Anda di halaman 1dari 24

KAJIAN PENERAPAN EARMARKING CUKAI HASIL TEMBAKAU DI

INDONESIA (PERIODE TAHUN 2006 S.D. 2016)

Renny Sukmono

Jurusan Kepabeanan dan Cukai, Politeknik Keuangan Negara STAN, Tangerang


Selatan, 15222

E-mail: rhey.sukmo@gmail.com

INFORMASI ARTIKEL 2.4%. While unreceiver regents of DBH CHT


poverty decrese averageis 2.1%. For Economic
growth average from 2012 to 2016, in the
Tanggal masuk receiver regents of DBH CHT is higher for about
[25-04-2019] 4,44% and in unreceiver regents of DBH CHT
is lower for about 3,69%.
Revisi
[25-04-2019] Key Words: DBH CHT, Earmarking,
Unemployment Degree, Poverty Degree, and
Tanggal terima Economic Growth Degree.
[14-05-2019]
ABSTRAK
ABSTRACT Sebagai bentuk earmarking cukai hasil
tembakau, pemerintah mengalokasikan Dana
As tax earmarking form of tobacco product, the Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT)
government has located Product Shared Fund of ke sejumlah propinsi di Indonesia. Tujuan
Tobacco Product Tax (DBH CHT) to many kebijakan ini adalah untuk mengendalikan
provinces in Indonesia. The aim of this policy is konsumsi produk tembakau dan sekaligus
to manage tobacco product consume and also membantu masyarakat umum yang berada di
help common societies who live around tobaccco sekitar konsumen produk tembakau dan industri
product consumer and tobacco product industry produk tembakau yang menanggung dampak
that carry on negative effect as the result of negatif akibat produksi dan konsumsi produk
tobacco product consume and production. tembakau. Namun, sampai dengan tahun 2016
However, until 2016 people proportion who proporsi penduduk yang menghisap/mengunyah
smoke/chew tobacco has increased. It has been tembakau makin meningkat. Pada daerah
proved that in the allocation receiver regents of penerima alokasi DBH CHT memang terbukti
DBH CHT unemployed people are more than jika tingkat penganggurannya lebih rendah
employed people. In the other hand the regents dibandingkan dengan daerah bukan penerima.
that don’t receive DBH CHT have more Rata-rata tingkat pengangguran dari tahun 2012
employed people. The average of unemployment s.d 2016 cenderung meningkat. Namun rata-rata
from 2012 until 2016 increased. However the peningkatan pada daerah penerima lebih rendah
increasing average at reciever regents is lower dibandingkan daerah bukan penerima yaitu
than in the unreciever regents i.e 6.756% for 6,756%, sedangkan pada daerah bukan penerima
reciever regents and 11.83% for unreciever sebesar 11,83%. Di satu sisi, industri rokok dapat
regents. In one side, cigarette industry can menyerap tenaga kerja, namun rokok
absorb workers, however cigarette causes menyebabkan dampak negatif yang tidak kalah
negative effect such as the high cost of health hebat misalnya biaya kesehatan yang besar yang
released by societies and also the government dikeluarkan baik oleh masyarakat maupun
and national productivity decreases. While the pemerintah dan turunnya produktifitas nasional.
decrease average of poverty from 2012 to 2016, Sedangkan untuk rata-rata penurunan tingkat
the allocation receiver regents of DBH CHT kemiskinan dari tahun 2012 s.d 2016, penerima
have bigger poverty decrese average if it is alokasi DBH CHT memiliki rata-rata penurunan
compared with receiver regents of DBH CHT e.i

41
tingkat kemiskinan yang lebih besar jika
dibandingkan daerah bukan penerima DBH CHT
yaitu 2,4% sedangkan pada daerah bukan
penerima turun rata-rata 2,1%. Untuk rata-rata
pertumbuhan ekonomi dari tahun 2012 s.d 2016
pada daerah penerima lebih besar jika
dibandingkan dengan daerah bukan penerima,
yaitu 4,44% sedangkan pada daerah bukan
penerima sebesar 3,69%.

Kata Kunci: DBH CHT, Earmarking, Tingkat


Pengangguran, Tingkat Kemiskinan, dan
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi.

42
1. PENDAHULUAN monitoring tobacco use and prevention
policies (kebijakan pencegahan dan
1.1 Latar Belakang pemantauan penggunaan tembakau), P
Tujuan penerapan earmarking cukai untuk protecting people from tobacco
hasil tembakau di Indonesia masih belum smoke (melindungi masyarakat dari
tercapai sampai dengan saat ini yaitu rokok), O untuk offering help to quit
untuk mengendalikan konsumsi produk tobacco use (menawarkan bantuan untuk
tembakau dan sekaligus membantu berhenti menggunakan produk
masyarakat umum yang berada di sekitar tembakau), W untuk warning about the
konsumen produk tembakau dan industri dangers of tobacco (peringatan tentang
produk tembakau yang menanggung bahaya produk tembakau), E untuk
dampak negatif akibat produksi dan enforcing bans on tobacco advertising,
konsumsi produk tembakau. Proporsi promotion and sponsorship (menegakkan
penduduk yang menghisap dan larangan iklan, promosi dan sponsor
mengunyah tembakau cenderung naik rokok), dan R untuk raising taxes on
dari tahun ke tahun hampir di seluruh tobacco (menaikkan pajak atas produk
wilayah Indonesia. Seiring dengan hal tembakau). Langkah-langkah WHO
ini, dampak negatif rokok pun juga inilah yang seharusnya dijadikan sumber
semakin meningkat. Perokok pasif acuan bagi negara-negara untuk
menanggung akibat yang tidak kalah mengantisipasi dan mengatasi dampak
parah dari ke lompok perokok aktif. konsumsi produk tembakau.
Dampak negatif rokok tidak hanya pada Sementara itu, kebijakan earmarking
perokok tetapi juga pada orang-orang di yang diterapkan oleh pemerintah
sekitarnya. Data World Health Indonesia sesuai dengan penjelasan pasal
Organization (WHO) tahun 2014 66A ayat 1 Undang-Undang Nomor 39
menyatakan bahwa epidemi tembakau Tahun 2007 tentang Cukai yaitu dengan
telah membunuh sekitar 6 juta orang per memberikan Dana Bagi Hasil Cukai
tahun, dimana 600ribu diantaranya Hasil Tembakau (DBH CHT) kepada
adalah perokok pasif. Perokok daerah karena barang kena cukai berupa
membebankan biaya keuangan dan risiko hasil tembakau memiliki sifat atau
fisik tidak hanya kepada dirinya sendiri karakteristik yang konsumsinya perlu
tetapi juga orang lain. Seharusnya dikendalikan dan diawasi serta
perokok sajalah yang menanggung semua memberikan dampak negatif bagi
“biaya” atau kerugian akibat merokok. masyarakat. Penggunaan DBH CHT
Tetapi pada kenyataannya peroko diarahkan untuk mendanai lima kegiatan
membebankan secara fisik dan ekonomi utama yaitu (1) peningkatan kualitas
kepada orang lain juga. Beban ini tembakau sebagai bahan baku, (2)
meliputi risiko orang lain yang terkena pengembangan industri tembakau, (3)
asap rokok di lingkungan sekitarnya dan pengembangan lingkungan sosial, (4)
biaya yang dibebankan pada masyarakat sosialisasi ketentuan cukai dan (5)
untuk pelayanan kesehatan. pemberantasan barang kena cukai illegal.
WHO pada tahun 2008 telah Sitepu, E.M.P (2016) menyatakan bahwa
memperkenalkan langkah-langkah yang kebijakan yang sejalan dengan keinginan
dikenal dengan MPOWER sebagai aksi untuk mengendalikan konsumsi produk
global untuk mengontrol konsumsi tembakau hanya pada poin ketiga yaitu
produk tembakau. MPOWER merupakan pengembangan lingkungan sosial.
singkatan dari beberapa kebijakan yang Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal
dibuat oleh WHO, yaitu M untuk 66A ayat (1) Undang-Undang Nomor 39

43
Tahun 2007 tentang cukai, pengggunaan a. Pembinaan kemampuan dan
DBH CHT diatur lebih lanjut dalam keterampilan kerja masyarakat di
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) lingkungan industri hasil tembakau
Nomor 84/PMK.07/2008 sebagaimana dan/atau daerah penghasil bahan baku
telah diubah terakhir dengan PMK industri hasil tembakau.
Nomor 28/PMK.07/2016 pasal 11 PMK b. Penerapan manajemen limbah
tersebut mengatur tentang kegiatan- industri hasil tembakau yang
kegiatan pengembangan lingkungan mengacu kepada analisis dampak
sosial adalah sebagai berikut: lingkungan (AMDAL).
a. Pembinaan dan pelatihan c. Penetapan Kawasan Tanpa Rokok
keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan pengadaan tempat khusus untuk
dan masyarakat, penguatan sarana merokok di tempat umum.
dan prasarana kelembagaan pelatihan, d. Peningkatan derajat kesehatan
serta pelayanan penempatan tenaga masyarakat dengan penyediaan
kerja dan perluasan kesempatan kerja fasilitas perawatan kesehatan bagi
bagi pencari kerja. penderita akibat asap rokok.
b. Penyediaan/pemeliharaan sarana e. Penguatan sarana dan prasarana
pelayanan kesehatan bagi masyarakat kelembagaan pelatihan bagi tenaga
yang terkena penyakit akibat dampak kerja industri hasil tembakau,
konsumsi rokok dan penyakit lainnya. dan/atau penguatan ekonomi
c. Pembangunan/rehabilitasi/pemelihar masyarakat di lingkungan industri
aan jalan, saluran air limbah, sanitasi hasil tembakau dalam rangka
dan air bersih. pengentasan kemiskinan, mengurangi
d. Penyediaan sarana dan prasarana pengangguran dan mendorong
pengolahan limbah industri hasil pertumbuhan ekonomi daerah,
tembakau. dilaksanakan antara lain melalui
e. Penerapan sistem manajemen bantuan permodalan dan sarana
lingkungan bagi masyarakat di produksi.
lingkungan industri hasil tembakau Namun, hal ini belum sesuai dengan
dan/atau penghasil bahan baku apa yang diharapkan pemerintah, yaitu
industri hasil tembakau. sesuai dengan data Riset Kesehatan
f. Penguatan ekonomi masyarakat Daerah (Riskesdas) diketahui bahwa
melalui kegiatan padat karya yang dalam kurun waktu 9 tahun semenjak
dapat mengentaskan kemiskinan, implementasi dana bagi hasil
mengurangi pengangguran dan (earmarking) cukai hasil tembakau yaitu
mendorong pertumbuhan ekonomi dari tahun 2008 sampai dengan 2016,
daerah. eksternalitas negatif yang timbul akibat
Upaya pengendalian konsumsi merokok justru semakin meningkat (lihat
produk tembakau telah dilakukan Gambar 1).
pemerintah, salah satunya dengan
memberikan DBH CHT sejak tahun
2008. Pada tahun 2009 juga telah
dikeluarkan PMK Nomor
20/PMK.07/2009 yang mengatur lebih
detail tentang penggunaan DBH CHT.
Pada peraturan tersebut dijelaskan bahwa
kegiatan pembinaan lingkungan sosial
meliputi:

44
kadang-kadang tidak berhubungan
dengan penyakit akibat asap rokok.
Penyediaan fasilitas kesehatan ini lebih
menekankan pada upaya penanggulangan
bukan pada upaya pencegahan. Untuk itu,
dampak dari iklan rokok yang semakin
gencar menjadi tidak lagi terbendung.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan
Gambar 1. Prevalensi Penduduk Berusia (PMK) Nomor 84/PMK.07/2008
Minimal 15 Tahun Menurut Kebiasaan sebagaimana telah diubah terakhir
Merokok dan Mengunyah Tembakau dengan PMK Nomor 28/PMK.07/2016
Berdasarkan Propinsi di Indonesia pasal 11 PMK yang mengatur kegiatan
Tahun 2007, 2010 dan 2013 pengembangan sosial yang salah satu
kegiatannya adalah penguatan ekonomi
Sumber: Riskedas, BPS masyarakat melalui kegiatan padat karya
yang dapat mengentaskan kemiskinan,
Gambar 1 menunjukkan bahwa mengurangi pengangguran dan
proporsi penduduk yang berusia minimal mendorong pertumbuhan ekonomi
15 tahun yang merokok dan mengunyah daerah. Sesuai dengan realisasi anggaran
tembakau cenderung meningkat. alokasi DBH CHT tahun 2016, sebagian
Tentunya hal ini bertolak belakang alokasi untuk program pembinaan
dengan tujuan earmarking cukai hasil lingkungan sosial adalah untuk
tembakau. Sitepu, E.M.P (2016) memberikan pembinaan dan pelatihan
menyatakan bahwa earmarking cukai di keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan
Indonesia melalui DBH CHT lebih masyarakat. Hal inilah yang mendorong
cenderung digunakan untuk mendorong peneliti untuk meneliti apakah alokasi
peningkatan produktifitas produk DBH CHT mampu mendorong penguatan
tembakau. Sehingga sangat wajar jika hal ekonomi masyarakat yang terindikasi
ini menjadi salah satu penyebab proporsi melalui turunnya tingkat kemiskinan,
penduduk yang merokok atau mengunyah menurunnya tingkat pengangguran dan
tembakau usia minimal 15 tahun semakin meningkatnya pertumbuhan ekonomi di
meningkat. daerah.
Berdasarkan laporan realisasi Berdasarkan latar belakang yang
anggaran DBH CHT dari propinsi telah diuraikan sebelumnya dapat
penerima yang diterima oleh DJPK, pada dirumuskan permasalahan pada
tahun 2016 realisasi anggaran yang penelitian ini adalah bagaimanakah
terbesar dialokasikan pada kegiatan implementasi earmarking cukai hasil
pembinaan lingkungan sosial dan terbesar tembakau (DBH CHT) di Indonesia.
kedua adalah peningkatan kualitas bahan Implementasi akan dilihat dari tiga
baku. Pada komponen pembinaan kacamata yaitu dari tingkat
lingkungan sosial, alokasi terbesar adalah pengangguran, tingkat kemiskinan, dan
digunakan oleh Dinas Kesehatan yaitu pertumbuhan ekonomi di provinsi-
untuk menambah dan melengkapi provinsi penerima. Untuk tujuan dari
fasilitas kesehatan untuk membantu penelitian ini adalah untuk mengetahui
orang-orang yang terkena dampak asap bagaimana dampak pemberian alokasi
rokok. Namun, tidak dipungkiri bahwa DBH CHT terhadap provinsi-provinsi
ditemukan sejumlah kasus dimana penerima.
fasilitas kesehatan yang diadakan

45
2. LANDASAN TEORI hasil cukai merupakan bagian kapasitas
fiskal yang perhitungannya disesuaikan
2.1 Dana Bagi Hasil Cukai Hasil dengan formula Dana Alokasi Umum
Tembakau (DAU) yang setiap tahun ditetapkan
Penerimaan cukai dari tahun ke tahun dalam pembahasan RAPBN. Selanjutnya,
terus mengalami peningkatan, walaupun penjelasan Pasal 66A ayat 3 Undang-
pengenaan cukai tidak dimasukkan Undang tersebut menguraikan bahwa
semata-mata untuk tujuan penerimaan pembagian, pengelolaan, dan
negara. Berdasarkan data APBN 2005- penggunaan pembagian DBH CHT
2015, penerimaan cukai naik dari Rp kepada kabupaten/kota penyumbang
33,25 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp cukai hasil tembakau dan dihitung
145,7 triliun pada tahun 2015 (terjadi berdasarkan kontribusi penerimaan cukai
kenaikan sebesar 438,23%). Pada tahun hasil tembakaunya.
2007, pemerintah bersama-sama dengan DBH CHT sebagian besar
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dialokasikan di tingkat kabupaten/kota
mengeluarkan Undang-Undang Nomor dan bukan di tingkat provinsi. Dana
39 Tahun 2007 tentang cukai yang earmarking cukai hasil tembakau berasal
merupakan perubahan atas Undang- dari cukai yang dikenakan pada produk
Undang Nomor 11 Tahun 1995. Dalam tembakau yang diproduksi di dalam
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 negeri, dimana sebesar 2%
diatur bahwa penerimaan cukai dari cukai didistribusikan ke provinsi penghasil
hasil tembakau yang dibuat di Indonesia tembakau. Dalam pengelolaan dan
dibagikan kepada provinsi penghasil penggunaan dana tersebut, Gubernur
cukai hasil tembakau sebesar 2% yang mengatur distribusi dana untuk cukai
digunakan untuk mendanai peningkatan tembakau kepada Bupati/Walikota di
kualitas bahan baku, pembinaan industri, daerah masing-masing sesuai dengan
pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi kontribusi pendapatan cukai tembakau.
ketentuan di bidang cukai, dan/atau Distribusi DBH CHT dilakukan
pemberantasan barang kena cukai illegal berdasarkan persetujuan Menteri
(Pasal 66A ayat 1). Ketentuan Keuangan (dengan menerbitkan
sebagaimana tersebut sebelumnya Peraturan Menteri Keuangan), dengan
mengenai dana bagi hasil cukai hasil komposisi 30% untuk provinsi penghasil,
tembakau tidak diatur dalam Undang- 40% untuk kabupaten/kota daerah
Undang Nomor 11 Tahun 1995. penghasil, dan 30% untuk kabupaten/kota
Penjelasan Pasal 66A ayat 1 Undang- lainnya dalam provinsi tersebut. Dari
Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang total DBH CHT untuk periode 2008-2016
Cukai mengatur bahwa cukai hasil sebesar Rp15,095 triliun, provinsi hanya
tembakau yang dibuat di Indonesia mendapatkan 30% dari total atau Rp4,529
dibagihasilkan kepada daerah karena triliun. Sisanya 70% dialokasikan untuk
barang kena cukai berupa hasil tembakau kabupaten/kota yang memberikan
memiliki sifat atau karakteristik yang kontribusi penerimaan cukai tembakau.
konsumsinya perlu dikendalikan dan Perhitungan dana earmarking cukai
diawasi serta memberikan dampak hasil tembakau dialokasikan ke provinsi
negatif bagi masyarakat dan yang menghasilkan barang atau produk
mengoptimalkan upaya penerimaan tembakau kena cukai (sebelum
negara dari cukai. Pengendalian dan didistribusikan oleh Provinsi untuk
pengawasan dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota) sebagaimana diatur
Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana bagi dalam Peraturan Menteri Keuangan

46
Nomor 145/PMK.07/2013 menggunakan yang terkena penyakit akibat dampak
pola sebagai berikut: konsumsi rokok dan penyakit lainnya;
a. Variabel-variabel yang digunakan d. pembangunan/rehabilitasi/pemelihar
dalam menetapkan dasar pembagian aan jalan, saluran air limbah, sanitasi,
DBH CHT yaitu: (i) persentase dan air bersih;
realisasi penerimaan cukai hasil e. penyediaan sarana dan prasarana
tembakau tahun sebelumnya terhadap pengolahan limbah industri hasil
realisasi penerimaan cukai hasil tembakau;
tembakau nasional; (ii) persentase f. penerapan sistem manajemen
rata-rata produksi tembakau kering lingkungan bagi masyarakat di
suatu provinsi selama 3 (tiga) tahun lingkungan industri hasil tembakau
terakhir terhadap rata-rata produksi dan/atau penghasil bahan baku
tembakau kering nasional; (iii) industri hasil tembakau; dan/atau
persentase invers Indeks g. penguatan ekonomi masyarakat
Pembangunan Manusia suatu melalui kegiatan padat karya yang
provinsi tahun sebelumnya terhadap dapat mengentaskan kemiskinan,
invers Indeks Pembangunan Manusia mengurangi pengangguran, dan
seluruh provinsi penerima cukai hasil mendorong pertumbuhan ekonomi
tembakau. daerah.
b. Tiap-tiap variabel ditetapkan dengan Kepala daerah bertanggung jawab
bobot sebagai berikut: (i) penerimaan terhadap penggunaan DBH CHT untuk
cukai hasil tembakau sebesar 58%; program/kegiatan sebagaimana dimaksud
(ii) rata-rata produksi tembakau dengan memperhatikan karakteristik
kering sebesar 38%; (iii) persentase daerah, yang meliputi:
invers Indeks Pembangunan Manusia a. provinsi penghasil cukai dan
sebesar 4%. penghasil tembakau;
Sebagai peraturan pelaksanaan dari pasal b. provinsi penghasil cukai;
66A ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 c. provinsi penghasil tembakau;
Tahun 2007 tentang Cukai, penggunaan d. kabupaten/kota penghasil cukai dan
DBH CHT diatur lebih lanjut dalam penghasil tembakau;
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) e. kabupaten/kota penghasil cukai;
Nomor 84/PMK.07/2008 sebagaimana f. kabupaten/kota penghasil tembakau;
telah diubah terakhir dengan PMK dan/atau
Nomor 28/PMK.07/2016. Pasal 11 PMK g. kabupaten/kota nonpenghasil.
tersebut mengatur tentang kegiatan-
kegiatan pembinaan lingkungan sosial
2.2 Tingkat Kemiskinan
sebagai berikut: Untuk mengukur kemiskinan BPS
a. pembinaan dan pelatihan menggunakan konsep kemampuan
keterampilan kerja bagi tenaga kerja memenuhi kebutuhan dasar (basic need
dan masyarakat; approach). Dengan pendekatan ini,
b. penguatan sarana dan prasaran kemiskinan dipandang sebagai
kelembagaan pelatihan, serta ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk
pelayanan penempatan tenaga kerja, memenuhi kebutuhan dasar makanan dan
dan perluasan kesempatan kerja bagi bukan makanan yang diukur dari sisi
pencari kerja; pengeluaran. Jadi penduduk miskin
c. penyediaan/pemeliharaan sarana adalah penduduk yang memiliki rata-rata
pelayanan kesehatan bagi masyarakat pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan.

47
Garis kemiskinan merupakan pengangguran dapat dilakukan dengan
penjumlahan dari Garis Kemiskinan menggunakan dua mekanisme yaitu:
Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan a. Pendekatan Angkatan Kerja Besar
Non Makanan (GKNM). GKM kecilnya tingkat pengangguran
merupakan nilai pengeluaran kebutuhan dihitung berdasarkan persentase dari
minimum makanan yang disetarakan perbandingan jumlah antara orang
dengan 2100 kalori perkapita per hari. menganggur dengan jumlah angkatan
Paket komoditi kebutuhan dasar makanan kerja.
diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi- b. Pendekatan Pemanfaatan Angkatan
padian umbi-umbian, ikan, daging, telur Kerja
dan susu, sayuran, kacang-kacangan, Untuk menentukan besar kecilnya tingkat
buah-buahan, minyak dan lemak, dll). pengangguran berdasarkan pemanfaatan
GKNM merupakan kebutuhan minimum angkatan kerja dapat dilakukan melalui
untuk perumahan, sandang, pendidikan dua pendekatan yaitu:
dan kesehatan. Peket komoditi kebutuhan 1. Bekerja penuh (employed) yaitu
dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis orang-orang yang bekerja penuh atau
komoditi di perkotaan dan 47 jenis jam kerjanya mencapai 35 jam per
komoditi di pedesaan. minggu.
Persentase penduduk miskin 2. Setengah menganggur
ditunjukkan melalui penghitungan Head (underemployed) yaitu mereka yang
Count Index (HCI-P0) yang merupakan bekerja, tetapi belum dimanfaatkan
persentase penduduk yang berada di secara penuh atau dengan kata lain
bawah garis kemiskinan (GK). Formulasi jam kerjanya tidak mencapai 35 jam
penghitungan persentase jumlah per minggu.
penduduk miskin adalah sebagai berikut: Menurut Case (2004) dalam bukunya
𝑞
1 𝑧 − 𝑦𝑖 𝛼 prinsip-prinsip ekonomi makro,
𝑃𝛼 = ∑ [ ] pengangguran dapat dibedakan dalam
𝑛 𝑧 beberapa jenis yaitu:
𝑖=1
Dimana: a. Pengangguran Friksional
𝛼=0 Pengangguran friksional adalah
z = garis kemiskinan bagian pengangguran yang
yi = rata-rata pengeluaran per kapita disebabkan oleh kerja normalnya
sebulan penduduk yang berada di bawah pasar tenaga kerja. Istilah ini muncul
garis kemiskinan (i=1,2,3, …, q) ; yi < z pada percobaan pekerjaan atau
q = banyaknya penduduk yang berada keterampilan jangka pendek. Selain
di bawah garis kemiskinan itu, pengangguran friksional juga
n = jumlah penduduk muncul sebagai dampak dari
perubahan persyaratan kerja seiring
2.3 Tingkat Pengangguran dengan dinamika ekonomi yang
Pengangguran secara luas dapat terjadi. Jenis pengangguran ini juga
diartikan sebagai penduduk yang tidak dapat terjadi karena berpindah-
bekerja tetapi sedang mencari pekerjaan pindahnya seseorang dari pekerjaan
atau sedang mempersiapkan suatu usaha satu ke pekerjaan lainnya, sehingga
baru atau penduduk yang tidak mencari menimbulkan jeda waktu
pekerjaan karena sudah diterima bekerja menganggur.
tetapi belum mulai bekerja. Untuk b. Pengangguran Musiman
mengetahui besar kecilnya tingkat Pengangguran musiman adalah
pengangguran yang terjadi pada

48
masa-masa tertentu saja dalam satu tidak menghasilkan sesuatu yang
tahun. Biasanya pengangguran ini baik.
terjadi di bidang pertanian, yaitu
dimana masa bercocok tanam sedang 2.4 Pertumbuhan Ekonomi
menurun kesibukannya. Pertumbuhan ekonomi menurut
c. Pengangguran Siklis Budiono (1999) merupakan proses
Pengangguran siklis atau disebut juga kenaikan kapasitas produksi dalam suatu
pengangguran konjungtur adalah perekonomian secara berkesinambungan
pengangguran yang diakibatkan oleh menuju kearah yang lebih baik yang
perubahan-perubahan dalam kegiatan diwujudkan ke dalam bentuk kenaikan
perekonomian. Pada waktu kegiatan pendapatan nasional (Produk Domestik
perekonomian mengalami Bruto) maupun pendapatan daerah
kemunduran, perusahaan harus (Produk Domestik Regional Bruto) dalam
mengurangi jumlah produksinya. Hal jangka panjang. Pertumbuhan ekonomi
ini berdampak pada pengurangan jam disini meliputi tiga aspek yaitu: (i)
kerja pegawai, mesin yang ada pertumbuhan ekonomi merupakan suatu
sebagian tidak dioperasikan sehingga proses (aspek ekonomis) suatu
sebagian pekerja diberhentikan. perekonomian berkembang, berubag dari
d. Pengangguran Struktural waktu ke waktu; (ii) pertumbuhan
Pengangguran struktural terjadi ekonomi berkaitan dengan adanya
karena sifatnya yang mendasar, yaitu kenaikan output perkapita, dalam hal ini
dimana para pencari kerja tidak bisa ada dua aspek penting yaitu output total
memenuhi persyaratan yang dan jumlah penduduk. Output perkapita
dibutuhkan untul lowongan pekerjaan adalah output total dibagi jumlah
yang tersedia. Hal ini bisa terjadi penduduk; (iii) pertumbuhan ekonomi
karena perkembangan ekonomi yang dikaitkan dengan perspektif jangka
sangat pesat atau makin rumitnya panjang. Sedangkan PDRB menurut
proses produksi yang digunakan. Badan Pusat Statistik (BPS) merupakan
Sedangkan terdapat 4 bentuk jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh
pengangguran antara lain: seluruh unit produksi, baik berupa barang
1. Pengangguran terbuka (open dan jasa dalam suatu wilayah.
unemployment) adalah mereka yang Terdapat dua acara perhitungan
mampu dan sering kali sangat ingin PDRB, yaitu mekanisme atas dasar harga
bekerja tetapi tidak tersedia pekerjaan berlaku dan mekanisme atas dasar harga
yang cocok dengan mereka. konstan. PDRB atas dasar harga berlaku
2. Setengah menganggur (under menggambarkan nilai tambah barang dan
employment) adalah mereka yang jasa yang dihitung menggunakan harga
secara nominal bekerja penuh namun pada setiap tahunnya, digunakan untuk
produktifitasnya rendah sehingga menunjukkan besarnya struktur
pengurangan jam kerjanya tidak perekonomian dan peranan sektor
mempunyai arti atau produksi secara ekonomi yang ada. Sedangkan PDRB
keseluruhan. atas harga dasar konstan menggambarkan
3. Tenaga kerja yang lemah (impaired) nilai tambah barang dan jasa yang
adalah mereka yang mungkin bekerja dihitung menggunakan harga pada tahun
penuh tetapi intensitasnya lemah tertentu sebagai dasar acuan yang ada,
karena kurang gizi atau penyakitan. digunakan untuk melihat pola
4. Tenaga kerja yang tidak produktif pertumbuhan dari tahun ke tahun.
adalah mereka yang bekerja namun

49
Pertumbuhan ekonomi dipengaruhi Provinsi di
oleh dua faktor yaitu faktor ekonomi dan Indonesia tahun
faktor non-ekonomi. Faktor ekonomi 2015 dan tahun
meliputi sumber alam, modal, organisasi, 2016
kemajuan teknologi, pembagian kerja dan 2 Tingkat BPS
skala produksi. Sedangkan faktor non- Pengangguran
ekonomi meliputi faktor sosial, faktor Provinsi di
sumber daya manusia, faktor politik dan Indonesia tahun
faktor administratif. 2015 dan tahun
Untuk mengetahui maju tidaknya 2016
suatu perekonomian diperlukan adanya 3 Produk Domestik BPS
suatu alat pengukur yang tepat. Alat Bruto Atas Dasar
pengukur pertumbuhan perekonomian Harga Konstan
ada beberapa macam diantaranya: Provinsi di
a. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia Tahun
Produk Domestik Bruto merupakan 2015 dan Tahun
jumlah barang dan jasa akhir yang 2016
dihasilkan oleh suatu perekonomian 4 Riset Kesehatan Kemenkes
dalam satu tahun dan dinyatakan dalam Dasar Tahun 2007 RI
harga pasar. dan Tahun 2013
b. Produk Domestik Bruto Per Kapita 5 Laporan Realisasi DJPK –
Produk Domestik Bruto Per Kapita Penggunaan DBH Kemenkeu
merupakan jumlah PDB nasional dibagi CHT Per Program RI
dengan jumlah penduduk atau dapat Tahun 2016
disebut dengan PDB rata-rata atau PDB
per kepala. Provinsi penerima pada penelitian ini
c. Pendapatan Per Jam Kerja adalah provinsi-provinsi yang menerima
Pendapatan Per Jam Kerja merupakan alokasi DBH CHT.
upah atau pendapatan yang dihasilkan per
jam kerja. Biasanya suatu negara yang 3.2 Definisi Operasional Variabel
mempunyai tingkat upah per jam lebih Variabel-variabel yang digunakan
tinggi daripada negara lain, boleh pada penelitian ini adalah sebagai
dikatakan bahwa negara tersebut lebih berikut:
maju dibandingkan negara lain. Tabel 2
Definisi Operasional Variabel
3. METODE PENELITIAN Variabel Definisi
Perubahan Selisih Tingkat
3.1 Jenis dan Sumber Data Tingkat Pengangguran per
Penelitian ini menggunakan data- Pengangguran Februari 2016 dengan
data sekunder yang diterbitkan oleh Tingkat
beberapa instansi yaitu: Pengangguran Per
Agustus 2016
Tabel 1 Perubahan Selisih Tingkat
Data yang Digunakan dan Sumbernya Tingkat Kemiskinan per Maret
Instansi Kemiskinan 2016 dengan Tingkat
No Data Kemiskinan Per
Penerbit
1 Tingkat BPS September 2016
Kemiskinan

50
Pertumbuhan Selisih PDB ADHK H1 : 𝜇1 − 𝜇2 ≠ 𝑑0
Ekonomi pada tahun 2016 atau
dengan tahun 2017 H0 : 𝜇1 − 𝜇2 = 𝑑0
H1 : 𝜇1 − 𝜇2 > 𝑑0
3.3 Metode Analisis Data atau
Metode analisis yang digunakan H0 : 𝜇1 − 𝜇2 = 𝑑0
dalam penelitian adalah gabungan antara H1 : 𝜇1 − 𝜇2 < 𝑑0
metode kuantitatif dan kualitatif. Metode Pengamatan Berpasangan:
kuantitatif yang digunakan adalah dengan H0 : 𝜇𝐷 = 𝑑0
melihat deskriptif statistik data dan uji H1 : 𝜇𝐷 < 𝑑0
beda rata-rata menggunakan uji rata-rata - Menentukan tingkat keyakinan
untuk dua sampel yang saling bebas, yaitu Tingkat keyakinan adalah seberapa besar
untuk menguji perbedaaan antara rata- keyakinan peneliti bahwa kesimpulan
rata periode tertentu dengan periode yang dihasilkan adalah benar.
sebelumnya. Dua sampel acak yang bebas - Menentukan daerah kritis
berukuran masing-masing n1 dan n2 Derah kritis merupakan sebuah interval
diambil dari dua populasi dengan rataan yang memberikan petunjuk bagi peneliti
𝜇1 dan 𝜇2 dan variansi 𝜎12 dan 𝜎22 . untuk menerima atau menolak hipotesis.
Terdapat beberapa alternatif pengujian - Menentukan Statistik Uji
dua rataan berdasarkan diketahui atau - Penarikan kesimpulan
tidaknya variansi. Langkah-langkah Tabel untuk statistik uji dan daerah kritis
dalam melakukan uji dua rataan adalah untuk setiap karakteristik pada uji dua
sebagai berikut: rataan disajikan pada Tabel 3.
- Menentukan hipotesis
H0 : 𝜇1 − 𝜇2 = 𝑑0

Tabel 3
Statistik Uji dan Daerah Kritis Uji Dua Rataan
No H0 Nilai Statistik Uji H1 Daerah Kritis
1 𝜇1 − 𝜇2 Variansi Diketahui 𝜇1 − 𝜇2 < 𝑑0 𝑧 < −𝑧𝛼
= 𝑑0 (𝑥̅1 − 𝑥̅ 2 ) − 𝑑0
𝑧= 𝜇1 − 𝜇2 > 𝑑0 𝑧 > 𝑧𝛼
√(𝜎 2 ⁄𝑛 ) + (𝜎 2 ⁄𝑛 )
1 1 2 2

𝜇1 − 𝜇2 ≠ 𝑑0 𝑧 < −𝑧𝛼⁄2 atau


𝑧 > 𝑧𝛼⁄2
2 𝜇1 − 𝜇2 Varians Tidak Diketahui dan 𝜇1 − 𝜇2 < 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼
= 𝑑0 Dianggap Sama
(𝑥̅1 − 𝑥̅2 ) − 𝑑0 𝜇1 − 𝜇2 > 𝑑0 𝑡 > 𝑡𝛼
𝑡=
𝑠𝑝 √(1⁄𝑛1 ) + (1⁄𝑛2 )
𝜇1 − 𝜇2 ≠ 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼⁄2 atau
v = 𝑛1 + 𝑛2 − 2 𝑡 > 𝑡𝛼⁄2

𝑠𝑝2
(𝑛1 − 1)𝑠12 + (𝑛2 − 1)𝑠22
=
𝑛1 + 𝑛2 − 2
3 𝜇1 − 𝜇2 Varians Tidak Diketahui dan 𝜇1 − 𝜇2 < 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼
= 𝑑0 dianggap Berbeda

51
No H0 Nilai Statistik Uji H1 Daerah Kritis
(𝑥̅1 − 𝑥̅2 ) − 𝑑0 𝜇1 − 𝜇2 > 𝑑0 𝑡 > 𝑡𝛼
𝑡=
√(𝑠12 ⁄𝑛1 ) + (𝑠22 ⁄𝑛2 )
𝜇1 − 𝜇2 ≠ 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼⁄2 atau
2 𝑡 > 𝑡𝛼⁄2
((𝑠12 ⁄𝑛1 ) + (𝑠22 ⁄𝑛2 ))
𝑣= 2 2
(𝑠12 ⁄𝑛1 ) (𝑠22 ⁄𝑛2 )
(𝑛1 −1)
+ (𝑛2 −1)
4 𝜇𝐷 = 𝑑0 Pengamatan Berpasangan 𝜇𝐷 < 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼
𝑑̅ − 𝑑0
𝑡= 𝜇𝐷 > 𝑑0 𝑡 > 𝑡𝛼
𝑠𝑑 √𝑛
v = n-1
𝜇𝐷 ≠ 𝑑0 𝑡 < −𝑡𝛼⁄2 atau
𝑡 > 𝑡𝛼⁄2

4. ANALISIS DATA DAN


PEMBAHASAN

Pada Bagian Analisis dan


Pembahasan ini akan dilihat
bagaimanakah pengaruh rokok di
Indonesia dari tahun ke tahun dan
selanjutnya akan dilihat bagimanakah
dampak pemberian DBH CHT kepada
provinsi-provinsi penerima alokasi DBH
CHT.

4.1 “Perokok” di Indonesia


Gambar 2 menunjukkan bahwa
Gambar 2. Prevelensi Perokok Remaja
sebelum adanya kebijakan pengalokasian
(15-19 Tahun)
DBH CHT pada tahun 2008, berdasarkan
beberapa riset yang dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan dapat diketahui Dari tahun 2010 sampai tahun 2013
bahwa prevelensi perokok remaja prevelensi perokok remaja mengalami
mengalami kenaikan, dari 7,1% pada penurunan yaitu dari 20,3 % menjadi 18,3
tahun 1995 naik menjadi 12,7%. %. Namun dapat dilihat bahwa prevelensi
Peningkatan prevelensi perokok remaja perokok pada perempuan mengalami
masih berlanjut pada survey tahun 2004 kenaikan yaitu dari 0,9 % menjadi 3,1 %.
yaitu menjadi 17,3% dan naik kembali Kenaikan yang cukup signifikan
pada tahun 2007 sebesar 18,8%. dibandingkan dengan kenaikan
prevelensi perokok perempuan pada
tahun-tahun sebelumnya.
Hal yang tidak kalah
mengkhawatirkan adalah proporsi
perokok pemula yaitu perokok yang
berusia 10 sampai dengan 14 tahun.
Dapat dilihat pada Gambar 3 dari tahun
1995 sampai dengan tahun 2013 perokok

52
pemula cenderung meningkat. Kenaikan jenjang pendidikan SLTA. Jika pada usia
paling tinggi terjadi pada tahun 2010 ke ini sudah membiasakan untuk merokok,
tahun 2013 yaitu sebesar 7,2%. kebiasaan ini akan terbawa sampai
dewasa.

Gambar 3. Proporsi Perokok Pemula


Gambar 4. Trend Usia Mulai Merokok
Usia 10-14 Tahun
Sumber Rikesdas Tahun 2007, Tahun
Pemerintah Indonesia harus segera
2010 dan Tahun 2013.
mewaspadai kondisi-kondisi yang cukup
mengkhawatirkan ini. Dapat dilihat
Tabel 4 menunjukkan bahwa pada daerah
bahwa dari tahun ke tahun perokok
yang menerima alokasi DBH CHT, dari
pemula (usia 10-14 tahun) semakin
17 provinsi yang menerima alokasi
meningkat. Selain iu juga tentang trend
terdapat lima provinsi yang mengalami
usia mulai merokok, berdasarkan hasil
kenaikan proporsi penduduk yang
Riskesdas tahun 2007, tahun 2010 dan
merokok. Kenaikan paling tinggi terjadi
tahun 2013 diketahui bahwa proporsi
pada Provinsi Kepualauan Riau yaitu
paling tinggi penduduk mulai merokok di
sebesar 3,7%. 12 daerah penerima DBH
usia remaja yaitu dari usia 15 tahun
CHT yang lain, proporsi penduduk yang
sampai dengan 19 tahun. Masa dimana
merokok cenderung turun.
kebanyakan penduduk berada pada

Tabel 4
Proporsi Penduduk Merokok Usia (15 tahun ke atas) pada Provinsi Penerima DBH CHT
Berdasarkan Rikesdas Tahun 2007 dan Tahun 2013
Tahun Tahun
No Propinsi
2007 2013 Keterangan
1 Aceh 29.7 29.3 Turun
2 Sumatera Utara 28.8 28.4 Turun
3 Sumatera Barat 30.2 30.3 Naik
4 Jambi 29.5 27.6 Turun
5 Sumatera Selatan 31.7 30.1 Turun
6 Lampung 34.4 31.3 Turun
7 Kepulauan Riau 27.0 30.7 Naik
8 Jawa Barat 32.4 32.7 Naik
9 Jawa Tengah 30.7 28.2 Turun
10 DI Yogyakarta 29.8 26.9 Turun
11 Jawa Timur 29.1 28.9 Turun
12 Bali 24.9 22.4 Turun
13 Nusa Tenggara Barat 30.1 30.3 Naik

53
Nusa Tengggara
14 28.7 25.9 Turun
Timur
15 Kalimantan Tengah 28.9 26.5 Turun
16 Sulawesi Tengah 30.7 30.7 Tetap
17 Sulawesi Selatan 25.5 27 Naik

Sumber: Diolah dari Hasil Rikesdas dengan PMK Nomor 20/PMK.07/2009.


Tahun 2007 dan Tahun 2013 Penerapan KTR sebenarnya selama ini
telah banyak diupayakan oleh instansi
Pengendalian perokok yang pemerintah maupun swasta dan
menghasilkan asap rokok yang sangat masyarakat. Namun, upaya tersebut
berbahaya bagi kesehatan perokok aktif masih jauh tertinggal dibandingkan
maupun perokok pasif adalah dengan dengan penjualan, periklanan/promosi
menghirup udara bersih tanpa paparan rokok. Dari 17 provinsi yang
asap rokok atau biasa disebut dengan mendapatkan alokasi DBH CHT,
penetapan Kawasan Tanpa Rokok seluruhnya sudah memiliki peraturan
(KTR). Penetapan KTR dan pengadaan terkait penetapan KTR. Tabel 5
tempat khusus untuk merokok di tempat menunjukkan data peraturan KTR
umum merupakan salah satu kegiatan provinsi penerima DBH CHT.
yang dibiayai oleh DBH CHT sesuai

Tabel 5
Daftar Provinsi Penerima DBH CHT yang Memiliki Peraturan KTR
Banyak Peraturan
No Propinsi
Kabupaten KTR
1 Aceh 23 3
2 Sumatera Utara 33 6
3 Sumatera Barat 19 10
4 Jambi 11 8
5 Sumatera Selatan 17 7
6 Lampung 15 13
7 Kepulauan Riau 7 4
8 Jawa Barat 27 16
9 Jawa Tengah 35 14
10 DI Yogyakarta 5 5
11 Jawa Timur 38 9
12 Bali 9 8
13 Nusa Tenggara Barat 10 6
14 Nusa Tengggara Timur 22 7
15 Kalimantan Tengah 14 9
16 Sulawesi Tengah 13 6
17 Sulawesi Selatan 24 20
Total 322 151

54
Nizwardi Azkha (2013) menyatakan separuh jumlah warga negara Indonesia
bahwa KTR tanpa adanya komitmen dan adalah perokok.
dukungan dari semua pihak sulit untuk Pada tahun 2016 Kementerian
penerapan KTR. Dapat dilihat pada Tabel Keuangan melalui Direktorat Jenderal
5 dari 150 peraturan yang telah Perimbangan Keuangan sesuai dengan
ditetapkan, hanya 63 (42%) peraturan PMK Nomor 47/PMK.07/2016 tentang
yang diimplementasikan. Belum Rincian Dana Bagi Hasil Cukai Hasil
ditambah dengan masih lemahnya Tembakau Menurut Provinsi/ Kabupaten/
pengawasan terhadap implementasi Kota Tahun Anggaran 2016 telah
peraturan tentang KTR. Rendahnya menggelontorkan anggaran sebesar
komitmen dan kesadaran dari semua Rp2.796.355.150.000,00 yang akan
pihak inilah yang menyebabkan upaya didistribusikan kepada 16 provinsi
penurunan jumlah perokok aktif dan penerima. Pada tahun 2016 provinsi
perokok pasif masih menjadi pekerjaan Kalimantan Tengah tidak mendapatkan
rumah yang besar bagi Pemerintah alokasi DBH CHT. Dana bagi hasil ini
Indonesia. Pada sambutan Menteri digunakan untuk membiayai lima
Kesehatan Nila F. Moeloek di 4th program utama yaitu peningkatan
Indonesian Conference on Tobacco or kualitas bahan baku, pembinaan industri,
Health di Jakarta pada Senin, 15 Mei pembinaan lingkungan sosial, sosialisasi
2017 dinyatakan bahwa “Angka yang ketentuan di bidang cukai dan
merokok di Indonesia selalu meningkat. pemberantasan barang kena cukai illegal.
Tahun 2013 sebanyak 36% dan pada Rincian alokasi anggaran DBH CHT
tahun 2016 sebanyak 54% yang pada pada setiap propinsi disajikan pada
merokok”. Hal ini tentu merupakan Tabel 6.
sesuatu yang kritis mengingat lebih dari

Tabel 6
Alokasi DBH CHT Pada Setiap Provinsi Penerima
No Propinsi Alokasi DBH CHT
1 Aceh 17,395,331,000.00
2 Sumatera Utara 22,941,233,000.00
3 Sumatera Barat 13,360,571,000.00
4 Jambi 10,169,454,000.00
5 Sumatera Selatan 8,808,602,000.00
6 Lampung 12,906,963,000.00
7 Kepulauan Riau 5,981,594,000.00
8 Jawa Barat 318,596,988,000.00
9 Jawa Tengah 633,688,108,000.00
10 DI Yogyakarta 19,977,448,000.00
11 Jawa Timur 1,439,397,008,000.00
12 Bali 12,439,751,000.00
13 Nusa Tenggara Barat 241,405,196,000.00
14 Nusa Tengggara Timur 15,249,112,000.00
15 Sulawesi Tengah 7,485,170,000.00
16 Sulawesi Selatan 16,552,621,000.00

55
Sesuai dengan PMK Nomor kerja bagi pencari kerja meliputi kegiatan
28/PMK.07/2016, salah satu kegiatan antara lain pemberian informasi
yang dilakukan dalam program lowongan pekerjaan, penyuluhan kerja,
pembinaan lingkungan sosial adalah penempatan eks siswa BLK dan magang
pembinaan dan pelatihan keterampilan kerja dalam negeri.
kerja bagi tenaga kerja dan masyarakat, Dalam RUU APBN 2016 disebutkan
penguatan sarana dan prasarana penerimaan DBH CHT, baik bagian
kelembagaan pelatihan, serta pelayanan provinsi maupun bagian kabupaten/kota,
penempatan tenaga kerja dan perluasan dialokasikan dengan dua ketentuan,
kesempatan kerja bagi pencari kerja. yakni pertama, paling sedikit 50% untuk
Kegiatan pembinaan kemampuan dan mendanai peningkatan kualitas bahan
keterampilan kerja bagi tenaga kerja dan baku, pembinaan industri, pembinaan
masyarakat meliputi: lingkungan sosial, sosialisasi ketentuan di
a. Pelatihan berbasis kompetensi, bidang cukai, dan/atau pemberantasan
termasuk uji/sertifikasi kompetensi. barang kena cukai ilegal. Kedua, paling
b. pemberdayaan masyarakat melalui banyak 50% untuk mendanai kegiatan
kewirausahaan, termasuk sesuai dengan kebutuhan dan prioritas
pembentukan dan pembinaan Usaha daerah. Meskipun tidak berkaitan
Mandiri Sektor Informal, pembinaan langsung dengan tembakau, pemanfaatan
Tenaga Kerja Mandiri, pembinaan DBH CHT ini harus mengedepankan
padat karya produktif, pembinaan kegiatan yang bertujuan untuk
terapan Teknologi Tepat Guna, mengurangi tingkat kemiskinan,
pembinaan Tenaga Kerja Pemuda mengurangi pengangguran dan
Mandiri Profesional, pendayagunaan mendorong pertumbuhan ekonomi
Tenaga Kerja Sarjana. daerah.
c. Bantuan sarana produksi dan fasilitasi Penggunaan DBH CHT dibedakan
promosi bagi usaha mandiri menjadi dua jenis yaitu specific grant dan
masyarakat. block grant. Specific Grant merupakan
Sedangkan untuk kegiatan penguatan anggaran yang alokasi kegiatannya sudah
sarana dan kelembagaan pelatihan ditentukan oleh pemerintah dalam hal ini
meliputi kegiatan antara lain sebagai adalah Kementerian Keuangan.
berikut: Sedangkan Block Grant adalah anggaran
a. Pembangunan dan revitalisasi Balai yang penggunaannya diserahkan kepada
Latihan Kerja (BLK). pemerintah daerah dan penggunaannya
b. Revitalisasi atau pengadaan bersifat umum. Pada tahun 2016, realisasi
sarana/peralatan pendukung pelatihan Spesific Grant DBH CHT (dalam
di BLK. persentase) pada masing-masing propinsi
Untuk kegiatan pelayanan penempatan adalah sebagai berikut:
tenaga kerja dan perluasan kesempatan

Tabel 7
Realisasi DBH CHT Pada Setiap Propinsi Penerima pada Masing-Masing Program
Program
No Nama Daerah Total
1 2 3 4 5
1 Provinsi Aceh 83.31 0.00 12.61 4.08 0.00 100.00
2 Provinsi Sumatera Utara - - - - - -
3 Provinsi Sumatera Barat 34.99 0.00 61.03 3.98 0.00 100.00

56
4 Provinsi Jambi 65.09 0.00 34.91 0.00 0.00 100.00
5 Provinsi Sumatera Selatan - - - - - -
6 Provinsi Lampung 98.89 0.00 1.11 0.00 0.00 100.00
7 Provinsi Jawa Barat 7.56 0.12 90.27 0.93 1.12 100.00
8 Provinsi Jawa Tengah 10.05 1.94 85.10 2.22 0.68 100.00
9 Provinsi DI Yogyakarta 15.51 2.07 79.86 2.38 0.19 100.00
10 Provinsi Jawa Timur 8.55 6.04 83.06 2.05 0.31 100.00
11 Provinsi Bali 63.64 0.00 35.98 0.38 0.00 100.00
12 Provinsi NTB 30.09 0.00 68.81 1.08 0.03 100.00
13 Provinsi NTT 97.29 0.00 0.00 2.71 0.00 100.00
14 Provinsi Kepulauan Riau - - - - - -
15 Provinsi Sulawesi Selatan 36.65 0.48 54.93 5.47 2.47 100.00
16 Provinsi Sulawesi Tengah 0.00 0.00 93.75 4.20 2.05 100.00

Keterangan: kegiatan melengkapi fasilitas perawatan


Kode 1: Peningkatan kualitas bahan baku kesehatan bagi penderita akibat dampak
Kode 2: Pembinaan industri asap rokok. Sisa anggaran 75 juta
Kode 3: Pembinaan lingkungan sosial digunakan untuk pelatihan keterampilan
Kode 4 : Sosialisasi ketentuan di bidang dan pengelolaan manajemen usaha
cukai Industri Kecil dan Ibu Rumah Tangga di
Kode 5: Pemberantasan barang kena sekitar Pabrik rokok. Contoh lain yaitu
cukai illegal Pemerintah Kabupaten Jember
*kolom kosong bukan karena tidak ada melakukan kegiatan pembinaan
realisasi tetapi karena propinsi belum lingkungan sosial dengan
melaporkan realisasi ke DJPK- menyelenggarakan beberapa kegiatan
Kementerian Keuangan. diantaranya adalah sebagai berikut:
Tabel 7 menunjukkan bahwa dari 13 a. Penyuluhan, pengendalian polusi dan
propinsi yang sudah melaporkan realisasi pencemaran lingkungan hidup.
penggunaan DBH CHT, delapan propinsi b. Pengadaan peralatan dan perbekalan
di antaranya menggunakan DBH CHT kesehatan termasuk obat generik
dengan proporsi paling besar pada esensial.
kegiatan pembinaan lingkungan sosial. c. Distribusi bibit ternak kepada
Proporsi kedua tertinggi adalah masyarakat.
digunakan untuk kegiatan peningkatan d. Diklat keterampilan bagi para pencari
kualitas bahan baku. Anggaran pada kerja.
program pembinaan lingkungan sosial e. Wirausaha baru melalui pelatihan
paling banyak digunakan oleh Dinas kewirausahaan.
Kesehatan yaitu untuk melengkapi f. Pemberdayaan tenaga harian lepas
fasilitas perawatan kesehatan bagi sektor tembakau.
penderita akibat dampak asap rokok. Penggunaan DBH CHT melalui
Selebihnya digunakan untuk pembinaan kegiatan pembinaan lingkungan sosial
keterampilan kerja. Seperti misalnya diharapkan mampu mengurangi tingkat
Kabupaten Sleman dari total anggaran pengangguran, menurunkan tingkat
875 juta untuk program pembinaan kemiskinan dan mendorong pertumbuhan
lingkungan sosial pada tahun 2016, ekonomi daerah. Selanjutnya akan dilihat
sebanyak 799 juta digunakan untuk bagaimanakah gambaran tingkat

57
pengangguran, tingkat kemiskinan dan meningkat. Pada tahun 2014, Tingkat
pertumbuhan ekonomi daerah penerima Pengangguran pada daerah penerima
dibandingkan dengan daerah bukan menurun sebesar 6,6%. Pada tahun 2011
penerima. Selain itu, juga dibahas dan tahun 2014, Tingkat Pengangguran di
bagaimanakah gambaran tingkat daerah penerima juga mengalami
pengangguran, tingkat kemiskinan dan penurunan sebesar 3,6%. Pada tahun
pertumbuhan ekonomi daerah penerima 2015, kenaikan Tingkat Pengangguran
DBH CHT tahun 2016 dibandingkan terbesar pada daerah bukan penerima
dengan tahun 2015. yaitu sebesar 24,4%, sedangkan untuk
daerah penerima kenaikan Tingkat
4.2 Implementasi DBHCHT Dilihat Pengangguran tertinggi terjadi pada tahun
Berdasarkan Kacamata 2012 yaitu sebesar 17,1%, tetapi
Perubahan Tingkat Pengangguran kenaikan ini pun masih di bawah
Tabel 8 menunjukkan bahwa dari kenaikan Tingkat Pengangguran pada
tahun 2006 sampai dengan 2015, baik daerah bukan penerima yaitu sebesar
daerah penerima maupun yang tidak, 20,1%.
tingkat pengangguran cenderung

Tabel 8
Persentase Perubahan Tingkat Pengangguran Daerah dari Tahun 2007 sampai dengan
Tahun 2015
Daerah 07-08 08-09 09-10 10-11 11-12 12-13 13-14 14-15 15-16
Bukan 10,9 0,57 9,62 0,1 20,1 0,7 -6,6 24,4 20,56
Penerima
Penerima 11,5 2,44 10,8 -3,6 17,1 -3,6 1,4 6,3 12,58

P-value 0,852 0,442 0,620 0,590 0,450 0,481 0,103 0,002 0,235
Kesimpulan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda

Pada tahun 2015 baik daerah jumlah perokok, industri rokok akan
penerima maupun bukan penerima terjaga. Semakin banyak perokok maka
mengalami peningkatan tingkat penerimaan cukai tembakau semakin
pengangguran. Daerah bukan penerima meningkat, secara otomatis penerimaan
mengalami rata-rata peningkatan sebesar negara meningkat. Namun, dampak
24,4% dan daerah penerima mengalami terhadap efek negatif rokok akan semakin
peningkatan rata-rata 6,3%. Setelah meningkat. Efek negatif rokok tidak
dilakukan pengujian rata-rata, didapatkan hanya pada kesehatan tetapi juga pada
kesimpulan jika rata-rata peningkatan semakin besarnya biaya yang dikeluarkan
tingkat pengangguran antara daerah oleh masyarakat dan negara untuk
penerima dan bukan penerima adalah menangani masalah kesehatan yang
berbeda secara statistik. Daerah yang diakibatkan rokok. Selain itu, seseorang
menerima DBH CHT memiliki rata-rata yang merokok maka produktifitasnya
peningkatan pengangguran yang lebih akan lebih rendah dibandingkan dengan
rendah daripada daerah bukan penerima. yang tidak merokok. Tentunya hal ini
Hal ini lah yang menjadi dilema akan berdampak pada produktifitas
pemerintah. Semakin meningkatnya nasional.

58
Tabel 9
Perubahan Tingkat Pengangguran Tahun 2015 dan Tahun 2016
Perubahan Perubahan
No Propinsi Februari 2015 ke Februari 2016 ke
Agustus 2015 Agustus 2016
1 Aceh -28.46 Naik 6.89 Turun
2 Sumatera Utara -5.01 Naik 10.02 Turun
3 Sumatera Barat -15.03 Naik 12.39 Turun
4 Jambi -58.97 Naik 14.16 Turun
5 Sumatera Selatan -20.68 Naik -9.39 Naik
6 Lampung -49.42 Naik -1.76 Naik
7 Kepulauan Riau 31.49 Turun 14.84 Turun
8 Jawa Barat -3.81 Naik -3.73 Naik
9 Jawa Tengah 6.03 Turun -10.24 Naik
10 DI Yogyakarta 0.00 Tetap 3.20 Turun
11 Jawa Timur -3.71 Naik -1.69 Naik
12 Bali -45.26 Naik 10.85 Turun
13 Nusa Tenggara Barat -14.26 Naik -7.65 Naik
14 Nusa Tengggara Timur -22.76 Naik 9.47 Turun
15 Sulawesi Tengah -37.12 Naik 4.91 Turun
16 Sulawesi Selatan -2.41 Naik 6.07 Turun

Tabel 9 menunjukkan bahwa tingkat 2016 rata-rata menurun 0,22%. Setelah


pengangguran pada 14 provinsi dari 16 dilakukan pengujian didapatkan
provinsi penerima mengalami kesimpulan bahwa perubahan tingkat
peningkatan. Sedangkan pada tahun pengangguran tahun 2015 berbeda
2016, perubahan cukup signifikan yaitu dengan perubahan tingkat pengangguran
dari 17 provinsi penerima hanya tujuh pada tahun 2016. Pada tahun 2016 tingkat
provinsi yang mengalami peningkatan. pengangguran pada provinsi penerima
Rata-rata perubahan tingkat mengalami penurunan.
pengangguran pada tahun 2015 adalah
meningkat sebesar 0,52% dan pada tahun

Tabel 10
Hasil Pengujian Rata-Rata Perubahan Tingkat Pengangguran Tahun 2015 dan Tahun
2016
Tahun 2015 Tahun 2016
Mean -0,5231 0,22
Variance 1,26 0,235
Observations 16 16
Hypothesized Mean
Difference 0
df 20
t Stat -2,429
P(T<=t) one-tail 0.0247

59
4.3 Implementasi DBHCHT Dilihat penerima maupun yang tidak. Namun,
Berdasarkan Kacamata pada tahun 2012 sampai dengan tahun
Perubahan Tingkat Kemiskinan 2016 tingkat kemiskinan cenderung
Tabel 11 menunjukkan bahwa menurun. Penurunan terbesar terjadi pada
tingkat kemiskinan dari tahun 2006 tahun 2015 ke tahun 2016 pada daerah
sampai dengan tahun 2012 cenderung penerima yaitu rata-rata sebesar 3,98%.
mengalami peningkatan baik di daerah

Tabel 11
Persentase Perubahan Tingkat Kemiskinan Daerah dari Tahun 2006 sampai dengan
Tahun 2015
Daerah 06-07 07-08 08-09 09-10 10-11 11-12 12-13 13-14 14-15
15-16
Bukan 14,9 10,6 0,99 10,1 1,9 18,7 -1,2 -1,84 -2,25-2,4
Penerima
Penerima 12,7 11,2 1,59 10,0 -3,2 17,9 -1,3 -0,70 - 3,67 -3,98
Hasil Uji Hipotesis
P-value 0,557 0,844 0,804 0,964 0,415 0,850 0,907 0,096 0,530 0,398
Kesimpulan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda

Berdasarkan hasil pengujian rata-rata lebih besar jika dibandingkan dengan


perubahan tingkat kemiskinan, perubahan daerah bukan penerima. Sedangkan pada
tingkat kemiskinan baik di daerah tahun 2006 sampai dengan tahun 2012
penerima maupun daerah bukan penerima tingkat kemiskinan cenderung meningkat
disimpulkan tidak berbeda secara pada daerah penerima maupun daerah
statistik. Jika ditinjau dari rata-rata bukan penerima. Peningkatan pada
perubahan, dari tahun 2012 sampai daerah bukan penerima cenderung lebih
dengan tahun 2016 rata-rata penurunan tinggi jika dibandingkan dengan daerah
tingkat kemiskinan pada daerah penerima penerima alokasi DBH CHT.

Tabel 12
Perubahan Tingkat Kemiskinan Tahun 2015 dan Tahun 2016
Perubahan Perubahan Februari
No Propinsi Februari 2015 ke 2016 ke Agustus
Agustus 2015 2016
1 Aceh -0.18 Naik 1.79 Turun
2 Sumatera Utara -2.47 Naik 0.77 Turun
3 Sumatera Barat 8.21 Turun -0.71 Naik
4 Jambi -2.93 Naik 0.48 Turun
5 Sumatera Selatan 3.37 Turun 1.11 Turun
6 Lampung 5.71 Turun 3.01 Turun
7 Kepulauan Riau 7.37 Turun 2.34 Turun
8 Jawa Barat -0.42 Naik 2.01 Turun
9 Jawa Tengah 1.91 Turun 0.60 Turun
10 DI Yogyakarta 11.74 Turun 1.80 Turun
11 Jawa Timur 0.49 Turun 1.66 Turun

60
12 Bali -10.76 Naik 2.35 Turun
13 Nusa Tenggara Barat 3.27 Turun 2.79 Turun
14 Nusa Tengggara Timur 0.13 Turun 0.81 Turun
16 Sulawesi Tengah 4.02 Turun 2.49 Turun
17 Sulawesi Selatan -7.77 Naik 1.70 Turun

Tabel 12 menunjukkan bahwa tingkat perubahan tingkat pengangguran pada


kemiskinan pada enam provinsi dari 16 tahun 2015 adalah menurun sebesar
provinsi penerima mengalami 1,356% dan pada tahun 2016 rata-rata
peningkatan. Sedangkan pada tahun menurun 1,564%. Setelah dilakukan
2016, perubahan cukup signifikan yaitu pengujian didapatkan kesimpulan bahwa
dari 16 provinsi penerima hanya satu perubahan tingkat kemiskinan tahun 2015
provinsi yang mengalami peningkatan tidak berbeda dengan perubahan tingkat
yaitu provinsi Sumatera Barat. Rata-rata kemiskinan pada tahun 2016.

Tabel 13
Hasil Pengujian Rata-Rata Perubahan Tingkat Kemiskinan Tahun 2015 dan Tahun 2016
Tahun 2015 Tahun 2016
Mean 1.356 1.564
Variance 33,07 0,978
Observations 16 16
Hypothesized Mean
Difference 0
df 16
t Stat -0.142
P(T<=t) one-tail 0.889

4.4 Implementasi DBHCHT Dilihat tahun ke tahun cenderung makin


Berdasarkan Kacamata menurun. Kenaikan pertumbuhan
Pertumbuhan Ekonomi ekonomi paling tinggi pada daerah bukan
Tabel 14 menunjukkan bahwa dari penerima alokasi DBH CHT yaitu terjadi
tahun 2006 sampai dengan 2016, pada tahun 2009 sebesar 6,51% dan pada
pertumbuhan ekonomi meningkat, namun daerah penerima alokasi DBH CHT pada
jika dilihat persentase peningkatan dari tahun 2008 yaitu sebesar 5,59%.

Tabel 14
Persentase Perubahan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Daerah dari Tahun 2006 sampai
dengan Tahun 2015
Daerah 06-07 07-08 08-09 09-10 10-11 11-12 12-13 13-14 14-15 15-16
Bukan 5,58 5,88 6,51 5,85 4,06 4,31 4,25 3,59 3,39 2,92
Penerima
Penerima 5,27 5,59 5,46 4,95 4,24 4,51 4,54 3,96 5,13 4,08
Hasil Uji Hipotesis
P-value 0,534 0,683 0,683 0,427 0,879 0,821 0,602 0,517 0,214 0,07
Kesimpulan Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda Berbeda

61
Tabel 15
Perubahan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 dan Tahun 2016
Perubahan Perubahan
No Propinsi Tahun 2014 ke Tahun 2015 ke
Tahun 2015 Tahun 2016
1 Aceh 2.62 Turun -1.38 Naik
2 Sumatera Utara -3.81 Naik -3.79 Naik
3 Sumatera Barat -4.21 Naik -3.84 Naik
4 Jambi -2.44 Naik -2.58 Naik
5 Sumatera Selatan -2.98 Naik -3.50 Naik
6 Lampung -3.95 Naik -3.87 Naik
7 Kepulauan Riau -3.02 Naik -2.13 Naik
8 Jawa Barat -3.51 Naik -4.01 Naik
9 Jawa Tengah -4.68 Naik -4.33 Naik
10 DI Yogyakarta -3.75 Naik -3.73 Naik
11 Jawa Timur -4.80 Naik -4.70 Naik
12 Bali -4.81 Naik -4.81 Naik
13 Nusa Tenggara Barat -20.21 Naik -4.32 Naik
14 Nusa Tengggara Timur -3.33 Naik -3.38 Naik
15 Sulawesi Tengah -13.70 Naik -7.65 Naik
16 Sulawesi Selatan -6.06 Naik -5.96 Naik

Tabel 15 menunjukkan bahwa ekonomi pada tahun 2015 adalah


pertumbuhan ekonomi pada daerah meningkat sebesar 5,16% dan pada tahun
penerima cenderung meningkat, dari 16 2016 rata-rata meningkat 3,99%. Setelah
provinsi penerima hanya satu yang dilakukan pengujian didapatkan
mengalami penurunan yaitu provinsi kesimpulan bahwa perubahan tingkat
Aceh. Sedangkan pada tahun 2016, kemiskinan tahun 2015 tidak berbeda
perubahan cukup signifikan yaitu dari 16 dengan perubahan tingkat kemiskinan
provinsi seluruhnya mengalami pada tahun 2016.
peningkatan. Rata-rata pertumbuhan

Tabel 16
Hasil Pengujian Rata-Rata Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2015 dan Tahun 2016

Tahun 2015 Tahun 2016


Mean -5.16 -3.998
Variance 26,02 2,11
Observations 16 16
Hypothesized Mean
Difference 0
Df 19
t Stat -0.879
P(T<=t) one-tail 0.391

62
Tabel 14 menunjukkan baik di penerima lebih rendah dibandingkan
daerah penerima maupun yang tidak daerah bukan penerima yaitu
menerima ternyata tingkat pertumbuhan 6,756%, sedangkan daerah bukan
ekonomi mengalami kenaikan. penerima rata-rata peningkatannya
Berdasarkan statistika deskriptif pada adalah 11,83%.
Tabel 14 dapat dilihat bahwa persentase b. Dari tahun 2012 sampai dengan
kenaikan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2016, tingkat kemiskinan
daerah yang menerima alokasi DBH CHT cenderung menurun. Penurunan
cenderung lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan pada daerah
dengan daerah yang tidak menerima penerima lebih besar jika
alokasi DBH CHT. dibandingkan dengan daerah bukan
Pertumbuhan ekonomi penerima yaitu 2,4%, sedangkan
meningkat, namun tingkat pengangguran daerah bukan penerima turun rata-
juga meningkat. Hal ini tidak sesuai rata 2,1%.
dengan makroekonomi yang menyatakan c. Dari tahun 2012 sampai dengan
bahwa pertumbuhan ekonomi meningkat, tahun 2016, pertumbuhan ekonomi
maka tingkat pengangguran akan turun. baik pada daerah penerima maupun
Hal ini disebabkan karena investasi bukan penerima mengalami
meningkat, namun investasi yang padat peningkatan. Peningkatan
modal dan teknologi sehingga menyerap pertumbuhan ekonomi pada daerah
sedikit tenaga kerja. Selain itu, juga penerima lebih tinggi dibandingkan
karena berlakunya perjanjian dengan daerah bukan penerima yaitu
perdagangan bebas antara ASEAN dan 4,44%, sedangkan pada daerah
China (ACFTA). Adanya perjanjian ini bukan penerima adalah 3,69%.
menjadi tantangan bagi sejumlah daerah
dikarenakan daya saing produk-produk 5.2 Saran
lokal masih tertinggal dengan produk- Berdasarkan kesimpulan yang
produk China. Pasar domestik menjadi didapatkan, dapat diberikan beberapa
sasaran empuk produk China yang saran sebagai berikut:
harganya lebih murah dibanding produk a. Pemberian DBH CHT seharusnya
lokal sehingga banyak perusahaan- diberikan kepada seluruh provinsi di
perusahaan kecil yang tutup karena tidak Indonesia, mengingat distribusi rokok
bisa bersaing dan mau tidak mau dilakukan di seluruh provinsi di
berimbas pada banyaknya karyawan yang Indonesia dan dampak negatif rokok
kehilangan pekerjaan. juga perlu diantisipasi oleh seluruh
provinsi di Indonesia.
5. KESIMPULAN DAN SARAN b. Tingkat Pengangguran merupakan
salah satu masalah yang cukup besar
5.1 Kesimpulan buat Negara Indonesia. Salah satu
Berdasarkan analisis dan industri yang banyak menyerap
pembahasan, dapat ditarik beberapa tenaga kerja adalah industri rokok.
kesimpulan yaitu sebagai berikut: Hal ini merupakan dilema
a. Dari tahun 2012 sampai dengan pemerintah, namun jika dilihat dari
2016, tingkat pengangguran dampak yang diakibatkan rokok
cenderung meningkat, baik pada pemerintah harus segera memikirkan
daerah penerima maupun bukan langkah untuk mengurangi
penerima. Rata-rata peningkatan ketergantungan terhadap industri
tingkat pengangguran pada daerah rokok. Seperti halnya dengan

63
memberikan pelatihan kepada Walpole, Ronald E dan Myers, Raymond
masyarakat terutama di sekitar H. 1995. Ilmu Peluang dan
industri rokok, agar tidak sangat Statistika Untuk Insinyur dan
bergantung pada keberlangsungan Ilmuwan. Edisi ke-4. Bandung:
industri rokok. ITB.
c. Dengan adanya beberapa
ketidaksesuaian penggunaan Peraturan Perundang-undangan
anggaran DBH CHT, Kementerian Kementerian Keuangan. (2009). PMK
Keuangan harus meningkatkan Nomor 20/PMK.07/2009 tentang
evaluasi dan monitoring terhadap Perubahan atas Peraturan Menteri
penggunaan anggaran DBH CHT. Keuangan Nomor 84/PMK.07/2008
d. Setiap daerah penerima alokasi DBH tentang Penggunaan Dana Bagi
CHT diwajibkan untuk melaporkan Hasil Cukai Hasil Tembakau dan
detail kegiatan yang didanai DBH Sanksi atas Penyalahgunaan
CHT secara tepat waktu, sehingga Alokasi Dana Bagi Hasil Cukai
monitoring akan lebih mudah Hasil Tembakau.
dilakukan. Kementerian Keuangan. (2014). PMK
e. Penambahan alokasi DBH CHT yang Nomor 216/PMK.07/2014 tentang
dikhususkan untuk dana pendidikan Perubahan Atas Peraturan Menteri
yang dikhususkan untuk memberikan Keuangan Nomor
sosialisasi kepada pelajar tentang 106/PMK.07/2014 tentang
rokok. Perkiraan Alokasi Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau Tahun
Anggaran 2014.
DAFTAR PUSTAKA Kementerian Keuangan. (2016). PMK
Boediono, 1999, Teori Pertumbuhan Nomor 28/PMK.07/2016 tentang
Ekonomi, Yogyakarta: BPFE Penggunaan, Pemantauan, dan
Cahya Rosalia, dkk. 2014. Implementasi Evaluasi Dana Bagi Hasil Cukai
Kebijakan Penggunaan Dana Bagi Hasil Tembakau.
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) di Kabupaten Jember.
Universitas Negeri Jember.
Case, dan Fair. 2004. Prinsip-prinsip
Ekonomi Makro. 7rded. Jakarta: PT
INDEKS.
Kementerian Kesehatan. 2012. Buku
Panduan Penggunaan Dana Bagi
Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH
CHT) di Bidang Kesehatan.
Kementerian Kesehatan. 2017. Profil
Kesehatan Indonesia Tahun 2016.
Sitepu, E.M.P.Kajian Ekonomi &
Keuangan Vol. 23 No.3 (Desember
2016).
World Health Organization. (2008).
WHO Report on the Global
Tobacco Epidemic. Geneva: WHO
Press.

64

Anda mungkin juga menyukai