Anda di halaman 1dari 33

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS MUTU KIMIA BIJI KAKAO (Theobroma cacao L.)


DENGAN SUHU PENGERINGAN YANG BERBEDA

Oleh:

WAHYUDI AHMAD
11582103429

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2020
PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS MUTU KIMIA BIJI KAKAO (Theobroma cacao L.)


DENGAN SUHU PENGERINGAN YANG BERBEDA

Oleh:

WAHYUDI AHMAD
11582103429

Diajukan sebagai salah satu syarat


Untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN DAN PETERNAKAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2020
HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Analisis Mutu Kimia Biji Kakao (Theobroma cacao L.) dengan
Suhu Pengeringan yang Berbeda

Nama : Wahyudi Ahmad

NIM : 11582103429

Program Studi : Agroteknologi

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Tahrir Aulawi, S.Pt., M.Si. Dr. Syukria Ikhsan Zam


NIP. 19740714 200801 1 007 NIP. 19810107 200901 1 008

Mengetahui:

Dekan Ketua
Fakultas Pertanian dan Peternakan Program Studi Agroteknologi

Edi Erwan, S.Pt., M.Sc., Ph.D. Dr. Syukria Ikhsan Zam


NIP. 19730904 199903 1 003 NIP. 19810107 200901 1 008
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kesehatan dan keselamatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan
penulisan proposal “Analisis Mutu Kimia Biji Kakao (Theobroma cacao L.)
dengan Suhu Pengeringan yang Berbeda”. Proposal ini dibuat sebagai syarat
untuk melaksanakan penelitian.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ayahanda Ahmad Damiati
yang telah mencurahkan segenap cinta dan kasih sayang serta bantuan moril
maupun materil. Penulis juga mengucapkan terima kasih Bapak Dr. Tahrir
Aulawi, S.Pt. M.Si sebagai dosen pembimbing I dan Bapak Dr. Syukria Ikhsan
Zam, S.Pd., M.Si sebagai dosen pembimbing II serta Ibu Siti Zulaiha, M.Si selaku
penguji II dan Dr. Ahmad Taufiq Arminudin, S.P., M.Sc. selaku penguji II yang
telah memberi bimbingan, petunjuk, motivasi dalam menyelesaikan proposal
penelitian ini. Tak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan
seperjuangan yang banyak memberikan bantuan dan masukan dalam penulisan
proposal ini.
Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca demi
kesempurnaan penulisan proposal ini. Semoga proposal penelitian ini bermanfaat
bagi kita semua baik untuk masa kini maupun untuk masa yang akan datang.

Pekanbaru, September 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ........................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................ ii
DAFTAR TABEL..................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................... iv
DAFTAR SINGKATAN .......................................................................... v

I. PENDAHULUAN.............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1
1.2. Tujuan Penelitian ..................................................................... 4
1.3. Manfaat Penelitian ................................................................... 4
1.4. Hipotesis .................................................................................. 4
II. TINJAUAN PUSTAKA .................................................................... 5
2.1. Tanaman Kakao ....................................................................... 5
2.2. Panen dan Penamanenan .......................................................... 8
2.3 Pengeringan .............................................................................. 9
2.4 Mutu Kimia .............................................................................. 11
III. MATERI DAN METODE ................................................................ 14
3.1. Tempat dan Waktu ................................................................... 14
3.2. Bahan dan Alat ......................................................................... 14
3.3. Metode Penelitian .................................................................... 14
3.4. Pelaksanaan Penelitian ............................................................. 15
3.5. Parameter Pengamatan ............................................................. 16
3.6. Analisi Data ............................................................................. 18
3.7. Rincian Anggaran Biaya Penelitian ......................................... 20
3.8. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 22


LAMPIRAN ............................................................................................. 25

ii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1. Karakteristik Tiga Jenis Utama Tanaman Kakao .............................. 7
2.2. Pengelompokan Kelas Kematangan Buah Kakao.............................. 9
3.1. Kombinasi Perlakuan ........................................................................ 15
3.2. Hasil Pengacakan .............................................................................. 15
3.3. Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap ........................................... 18
3.4. Rincian Anggaran Biaya Penelitian ................................................. 20
3.5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian ......................................................... 21

iii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1. Morfologi Tanaman Kakao ............................................................... 7
2.2. Bentuk Buah Kakao ......................................................................... 8
2.3. Tingkat Kematangan buah kakao ..................................................... 9

iv
DAFTAR SINGKATAN

GMP Good Manufacturing Practice


SNI Standar Nasional Indonesia
pH Potensial Hidrogen
FFA Free Fatty Acid
RAL Rancangan Acak Lengkap
DMRT Duncan’s Multiple Range test

v
I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Kakao termasuk hasil perkebunan Indonesia yang diekspor dan sangat
menguntungkan bagi perekonomian nasional. Tahun 2010 Indonesia merupakan
pengekspor biji kakao terbesar ketiga dunia dengan produksi biji kering 550.000
ton setelah Negara Pantai Gading dengan produksi biji 1.242.000 ton dan Ghana
dengan produksi biji 662.000 ton (ICCO, 2011). Tanaman kakao merupakan salah
satu komoditas perkebunan yang peranannya cukup penting bagi perekonomian
nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan pekerjaan, sumber pendapatan
dan devisa negara. Kakao Indonesia mampu menyumbangkan devisa bagi negara
nomor tiga dari sektor pertanian setelah kelapa sawit dan karet (Sugiharti, 2008).
Tingginya permintaan biji kakao dari negara–negara produsen makanan
yang menggunakan kakao sebagai komponen utamanya membuat Indonesia perlu
memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan devisa negara dengan
meningkatkan ekspor biji kakao. Demi untuk meningkatkan devisa negara tidak
hanya ekspor yang perlu ditingkatkan, Indonesia juga harus meningkatkan mutu
dari biji kakao tersebut agar dapat bersaing di pasar dunia. Untuk meningkatkan
mutu biji kakao, beberapa karakteristik yang perlu diperhatikan adalah tingkat
kadar air, kadar lemak, kadar abu, protein dan pH. Kualitas biji kakao yang
diekspor oleh Indonesia dikenal memiliki mutu yang sangat rendah, hal ini
disebabkan oleh penanganan pasca panen kakao yang belum dilakukan dengan
baik. Salah satu proses yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas biji
kakao adalah pengeringan (jumiati dkk., 2018).
Penanganan pasca panen sangat menentukan mutu hasil produksi biji
kakao, terutama pada proses pengeringan. Mutu biji kakao merupakan hal yang
sangat penting dalam produksi kakao dan olahannya. Jika biji kakao bermutu
rendah, produk olahannya akan buruk. Proses pengeringan merupakan proses
yang sangat penting untuk menghasilkan biji kakao kering yang berkualitas
baik, terutama dalam hal fisik, calon cita rasa, dan aroma yang baik serta
berperan dalam mengurangi rasa kelat dan pahit. Proses pengeringan bertujuan

1
untuk mengurangi kadar air biji dari sekitar 60% menjadi 6-7% sehingga aman
selama transportasi dan penyimpanan (Sandra, dkk., 2010). Pengeringan biji
kakao yang menghasilkan kadar air di bawah 6 - 7% tidak disarankan karena
dapat mengakibatkan biji kakao rapuh dan mudah pecah. Selain itu,
pengeringan yang kurang optimal menghasilkan biji kakao yang tidak kering,
ukuran biji tidak seragam, kadar lemak rendah, keasaman tinggi, cita rasa
sangat beragam, dan mudah pecah (Kusumadati, 2002).
Tujuan dari proses pengeringan adalah menurunkan kadar air bahan
sehingga bahan menjadi lebih awet, mengecilkan volume bahan untuk
memudahkan, menghemat biaya pengangkutan, pengemasan, dan penyimpanan.
Meskipun demikian ada kerugian yang ditimbulkan selama pengeringan yaitu
terjadinya perubahan sifat fisik dan kimiawi bahan serta terjadinya penurunan
mutu bahan (Irawan, 2011).
Teknik pengeringan biji kakao ada tiga yaitu: pengeringan dengan sinar
matahari, menggunakan alat pengering dan perpaduan keduanya. Pengeringan
menggunakan sinar matahari memiliki sisi positif dan negatif. Sisi positifnya,
akan diperoleh warna biji kakao coklat kemerahan dan tampak lebih cemerlang.
Warna dan kenampakan yang demikian inilah yang diharapkan dari biji kakao
kering, sehingga pengeringan dibawah sinar matahari lebih disarankan untuk biji
kakao. Namun demikian, pengeringan sinar matahari memiliki kendala yang
disebabkan kondisi cuaca terutama saat hujan. Metode pengeringan ini
memerlukan waktu 5-7 hari untuk mencapai kadar air dibawah 7,5%. Kadar air
biji kakao kering yang lebih tinggi dari 7,5% tidak memenuhi persyaratan SNI.
(Hatmi dan Rustijarno, 2012). Produksi kakao melalui pengeringan dalam oven
menjadi pilihan utama karena proses produksinya lebih cepat dan dapat
meningkatkan produksi biji kakao saat panen meskipun saat musin hujan
(Badaruddin dkk., 2017).
Biji kakao yang masuk ke dalam pengeringan adalah biji kakao yang
sudah terfermentasi. Kadar air biji kakao setelah dipanen masih tinggi yaitu
sekitar 51-60%, sehingga memberikan peluang yang besar terjadinya kebusukan
biji akibat adanya pertumbuhan mikroorganisme. Adanya pengeringan, dapat
mengurangi kadar air dalam biji. Kadar air biji yang diharapkan setelah

2
pengeringan adalah kurang dari 7,5% yang bertujuan untuk memudahkan
pelepasan nibs dari kulitnya, juga mencegah agar tidak ditumbuhi oleh
mikroorganisme pembusuk sehingga dapat memperpanjang umur simpan.
Pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan lama pengeringan. Suhu tinggi dapat
mengakibatkan biji kakao hangus dengan kadar air serendah mungkin. Selain itu
suhu yang terlalu tinggi akan berpengaruh pada pH yang dihasilkan. Jika suhu
pengeringan tinggi maka kulit biji akan mengalami pengerasan sehingga asam
volatil tidak dapat keluar melewati kulit biji yang mengeras (Hii et al., 2012).
Selain itu, waktu pengeringan yang terlalu cepat menyebabkan kadar air masih
tinggi. Kadar air lebih dari 9% akan memungkinkan pelapukan biji oleh jamur
(Amin, 2005).
Bakker (1992) mengemukakan pengeringan bahan hasil pertanian
menggunakan aliran udara pengering yang baik adalah antara 45℃ sampai 75℃.
Pengeringan pada suhu dibawah 45℃ mikroba dan jamur yang merusak produk
masih hidup, sehingga daya awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu
udara pengering di atas 75℃ menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk
rusak, karena perpindahan panas dan massa air yang berdampak perubahan
struktur sel. Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa pengeringan
menggunakan oven drying pada suhu 55℃ selama 19 jam menghasilkan biji
kakao dengan kadar air 4,4%; pH 5,8; kadar lemak 55,21%; dan FFA 1,38%
(Dina, 2013). Hal ini dirasa masih kurang baik untuk aroma biji kakao karena dari
hasil pH yang ditunjukkan sebesar 5,8 dan ini tidak sesuai dengan Hii et al. (2012)
yang menyatakan bahwa pH untuk biji kakao terbaik adalah 5,5. Selain itu hasil
penelitian Sidabariba dkk. (2017) tentang uji variasi suhu pengeringan biji kakao
dengan cabinet dryer menunjukkan hasil terbaik pada perlakuan dengan suhu
60℃ selama 7 jam menghasilkan biji kakao dengan kadar air 3,13%; kadar lemak
38,53%; warna 2,97 (cokelat), dan aroma 1,57. Hasil penelitian Hayati dkk.
(2012) pengeringan terbaik didapat pada suhu 60℃ menghasilkan biji kakao
dengan kadar protein 1,49%, dan kadar lemak 53,12%.
Beberapa penelitian terdahulu belum melakukan penelitian tentang analisis
mutu kimia biji kakao dengan suhu pengeringan yang berbeda. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terkait dengan analisis mutu kimia biji

3
kakao dengan suhu pengeringan yang berbeda agar dapat menghasilkan mutu biji
kakao yang lebih baik, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Analisis Mutu Kimia Biji Kakao (Theobroma cacao L.) dengan
Suhu Pengeringan yang Berbeda ”.

1.2. Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian adalah untuk mendapatkan suhu pengeringan terbaik
yang mempengaruhi mutu kimia biji kakao.

1.3. Manfaat Penelitian


Manfaat penetilian adalah untuk menambah pengetahuan tentang analisis
mutu kimia biji kakao dengan suhu pengeringan oven yang berbeda dan sebagai
sumber sarana dan prasarana informasi bagi para petani kakao di indonesia dalam
upaya kegiatan pasca panen dan menjaga mutu kimia biji kakao menggunakan
metode pengeringan dengan suhu pengeringan yang berbeda.

1.4. Hipotesis
Hipotesis penelitian adalah diduga bahwa suhu pengeringan terbaik
berpengaruh positif terhadap mutu kimia biji kakao.

4
II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Kakao


Kakao mulai di perkenalkan di daerah eropa oleh bangsa spanyol dan
mulai menyebar ke seluruh dunia sekitar abad ke-16. Kakao pertama kali di
perkenalkan di Indonesia pada tahun 1560, tepatnya di Sulawesi, Minahasa.
Kakao Indonesia mampu menyumbangkan devisa bagi negara nomor tiga dari
sektor pertanian setelah kelapa sawit dan karet (Sugiharti, 2008). Kedudukan
tanaman kakao dalam taksonomi tumbuhan adalah sebagai berikut: Klasifikasi
Divisi: Spermatophyta; Anak Divisi: Angiospermae; Kelas: Dicotyledoneae;
Anak Kelas: Dialypetalae; Bangsa: Malvales; Suku: Sterculiaceae; Marga:
Theobroma; Jenis: Theobroma cacao L. (Puslitkoka, 2004).
Tanaman kakao termasuk tanaman tahunan yang tergolong dalam
kelompok tanaman caulofloris, yaitu tanaman yang berbunga dan berbuah pada
batang dan cabang. Tanaman ini pada garis besarnya dapat dibagi atas dua bagian,
yaitu bagian vegetatif yang meliputi akar, batang serta daun dan bagian generatif
yang meliputi bunga dan buah. Akar merupakan bagian paling bawah dari
tumbuhan dan biasanya berkembang dibawah tanah. Fungsi akar ialah untuk
menegakkan berdirinya tumbuhan, menghisap air dan zat hara dari tanah lalu
menyalurkannya ke batang. Akar tanaman kakao sebagian besar akar lateral
(mendatar) yang pertumbuhannya dapat berkembang dekat permukaan tanah,
yaitu pada jarak 0-30 cm. Jangkauan jelajah akar lateral tanaman kakao dapat
jauh diluar proyeksi tajuk. Ujung akar membentuk cabang-cabang kecil yang
susunannya tidak teratur (Siregar dkk., 1989).
Batang adalah bagian dari tubuh tanaman yang menghasilkan daun dan
struktur reproduktif. Daerah pada batang yang menumbuhkan daun disebut nodus
(buku), sedangkan daerah antara dua nodus disebut internodium (ruas). Pada umur
tiga tahun tinggi batang mencapai 1,8 – 3 meter dan pada umur 12 tahun tingginya
dapat mencapai 4,5 – 7 meter. Batang tersebut bersifat dimorfisme, memiliki dua
tunas vegetatif yaitu tunas dengan arah pertumbuhan keatas (autrotof) berupa
tunas air (wiwilan/chupon) dan tunas yang arah pertumbuhannya kesamping
(plagiotrof) berupa cabang kipas atau fan. Ketika tanaman kakao telah mencapai

5
tinggi 0,9 – 1,5 meter pertumbuhan akan berhenti dan membentuk jorket
(jorquette) (Wahyudi dkk., 2008).
Daun merupakan struktur pokok tumbuhan yang penting. Daun
mempunyai fungsi antara lain sebagai resorbsi (pengambilan zat-zat makanan
terutama yang berupa zat gas karbon dioksida), mengolah makanan melalui
fotosintesis, serta sebagai alat transpirasi (penguapan air) dan respirasi
(pernapasan dan pertukaran gas). Daun tanaman kakao memiliki bentuk helai
daun bulat memanjang (oblongus), ujung daun meruncing (acuminatus) dan
pangkal daun runcing (acutus). Susunan tulang daun menyirip dan menonjol ke
permukaan bawah helai daun. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang yaitu
7,5–10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya
sekitar 2,5 cm. Tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus bergantung
pada tipenya (Puslitbang, 2012). Bunga tanaman kakao bersifat kauliflori, yang
berarti bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan
cabang.
Buah kakao berupa buah yang daging bijinya sangat lunak. Kulit buah
kakao mempunyai sepuluh alur dan tebalnya 1 – 2 cm. Bentuk, ukuran dan warna
buah kakao bermacam-macam serta panjangnya sekitar 10 – 30 cm. Umumnya
ada tiga macam warna buah kakao, yaitu hijau muda sampai hijau tua waktu muda
dan menjadi kuning setelah masak, warna merah serta campuran antara merah dan
hijau. Buah ini akan masak 5 – 6 bulan setelah terjadinya penyerbukan). Bentuk
buah lonjong dan akan matang pada usia 6 bulan. Biji tanaman kakao menempel
pada poros lembaga (embryo axis). Biji dibungkus oleh daging buah (pulpa) yang
berwarna putih. Bagian dalam daging buah terdapat biji (testa) yang membungkus
dua kotiledon dan proses embrio. Biji kakao tidak memiliki asam dorman.
Meskipun daging buahnya mengandung zat penghambat perkecambahan, tetapi
kadang – kadang biji berkecambah didalam buah yang terlambat dipanen karena
daging buahnya telah mengering (Pulitkoka, 2004). Morfologi tanaman kakao
dapat di lihat pada Gambar 2.1.

6
A B C

D E F

Gambar 2.1. Morfologi tanaman kakao. a). Akar, b). Batang, c). Daun, d). Bunga,
e). Buah dan f) Biji Kakao (Wahyudi dkk., 2008).

Jenis kakao yang banyak dibudidayakan adalah jenis criollo, forastero,


trinitario. Criollo (Criollo Amerika Tengah dan Amerika Selatan), dikenal
sebagai kakao mulia, dan fine flavour. Forastero, menghasilkan biji kakao dikenal
sebagai ordinary cocoa atau bulk cocoa, jenisnya yaitu forastero amazona dan
trinitario. Trinitario merupakan hibrida alami dari Criollo dan Forastero sehingga
menghasilkan biji kakao yang dapat termasuk fine flavour cocoa atau bulk
cocoa. Jenis Trinitario yang banyak ditanam di Indonesia adalah Hibrid Djati
Runggo (DR) dan Uppertimazone Hybrida (Kakao lindak) (Bulandari, 2016).
Karakteristik tiga jenis utama tanaman kakao dapat dilihat pada Tabel 2.1. dan
berbagai bentuk buah kakao dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Tabel 2.1. Karakteristik Tiga Jenis Utama Tanaman Kakao.
Karakter Criollo Forastero Trinitario
Permukaan berlekuk- Permukaan rata Gabungan criollo dan
Bentuk Buah
lekuk dan licin forastero
Tekstur Kulit Lunak Keras Sangat Keras
Beragam, dari kuning
Warna Kulit Kuning kemerahan Hijau
merah sampai hijau
Jumlah Biji 20 – 30 30 atau lebih 30 atau lebih
Bentuk Biji Putih Ungu Dari ungu sampai putih

7
Sumber: Wahyudi dkk. (2008).

a b c

Gambar 2.2. Berbagai bentuk buah kakao (a). Criollo, (b). Trinitario dan
(c).Forastero. (Wahyudi dkk., 2008).

2.2. Panen dan Pemanenan


Panen dan pemanenan merupakan kegiatan pengambilan buah yang sudah
masak dengan menggunakan alat pemanenan seperti pisau, gunting dan lain
sebaginya. Pada pemetikan buah kakao dilakukan setelah buah kakao masak yang
mana terdapaat ciri khas dari perubahan warna yang terjadi pada buah kakao.
Buah yang semula berwarna merah jika masak akan berwarna jingga dan buah
yang semula hijau jika masak akan berwarna kuning (Heddy, 1990). Panen kakao
menurut Roesmanto, (1991) didefinisikan sebagai kegiatan memetik buah-buahan
dari pohon dan memecahnya untuk memanfaatkan biji basah yang ada di
dalamnya.
Kegiatan panen meliputi persiapan tenaga kerja, alat panen, penentuan
lokasi panen dan pemetikan buah, pengumpulan buah dan sortasi, pemecahan
buah dan pelepasan biji, serta pengangkutan biji dari kebun ke tempat pengolahan.
Buah kakao dapat dipanen apabila terjadi perubahan warna kulit pada buah yang
telah matang. Sejak fase pertumbuhan sampai menjadi buah dan matang, kakao
memerlukan waktu sekitar 5 bulan. Buah matang dicirikan oleh perubahan warna
kulit yang saat muda berwarna hijau dan bila matang berwarna kuning,
sedangkan, buah yang berwarna merah, bila matang akan berwarna jingga.
Terdapat tiga perubahan warna kulit pada buah kakao yang menjadi kriteria kelas
kematangan buah di kebun-kebun yang mengusahakan kakao. Secara umum
kriteria tersebut tersaji pada Tabel 2.2

8
Tabel 2.2 Perubahan Warna dan Pengelompokkan Kelas Kematangan Buah.
Bagian Kulit yang
Perubahan
Mengalami Perubahan Kelas Buah Kematangan
Warna
Warna
Kuning Pada alur buah C 50 %
Pada alur buah dan
Kuning B 60 %
punggung
Kuning Pada permukaan buah A 80 %
Kuning tua Pada permukaan buah AA 100 %
Sumber: BSN (2008).
Tingkat kematangan buah kakao dapat dilihat pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3. Tingkat Kematangan Buah Kakao (Anna, 2011).

2.3. Pengeringan
Pengeringan adalah cara untuk menghilangkan sebagian besar air dari
suatu bahan dengan bantuan energi panas dari sumber alami (sinar matahari) atau
bahan buatan (alat pengering). Tujuan dari proses pengeringan adalah
menurunkan kadar air bahan sehingga bahan menjadi lebih awet, mengecilkan
volume bahan untuk memudahkan, menghemat biaya pengangkutan, pengemasan,
dan penyimpanan. Meskipun demikian ada kerugian yang ditimbulkan selama
pengeringan yaitu terjadinya perubahan sifat fisik dan kimiawi bahan serta
terjadinya penurunan mutu bahan (Irawan, 2011).
Proses pengeringan dilakukan untuk menghasilkan biji kakao yang
berkualitas baik, terutama dalam hal fisik, calon cita rasa, dan aroma yang baik.
Oleh karena tingkat pengeringan sangat berpengaruh terhadap cita rasa dan mutu
biji kakao, pemilihan metode pengeringan sangat mempengaruhi alat dan jumlah
kebutuhan alat pengering. Kecepatan pengeringan juga turut mempengaruhi biji
kakao yang dihasilkan. Jika pengeringan terlalu lambat akan berbahaya karena
dapat menstimulan kehadiran jamur yang berkembang dan masuk kedalam biji.
Jika pengeringan terlalu cepat juga bisa mengganggu kesempurnaan reaksi

9
oksidatif yang berlangsung dan dapat menyebabkan tingkat keasaman berlebih.
Peningkatan suhu pengeringan akan meningkatkan kelat dan asamity sehingga
suhu pengeringan tidak lebih dari 65–70oC (Wahyudi dkk., 2008).
Menurut Winarno (1993) Suhu ideal yang dibutuhkan dalam proses
pengeringan ini antara 55-66oC kadar air turun ±5-6%. Bakker (1992)
mengemukakan pengeringan bahan hasil pertanian menggunakan aliran udara
pengering yang baik adalah antara 45℃ sampai 75℃. Pengeringan pada suhu di
bawah 45℃ mikroba dan jamur yang merusak produk masih hidup, sehingga daya
awet dan mutu produk rendah. Namun pada suhu udara pengering di atas 75℃
menyebabkan struktur kimiawi dan fisik produk rusak, karena perpindahan panas
dan massa air yang berdampak perubahan struktur sel. Beberapa penelitian
sebelumnya menunjukkan bahwa pengeringan menggunakan oven drying pada
suhu 55℃ selama 19 jam menghasilkan biji kakao dengan kadar air 4,4%; pH 5,8;
kadar lemak 55,21%; dan FFA 1,38% (Dina, 2013). Hal ini dirasa masih kurang
baik karena dari hasil pH yang ditunjukkan sebesar 5,8 dan ini tidak sesuai dengan
Hii et al. (2012) yang menyatakan bahwa pH untuk biji kakao terbaik adalah 5,5.
Selain itu hasil penelitian Sidabariba dkk. (2017) hasil pengeringan terbaik pada
perlakuan dengan suhu 60℃ selama 7 jam menghasilkan biji kakao dengan kadar
air 3,13%; kadar lemak 38,53%; warna 2,97 (cokelat), dan aroma 1,57.
Mekanisme pengeringan adalah ketika udara panas dihembuskan di atas
bahan makanan basah, panas akan ditransfer ke permukaan dan perbedaan tekanan
udara akibat aliran panas akan mengeluarkan air dari ruang antar sel dan
menguapkannya (Oktaviana, 2010). Pengeringan dipengaruhi oleh suhu dan lama
pengeringan. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu pengeringan yang
digunakan untuk mengeringkan suatu bahan, maka air yang menguap akan
semakin banyak. Hal ini disebabkan karena dengan semakin tingginya suhu maka
semakin banyak molekul air yang menguap dari bahan yang dikeringkan sehingga
kadar air yang diperoleh semakin rendah. Hal ini berbanding terbalik dengan
kadar lemak, semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu yang digunakan saat
pengeringan akan semakin menyebabkan peningkatan kadar lemak. Menurut
Amin (2005) pengeringan yang terlalu cepat juga bisa mengganggu kesempurnaan
reaksi oksidatif yang berlangsung dan dapat menyebabkan tingkat keasaman yang

10
berlebih. Selain itu semakin lama dan tinggi suhu pengeringan yang digunakan
akan meningkatkan kadar abu, dikarenakan kadar air yang keluar dari dalam
bahan semakin besar. Kadar abu tergantung pada jenis bahan, cara pengabuan,
waktu dan suhu yang digunakan saat pengeringan serta semakin rendah komponen
non mineral yang terkandung dalam bahan akan semakin meningkatkan persen
abu relatif terhadap bahan. Suhu dan lama pengeringan juga berpengaruh terhadap
kandungan protein, ini dikarenakan pengeringan yang cukup lama dengan suhu
yang tinggi menjadikan penguapan air dalam bahan sangat cepat sehingga air
dalam bahan berkurang dan mempengaruhi protein dalam bahan. Pemanasan yang
terlalu lama dengan suhu yang tinggi akan menyebabkan protein terdenaturasi.
Pemanasan dapat merusak asam amino dimana ketahanan protein oleh panas
sangat terkait dengan asam amino penyusun protein tersebut, sehingga hal ini
yang menyebabkan kadar protein menurun dengan semakin meningkatnya suhu
pemanasan.

2.4. Mutu Kimia


Mutu biji kakao merupakan hal yang sangat penting dalam produksi kakao
dan olahannya, jika biji kakao bermutu rendah produk olahannya akan buruk.
Mutu kimia kakao digunakan untuk mengetahui tingkat keasaman dan kandungan
air pada biji. Keasaman biji berpengaruh terhadap cita rasa pada biji, sedangkan
kadar air berpengaruh terhadap rendemen hasil dan berhubungan dengan umur
simpan. Batas maksimal kadar air pada biji kakao sebesar 7,5%, apabila melebihi
standar tersebut maka yang turun bukan hanya hasil rendemennya saja, melainkan
juga beresiko terserang bakteri dan jamur (Wahyudi dkk., 2008)
Kadar lemak, kadar air, kadar abu, pH dan protein berperan penting
terhadap mutu biji kakao. Kadar lemak umumnya dinyatakan dalam persen dari
berat keping biji. Kandungan lemak pada biji kakao ditentukan oleh jenis bahan
tanaman dan faktor musim. Buah kakao yang berkembang pada musim hujan akan
menghasilkan biji kakao yang berkadar lemak lebih tinggi. Komposisi asam
lemak bervariasi, tergantung pada kondisi pertumbuhan. Hal ini menyebabkan
perbedaan karakteristik fisiknya, terutama berpengaruh pada sifat tekstur makanan
cokelat dan proses pembuatannya. Sifat lemak kakao lainnya yang jadi
pertimbangan konsumen adalah kandungan asam lemak bebas atau FFA (Free

11
Fatty Acid). Kandungan FFA merupakan salah satu indikator kerusakan pada
lemak. Biji kakao yang diolah dan disimpan dengan baik, memiliki kadar FFA di
bawah 1%. Lemak mulai mengalami kerusakan pada kadar ffa 1,3%. Oleh karena
itu, salah satu persyaratan tentang kadar FFA adalah kurang dari 1,3%. Hanya
saja, Codex Allimentarius memberi toleransi sampai batas maksimum 1,75%
(Wahyudi dkk., 2008).
Kadar air merupakan salah satu karakteristik yang sangat penting pada
bahan pangan karena kandungan air dalam bahan pangan dapat mempengaruhi
penampakan, tekstur serta cita rasa pada bahan pangan tersebut. Banyaknya air
dalam bahan pangan yang terkandung dinyatakan dalam persen. Kadar air dalam
pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet bahan pangan tersebut, kadar
air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri, kapang, dan khamir, untuk
berkembang biak, sehingga terjadi perubahan pada bahan pangan semakin rendah
kadar air, semakin lambat pertumbuhan mikroorganisme berkembang biak,
sehingga proses pembusukan akan berlangsung lebih lambat, batas kadar air
mikroba masih dapat tumbuh ialah 14%-15% (Winarno, 2004). Kadar air salah
satu faktor yang sangat berpengaruh terhadap daya tahan bahan pangan, semakin
tinggi kadar air bahan pangan maka semakin cepat terjadi kerusakan dan
sebaliknya semakin rendah kadar air bahan pangan akan tersebut semakin tahan
lama (Andrawulan dkk., 2011).
Abu merupakan komponen organik yang tertinggal setelah semua karbon
organik dibakar habis. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macam
bahan dan cara pengabuannya. Kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu
bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam
garam yaitu garam organik dan garam anorganik, yang termasuk dalam garam
organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedangkan
garam anorganik antar lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat,
nitrat. Semakin tinggi kandungan mineral dalam bahan tersebut maka semakin
tinggi pula kadar abunya. Kadar Abu tergantung pada jenis bahan, cara
pengabuan, waktu dan temperatur yang digunakan saat pengeringan (sudarmadji
dkk., 1997).

12
pH adalah derajat keasaman yang digunakan untuk menyatakan tingkat
keasaman atau kebasaan yang dimiliki oleh suatu bahan. pH merupakan salah satu
indikator yang penting dalam prinsip pengawetan bahan pangan. Hal ini
disebabkan pH berkaitan dengan ketahanan hidup mikroba, dengan semakin
rendahnya pH, maka bahan pangan dapat lebih awet karena mikroba pembusuk
tidak dapat hidup.
Protein merupakan zat yang paling penting dalam setiap organisme dan
juga bagian dari semua sel hidup yang merupakan bagian terbesar tubuh setelah
air. Istilah protein yang dikemukakan pertama kali oleh pakar kimia Belanda G.J.
Mulder pada tahun 1939 yang berasal dari bahasa Yunani “proteios”. Proteios
sendiri mempunyai arti yang pertama atau yang paling utama. Protein memegang
peranan yang sangat penting pada organisme, yaitu dalam stuktur, fungsi, dan
reproduksi (Sumardjo, 2009). Selama proses pengolahan seperti pengeringan,
sterilisasi, pengolahan asam dan lainnya, protein mengalami perubahan sifat yang
juga mempengaruhi mutu produk yang dihasilkan. Pengolahan menyebabkan
struktur protein berubah, walaupun tidak semua perubahan tersebut tidak
diinginkan. Denaturasi merupakan perubahan struktur yang sering terjadi pada
protein. Penyebab denaturasi protein meliputi penyebab fisik dan kimiawi.
Penyebab fisik diantaranya, suhu, tekanan, dan pengadukan (Estiasih dkk, 2016).

13
III. MATERI DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu


Lokasi pengambilan sampel biji kakao di PT. Inang Sari, Desa Padang
Mardani Kecamatan Lubuk Basung Kabupaten Agam Provinsi Sumatra Barat.
Sedangkan analisis mutu kimia biji kakao akan dilaksanakan di Laboratorium
Nutrisi dan Teknologi Fakultas Pertanian dan Peternakan, Laboratorium
Agronomi dan Agrostologi Fakultas Pertanian dan Peternakan Universitas Islam
Negeri Sultan Syarif Kasim Riau, dan Laboratorium Pengolahan Hasil Pertanian
Fakultas Pertanian Universitas Riau, pada Bulan Mei sampai dengan Juni 2020.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan adalah biji kakao varietas Lindak. Bahan kimia
yang digunakan untuk analisis yaitu: N-Hexan 96% sebanyak 130 mL, selenium
0,3 g, H2SO4 pekat 25 mL, aquades 50 mL, NaOH 45% 40 mL, HCL 0,1 N,
H3BO4 20 mL, Alat-alat yang akan digunakan adalah oven listrik, timbangan
analitik, nampan, alumunium foil, plastik bening, kertas label, sarung tangan,
masker, karung goni, loyang aluminium, tisu, water bath, dan alat tulis.

3.3. Metode Penelitian


Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) non
Faktorial dengan suhu pengeringan yang berbeda dengan lama pengeringan 7 jam
diulang sebanyak 4 kali ulangan, yaitu:
T1 = 50oC
T2 = 55oC
T3 = 60oC
T4 = 65oC
T5 = 70oC

14
Tabel 3.1. Perlakuan dan Ulangan
Ulangan
Pelakuan
U1 U2 U3 U4
T1 T1U1 T1U2 T1U3 T1U4
T2 T2U1 T2U2 T2U3 T2U4
T3 T3U1 T3U2 T3U3 T3U4
T4 T4U1 T4U2 T4U3 T4U4
T5 T5U1 T5U2 T5U3 T5U4
Setelah didapatkan kombinasi perlakuan, maka dibuatlah pengacakan
kombinasi perlakuan tersebut dengan cara pengundian. Hasil pengacakan dapat
dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2. Hasil Pengacakan

Tabel Pengacakan
T4U3 T4U1 T3U3 T3U2
T5U1 T4U4 T2U1 T2U3
T1U2 T1U1 T1U4 T3U4
T3U1 T2U2 T5U2 T4U2
T2U4 T1U3 T5U3 T5U4

3.4. Pelaksanaan Penelitian


Penelitian dilakukan dengan cara sampel biji kakao varietas lindak diambil
pada tingkat kematangan 80%, yaitu buah dipilih yang sudah matang berwarna
merah kekuningan. Buah selanjutnya dipecah dengan balok kayu dan biji
dikeluarkan. Setelah dipisahkan dari plasenta kemudian biji ditimbang dan
dimasukkan ke dalam kotak fermentasi (Ariyanti, 2017). Kemudian biji kakao
tersebut difermentasi selama 6-8 hari (Wahyudi et al, 2013). Proses fermentasi
terbagi 3 tahapan (Albertini dkk, 2015) yaitu: (1) Tahap anaerobic mengkonversi
gula menjadi alkohol dalam kondisi rendah oksigen dan pH dibawah 4, (2) Tahap
Lactobacillus lactis yang keberadaannya mulai dari awal fermentasi, tetapi hanya
hanya menjadi dominan antara 48 dan 96 jam. Lactobacillus lactis mengkonversi
gula dan sebagian asam organik menjadi asam laktat, (3) Tahap bakteri asam
asetat, dimana keberadaan bakteri asam asetat juga terjadi selama fermentasi,
tetapi menjadi sangat signifikan hingga akhir ketika terjadi peningkatan aerasi
(Apriyanto dkk., 2017). Biji kakao yang telah difermentasi disiapkan sebanyak 5
kg, kemudian biji kakao yang telah difermentasi disusun pada nampan dan

15
dimasukkan pada rak yang tersedia dalam ruang alat pengering. Setelah biji kakao
berada di dalam ruang alat pengering, hidupkan alat pengering dan diatur suhu per
siklus pengeringan dengan variasi suhu mulai dari suhu 50oC hingga 70oC.
Keringkan biji kakao selama 7 jam lama waktu pengeringan tiap perlakuan.
Setelah 7 jam, matikan alat pengering. Keluarkan biji kakao dari alat pengering
dan lakukan analisa parameter biji kakao. Ulangi kembali tahapan diatas dengan
suhu pengeringan sebesar 50oC, 55oC, 60oC, 65oC, dan 70oC.

3.5. Parameter Pengamatan


Mutu biji kakao hasil pengeringan diuji sesuai Standar Nasional Indonesia,
SNI 2023:2008. Pengujian biji kakao meliputi beberapa parameter yaitu: kadar
lemak, pH, kadar protein, kadar abu, dan kadar air (Jumiati dkk., 2018).
3.5.1. Kadar Lemak
Penentuan kadar lemak merujuk pada Sudarmadji dkk. (1997) dan
dimodifikasi. Sampel sebanyak 2 g dimasukkan dalam selongsong kertas saring
dan diikat dengan benang. Air dipanaskan dengan pemanas air suhu 121ºC,
kemudian setelah mendidih dimasukkan dalam labu lemak yang telah terisi N-
Hexsan sebanyak 130 ml dan telah diketahui beratnya, sampel dimasukkan dalam
soxhlet dan dimasukkan di atas labu lemak kemudian ditutup dengan pendingin
balik (kondesor), dipanaskan hingga 4-5 jam dan dibiarkan N-Hexsan menguap.
Labu dipanaskan pada oven selama 3 jam, lalu ditimbang, dimasukkan dalam
desikator selama 20 menit, lalu ditimbang, dipanaskan labu selama 1 jam,
dimasukkan kembali dalam desikator selama 20 menit, lalu ditimbang. Kegiatan
di atas diulangi 3 kali hingga berat konstan. Penentuan kadar lemak ditentukan
dengan rumus:
Berat Akhir - Berat Labu Kosong
Kadar lemak (%)  x 100%
Berat Sampel

3.5.2. pH
Keasaman pada kakao diukur dengan pH meter. Biji kakao dihaluskan
menggunakan mortar dan ditimbang sebanyak 2 g, kemudian diencerkan dengan
aquades 10 ml. Larutan sampel diaduk selama 30 menit, lalu dituangkan ke
dalam gelas beker 10 ml Sebelum pengukuran pH sampel, pH meter di
standarisasi terlebih dahulu dengan buffer 4 dan buffer 7. Katuda pH meter

16
dicelupkan pada larutan sampel, angka yang muncul pada layar digital pH meter
merupakan pH larutan tersebut (AOAC, 2005).
3.5.3. Kadar Protein
Penentuan kadar protein merujuk pada Sudarmadji dkk. (1997) dan
dimodifikasi. Sampel sebanyak 3 g dan dimasukkan dalam labu Kjeldahl,
kemudian ditambahkan selenium reagen sebanyak 1.5 g dan ditambahkan H2SO4
sebanyak 15 mL. Semua bahan dipanaskan menggunakan labu Kjeldahl dalam
lemari asam sampai berhenti mengeluarkan asap, larutan berubah jernih dan
didinginkan selama 1 jam, api dimatikan, kemudian ditunggu tunggu hingga
dingin. Aquades sebanyak 100 mL dituangkan dalam labu Kjeldahl yang berisi
sampel, ditambahkan larutan NaOH 50% sebanyak 50 mL, didinginkan dalam
lemari es. Hasil destruksi dipindahkan ke labu destilasi dan dipanaskan hingga
mendidih, destilasi yang dihasilkan ditampung dalam Erlenmeyer 250 mL yang
telah berisi larutan standar HCL 0.1 N dan 5 tetes indikator metil merah. Sampel
yang diperoleh dititrasi dengan standar NaOH 0.1 N sampai berwarna merah
muda. Buatlah larutan blanko dengan mengganti bahan menggunakan aquades,
lakukan destruksi, destilasi dan titrasi seperti bahan contoh. Kandungan protein
dihitung menggunakan rumus:
(ml HCl Bahan  Blanko) x Normalitas HCl x 14.008
N (% )  x 100 %
g sampel x 1000

Protein (%) = N (%) x Faktor Konversi (6.25)

3.5.4. Kadar Abu


Penentuan kadar abu mengacu pada Andrawulan (2011), cawan porselin
kosong dikeringkan dalam oven selam 15 menit dan didinginkan dalam desikator
selama 20 menit, kemudian ditimbang. Sebanyak 2 g sampel dimasukkan kedalam
cawan. Selanjutnya dilakukan pengabuan didalam tanur pada suhu 600ºC selama
5 jam hingga terbentuk abu. Cawan didinginkan dalam desikator kemudian
ditimbang kadar abu dihitung dengan rumus:

Kadar Abu (%) =

17
3.5.5. Kadar Air
(AOAC, 2015), analisis kadar air dilakukan dengan penguapan
menggunakan oven. Tahap pertama yang dilakukan adalah mengeringkan cawan
porselen pada suhu 105ºC selama 30 mennit. Cawan tersebut diletakkan dalam
desikator selama 15 menit hingga dingin kemudian ditimbang. Sampel sebanyak 2
g dimasukkan ke dalam cawan kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 105
ºC selama 6 jam. Setelah 6 jam cawan tersebut dimasukkan ke dalam desikator
hingga dingin kemudian ditimbang. Kadar air dihitung dengan rumus:
Berat Sampel  Berat Cawan - Berat Setelah Oven
Kadar Air (%)  x 100%
Berat Sampel

3.6. Analisis Data


Data hasil pengamatan dari masing-masing perlakuan diolah secara
statistik menggunakan Analisis Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap (Tabel
3.3).
Tabel 3.3. Sidik Ragam Rancangan Acak Lengkap.
Sumber Jumlah Kuadrat F Tabel
Derajat
Keragaman Kuadrat Tengah F Hitung
Bebas (db) 0,05 0,01
(SK) (JK) (KT)
Perlakuan p-1 JKP KTP KTP/KTG - -
Galat (r-1) JKG KTG - - -
Total rp-1 JKT - - - -

Keterangan: Faktor Koreksi (FK) =

2
Jumlah Kuadrat Total (JKT) = – FK

Jumlah Kuadrat Perlakuan (JKP) = – FK

Jumlah Kuadrat Galat (JKG) = JKT – JKP

Apabila hasil sidik ragam terdapat perbedaan yang nyata (F hitung > F
tabel) maka dilakukan uji lanjut yaitu Uji Duncan’s Multiple Range test (DMRT)
pada taraf kepercayaan 95%. Menurut Jumiati (2018) adalah sebagai berikut:

18
DMRT α= Rα (ρ, DB Galat) x

Keterangan : α = Taraf uji nyata


ρ = Banyak perlakuan
R = Nilai dari tabel DMRT
KTG = Kuadrat Tengah Galat
Model RAL Non faktorial menurut Mattjik dkk. (2002) yang digunakan
adalah:
Yij = µ + Ti + εij
Keterangan : Yij : Respon atau nilai pengamatan dari perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
µ : Nilai tengah umum
εij : Pengaruh galat percobaan dari perlakuan ke-i ulangan ke-j
i : 1, 2, ... t
j : 1, 2, ... r

19
3.7. Rincian Anggaran Biaya Penelitian
Total biaya yang diperlukan dalam penelitian yaitu Rp. 3.114.000,- (tiga
juta seratus empat belas ribu rupiah). Biaya penelitian dirincikan pada Tabel 3.4.
Tabel 3.4. Rincian Anggaran Biaya Penelitian
Harga Total
No Jenis Pembiayaan Volume Satuan Satuan Harga
(Rp) (Rp)
A. Bahan
1. Biji Kakao 7 Kg 25.000 175.000
2. Aquades 5 Liter 5.000 25.000

B. Alat
3. Kertas Label 1 Pack 10.000 10.000
4. Plastik Bening 1 Pack 20.000 20.000
5. Alumunium Foil 3 Pack 23.000 69.000
6. Masker 1 Pack 28.000 28.000
7. Sarung Tangan 1 Pack 40.000 40.000
8. Alat Tulis 1 EKS 20.000 20.000

C. Biaya Analisis
9. Kadar Air 20 Sampel 12.500 250.000
10. Kadar Abu 20 Sampel 15.000 300.000
11. Kadar Lemak 20 Sampel 30.000 600.000
12. Kadar Protein 20 Sampel 45.000 900.000
13. pH 20 Sampel 5.000 100.000

D. Pembuatan Proposal
14. HVS 2 Rim 40.000 80.000
15. Jilid Biasa 4 EKS 3.000 12.000
16. Jilid Antero 5 EKS 7.000 35.000
17. Transportasi 200.000
18. Biaya Tak Terduga 1 50.000 100.000

E. Biaya Seminar
19. Seminar Proposal 50.000
20. Seminar Hasil 50.000
21. Munaqasah 50.000

20
Total 3.114.000

3.8. Jadwal Pelaksanaan Penelitian


Penelitian akan dilaksanakan pada Bulan September sampai dengan Oktober
2020. Rincian jadwal pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Tabel 3.5.
Tabel 3.5. Jadwal Pelaksanaan Penelitian.
No Pelaksanaan April September Oktober November
1. Seminar Proposal X
2. Pengambilan Sampel X
3. Persiapan Bahan dan Alat X
4. Pengeringan dengan Oven X
5. Pengamatan X
6. Analisis Data X
7. Seminar Hasil X
8. Munaqasah X

21
DAFTAR PUSTAKA

Amin, S. 2005. Teknologi Pasca Panen Kakao untuk Masyarakat Perkakaoan


Indonesia. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Press. Jakarta. 223
hal.

Andarwulan, N., F. Kusnandar., dan D, Herawati. 2011. Analisis pangan. PT.


Dian Rakyat. Jakarta. 328 hal.

Anna, N.O. 2011. Pengelolaan Panen dan Pasca Panen Tanaman Kakao
(Theobroma cacao l.) di Kebun PT. Rumpun Sari Antan 1 Cilacap Jawa
Tengah. Skripsi. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Apriyanto ,M., S. Sutardi, S. Supriyanto, E. Harmayani. 2017. Fermentasi Biji


Kakao Kering Menggunakan Saccharomyces cerevisiae, Lactobacillus
lactis dan Acetobacter aceti. AGRITECH, 37(3):302-311 hal.

Ariyanti, M .2017. Karakteristik Mutu Biji Kakao (Theobroma cacao L.) dengan
Perlakuan Waktu Fermentasi Berdasar SNI 2323-2008. Jurnal Industri
Hasil Perkebunan, 12(1): 34-42 hal.

AOAC (Association Of Analytical Communities). 2015. Official Metbods of


Analysis. Virgina: Association of Official Analyisis Chemist. Inc.

Badaruddin, M., A ,Y, E Risano, A. Suudi. 2017. Peningkatan Efisiensi Termal


Tungku Biomasa untuk Proses Pengeringan Biji Kakao di Desa Wiyono
Kabupaten Pesawaran Propinsi Lampung. Jurnal Pengabdian kepada
Masyarakat. 1-10 hal.

Brooker, D. B., F. W. A. Bakker, dan Hall, C.W., 1992, Driying and Storage of
Grains and Oil Seed. 4th edition van Nostrad USA. 450 p.

BSN [Badan Standarisasi Nasional]. 2008. Standarisasi Biji Kakao SNI 2323-
2008. Badan Standarisasi Nasional. Jakarta. 37 hal.

Bulandari, S. 2016. Pengaruh Produksi Kakao Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di


Kabupaten Kolaka Utara. Skripsi. Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas
Ekonomi Dan Bisnis Islam Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Makassar. 1-102 hal.

Dina, S. F., F. H. Napitupulu, dan H, Ambarita. 2013. Kajian Berbagai Metode


Pengeringan untuk Peningkatan Mutu Biji Kakao Indonesia. Jurnal Riset
Industri, 7 (1) : 35-52.

22
Estiasih, T., E. Waziiroh, Harijono, dan K. Fibrianto. 2016. Kimia dan Fisik
Pangan. Bumi Aksara. Jakarta. 309 hal.

Hatmi, R.U. dan S. Rustijarno. 2012. Teknologi Pengolahan Biji Kakao Menuju
SNI Biji Kakao 01 – 2323 – 2008. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
(BPTP) Sleman. Yogyakarta. 37 hal.

Hayati, R. Y. Mustafril dan H. Fauzi. 2012. Kajian Fermentasi dan Suhu


Pengeringan pada Mutu Kakao (Theobroma cacao L). Jurnal Keteknikan
Pertanian. 26 (2) : 129-134.

Heddy, S. 1990. Budidaya Tanaman Cokelat. Angkasa Bandung. Bandung. 130


hal.

Hii, C. L., A. R. Rahman, S. Jinap, and Y. B. Che Man. 2012. Quality of Cocoa
Beans Dried Using a Direct Solar Dryer at Differment Loading. Jurnal of
Science of Food and Agriculture. (86): 1237-1243.

ICCO (International Cocoa Organization). 2011. Quarterly Bulletin of Cocoa


Statistics. (2): 37 hal.

Irawan, A. 2011. Modul Laboraturium Pengeringan. Universitas Sultan Ageng


Tirtayasa Press. Banten. 16 hal.

Jumiati, Tamrin, A. Khaeruni. 2018. Analisis Mutu Kimia dan Patologis pada Biji
Kakao (Theobroma cacao L.) dengan Wadah dan Masa Simpan yang
Berbeda. J. Sains dan Teknologi Pangan, 3(5): 1601-1614 hal.

Kusumadati, W., Sutardi, dan Kartika, B. 2002. Kajian Penggunaan


Berbagai Metode Pengeringan dan Jenis Mutu Biji Kakao Lindak
Terhadap Sifat-Sifat Kimia Bubuk Kakao. Gama Sains, 4(2): 102 – 111
hal.

Mattjik, A. A. dan Sumertajaya I. M. 2002. Perancangan Percobaan dengan


Aplikasi SAS dan MINITAB. IPB Press. Bogor. 64 hal.

Oktaviana, P. R. 2010. Kajian Kadar Kurkuminoid, Total Fenol dan Aktivitas


Antioksidan Ekstrak Temulawak (Cucuma xanthorrhiza Roxb.). pada
Berbagai Teknik Pengeringan dan Proporsi Pelarutan. Skripsi. Jurusan
Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Surakarta.

Puslitbang (Pusat Penelitian dan pengembangan perkebunan). 2012. Peningkatan


Produksi dan Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.) Buletin
RISTRI, 3(1):1-16 hal.

Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia). 2004. Panduan Lengkap
Budidaya Kakao. Agromedia Pustaka. Jakarta. 328 hal.

23
Roesmanto, J. 1991. Kakao Kajian Sosial Ekonomi. Aditya Media. Yogyakarta.
164 hal.

Sandra, Andarsuryani, Santosa, dan Putri, R.E. 2010. Kajian Sifat


Fisikokimia Biji Kakao dan Karakteristik Pengeringan. Jurnal Teknologi
Andalas. 14 (2): 127–133.

Sidabariba, N.W., R. Ainun, dan B. D. Saipul. 2017. Uji Variasi Suhu


Pengeringan Biji Kakao dengan Alat Pengering Tipe Kabinet terhadap
Mutu Bubuk Kakao. J.Rekayasa Pangan dan Pert. 5 (1): 192-195.

Siregar, T. H. S., R. Slamet., dan N. Laeli. 1989. Budidaya, Pengolahan dan


Pemasaran Coklat. Penebar Swadaya. Jakarta. 168 hal.

Sudarmadji, S. Haryono dan Suhardi. 1997. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian.
Liberty. Yogyakarta. 100 hal

Sugiharti, E. 2008. Petunjuk Praktis Menanam Kakao. Binamuda Ciptakreasi.


Yogyakarta. 56 hal.

Sumardjo, D. 2009. Pengantar kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa


Kedokteran dan Program Strata I Fakultas Bioeksakta. EGC. Jakarta. 650
hal.

Wahyudi, T. R., Panggabean, Pujiyanto. 2013. Kakao: Manajemen Agribisnis


dari Hulu ke Hilir. Penebar Swadaya. Jakarta. 364 hal.

Winarno, F. G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Pustaka Utama.


Jakarta. 251 hal.

24
Lampiran 1. Tahap kerja pelaksanaan

Seminar Proposal

Pengambilan Biji Kakao PT. Inang Sari

Sortasi

Fermentasi 6-8 Hari

Pencucian

Pengupasan Pulpa

Pengeringan dengan oven 50oC, 55oC, 60oC, 65oC, dan 70oC Selama 7 Jam

Pengamatan Parameter Pengamatan


1. Kadar Lemak
2. pH
Analisis Data 3. Kadar Protein
4. Kadar Abu
5. Kadar Air
Seminar Hasil

Munaqasah

25

Anda mungkin juga menyukai