk rantai lurus atau bercabang (Harborne 1987).
Karbohidrat merupakan konstituen yang paling banyak jumlahnya
dibandingkan dengan kandungan kimia lainnya yang terdapat dalam tanaman
ataupun hewan. Karbohidrat dibentuk melalui proses fotosintesis pada tanaman.
Zat tersebut diubah menjadi senyawa kimia organik lain yang diperlukan tanaman.
Karbohidrat mempunyai peranan penting yaitu berguna sebagai storing energy
seperti pati, dapat pula berguna sebagai transport of energy seperti sukrosa, dan
sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007).
2.5.7 Gula pereduksi
Sifat pereduksi dari suatu molekul gula ditentukan dengan ada tidaknya
gugus hidroksil (OH) bebas yang reaktif. Gugus hidroksil yang reaktif pada
glukosa (aldosa) biasanya terletak pada karbon nomor satu (anomerik), sedangkan
pada fruktosa (ketosa) terletak pada karbon nomor dua. Sukrosa tidak mempunyai
gugus OH bebas yang reaktif karena keduanya sudah saling terikat, sedangkan
laktosa mempunyai OH bebas pada atom C nomor satu pada gugus glukosanya
(Winarno 1997).
Gula adalah senyawa tanpa warna dan bila terdapat dalam jumlah mikro,
harus dideteksi dengan cara reaksi menggunakan pereaksi kromogen yang cocok.
Gula mereduksi seperti glukosa yang secara klasik dideteksi berdasarkan
pembentukan endapan merah-kuning dengan larutan fehling, dapat mudah
dideteksi pada kromatogram dengan menggunakan pereaksi fenol atau amina
(Harborne 1987).
2.5.8 Peptida
Peptida merupakan hasil polikondensasi asam amino. Gugus karbonil dari
satu asam amino berikatan dengan gugus asam amino lain membentuk ikatan
amida atau ikatan peptida (Sastroamidjojo 1996). Pembentukan ikatan peptida
memerlukan banyak energi, sedangkan untuk hidrolisis praktis tidak memerlukan
energi. Reaksi keseimbangan ini lebih cenderung berjalan ke arah hidrolisis
daripada sintesis (Winarno 2008).
Ikatan peptida ini terbentuk dengan menarik unsur H2O dari gugus
karboksil suatu asam amino dan gugus α-amino dari molekul lain, dengan reaksi
16

kondensasi yang kuat. Tiga asam amino dapat disatukan oleh dua ikatan peptida
dengan cara sama untuk membentuk suatu tripeptida, tetrapeptida dan
pentapeptida. Asam amino yang bergabung dengan cara demikian dalam jumlah
banyak dihasilkan struktur yang dinamakan polipeptida. Peptida dengan panjang
yang bermacam-macam dibentuk oleh hidrolisa sebagian dari rantai polipeptida
yang panjang dari protein, yang dapat mengandung ratusan asam amino
(Lehninger 1982).
2.5.9 Asam amino
Asam amino merupakan rantai panjang penyusun protein yang terikat satu
sama lain dalam ikatan peptida. Asam amino terdiri atas unsur-unsur karbon,
hidrogen, oksigen dan nitrogen. Unsur nitrogen adalah unsur utama protein,
karena terdapat pada semua protein namun tidak terdapat pada karbohidrat dan
lemak. Asam amino terdiri atas karbon yang terikat pada satu gugus karboksil
(-COOH), satu gugus amino (-NH2), satu atom hidrogen (-H) dan satu gugus
rantai cabang (-R). Asam amino dibedakan berdasarkan rantai cabang gugus
R-nya (Almatsier 2006).
Sifat fisika asam amino ditentukan oleh struktur ion dwikutub. Kelompok
asam amino lebih mudah larut dalam air daripada pelarut organik. Asam amino
membentuk garam dengan asam atau basa karena bersifat amfoter
(Robinson 1995). Derajat ionisasi dari asam amino sangat dipengaruhi oleh pH.
Pada pH yang rendah misalnya pada pH 1,0 gugus karboksilnya tidak terdisosiasi,
sedang gugus aminonya menjadi ion. Pada pH yang tinggi misalnya pada pH 11,0
karboksilnya terdisosiasi sedang gugusan aminonya tidak terdisosiasi
(Winarno 1997).
17

3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat


Penelitian ini dilakukan dari Januari sampai April 2010. Keong pepaya
dibeli dari nelayan di sekitar Perairan Cirebon. Analisis proksimat keong ini
dilakukan di Laboratorium Konservasi Satwa Langka dan Harapan, Pusat Antar
Universitas (PAU), Institut Pertanian Bogor. Analisis aktivitas antioksidan dan uji
fitokimia dilakukan di Laboratorium Biokimia Hasil Perairan, Laboratorium
Pengetahuan Bahan Baku Hasil Perairan, Departemen Teknologi Hasil Perairan,
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan antara lain pisau, timbangan digital, timbangan
analitik. Alat-alat yang digunakan dalam uji proksimat yaitu gegep, kompor
listrik, cawan porselen, oven, desikator, tanur pengabuan, labu kjehdal,
kondensor, buret, dan alat soxhlet. Alat-alat yang digunakan untuk uji aktivitas
antioksidan yaitu sudip, aluminium foil, gelas ukur, gelas piala, corong terpisah,
vortex, elenmeyer, kapas, shaker, kertas saring whatman 42, evaporator, vakum
evaporator, botol ekstrak, freezer, tabung reaksi, pipet tetes, pipet volumetrik,
pipet mikro, inkubator, spektrofotometer UV-VIS Hitachi U-2800.
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari bahan utama
dan bahan pembantu. Bahan utama dalam penelitian ini yaitu daging dan jeroan
keong pepaya (Melo sp.) segar yang telah dikeringkan dengan panas matahari.
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk analisis proksimat meliputi akuades, kristal
K2SO4, kjeltab jenis HgO, larutan H2SO4 pekat, larutan H2O2, asam borat (H3BO3)
4% yang mengandung indikator bromcherosol green 0,1% dan methyl red 0,1%
(2:1), larutan NaOH-Na2S2O3, larutan HCl 0,2 N, pelarut lemak (n-heksana),
larutan HCl 10%, larutan AgNO3 0,1 N, dan akuades. Bahan-bahan yang
digunakan pada tahap ekstraksi yaitu kloroform, etil asetat, dan metanol. Bahan-
bahan yang dibutuhkan untuk uji aktivitas antioksidan, yaitu ekstrak daging dan
jeroan keong pepaya, kristal Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH), metanol,
antioksidan sintetik BHT (Butylated Hydroxytoluena) sebagai pembanding dan es.
Bahan-bahan yang dibutuhkan untuk uji fitokimia meliputi pereaksi Wagner,
18

pereaksi Meyer, pereaksi Dragendroff (uji alkaloid), kloroform, anhidra asetat,


asam sulfat pekat (uji steroid), serbuk magnesium, amil alkohol (uji flavonoid), air
panas, larutan HCl 2 N (uji saponin), etanol 70%, larutan FeCl3 5% (uji fenol
hidrokuinon), peraksi Molisch, asam sulfat pekat (uji Molisch), pereaksi Benedict
(uji Benedict), pereaksi Biuret (uji Biuret), dan larutan Ninhidrin 0,1% (uji
Ninhidrin).

3.3 Metode Penelitian


Penelitian ini dilakukan melalui 4 tahap, yaitu: (1) pengambilan bahan
baku dan preparasi bahan baku; (2) karakterisasi bahan baku; (3) ekstraksi
komponen antioksidan; dan (4) uji komponen fitokimia
3.3.1 Pengambilan bahan baku dan preparasi bahan baku
Bahan baku keong pepaya (Melo sp.) diambil dari perairan pantai Cirebon.
Keong pepaya (Melo sp.) dibeli dari berbagai nelayan di tempat pelelangan ikan
perairan Cirebon. Keong pepaya diambil dengan cara mengumpulkan keong
selama beberapa hari. Keong pepaya tidak terlalu banyak diperjual belikan karena
merupakan hasil tangkapan samping di wilayah perairan Cirebon, tetapi keong
pepaya merupakan salah satu komoditi favorit di lingkungan masyarakat.
Pengambilan keong pepaya dilakukan setiap 2 hari sekali setelah nelayan
menurunkan hasil tangkapannya dari kapal. Ukuran panjang keong pepaya yang
digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 10-16 cm.
Cangkang keong pepaya dipecahkan terlebih dahulu. Daging dan jeroan
keong pepaya dipisahkan. Daging dan jeroan tersebut dipotong kecil-kecil
kemudian dijemur di bawah sinar matahari selama 1 minggu. Proses pengeringan
berlangsung lama karena pada saat pengeringan merupakan musim penghujan
sehingga sulit dalam tahapan pengeringan.
Jeroan keong pepaya yang sudah kering dihancurkan dengan mengunakan
blender sehingga diperoleh serbuk. Daging tidak mengalami proses penghancuran
dengan menggunakan blender karena agak keras, sehingga untuk mengatasinya,
daging keong pepaya dipotong tipis-tipis saja. Serbuk jeroan keong pepaya dan
irisan tipis daging keong pepaya akan digunakan dalam proses ekstraksi dengan
pelarut non polar, semi polar dan polar, serta analisis proksimat.
19

3.3.2. Karakterisasi bahan baku


Karakterisasi keong pepaya dilakukan melalui perhitungan rendemen dan
uji proksimat.
a. Rendemen
Perhitungan rendemen dilakukan untuk mengetahui persentase rendemen
daging dan jeroan keong pepaya baik dalam keadaan kering maupun segar.
Perhitungan rendemen secara matematik adalah sebagai berikut:

b. Uji Proksimat
Analisis proksimat yang dilakukan terhadap keong pepaya pada keong
kering baik pada daging maupun jeroan. Daging dan jeroan keong pepaya tersebut
dikeringkan dengan menggunakan sinar matahari, kemudian dihaluskan dengan
dipotong-potong tipis untuk daging dan dihancurkan dengan blender untuk jeroan.
Analisis proksimat yang dilakukan adalah:
1) Kadar air (AOAC 2005)
Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar air adalah cawan
porselen dikeringkan dalam oven pada suhu 102-105 oC selama 30 menit. Cawan
tersebut diletakkan dalam desikator (kurang lebih 40 menit) hingga dingin
kemudian ditimbang hingga beratnya konstan, kemudian daging dan jeroan keong
pepaya ditimbang sebanyak 1-2 gram yang dimasukkan ke dalam cawan. Cawan
tersebut dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 150 oC selama 8 jam. Cawan
tersebut diletakkan dalam desikator dan kemudian ditimbang. Kadar air
ditentukan dengan rumus:

2) Kadar abu (AOAC 2005)


Tahap pertama yang dilakukan untuk menganalisis kadar abu yaitu
sebanyak 1 gram sampel daging dan jeroan keong pepaya (Melo sp.) ditempatkan
dalam cawan abu. Cawan tersebut dibakar sampai berasap dan berhenti ketika
sampel sudah tidak mengeluarkan asap. Setelah itu cawan abu porselen diletakkan
20

dalam tanur pada suhu 600 oC selama 2 jam. Cawan abu didinginkan selama 30
menit kemudian ditimbang beratnya. Kadar abu ditentukan dengan rumus:

3) Analisis kadar abu tidak larut asam menurut SNI 01-3836-2000 (BSN 2000)
Abu hasil penetapan kadar abu total dilarutkan dalam 25 ml HCl 10% dan
dididihkan selama 5 menit. Larutan tersebut kemudian disaring dengan kertas
saring Whatman bebas abu dan dicuci dengan air suling sampai bebas klorida
(dengan peraksi AgNO3). Kertas saring Whatman kemudian dikeringkan dalam
oven. Abu yang telah kering kemudian diabukan kembali dalam tanur dengan
menggunakan wadah cawan porselen. Cawan porselen tersebut kemudian
didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga beratnya tetap (BSN 2000).
Kadar abu tidak larut asam ditentukan dengan rumus:

4) Kadar protein (AOAC 2005)


Tahap-tahap yang dilakukan dalam analisis protein terdiri dari tiga: yaitu
destruksi, destilasi dan titrasi.
(1) Tahap destruksi
Daging dan jeroan keong pepaya ditimbang sebanyak 0,25 gram,
kemudian dimasukkan ke dalam tabung kjelhdal. Selanjutnya ditambahkan
0,25 gram selenium dan 3 ml H2SO4 pekat ke dalam tabung tersebut.
Tabung yang berisi larutan tersebut dimasukkan ke dalam alat pemanas.
Proses destruksi dilakukan sampai larutan berwarna bening.
(2) Tahap destilasi
Isi labu dituangkan ke dalam labu destilasi, lalu ditambahkan
akuades 50 ml. Air bilasan juga dimasukkan ke dalam alat destilasi dan
ditambahkan larutan NaOH 40% sebanyak 20 ml. Cairan dalam ujung
tabung kondensor ditampung dalam erlenmeyer 10 ml berisi larutan
H3BO3 dan 2 tetes indikator (cairan methyl red dan brom creosol green)
21

yang ada di bawah kondensor. Destilasi dilakukan sampai diperoleh 10 ml


destilat dan berwarna hijau kebiruan.
(3) Tahap titrasi
Titrasi dilakukan dengan menggunakan HCl 0,1 N sampai warna
larutan erlenmeyer berubah menjadi merah muda. Kadar protein
ditentukan dengan rumus:

5) Kadar lemak (AOAC 2005)


Penentuan kadar lemak dilakukan dengan menggunakan metode ekstraksi
soxhlet. Daging dan jeroan keong pepaya sebanyak 2 gram dimasukkan ke dalam
kertas saring dan dimasukkan ke dalam selongsong lemak, kemudian dimasukkan
ke dalam labu lemak yang sudah ditimbang berat tetapnya dan disambungkan
dengan tabung soxhlet. Selongsong lemak dimasukkan ke dalam ruang ekstraktor
tabung soxhlet dan disiram dengan pelarut lemak berupa heksan sebanyak 150 ml.
Tabung ekstraksi dipasang pada alat destilasi soxhlet, lalu dipanaskan selama 6
jam. Pelarut lemak yang ada dalam labu lemak didestilasi hingga semua pelarut
lemak menguap. Pada saat destilasi pelarut akan tertampung di ruang ekstraktor,
pelarut dikeluarkan sehingga tidak kembali ke dalam labu lemak, selanjutnya labu
lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 100 oC selama 1 jam, setelah itu labu
didinginkan dalam desikator sampai beratnya konstan. Kadar lemak ditentukan
dengan rumus:
22

3.3.3 Ekstraksi komponen antioksidan


Ekstraksi komponen antioksidan dilakukan dengan menghasilkan ekstrak
kasar terlebih dahulu. Komponen antioksidan diperoleh melalui ekstraksi
bertingkat dengan menggunakan tiga jenis pelarut. Pelarut yang digunakan yaitu
pelarut non polar (kloroform), semi polar (etil asetat), dan polar (metanol).
Sampel kering (daging dan jeroan) yang telah dihancurkan masing-masing
sebanyak 25 gram, dimaserasi dengan menggunakan pelarut kloroform terlebih
dahulu sebanyak 100 ml selama 3x24 jam. Hasil maserasi yang berupa larutan
disaring dengan menggunakan kertas saring whatman 42 sehingga dihasilkan
residu dan filtratnya. Residu yang dihasilkan akan dimaserasi selama 3x24 jam
dengan menggunakan pelarut etil asetat sebanyak 100 ml, kemudian disaring
kembali dengan menggunakan kertas saring whatman 42 yang dihasilkan residu
dan filtratnya. Residu dari ekstrak etil asetat ini akan dimaserasi dengan pelarut
metanol sebanyak 100 ml selama 3x24 jam. Hasil larutan maserasi tersebut akan
disaring kembali dengan menggunakan kertas saring whatman 42 sehingga
dihasilkan residu dan filtratnya.
Filtrat dari ekstraksi kloroform, etil asetat dan metanol akan dievaporasi
sehingga pelarut terpisah dengan ekstraknya. Proses evaporasi menggunakan
vakum evaporator pada suhu 40 °C sehingga dihasilkan ekstrak kasarnya. Ekstrak
kasar ini kemudian akan dimasukkan ke dalam botol ekstrak yang akan digunakan
untuk dilakukan uji aktivitas antioksidan dengan metode DPPH (Bois 1958 diacu
dalam Hanani et al. 2005) dan uji fitokimia secara kualitatif (Harborne 1987).
Proses ekstraksi dapat dilihat pada Gambar 4.
23

Sampel kering

Daging 25 gram Jeroan 25 gram


Masing-masing 2 kali ulangan

Maserasi dengan kloroform


selama 3x24 jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Residu Ekstrak
kloroform

Maserasi dengan etil


asetat selama 3x24 jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Residu Ekstrak etil


asetat
Maserasi dengan
metanol selama 3x24
jam

Penyaringan Filtrat Evaporasi

Ekstrak metanol
Residu

Gambar 4 Tahapan proses ekstraksi daing dan jeroan keong pepaya


Sumber: Quinn (1988) diacu dalam Darusman et al. (1995)
yang dimodifikasi
24

a. Uji aktivitas antioksidan (DPPH) (Blois 1958 diacu dalam


Hanani et al. 2005)

Ekstrak kasar keong pepaya yang diperoleh dari ektraksi bertingkat dengan
kloroform, etil asetat, metanol akan dilarutkan dengan pelarut metanol p.a dengan
konsentrasi 200, 400, 600, 800 ppm. Antioksidan sintetik BHT digunakan sebagai
pembanding dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 ppm. Larutan DPPH yang akan
digunakan, dibuat dengan melarutkan kristal DPPH dalam pelarut metanol dengan
konsentrasi 1 mM. Proses pembuatan larutan DPPH 1 mM dilakukan dalam
kondisi suhu rendah dan terlindung dari cahaya matahari. Sebanyak 4,5 ml larutan
uji atau pembanding direaksikan dengan 0,5 ml larutan DPPH 1 mM dalam
tabung reaksi. Campuran tersebut diinkubasi pada suhu 37 °C selama 30 menit,
kemudian diukur absorbansinya dengan menggunakan spektrofotometri UV-VIS
Hitachi U-2800 pada panjang gelombang 517 nm, aktivitas antioksidan dari
masing-masing sampel dan antioksidan pembanding BHT dinyatakan dengan
persen inhibisi, yang dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Nilai konsentrasi sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding BHT)


dan persen inhibisinya diplotkan masing-masing pada sumbu x dan y pada
persamaan regresi linear. Persamaan regresi linear yang diperoleh dalam bentuk
persamaan y = a + bx, digunakan untuk mencari nilai IC50 (inhibitor
concentration 50%) dari masing-masing sampel dengan menyatakan nilai y
sebesar 50 dan nilai x yang akan diperoleh sebagai IC50. Nilai IC50 menyatakan
besarnya konsentrasi larutan sampel (ekstrak ataupun antioksidan pembanding
BHT) yang dibutuhkan untuk mereduksi radikal bebas DPPH sebesar 50%.

b. Uji fitokimia (Harborne 1987)


Uji fitokimia dilakukan untuk menentukan komponen bioaktif yang
terdapat pada ekstrak kasar keong keong pepaya masing-masing pelarut. Uji
fitokimia yang dilakukan terdiri dari uji alkaloid, steroid/triterpenoid, flavonoid,
saponin, fenol hidrokuinon, molisch, benedict, biuret, dan ninhidrin. Metode uji
ini berdasarkan Harborne (1987).
25

a) Uji Alkaloid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam beberapa tetes asam sulfat 2 N kemudian diuji
dengan tiga pereaksi alkaloid yaitu, pereaksi Dragendorff, pereaksi Meyer, dan
pereaksi Wagner. Hasil uji dinyatakan positif bila dengan pereaksi Meyer
terbentuk endapan putih kekuningan, terbentuk endapan coklat dengan pereaksi
Wagner dan terbentuk endapan merah hingga jingga dengan pereaksi
Dragendorff.
b) Uji Steroid/triterpenoid
Sejumlah sampel dilarutkan dalam 2 ml kloroform dalam tabung reaksi.
Anhrida asetat ditambahkan sebanyak 10 tetes kemudian ditambahkan asam sulfat
pekat 3 tetes ke dalam campuran tersebut. Hasil uji positif mengandung steroid
dan triterpenoid yaitu dengan terbentuknya larutan berwarna merah untuk pertama
kali kemudian berubah menjadi biru dan hijau.
c) Uji Flavonoid
Sejumlah sampel ditambah serbuk magnesium 0,1 mg dan 0,4 ml amil
alkohol (campuran asam klorida 37% dan etanol 95% dengan volume yang sama)
dan 4 ml alkohol kemudian campuran dikocok. Hasil uji positif sampel
mengandung flavonoid ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah, kuning
atau jingga pada lapisan amil alkohol.
d) Uji Saponin
Saponin dapat dideteksi dengan uji busa dalam air panas. Busa yang stabil
selama 30 menit dan tidak hilang pada penambahan 1 tetes HCl 2 N menunjukkan
adanya saponin.
e) Uji Fenol hidrokuinon (pereaksi FeCl3)
Sejumlah sampel diekstrak dengan 20 ml etanol 70%. Larutan yang
dihasilkan diambil sebanyak 1 ml kemudian ditambahkan 2 tetes larutan FeCl3
5%. Hasil uji positif sampel mengandung Fenol hidrokuinon ditunjukkan dengan
terbentuknya warna hijau atau hijau biru.
f) Uji Molisch
Sebanyak 1 ml larutan sampel diberi 2 tetes pereaksi Molish dan 1 ml
asam sulfat pekat melalui dinding tabung. Uji positif yang menunjukkan adanya
26

karbohidrat ditandai terbentuknya kompleks berwarna ungu diantara 2 lapisan


cairan.
g) Uji Benedict
Larutan sampel sebanyak 8 tetes dimasukkan ke dalam 5 ml pereaksi
Benedict. Campuran dikocok dan dididihkan selama 5 menit. Hasil uji positif
sampel mengandung gula pereduksi ditunjukkan dengan terbentuknya larutan
berwarna hijau, kuning atau endapan merah bata.
h) Uji Biuret
Sebanyak 1 ml larutan sampel ditambahkan 4 ml pereaksi Biuret.
Campuran dikocok dengan seksama. Hasil uji positif sampel mengandung
senyawa peptida dengan terbentuknya larutan berwarna ungu.
i) Uji Ninhidrin
Sebanyak 2 ml larutan sampel ditambah beberapa tetes larutan ninhidrin
0,1%. Campuran dipanaskan dalam penangas air selama 10 menit. Hasil uji positif
sampel mengandung asam amino ditunjukkan warna biru.
27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Bahan Baku


Bahan baku keong pepaya (Melo sp.) merupakan bahan baku yang diambil
di Perairan Cirebon Jawa Barat. Bahan baku yang digunakan merupakan keong
pepaya dalam bentuk kering. Proses pengeringan ini ditujukan untuk megurangi
kadar air keong pepaya sehingga keong ini lebih awet. Proses pengeringan
dilakukan di bawah sinar matahari. Keong pepaya dalam keadaan segar memiliki
tekstur daging yang keras dan sedikit kenyal. Jeroannya memiliki tekstur yang
kenyal dan tidak lembek. Cangkang keong pepaya sangat keras dan sangat sulit
untuk dihancurkan.
Keong pepaya yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari daging dan
jeroan yang dikeringkan. Daging keong pepaya memiliki tektsur yang sangat
keras, berwarna cokelat kehitaman yang garis coklatnya masih sedikit terlihat.
Jeroan yang dikeringkan memiliki tekstur yang tidak telalu keras dan berwarna
cokelat kehitaman. Daging dan jeroan setelah kering dihancurkan, jeroan
diblender sedangkan daging keong pepaya hanya dipotong kecil-kecil karena
memiliki tekstur yang sangat keras. Bahan baku yang digunakan harus halus
karena dapat mempermudah saat analisis proksimat serta saat proses ekstraksi
dengan berbagai jenis pelarut, hal ini perlu dilakukan agar memperluas kontak
antara bahan baku dan pelarut. Bahan baku daging dan jeroan keong pepaya ini
disimpan dalam wadah tertutup yang diletakkan di dalam lemari pendingin.
Karakterisasi bahan baku dilakukan untuk mengetahui sifat dari bahan
baku yang digunakan. Karakterisasi yang dilakukan pada penelitian ini yaitu
pengukuran rendemen dan uji proksimat.
4.1.1 Rendemen
Rendemen merupakan presentasi bagian tubuh bahan baku yang dapat
dimanfaatkan, semakin tinggi nilai rendemen suatu bahan baku maka semakin
tinggi nilai ekonomis suatu bahan. Perhitungan rendemen didapatkan dengan
membandingkan antara berat masing-masing bahan dengan berat total keong
pepaya. Keong pepaya ditimbang berat utuhnya yaitu berat keong beserta
cangkangnya. Bagian daging dan jeroannya dipisahkan, ditimbang berat daging,
28

jeroan serta cangkangnya. Persentasi rendemen keong pepaya dapat dilihat pada
Gambar 5.

60 55,18
50

Rendemen (%)
40
30,58
30
20
11,06
10
0
Daging Jeroan Cangkang
Bagian Tubuh
Gambar 5 Diagram batang persentasi rendemen keong pepaya

Hasil perhitungan rendemen dapat diketahui bahwa nilai rendemen


tertinggi ada pada daging keong pepaya. Nilai rendemen daging keong pepaya
melebihi setengah dari berat total keong pepaya yaitu 55,18%. Hasil ini dapat
membuktikan bahwa keong pepaya merupakan salah satu bahan yang dapat
dimanfaatkan dagingnya sebagai bahan baku yang diolah lebih lanjut. Daging
keong pepaya juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku yang kaya protein
karena berdasarkan hasil pengukuran nilai kandungan gizi, daging keong pepaya
memiliki nilai protein yang sangat tinggi. Bahan baku yang kaya protein memiliki
fungsi yang baik bagi tubuh yaitu dapat membentuk jaringan baru dan
mempertahankan jaringan yang telah ada (Winarno 1992).
Hasil perhitungan jeroan keong pepaya dapat dikatakan kecil karena hanya
sebesar 11,06%. Pemanfaatan menggunakan bagian jeroan dari suatu bahan baku
memang masih jarang pengembangannya. Pemanfaatan jeroan tetap dapat
dikembangkan. Manusia umumnya tidak ingin mengkonsumsi jeroan, namun
penggunaan jeroan tidak hanya dikonsumsi. Pemanfaatan jeroan dapat diambil
ekstraknya sebagai komponen bioaktif.
Hasil perhitungan cangkang keong pepaya sebesar 30,58%. Hasil
rendemen cangkang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil perhitungan
rendemen jeroan. Cangkang keong diketahui banyak mengandung kalsium
karbonat. Sebagian struktur cangkang terbuat dari kalsium karbonat, yaitu 89-99%
29

dan sisanya 1-2% fosfat, bahan organik conchiolin dan air (Darma 1988 diacu
dalam Purwaningsih 2007). Tingginya kandungan kalsium karbonat pada
cangkang keong ini dapat dijadikan fortifikasi bahan pangan yang kaya akan
kalsium.
4.1.2 Kandungan gizi bahan baku
Zat gizi berperan dalam penyediaan energi, untuk proses metabolisme dan
proses pertumbuhan, sebagai zat pembangun dan zat pengatur, serta membentuk
jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang pernah ada (Winarno 1992).
Kandungan gizi bahan baku keong pepaya dilakukan dengan uji
proksimat. Uji proksimat ini dilakukan untuk memperoleh data kasar komposisi
kimia suatu bahan baku. Uji proksimat yang dilakukan yaitu dengan menguji
bagian daging dan jeroannya untuk mengetahui komposisi kimia keong pepaya
secara terpisah antara daging dan jeroan. Pengujian proksimat keong pepaya
dilakukan dengan menggunakan sampel kering. Komposisi kimia hasil uji
proksimat daging dan jeroan keong pepaya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4 Hasil uji proksimat daging dan jeroan keong pepaya kering
Nilai
Komponen
Daging Jeroan
Kadar air (%) 28,54 24,85
Kadar abu (%) 7,40 9,20
Kadar abu tidak larut asam (%) 0,19 0,59
Kadar Lemak (%) 1,08 9,71
Kadar Protein (%) 61,58 52,84
Kadar Karbohidrat (%) 1,40 3,40
Kadar air merupakan jumlah air yang terkandung dalam suatu bahan.
Kadar air berpengaruh terhadap keawetan suatu bahan. Apabila kadar air tinggi
maka bahan tersebut akan cepat mengalami penurunan mutu. Kandungan air dapat
mempengaruhi penampakan, karakteristik maupun daya awet suatu bahan yang
mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang dan khamir untuk berkembang
sehingga mempercepat kebusukan (Winarno 1992). Kadar air keong pepaya
daging dan jeroan yaitu 28,54% dan 24,85%. Dari data ini dapat diketahui bahwa
kadar air pada daging keong pepaya lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air
pada jeroan. Perbedaan kadar air pada daging dan jeroan tidak terlalu
berpengaruh. Perbedaan ini dikarenakan pada saat proses pengeringan, kondisi
30

jeroan lebih kering dibandingkan dengan daging. Air bebas akan mudah menguap
pada saat proses pengeringan berlangsung. Air bebas yaitu air yang secara fisik
terikat dalam jaringan matriks bahan seperti membran, kapiler, serat
(Winarno 2008). Selain itu tingginya kadar air pada daging diduga karena
kemampuan suatu bahan untuk mengikat air disebut water holding capacity
(WHC) (Pearson dan Dutson 1999). Molekul air akan terikat melalui ikatan
hidrogen berenergi besar. Molekul air akan membentuk hidrat dengan molekul
yang mengandung atom O dan N seperti protein dan karbohidrat (Winarno 2008).
Daging keong pepaya memiliki protein yang tinggi yang diduga banyak mengikat
air. Kemampuan jeroan mengikat air lebih kecil karena jeroan mengandung lemak
yang tidak dapat bersatu dengan air, sehingga diduga air pada jeroan akan lebih
banyak menguap dibandingkan daging. Pada pengujian lintah laut utuh (mantel
dan jeroan) pada penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan bahwa kadar air
15,29%. Berdasarkan data ini dapat diketahui bahwa kadar air daging dan jeroan
keong pepaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan lintah laut pada penelitian
Nurjanah (2009). Perbedaan kadar air ini dimungkinkan karena adanya perbedaan
lingkungan dalam proses pengeringannya.
Abu merupakan zat anorganik sisa hasil pembakaran zat organik. Kadar
abu merupakan unsur-unsur mineral yang terkandung dalam suatu bahan baku. Di
dalam tubuh mineral berfungsi sebagai zat pembangun dan zat pengatur
(Winarno 1992). Hasil uji kadar abu dapat dilihat bahwa kadar abu pada daging
sebesar 7,40% sedangkan kadar abu pada jeroan 9,20%. Kadar abu pada jeroan
lebih besar yang menunjukkan bahwa mineral yang terkandung pada jeroan lebih
besar bila dibandingkan dengan daging keong pepaya. Abu pada jeroan lebih
tinggi disebabkan karena keong akan menyimpan sisa-sisa mineral yang tidak
terpakai di dalam organ dalamnya yaitu jeroan. Hal inilah yang menjadikan kadar
abu pada bagian jeroan lebih tinggi dibandingkan dengan daging keong pepaya.
Pada penelitian Nurjanah (2009) yaitu pengujian kadar abu pada lintah laut utuh
(mantel dan jeroan) menunjukkan kadar abu sebesar 11,74%. Dilihat dari data ini
maka dapat diketahui bahwa kadar abu pada keong pepaya lebih kecil jika
dibandingkan lintah laut. Tinggi rendahnya kadar abu dapat disebabkan oleh
adanya perbedaan habitat antara daerah pengambilan keong dan lintah laut. Selain
31

itu tingginya kadar abu pada lintah laut dapat dipengaruhi oleh abu tidak larut
asam yang mencapai 1,9%.
Abu tidak larut asam adalah beberapa senyawa tidak larut asam yang
sebagian adalah debu, pasir, tanah, dan silika. Kadar abu tidak larut asam yang
tinggi menunjukkan adanya kontaminasi debu, silika, dan pasir yang tidak dapat
larut asam pada suatu produk. Kadar abu tidak larut asam juga dapat digunakan
sebagai kriteria dalam menentukan tingkat kebersihan dalam proses pengolahan
suatu produk (Basmal et al. 2003). Hasil uji kadar abu tidak larut asam pada
daging keong pepaya yaitu 0,19% sedangkan jeroan 0,59%. Hal ini menunjukkan
bahwa kadar abu tidak larut asam pada jeroan jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan daging keong pepaya. Ambang batas keamanan dalam konsumsi yaitu 1%
(Basmal et al. 2003). Dari hasil uji proksimat menunjukkan bahwa keong pepaya
merupakan salah satu bahan baku yang aman dikonsumsi karena kadar abu tidak
larut asam berada dibawah 1%. Komponen abu tidak larut asam dalam bahan baku
dapat merusak kinerja organ ginjal jika dikonsumsi dalam jumlah besar
(Nurjanah 2009). Pada penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan bahwa kadar abu
tidak larut asam dari lintah laut utuh (mantel dan jeroan) yaitu 1,9%. Data ini jauh
berbeda dengan kadar abu tidak larut asam pada daging dan jeroan keong pepaya.
Hal ini dikarenakan sampel yang diuji pada penelitian Nurjanah (2009)
merupakan gabungan antara daging dan jeroan sehingga kadar abu tidak larut
asam yang dihasilkan jauh lebih tinggi.
Lemak merupakan zat makanan yang penting untuk menjaga kesehatan
manusia. Lemak juga merupakan sumber energi yang lebih efektif dibandingkan
karbohidrat dan protein (Winarno 1992). Hasil uji proksimat menunjukkan kadar
lemak daging dan jeroan keong pepaya yaitu 1,08% dan 9,71%. Hasil ini
menunjukkan bahwa kadar lemak pada jeroan jauh lebih tinggi bila dibandingkan
dengan daging keong pepaya. Hal ini disebabkan lemak pada tubuh umumnya
disimpan sebesar 45% di sekeliling organ pada rongga perut (Almatsier 2006).
Penyimpanan lemak pada tubuh yang tinggi inilah yang akan menyebabkan kadar
lemak pada jeroan sangat tinggi. Pada penelitian Nurjanah (2009) menunjukkan
bahwa kadar lemak pada lintah laut utuh (mantel dan jeroan) sebesar 4,58%.
32

Perbedaan kadar lemak ini diduga karena pengaruh beberapa faktor yaitu umur,
ukuran, habitat, dan tingkat kematangan gonad.
Protein merupakan suatu zat yang sangat penting bagi tubuh, karena zat ini
disamping berfungsi sebagai bahan bakar juga berfungsi sebagai zat pengatur dan
zat pembangun (Winarno 1992). Protein merupakan sumber asam-asam amino
yang mengandung unsur C, H, O dan N yang tidak dimiliki olek lemak dan
karbohidrat (Winarno 1992). Kadar protein daging keong pepaya lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jeroan keong pepaya. Daging keong pepaya memiliki kadar
protein 61,58% sedangkan jeroang keong pepaya 52,84%. Pada penelitian
Nurjanah (2009) menunjukkan bahwa kadar protein lintah laut utuh (mantel dan
jeroan) kering sebesar 49,60%. Hasil ini disebabkan karena kandungan air yang
terkandung pada bahan baku rendah sehingga secara proporsional akan
meningkatkan kadar protein (Syarief dan Halid 1993). Tingginya nilai protein ini
dapat menjadikan keong pepaya sebagai makanan yang kaya akan protein.
Karbohidrat merupakan sumber kalori utama bagi manusia. Karbohidrat
banyak terdapat dalam bahan nabati, baik berupa gula sederhana, heksosa,
pentosa, maupun karbohidrat dengan berat molekul tinggi seperti pektin, pati,
selulosa, dan lignin (Winarno 1992). Nilai karbohidrat didapatkan dengan by
difference. Hasil perhitungan ini menunjukkan nilai karbohidrat daging keong
pepaya yaitu 1,40% sedangkan nilai karbohidrat jeroan keong pepaya yaitu
3,40%. Berdasarkan perhitungan ini karbohidrat pada jeroan lebih tinggi jika
dibandingkan dengan dagingnya. Pada penelitian Nurjanah (2009) kadar
karbohidrat lintah laut utuh (mantel dan jeroan) sebesar 18,83%. Hal ini
menunjukkan bahwa keong pepaya memiliki kadar karbohidrat yang lebih rendah
dibandingkan dengan lintah laut. Variasi kadar karbohidrat diduga karena adanya
perbedaan habitat, dan ketersediaan bahan pangan.

4.2 Ekstraksi Komponen Antioksidan


Ekstraksi merupakan suatu cara memisahkan campuran beberapa zat
menjadi koponen-komponen yang terpisah (Winarno et al. 1973). Proses ekstraksi
merupakan pemisahan beberapa zat pada suatu bahan dengan menggunakan
berbagai jenis pelarut. Proses ekstraksi yang digunakan yaitu ekstraksi bertingkat
yang mengacu pada penelitian sebelumnya yaitu Darusman et al. (1995).
33

Penelitian ini menggunakan tiga jenis pelarut yang berbeda, yaitu


kloroform (non polar), etil asetat (semi polar) dan metanol (polar). Pelarut ini
digunakan dalam tahap ekstraksi karena senyawa yang terkandung pada suatu
bahan baku akan larut sesuai dengan pelarut yang digunakan. Zat-zat yang polar
hanya larut dalam pelarut polar, sedangkan zat-zat non polar hanya larut di dalam
pelarut non polar (Winarno et al. 1973). Penggunaan berbagai jenis pelarut
bertujuan untuk mengetahui hasil rendemen ekstrak kasar pada setiap jenis pelarut
yang berbeda.
Penelitian ini menggunakan bahan baku yang telah dikeringkan dan
menggunakan daging keong pepaya yang telah dipotong sehalus mungkin
sedangkan jeroan menggunakan serbuk jeroan keong pepaya. Ukuran partikel
yang lebih kecil diharapkan dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak kasar.
Sampel yang lebih halus dapat memperluas kontak dengan pelarut yang
digunakan sehingga rendemennya dapat meningkat.
Penelitian ini menggunakan perbandingan antara sampel dengan pelarut
yaitu (1:4). Sampel yang digunakan 25 gram sedangkan pelarut yang digunakan
100 ml. Perbandingan jumlah sampel dan pelarut dapat mempengaruhi hasil
rendemen yang dihasilkan. Semakin besar volume pelarut yang digunakan maka
jumlah bahan yang terekstrak akan semakin besar (Houghton dan Raman 1998).
Waktu maserasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu 3x24 jam. Waktu
maserasi dilakukan lebih lama agar dapat meningkatkan hasil rendemen ekstrak
kasar dari daging maupun jeroan keong pepaya ini. Salah satu faktor yang
mempengaruhi hasil ekstrak kasar yaitu lama waktu ektrasi
(Darusman et al. 1995). Proses ekstraksi juga dibantu dengan alat pengaduk yang
digunakan untuk memperbesar tumbukan pelarut dengan sampel. Hal ini
dilakukan agar mempercepat proses ekstraksi. Maserasi merupakan salah satu
metode dalam proses ekstraksi. Metode maserasi merupakan metode yang mudah
dan hanya menggunakan alat-alat yang sederhana.
Proses evaporasi setelah proses ekstraksi menghasilkan ekstrak kasar
daging dan jeroan keong pepaya yang berbeda-beda. Daging umumnya memiliki
warna yang lebih muda dibandingkan warna jeroan keong pepaya. Hasil ekstrak
34

kasar yang didapatkan dalam bentuk pasta. Ekstrak kasar daging dan jeroan keong
pepaya dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Ekstrak kasar daging dan jeroan keong pepaya


(kiri ke kanan: metanol daging, metanol jeroan, etil asetat
daging, etil asetat jeroan, kloroform daging, kloroform
jeroan)
Proses ekstraksi dengan menggunakan berbagai jenis pelarut dapat
menghasilkan rendemen ekstrak kasar yang berbeda-beda pula. Tingkat kepolaran
suatu pelarut mempengaruhi hasil ekstrak kasar rendemen daging dan jeroan
keong pepaya. Nilai rendemen ekstrak daging dan jeroan ini dinyatakan dalam
bentuk persen. Nilai rendemen ini merupakan perbandingan antara bobot
rendemen setelah evaporasi dibandingkan dengan berat sampel yang digunakan.
Nilai rendemen ekstrak kasar keong pepaya dapat dilihat pada Gambar 7.

14 12,53
11,83
12
Rendemen (%)

10
8
6
3,91
4
1,81
2 0,62 0,52
0
Kloroform Etil asetat Metanol
Jenis Pelarut

Gambar 7 Rendemen ekstrak kasar daging dan


jeroan keong pepaya Dagin Jeroan

Gambar 7 menunjukkan bahwa hasil rendemen terkecil terdapat pada hasil


ekstrak kasar etil asetat, baik daging maupun jeroannya. Hasil tertinggi terdapat
pada ekstrak kasar keong pepaya yaitu metanol baik daging maupun jeroannya.
35

Perbedaan jenis pelarut memberikan hasil rendemen yang berbeda. Pelarut polar
dan semi polar yaitu kloroform dan etil asetat tidak terlalu berbeda rendemennya
sedangkan metanol jauh berbeda. Hal ini mengindikasikan bahwa komponen
bioaktif yang terdapat pada keong pepaya bersifat polar.
Kloroform merupakan pelarut non polar yang dapat mengekstrak lilin,
lemak, dan minyak yang mudah menguap. Etil asetat termasuk pelarut semi polar
yang dapat mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida
(Harborne 1987). Hasil ekstrak kasar kloroform dan etil asetat menunjukkan
ekstrak daging lebih kecil rendemennya dibandingkan jeroan. Hal ini dikarenakan
ukuran bahan yang diekstrak lebih halus jeroan jika dibandingkan dengan daging.
Daging yang diekstrak merupakan potongan-potongan tipis saja sehingga hasil
rendemen jeroan lebih tinggi.
Pada Gambar 7 menunjukkan bahwa ekstrak rendemen daging lebih tinggi
jika dibandingkan dengan rendemen jeroan metanol. Hal ini dikarenakan metanol
merupakan pelarut polar yang mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener,
komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida
(Harborne 1987). Pada daging keong pepaya lebih banyak mengandung protein
dibandingkan dengan jeroan sehingga rendemen daging lebih tinggi jika
dibandingkan dengan jeroan keong pepaya.
Dilihat dari Gambar 7, rendemen ekstrak kasar dari daging dan jeroan
metanol keong pepaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan rendemen ekstrak
kasar daging dan jeroan kloroform dan etil asetat keong pepaya. Hal ini karena
metanol merupakan pelarut polar yang mampu mengekstrak senyawa alkaloid
kuartener, komponen fenolik, karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida.
(Harborne 1987). Selain itu metanol merupakan salah satu pelarut yang dapat
melarutkan hampir semua senyawa organik yang ada pada sampel, baik senyawa
polar maupun non polar (Andayani et al. 2008). Hal inilah yang menjadikan hasil
ekstraksi kasar metanol daging dan jeroan keong pepaya paling tinggi diantara
ekstrak kasar kloroform dan etil asetat.

4.3 Ekstrak Kasar


Hasil ekstrak kasar daging dan jeroan keong pepaya akan ditentukan
aktivitas antioksidan dan penentuan senyawa bioaktif. Penentuan antioksidan
36

dilakukan pengujian dengan metode Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH). Penentuan


kompunen bioaktif ekstrak kasar keong pepaya ditentukan dengan uji fitokimia.
4.3.1 Aktivitas antioksidan
Radikal bebas merupakan molekul yang sangat reaktif dan tidak stabil
karena mempunyai satu elektron atau lebih yang tidak berpasangan. Radikal
bereaksi dengan cara mengambil elektron molekul lain yang bersifat stabil,
sehingga akan terbentuk radikal bebas yang baru. Reaksi ini akan terus berulang
dan akan membentuk sebuah rantai yang mengakibatkan rusaknya membran sel
dan komponen lainnya seperti protein dan DNA (Kaur dan Kapoor 2001 diacu
dalam Santoso et al. 2010). Radikal bebas dapat dihentikan dengan adanya
antioksidan.
Antioksidan adalah suatu senyawa yang dapat memperlambat atau
mencegah proses oksidasi (Hudson 1990 diacu dalam Praptiwi et al. 2006).
Antioksidan berfungsi menetralisasi radikal bebas, sehingga atom dan elektron
yang tidak berpasangan mendapatkan pasangan elektron dan menjadi stabil
(Tapan 2005). Berdasarkan cara reaksinya antioksidan didefinisikan sebagai
komponen yang dapat menghentikan reaksi radikal bebas pada proses oksidasi
dengan cara memberikan elektron atau atom hidrogen pada senyawa yang
mengandung radikal bebas (Kaur dan Kapoor 2001 diacu dalam Santoso et al.
2010).
Aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan menggunakan metode DPPH.
Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) merupakan radikal bebas yang bersifat stabil dan
beraktivitas dengan cara mengelokasi elektron bebas pada suatu molekul,
sehingga molekul tersebut tidak reaktif sebagaimana radikal bebas yang lain.
Senyawa antioksidan akan bereaksi dengan radikal DPPH melalui donasi atom
hidrogen yang menyebabkan peluruhan warna DPPH yang diukur pada panjang
gelombang 517 nm (Blois 1958). Metode DPPH merupakan metode yang
sederhana, mudah dan menggunakan sampel dalam jumlah yang sedikit dan dalam
waktu yang singkat.
Pengujian aktivitas antioksidan pada ekstrak keong pepaya dilakukan pada
tiga jenis ekstrak kasar yaitu kloroform, etil asetat, dan metanol baik pada daging
maupun jeroan. Konsentrsi larutan ekstrak kasar keong pepaya yaitu 200 ppm,
37

400 ppm, 600 ppm, 800 ppm diperoleh melalui proses pengenceran larutan stok
ekstrak keong pepaya 1000 ppm. Antioksidan pembanding yang digunakan yaitu
BHT yang merupakan salah satu antioksidan sintetik dengan konsentrasi 2 ppm,
4 ppm, 6 ppm, dan 8 ppm melalui proses pengenceran larutan stok BHT 250 ppm.
Hasil uji aktivitas antioksidan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Hasil uji aktivitas antioksidan ekstrak kasar keong pepaya
IC50 IC50 rata-
Sampel % Inhibisi
(ppm) rata (ppm)
2 ppm 4 ppm 6 ppm 8 ppm
BHT 4,91
12,55 23,67 79,37 89,45
200 ppm 400 ppm 600 ppm 800 ppm
Kloroform 13,25 16,99 21,40 22,08 2543
2780
daging 15,06 17,10 20,84 22,08 3018
Kloroform 10,41 12,98 17,17 19,85 2646
2799
jeroan 5,51 7,79 12,17 14,90 2952
Etil asetat 8,27 15,21 18,63 18,82 2483
2760
daging 17,59 19,96 21,01 24,90 3036
Etil asetat 16,54 19,96 21,29 25,50 2568
2525
jeoan 7,79 10,55 15,78 18,44 2482
Metanol 7,32 9,98 14,83 17,68 2590
2308
daging 11,91 16,09 20,71 24,25 2025
Metanol 10,17 18,34 24,43 33,84 1234
1156
jeroan 15,24 24,03 31,97 38,63 1077

Suatu senyawa dikatakan memiliki aktivitas antioksidan apabila senyawa


tersebut mampu mendonorkan atom hidrogen kepada radikal DPPH sehingga akan
terjadi perubahan warna dari ungu menjadi kuning pucat. Semakin pucat suatu
senyawa mengubah warna ungu pada DPPH maka senyawa tersebut memiliki
aktivitas antioksidan yang semakin tinggi. Parameter yang digunakan untuk
mengetahui aktivitas antioksidan dengan menghitung nilai IC50 yang
didefinisakan sebagai konsentrasi senyawa antioksidan yang menyebabkan
hilangnya 50% aktivitas DPPH (Molyneux 2004).
Perubahan dari warna ungu menjadi kuning pucat mengindikasikan adanya
aktivitas antioksidan. Perubahan warna kuning pucat terlihat pada BHT sedangkan
untuk ekstrak kasar keong pepaya tidak menujukkan adanya perubahan warna
yang terlihat. Perubahan warna yang terjadi pada BHT serta ekstrak kasar
kloroform, etil asetat, dan metanol dapat dilihat pada Gambar 8.
38

Kloroform daging Kloroform jeroan Etil asetat jeroan

Etil asetat daging Metanol daging Metanol jeroan

BHT
Gambar 8 Perubahan warna pada ekstrak kasar keong pepaya dan BHT

BHT merupakan salah satu antioksidan sintetik yang digunakan sebagai


pembanding pada penelitian ini. Senyawa antioksidan ini memiliki efek yang
saling melengkapi dalam mencegah kerusakan akibat radikal bebas. Kadar
maksimum BHT dalam bahan pangan adalah 200 ppm (Ketaren 1986).
Penggunaan antioksidan yang berlebihan dapat menyebabkan keracunan. BHT
memiliki aktivitas antioksidan yang tergolong tinggi jika dibandingkan dengan
aktivitas antioksidan dari keong pepaya. BHT memang merupakan salah satu
antioksidan sintetik oleh karena itu tidak dipungkiri memiliki aktivitas antioksidan
yang tinggi. Pengujian terhadap BHT dilakukan berdasarkan Hanani et al. (2005)
yang memiliki nilai IC50 sebesar 3,81 yang jika dibandingkan dengan hasil
penelitian ini tidak terlalu jauh yaitu 4,91. Hal ini membuktikan bahwa aktivitas
antioksidan pada BHT memang tinggi. Pengujian antioksidan BHT menghasilkan
39

hubungan antara konsentrasi BHT dan persen inhibisinya, yang dapat dilihat pada
Gambar 9.
100

80
% Inhibisi
60
y = 14,32x - 20,34
40 R² = 0,909

20

0
0 2 4 6 8 10

Konsentrasi (ppm)

Gambar 9 Grafik hubungan konsentrasi BHT dengan % inhibisinya

Aktivitas antioksidan ini diharapkan tidak hanya terdapat pada antioksidan


sintetik yaitu BHT namun diharapkan terdapat pada ekstrak daging dan jeroan
keong pepaya. Pengujian aktivitas antioksidan pada penelitian ini yaitu 200, 400,
600, dan 800 ppm yang diuji dari tiga jenis ekstrak yaitu kloroform, etil asetat dan
metanol. Hasil pengujian aktivitas antioksidan daging dan jeroan keong pepaya
terhadap pelarut yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 10.
25 y = 0,013x + 11,64
R² = 0,954
20 y = 0,014x + 10,79
R² = 0,955
% Inhibisi

15 y = 0,019x + 5,655
R² = 0,994
10

0
0 200 400 600 800 1000

Konsentrasi (ppm)

Gambar 10 Grafik hubungan antara ekstrak daging keong pepaya dengan rata-rata
persen inhibisinya Kloroform Etil asetat Metanol
40

40
35 y = 0,038x + 5,185
R² = 0,998
30
% Inhibisi 25 y = 0,016x + 8,815
R² = 0,999
20
15 y = 0,016x + 4,465
R² = 0,988
10
5
0
0 200 400 600 800 1000

Konsentrasi (ppm)

Gambar 11 Grafik hubungan antara ekstrak jeroan keong pepaya dengan rata-rata
persen inhibisinya Kloroform Etil asetat Metanol

Gambar 10 dan 11 menunjukkan hubungan antara ekstrak daging dan


jeroan keong pepaya dengan persen inhibisinya. Persen inhibisi adalah
kemampuan suatu bahan untuk menghambat aktivitas radikal bebas, yang
berhubungan dengan konsentrasi suatu bahan. Berdasarkan Gambar 10 dan 11
dapat dilihat bahwa semakin tinggi konsentrasi suatu bahan, maka semakin tinggi
pula persen inhibisinya. Kenaikan persen inhibisi ini terjadi pada daging maupun
jeroan keong pepaya. Hal ini menunjukkan semakin tinggi konsentrasinya maka
semakin tinggi pula tingkat penghambatan suatu bahan terhadap aktivitas radikal
bebas. Hal ini sesuai penelitian yang dilakukan oleh Hanani et al. (2005) yang
menyatakan bahwa penghambatan ekstrak terhadap aktivitas radikal bebas
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak.
Gambar 10 dan 11 juga dapat menunjukkan tingkat penghambatan
aktivitas radikal bebas antara daging dan jeroan ekstrak keong pepaya. Ekstrak
jeroan keong pepaya memiliki penghambatan aktivitas antioksidan yang lebih
tinggi jika dibandingkan dengan ekstrak daging keong pepaya. Namun pada
ekstrak kloroform, penghambatan aktivitas antioksidan pada daging lebih tinggi
jika dibandingkan dengan jeroan. Pada etil asetat tingkat penghambatan
antioksidan tidak terlalu jauh perbedaanya antara daging dan jeroan. Hal ini
terlihat pada rata-rata persen inhibisi setiap ekstrak daging dan jeroan keong
41

pepaya. Hasil nilai aktivitas antioksidan yang ditandai dengan nilai IC 50 dapat
dilihat pada Gambar 12.

3000 2780 2799 2760


2525
2500 2308
Rata-rata IC50 (ppm)

2000

1500
1156
1000

500

0
Kloroform Etil asetat Metanol

Jenis Pelarut

Gambar 12 Nilai rata-rata IC50 ekstrak kasar daging dan


jeroan keong pepaya Daging Jeroan

Menurut Molyneux (2004) IC50 didefinisikan sebagai konsentrasi senyawa


antioksidan yang menyebabkan hilangnya 50% aktivitas DPPH. Hal ini
mengartikan bahwa 50% radikal bebas DPPH berhasil dihambat oleh ekstrak
daging dan jeroan metanol keong pepaya pada konsentrasi 2308 ppm dan 1156
ppm, etil asetat pada konsentrasi 2760 ppm dan 2525 ppm, kloroform pada
konsentrasi 2780 ppm dan 2799 ppm. Semakin kecil nilai IC50 maka dapat
dikatakan bahwa aktivitas antioksidan akan semakin tinggi. Berdasarkan diagram
batang pada Gambar 12 dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan tertinggi
terdapat pada ekstrak jeroan metanol keong pepaya. Aktivitas antioksidan
terlemah terdapat pada ekstrak jeroan kloroform keong pepaya.
Berdasarkan Gambar 12 dapat diketahui bahwa aktivitas antioksidan
jeroan keong pepaya lebih tinggi jika dibandingkan dengan dagingnya. Hal ini
serupa dengan penelitian Nurjanah (2009) yang menyatakan bahwa contoh utuh
(mantel dan jeroan) memiliki aktivitas antioksidan berkisar 85,92-92,96%, contoh
tanpa jeroan memiliki aktivitas antioksidan lebih rendah yaitu 69,04-70,43%. Hal
ini serupa dengan penelitian ini yang dapat dilihat dari nilai IC 50 masing-masing
ekstrak kasar keong pepaya.
42

Tingginya aktivitas antioksidan pada bagian jeroan dan contoh utuh


disebabkan, pada jaringan yang mempunyai aktivitas metabolisme yang lebih
tinggi, aktivitas enzim antioksidan juga tinggi seperti pada hati dan insang lebih
tinggi dibanding jaringan otot ikan (Ansaldo et al. 2000 diacu dalam Nurjanah
2009), kelenjar pencernaan dibanding dinding tubuh pada polychaeta, atau insang
dibanding mantel pada cephalopoda (Zielenki dan Portner 2000 diacu dalam
Heise et al. 2000 diacu dalam Nurjanah 2009).
Pada ekstrak metanol daging dan jeroan memiliki aktivitas antioksidan
yang paling tinggi diantara ekstrak kasar kloroform dan etil asetat. Padahal ketiga
ekstrak kasar tersebut mengandung alkaloid, namun uji fitokimia hanya sebatas uji
kualitatif saja yaitu ada tidaknya suatu komponen bioaktif dan tidak mengetahui
kandungan bioaktif apa yang tertinggi.
Tingginya aktivitas antioksidan pada ekstrak metanol dikarenakan adanya
komponen alkaloid, yang diketahui merupakan sanyawa yang mempunyai
aktivitas antioksidan. Hal ini sesuai dengan Hanani et al. (2005) yang menyatakan
bahwa senyawa yang mempunyai aktivitas antioksidan adalah senyawa golongan
alkaloid. Salah satu sumber antioksidan yang berasal dari bahan pangan alami
yang terdapat pada keong pepaya adalah protein (Belleville-Nabet 1996 diacu
dalam Muchtadi 2001). Protein merupakan makromolekul yang terdiri atas rantai-
rantai panjang asam amino, yang terikat satu sama lain membentuk ikatan peptida
(Almatsier 2006). Aktivitas antioksidan pada protein ini tidak dapat memberikan
atom hidrogen kepada radikal DPPH, sehingga hanya alkaloid yang berperan
dalam pemberian atom hidrogen.
Pada ekstrak kasar etil asetat dan kloroform aktivitas antioksidan lebih
tinggi pada ekstrak kasar etil asetat. Etil asetat merupakan salah satu jenis pelarut
semi polar yang mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon,
dan glikosida (Harborne 1987). Pada uji fitokimia diketahui memiliki alkaloid
yang merupakan salah satu golongan antioksidan. Hal ini lah yang menyebabkan
aktivitas antioksidan pada ekstrak kasar etil asetat lebih tinggi dibandingkan
ekstrak kloroform.
Ekstrak kloroform bersifat non polar yang mampu mengekstrak lilin,
lemak dan minyak. Pada penelitian ini terdapat alkaloid. Diduga alkaloid yang
43

terkandung memiliki jumlah yang sangat kecil. Ekstrak kloroform bersifat non
polar, sedangkan yang digunakan untuk mengencerkan kloroform adalah metanol.
Ekstrak kloroform tidak terlarut semua sehingga aktivitas antioksidan menjadi
sangat kecil.
Suatu senyawa memiliki aktivitas antioksidan sangat kuat jika nilai IC50
kurang dari 50 ppm, kuat IC50 antara 50-100 ppm, sedang jika nilai IC50 101-150
ppm, dan lemah jika nilai IC50 antara 150-200 ppm (Molyneux 2004).
Berdasarkan klasifikasi ini aktivitas antioksidan keong pepaya sangat lemah
karena memiliki nilai IC50 lebih dari 200 ppm yaitu berkisar antara 1156-2799
ppm.
Rendahnya aktivitas antioksidan ini dapat disebabkan oleh banyak hal.
Bisa saja aktivitas antioksidan pada ekstrak tersebut memang benar-benar rendah.
Pengujian aktivitas antioksidan ini masih merupakan ekstrak kasar sehingga
kemungkinan masih ada senyawa murni yang dikandung memiliki aktivitas
peredaman radikal bebas lebih kuat dibandingkan ekstraknya. Senyawa murni dari
ekstrak keong pepaya diduga memiliki aktivitas antioksidan yang tinggi karena
memiliki komponen bioaktif yang merupakan senyawa yang mengandung
aktivitas antioksidan, yaitu alkaloid, steroid dan memiliki protein tinggi. Protein
merupakan salah satu sumber antioksidan dari bahan pangan alami
(Belleville-Nabet 1996 diacu dalam Muchtadi 2001).

4.3.2 Senyawa Fitokimia


Senyawa fitokimia ditentukan dari ekstrak kasar keong pepaya. Ekstrak
kasar keong pepaya ini menggunakan tiga pelarut yang berbeda. Pelarut non polar
(kloroform), semi polar (etil asetat) dan polar (metanol). Uji fitokimia dilakukan
untuk mengetahui senyawa bioaktif yang terkandung pada masing-masing pelarut.
Uji fitokimia merupakan salah satu metode uji secara kualitatif untuk mengetahui
senyawa bioaktif yang terkandung dalam keong pepaya, namun tidak mengetahui
komponen bioaktif apa yang tertinggi dari suatu bahan baku. Uji fitokimia yang
dilakukan meliputi uji alkaloid, steroid, flavonoid, saponin, fenol hidrokuinon,
molisch, benedict, biuret, dan ninhidrin. Komponen bioaktif yang terdapat dalam
ekstrak kasar keong pepaya dapat dilihat pada Tabel 6.
44

Tabel 6 Hasil uji fitokimia ekstrak kasar keong pepaya


Jenis Pelarut
Uji
Kloroform Etil asetat Metanol Standar (warna)
Fitokimia
A b a b a b
Alkaloid:
Wagner + + + + + + Endapan coklat
Meyer + + + + + + Endapan putih kekuningan
Dragendroff + + + + + + Endapan merah sampai jingga
Steroid + + + + - - Perubahan merah menjadi
biru/hijau
Flavonoid - - - - - - Lapisan amil alkohol
berwarna merah/kuning/hijau
Saponin - - - - - - Terbentuk busa
Fenol - - - - - - Warna hijau atau hijau biru
Hidrokuinon
Molisch + + + + + + Warna ungu diantara 2 lapisan
Benedict - - - - - - Warna hijau/kuning/endapan
merah bata
Biuret - - - - - - Warna ungu
Ninhidrin - - - - + + Warna biru
Keterangan: a Daging
b Jeroan

Uji fitokimia dilakukan pada ketiga ekstrak kasar. Pelarut yang bersifat
polar mampu mengekstrak senyawa alkaloid kuartener, komponen fenolik,
karotenoid, tannin, gula, asam amino, dan glikosida. Pelarut non polar dapat
mengekstrak senyawa kimia seperti lilin, lemak, dan minyak yang mudah
menguap. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa fenol, terpenoid,
alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987). Hal ini lah yang mengharuskan
pengujian fitokimia dilakukan pada ketiga jenis ekstrak kasar.
Hasil uji fitokimia pada Tabel 6 menunjukkan bahwa ekstrak kasar keong
pepaya mengandung alkaloid, karbohidrat, steroid, dan asam amino. Steroid hanya
terdapat pada hasil ekstrak kasar dari etil asetat dan ekstrak kasar kloroform
sedangkan pada hasil ekstrak kasar metanol tidak terdapat steroid. Asam amino
ditunjukkan positif pada hasil ekstrak kasar metanol. Karbohidrat terdeteksi
positif pada semua jenis ekstrak kasar baik hasil ekstrak kasar kloroform, etil
asetat, dan metanol. Alkaloid juga terdeteksi positif pada semua jenis ektrak kasar.
Alkaloid merupakan golongan terbesar dari senyawa hasil metabolisme
sekunder pada tumbuhan. Alkaloid banyak ditemukan dalam berbagai bagian
45

tumbuhan seperti biji, daun, ranting, dan kulit kayu (Suradikusumah 1989). Pada
hasil penelitian uji fitokimia dapat diketahui bahwa semua ekstrak kasar keong
pepaya memiliki senyawa metabolit sekunder berupa alkaloid. Alkaloid
merupakan senyawa yang bersifat basa yang mengandung satu atau lebih atom
nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai bagian dari sistem siklik
(Harborne 1987). Alkaloid dapat terekstrak pada pelarut etil asetat yang bersifat
semi polar. Pelarut semi polar dapat mengektrak salah satu komponen bioaktif
yaitu alkaloid. Alkaloid juga terdeteksi pada ekstrak kasar metanol, hal ini karena
metanol bersifat polar yang mampu mengekstrak senyawa asam amino. Alkaloid
yang mengandung cincin heterosiklik biasanya disebut alkaloid sejati, sedangkan
yang tidak mengandung cincin heterolistik disebut protoalkaloid. Keduanya
diturunkan dari asam amino (Suradikusumah 1989). Alkaloid terdeteksi pada
keong pepaya karena keong pepaya kaya akan protein yang mengandung unsur C,
H, O dan N.
Steroid atau sterol adalah triterpen yang bentuk dasarnya sistem cincin
siklopentana perhidrofenantren (Suradikusumah 1989). Pada ekstrak keong
pepaya baik daging maupun jeroan ditemukan adanya steroid tetapi hanya pada
ektrak etil asetat dan kloroform. Pelarut semi polar mampu mengekstrak senyawa
fenol, terpenoid, alkaloid, aglikon, dan glikosida (Harborne 1987). Triterpenoid
ini dapat dibagi menjadi empat golongan senyawa yaitu triterpena sebenarnya,
steroid, saponin, dan glikosida jantung (Sirait 2007). Steroid terdeteksi positif
pada ekstrak kloroform baik di daging dan jeroan. Terpenoid umumnya larut
dalam lemak, dan biasanya terpenoid dapat diekstraksi dengan minyak bumi, eter,
dan kloroform (Harborne 1987). Triterpenoid merupakan salah satu golongan dari
terpenoid. Hal inilah yang menyebabkan steroid hanya terdapat pada kloroform
dan etil asetat. Beberapa steroid, seperti fukosterol, diisolasi dari sumber daya
hayati laut bersifat non toksik dan mempunyai khasiat menurunkan kolesterol
dalam darah dan mendorong aktivitas antidiabetes (Bhakuni 2005 diacu dalam
Nurjanah 2009).
Karbohidrat ditunjukkan dengan dilakukan uji molish. Berdasarkan
pengujian molish dapat diketahui bahwa keong pepaya memiliki karbohidrat
dengan ditandai adanya warna ungu diantara dua lapisan. Karbohidrat merupakan
46

metabolit primer yang pasti ada pada setiap bahan baku walaupun dalam jumlah
yang sedikit. Karbohidrat mempunyai peranan penting yaitu berguna sebagai
storing energy seperti pati, dapat pula berguna sebagai transport of energy seperti
sukrosa, dan sebagai penyusun dinding sel seperti selulosa (Sirait 2007).
Uji ninhidrin merupakan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya asam amino dari suatu bahan baku. Hasil uji ninhidrin menunjukkan
hasil ekstrak metanol keong pepaya positif terdapat asam amino. Hal ini dapat
diketahui bahwa keong pepaya merupakan bahan baku yang kaya akan protein.
Hal ini ditandai dengan adanya uji proksimat dengan presentase kadar protein
sebesar 61,58% pada daging dan 51,82% pada jeroan. Asam amino dapat
terekstrak dengan menggunakan pelarut polar (metanol). Hal inilah yang
menyebabkan asam amino terdeteksi positif pada ekstrak metanol tapi tidak
terdeteksi pada ekstrak kloroform dan ekstrak etil asetat. Asam amino terdeteksi
positif pada keong pepaya namun peptida pada uji biuret tidak terdeteksi positif.
Asam amino merupakan rantai panjang penyusun protein yang terikat satu sama
lain dalam ikatan peptida. Pada uji biuret tidak terdeteksi positif karena diduga
pada saat proses ekstraksi ataupun evaporator ikatan peptida terputus atau
mengalami hidrolisis sehingga pada uji biuret peptida terdeteksi negatif. Reaksi
pada ikatan peptida ini lebih cenderung berjalan ke arah hidrolisis daripada
sintesis (Winarno 2008).
47

5 KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Rendemen keong pepaya segar terdiri dari daging, jeroan serta
cangkangnya yang memiliki nilai sebesar 55,18%; 11,06%; dan 30,58%. Daging
keong pepaya memiliki kadar air 28,54%, kadar abu 7,40%, kadar abu tidak larut
asam 0,19%, kadar lemak 1,08%, kadar protein 61,58%, dan kadar karbohidrat
1,40%. Jeroan keong pepaya memiliki kadar air 24,85%, kadar abu 9,20%, kadar
abu tidak larut asam 0,59%, kadar lemak 9,71%, kadar protein 52,84%, dan kadar
karbohidrat 3,40%.
Hasil rendemen ekstraksi terbesar yaitu ekstraksi dengan menggunakan
pelarut metanol (polar) sedangkan rendemen terkecil yaitu menggunakan pelarut
etil asetat (semi polar). Aktivitas antioksidan tertinggi terdapat pada jeroan ekstrak
kasar metanol dengan nilai IC50 1156 ppm, sedangkan aktivitas terendah yaitu
jeroan yang berasal dari ekstrak kasar kloroform dengan nilai IC 50 2799 ppm.
Aktivitas antioksidan keong pepaya dari daging maupun jeroan memiliki aktivitas
yang sangat rendah.
Keong pepaya memiliki alkaloid, karbohidrat. Komponen bioaktif berupa
steroid hanya terdapat pada ekstrak kloroform dan ekstrak etil asetat. Komponen
bioaktif berupa asam amino hanya terdapat pada daging dan jeroan ekstrak kasar
metanol.

5.2 Saran
Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini yaitu adanya pengujian
lanjutan terhadap aktivitas antioksidan dengan melakukan pemurnian terhadap
ekstrak kasar keong pepaya dan juga menguji aktivitas antioksidan dengan
menggunakan metode lain seperti metode NBT (Nitroblue tetrazolium), tiosianat,
ferric reducing ability of plasma (FRAP), dan lain-lain. Pengujian terhadap
aktivitas antioksidan juga perlu dilakukan dengan menggunakan keong pepaya
dalam keadaan segar. Selain itu perlu dilakukan penentuan komposisi protein,
lemak serta mineral untuk lebih mengetahui komponen gizi yang terdapat pada
keong pepaya.
48

DAFTAR PUSTAKA

Adawiyah D, Sarastani D, Fardiaz D. 2001. Kajian aktivitas antioksidan biji buah


atung (Parinarium glaberimum Hassk.). [Laporan akhir penelitian dasar
VI]. Bogor: Fakultas Teknologi Prtanian. Institut Pertanian Bogor.

Almatsier Y. 2006. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Cetakan keenan. Jakarta: Gramedia.

Andayani R, Lisawati Y. Maimunah. 2003. Penentuan Aktivitas Antioksidan,


Kadar Fenolat Total dan Likopen pada Buah Tomat (Solanum
Lycopersicum L). Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi. 13(1).

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2005. Official Method of


Analysis of The Association of Official Analytical of Chemist. Arlington:
The Association of Official Analytical Chemist, Inc.

Basmal J. Syarifuddin, Ma’ruf WF. 2003. Pengaruh konsentrasi larutan potassium


hidroksida terhadap mutu kappa-karagenan yang diekstraksi dari Euchema
cotonii. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia. 9(5): 95-103.

Beechey D. 2005. Family Volutidae. www.seashellsofnsw.org. [14 Februari 2010]

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2000. Teh Kering dalam Kemasan, SNI 01-
3836-2000. Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.

Darusman LK, Sajuthi D, Sutriah K, Pamungkas D. 1995. Ekstraksi Komponen


Bioaktif sebagai Bahan Obat dari Karang-karangan, Bunga Karang, dan
Ganggang di Perairan P. Pari Kepulauan Seribu [laporan penelitian].
Bogor: Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Institut Pertanian Bogor.

Fessenden RJ, Fessenden JS. 1986. Kimia Organik. Cetakan ketiga. Pudjaatmaka
AH, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Organic chemistry,
third edition.

Gordon MH. 1990. The Mechanism of Antioxidant Activity In Vitro. Di dalam:


BJV Hudson (ed). Food Antioxidant. London: Elvesiere Appl Sci.

Grzimek B. 1974. Animal Life Encyclopedia. New York: Van Nostrand Reinhold
Company.

Hanani E, Mun’im A, Sekarini R. 2005. Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam


Spons Callyspongia sp. dari Kepulauan Seribu. Majalah ilmu kefarmasian.
2(3): 127-133.

Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia. Edisi kedua. Padmawinata K, Soediro I,


penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods.
49

Houghton PJ dan Raman A.1998. Laboratory Handbook for the Fractination of


Natural Extract: Methods of Extraction and Sample Clean-up. London:
Chapman and Hall Ltd.

Ketaren S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta: UI


Press.

Khopkaar SIM. 2003. Konsep Dasar Kimia Analitik. Jakarta: UI Press.

Lehninger A. 1982. Dasar-dasar Biokimia. Jilid 1. Maggy Thenawijaya,


penerjemah. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari Principles Of
Biochemistry.

Lineaus. 1958. Melo aethiopica Lineaus 1758. www.marinespecies.org.


[14 Februari 2010].

Molyneux P. 2004. The use of stable free radicals diphenylpirylhydrazyl (DPPH)


for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal of Science
Technology. 26(2): 211-219.

Muchtadi D. 2001. Kajian terhadap serat makanan dan antioksidan dalam


berbagai jenis sayuran untuk pencegahan penyakit degeneratif. [Laporan
Penelitian ]. Bogor: Fakultas Teknologi Prtanian. Institut Pertanian Bogor.

Nur MA, Adijuana HA. 1989. Teknik Pemisahan dalam Analisis Biologi. Bogor:
Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Nurjanah. 2009. Karakterisasi lintah laut (Discodoris sp.) dari perairan pantai
Pulau Boton sebagai antioksidan dan antikolesterol [seminar
pascasarjana]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pearson AM, Dutson TR. 1999. Fish Products Advances in Meat Research Series
Volume 9. Britain: An Aspen Publication.

Praptiwi, Dewi P, Harapini M. 2006. Nilai peroksida dan aktivitas anti radikal
bebas diphenyl picril hydrazil hydrate (DPPH) ekstrak metanol Knema
laurina. Majalah Farmasi Indonesia. 17(1): 32-36.

Pratt DE, Hudson BJF. 1990. Natural antioxidant not exploited commercially. BJF
Hudson, editor. Food Antioxidant. London: Elvesier Applied Science.

Pretre J.G. 1850. Biological Diversity: Animals II. www.biobookdiversity.html.


[23 juni 2020]

Purwaningsih S. 2007. Kajian pemanafaatan keong mata merah (Cherihidea


obtuse) dan uji aktivitas antiproliferasi pada sel lestari tumor secara in
vitro dan in vivo. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
50

Robinson T. 1995. Kandungan organik tumbuhan tinggi. Edisi keenam.


Padmawinata K, penerjemah. Bandung: ITB. Terjemahan dari: The
organic constituens of higher plants.

Rohman A, Riyanto S. 2005. Daya antioksidan ekstrak etanol Daun Kemuning


(Murraya paniculata (L) Jack) secara in vitro. Majalah Farmasi Indonesia.
16(3): 136-140.

Santoso J, Maulida R, Suseno S.H. 2010. Aktivitas Antioksidan Ekstrak Metanol,


Etil Asetat dan Heksana Rumput Laut Hijau Caulerpa lentilifera. Ilmu
Kelautan. 1: 1-10

Sastrohamidjojo H. 1996. Sintesis Bahan Alam. Yogyakarta: Gajah mada


University Press.

Sirait M. 2007. Penuntin Fitokimia dalam Farmasi. Bandung: Penerbit ITB.

Suradikusumah E. 1989. Kimia Tumbuhan. Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.

Surai PF. 2002. Natural Antioxidants in Avian Nutrition and Reproduction.


Nothingham: University Press.

Syarief R, Halid H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar


Universitas Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor. Jakarta: Penerbit
Accan

Tapan E. 2005. Kanker, Antioksidan, dan Terapi Komplementer. Jakarta: PT


Gramedia.

Winarno FG, Fardiaz S, Fardiaz D. 1973. Ekstraksi, dan Kromatografi,


Elektrophoresis. Bogor: Fakultas Mekanisasi dan Teknologi Pertanian.

Winarno FG. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT Gramedia.

Winarsi H. 2007. Antioksidan Alami dan Radikal Bebas. Yogyakarta: Kanisius.

Winarno FG. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. Bogor: Mrio Press.

Yulianda. 1999. Aspek biologi reproduksi siput gastropoda laut. Fakultas Pasca
Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
51
52

Lampiran 1 Data uji proksimat


Nilai (%)
Komponen Ulangan
Daging Jeroan
1 28,54 24,81
Kadar air
2 28,54 24,88
1 7,37 9,04
Kadar abu
2 7,42 9,35
1 0,19 0,59
Kadar abu tidak larut asam
2 0,20 0,60
1 0,83 9,82
Kadar lemak
2 1,32 9,60
1 61,75 52,87
Kadar protein
2 61,40 52,81
1 1,51 3,46
Kadar karbohidrat
2 1,32 3,46
53

Lampiran 2 Contoh perhitungan uji proksimat


a. Kadar air

Daging keong papaya =

Jeroan keong papaya =

b. Kadar abu

Daging keong papaya =

Jeroan keong papaya =

c. Kadar Lemak
Daging keong papaya =

Jeroan keong papaya =

d. Kadar Protein

Daging keong papaya =

Jeroan keong papaya =

e. Kadar Abu Tidak Larut Asam

Daging keong pepaya =

Jeroan keong pepaya =

f. Kadar Karbohidrat (by difference)


Daging = 100% - (28,54+7,40+1,08+61,58)%
= 1,40%
Jeroan = 100% - (24,85+9,20+9,71+52,84)%
= 3,40%
54

Lampiran 3 Data rendemen ekstrak kasar keong pepaya


Jenis Berat ekstrak Rendemen Rata-rata
Sampel Ulangan
Pelarut (gram) (%) (%)
Daging 1 0,145 0,58
0,6164
Daging 2 0,1632 0,6528
Kloroform
Jeroan 1 0,5691 2,2764
3,9116
Jeroan 2 1,3867 5,5468
Daging 1 0,14 0,56
0,52
Daging 2 0,12 0,48
Etil asetat
Jeroan 1 0,455 1,82
1,8146
Jeroan 2 0,4523 1,8092
Daging 1 3,245 12,98
12,5298
Daging 2 3,0199 12,0796
Metanol
Jeroan 1 3,1676 12,6704
11,8252
Jeroan 2 2,745 10,98

Contoh perhitungan rendemen ekstrak kasar keong pepaya kloroform daging


ulangan1 :

Rendemen (%) =

=
55

Lampiran 4 Perhitungan pembuatan larutan stok


a. DPPH 0,001 M sebanyak 50 ml (Mr = 394 g/mol)

Konsentrasi =

0,001 M =

Berat DPPH =

DPPH sebanyak 0,0197 g dilarutkan dalam metanol p,a, hingga 50 ml,


b. Standar BHT 250 ppm sebanyak 50 ml

Stok BHT 250 ppm =

= 12,5 mg = 0,125 g
BHT sebanyak 0,125 g dilarutkan dalam metanol p,a hingga 50 ml,
Contoh perhitungan BHT 2 ppm
BHT 2 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 10 ml x 2 ppm = V2 x 250 ppm

= = 0,16 ml

0,16 ml BHT 250 ppm ditambah methanol p,a hingga 10 ml,


c. Larutan ekstrak 1000 ppm sebanyak 50 ml
Stok ekstrak 1000 ppm =

= 50 mg = 0,05 g
Contoh perhitungan ekstrak 200 ppm
Ekstrak 200 ppm = V1 x M1 = V2 x M2
= 10 ml x 200 ppm = V2 x 1000 ppm

=
56

Lampiran 5 Hasil persen inhibisi dan IC50 BHT


Konsentrasi Persamaan IC50
Sampel Absorbansi % inhibisi
(ppm) regresi linier (ppm)
Blanko 0 1,052
2 0,920 12,55
4 0,803 23,67
BHT y=14,32x-20,34 4,91
6 0,217 79,37
8 0,111 89,45

Lampiran 6 Hasil uji aktivitas antioksidan


Konsentrasi % Rata-
Sampel absorbansi Persamaan garis IC50
(ppm) inhibisi rata
200 0,766 13,25
Kloroform 400 0,733 16,99 y=10,705+0,015x 2543
daging I 600 0,694 21,40
800 0,688 22,08 2780
200 0,750 15,06
Kloroform 400 0,732 17,10 y=12,570+0,012x 3018
daging II 600 0,699 20,84
800 0,688 22,08
200 0,835 10,41
Kloroform 400 0,811 12,98 y=6,975+0,016x 2646
jeroan I 600 0,772 17,17
800 0,747 19,85 2799
200 0,994 5,51
Kloroform 400 0,970 7,79 y=1,955+0,016x 2952
jeroan II 600 0,924 12,17
800 0,901 14,9
200 0,965 8,27
Etil asetat 400 0,892 15,21 y=6,465+0,018x 2483
daging I 600 0,856 18,63
800 0,854 18,82 2760
200 0,866 17,59
Etil asetat 400 0,842 19,96 y=15,120+0,011x 3036
daging II 600 0,831 21,01
800 0,79 24,90
57

Etil asetat 200 0,878 16,54


Jeroan I 400 0,842 19,96 y=13,770+0,014x 2568
600 0,828 21,29
800 0,797 25,50 2525
200 0,979 7,79
Etil asetat 400 0,941 10,55 y=3,845+0,019x 2482
jeroan II 600 0,886 15,78
800 0,858 18,44
200 0,975 7,32
Metanol 400 0,947 9,98 y=3,47+0,018x 2590
daging I 600 0,896 14,83
800 0,866 17,68 2308
200 0,821 11,91
Metanol 400 0,782 16,09 y=7,830+0,021x 2025
daging II 600 0,739 20,71
800 0,706 24,25
200 0,945 10,17
Metanol 400 0,859 18,34 y=2,420+0,039x 1234
jeroan 1 600 0,795 24,43
800 0,696 33,84 1156
200 0,790 15,24
Metanol 400 0,708 24,03 y=7,940+0,039x 1077
jeroan II 600 0,634 31,97
800 0,572 38,63
Blanko I : 1,039
Blanko II : 0,883
58

Lampiran 7 Contoh perhitungan persen inhibisi dan IC50


a. Persen inhibisi (persen penghambatan)
Pengukuran spektrofotometri UV-VIS menghasilkan nilai
absorbansi untuk sample ekstrak dan juga BHT, Nilai ansorbansi tersebut
dimasukkan ked alam rumus :

Contoh perhitungan persen inhibisi

BHT 2 ppm =

% inhibisi BHT 2 ppm yaitu 12,55%


Konsentrasi BHT yang digunakan yaitu 2,4,6, dan 8 ppm maka masing-
masing dicari persen inhibisinya begitu juga dengan ekstrak kasar dengan
konsentrasi 200, 400, 600, 800 ppm, Konsentrasi tersebut diplotkan pada
sumbu x dan % inhibisi dari keempat konsentrasi tersebut diplotkan pada
sumbu y sehingga diperoleh persamaan y=a+bx
Contoh perhitungan IC50
y = 14,32x - 20,34
50 = 14,32x -20,34
70,34 = 14,32 x
x = 4,91 ppm
IC50 untuk BHT adalah 4,91 ppm
59

Lampiran 8 Gambar hasil uji fitokimia

1. Ekstrak kasar kloroform daging keong pepaya

A B C
D E F G H I J K

2. Ekstrak kasar kloroform jeroan keong pepaya

F E D
I J G
B C A H K

3. Esktrak kasar etil asetat daging keong pepaya

E D
F I G
B C A J H K

4. Ekstrak kasar etil asetat jeroan keong pepaya

C A F
B D E I
J H K
G

5. Ekstrak kasar metanol daging keong pepaya

D E I
B C A J H K G
F
60

6. Ekstrak kasar methanol jeroan keong pepaya

E
A F D
c G J I
B H K

Keterangan:
A : Wagner
B : Dragendroff
C : Meyer
D : Saponin
E : Flavonoid
F : Steroid
G : Fenol Hidroquinon
H : Biuret
I : Molicsh
J : Benedict
K : Ninhidrin
61

DAFTAR GLOSARY

Cephalic tentacle : Pada gastropoda mempunyai mata yang terletak pada dasar
atau pangkalan cephalic tentacle(4).

Columella : sumbu pusat ulir cangkang gastropoda(3).

Conchiolin : bahan semacam albumin yang membentuk sebagian besar


matriks pada cangkang moluska(4).

Digestive gland : kelenjar pencernaan(4).

Dioecious : berkaitan dengan suatu organisme dalam mana alat reproduksi


jantan dan betina terdapat dalam individu yang berbeda(4).

Hipostrakum : Lapisan nakre atau lapisan paling dalam pada cangkang


gastropoda(4).

Lamella : Lapisan tengah pada cangkang gastropoda(4).

Larva trocopor : tipe umum larva avertebrata tertentu yang sangat kecil, tembus
pandang dan berenang bebas, misalnya pada tulbelaria laut,
moluska dan anelida(4).

Nakre : Mother of pearl- lapisan cangkang moluska sebelah dalam, yang


tampak berkilauan terutama pada siput dan kerang, dihasilkan
oleh epitel mantel(4).

Periostrakum : lapisan tipis yang terdiri atas bahan protein seperti zat tanduk
disebut conchiolin dan chonchin(4).

Prismatik : Lapisan terluar pada cangkang gastropoda(4).

Probosis : probosis- belalai- pada lintah, planaria dan serangga tertentu


merupakan alat untuk menghisap atau makan yang terdapat di
ujung mulut(4).

Radula : Bentuk seperti lidah atau kikir yang lentur, terletak di bagian
anterior saluran pencernaan pada semua moluska kecuali
Pelecypoda; mengandung suatu barisan dari deretan gigi yang
tersusun secara transversal(4).

Torsi : Peristiwa memutarnya cangkang, mantel, dan massa visceral


pada gastropoda sampai 180° terhadap kepala dan kaki(4).
62

Veliger :Karakteristik larva dari kelas gastropoda, bivalva, dan


scaphopoda yang dihasilkan dari larva embrio ataupun larva
trocopor(4).

Sumber
Suwignyo S, Widigdo B, Wardiatno Y, Krisanti M. 2005. Avertebrata Air Jilid 1.
Jakarta: Penebar Swadaya.

Anda mungkin juga menyukai