Ina KLP 4
Ina KLP 4
Dosen pembimbing :
Putri dwi payanti S.Kep.Ns.M.Kes
3. Atik Mardiyah
Kelas : 4 b
1
LEMBAR PERNYATAAN
Atik Mardiyah
KATA PENGANTAR
2
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah SWT,karena atas rahmat dan
karunia-Nya kami berhasil menyelesaikan penulisan makalah dengan judul.
Penulis
DAFTAR ISI
3
COVER………………………………………………………………………...…1
LEMBAR PERNYATAAN……...…………………………………...................2
KATA PENGANTAR……………………………….……………...………...…3
DAFTAR ISI……………………………………………………..……….…...…4
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………….5
BAB II PEMBAHASAN………………………….……………………………..6
a. Kesimpulan…………………………………………………………..….28
b. Saran……………………………………………………………………..29
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..30
BAB I
4
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah longsor merupakan salah satu jenis bencana yang cukup potensial
terjadi di Indonesia dengan mengakibatkan kerugian material ataupun
nonmaterial, jika tidak mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius.
Menurut Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Penanggulangan
Bencana, tanah longsor termasuk kedalam jenis bencana alam. Bencana tanah
longsor ini tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi fisik yang bersifat alamiah, akan
tetapi kondisi sosial pun akan mempengaruhi terjadinya bencana ini sebagai
penyebab terjadinya longsor. Dalam identifikasi bencana, selain aspek fisik
ternyata aspek sosial pun sama-sama penting untuk dikaji.
B. Tujuan
5
BAB II
PEMBAHASAN
6
2. Wilayah Rawan Tanah Longsor
Setidaknya terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap
tahunnya kerugian yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar
Rp 800 miliar, sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta. Berikut
adalah daerah-daerah di Indonesia yang rawan longsor.
1. Jawa Tengah 327 Lokasi
2. Jawa Barat 276 Lokasi
3. Sumatera Barat 100 Lokasi
4. Sumatera Utara 53 Lokasi
5. Yogyakarta 30 Lokasi
6. Kalimantan Barat 23 Lokasi
7. Sisanya tersebar di NTT, Riau, Kalimantan Timur, Bali, dan Jawa
Timur.
7
B. Penyebab terjadinya Tanah longsor
C. Cara penanggulangan
1. Petugas penanggulangan
Undang-Undang No. 24 tahun 2004 menyebutkan ada tiga unsur pelaku
penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu terdiri unsur pemerintah,
masyarakat, dan lembaga asing. Unsur pemerintah mempunyai peran
8
meliputi : pengurangan resiko bencana dan pemaduan pengurangan risiko
bencana dengan program pembangunan, perlindungan masyarakat dari
dampak bencana, penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi
yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standart pelayanan
minimum, pemulihan kondisi dari dampak bencana, pengalokasian
anggaran penanggulangan bencana dalam anggaran pendapatan dan
belanja Negara yang memadai, pengalokasian anggaran penanggulangan
bencana dalam bentuk dana siap pakai, pemeliharaan arsip/ dokumen
otentik dan kredibel dari ancaman dan dampak bencana. Unsur masyarakat
mempunyai peran meliputi : Menjaga kehidupan sosial masyarakat yang
harmonis, memelihara keseimbangan, keserasian keselarasan dan
kelestarian fungsi lingkungan hidup, melakukan kegiatan penanggulangan
bencana, dan memberikan informasi yang benar kepada publik tentang
penanggulangan bencana. Unsur lembaga asing mempunyai peran meliputi
ikut serta dalam kegiatan penanggulangan bencana dan mendapatkan
jaminan perlindungan dari pemerintah terhadap para pekerjanya,
melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana baik secara sendiri-
sendiri, bersama-sama, atau bersamasama dengan mitra kerja dari
Indonesia dengan memperhatikan latar belakang sosial, budaya, dan
agama masyarakat setempat.
2. Pengurangan Resiko Bencana Tanah Longsor
Pemerintahan daerah dalam perspektif penyelenggaraan upaya
pengurangan resiko bencana merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Ini
relevan, apabila dikaitkan dengan fungsi pemerintah yaitu memberikan
perlindungan kepada masyarakat, termasuk didalamnya melakukan upaya
dampak terhadap resiko bencana. Hal ini merupakan amanat 2 (dua) aturan
perundang-undangan yaitu Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Pemerintah daerah sebagai
penyelenggara pemerintahan hendaknya memiliki kepekaan dalam
mengantisipasi terjadinya bencana, utamanya pada saat sebelum terjadinya
9
bencana yaitu pengurangan resiko bencana yang bertumpu pada 3 (tiga)
faktor yaitu pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan. Ditinjau dari jenis
bencana yang terjadi serta dampaknya, situasi dan kondisi kebencaan di
negeri kita saat ini cukup mengkhawatirkan. Oleh sebab itu, diperlukan
upaya yang serius dari pemerintah daerah untuk melakukan langkah yang
konkrit dalam melindungi masyarakatnya apabila terjadi kondisi
kedaruratan, karena lokus dari bencana berada pada wilayah kerja
pemerintah daerah Kabupaten/Kota, Kecamatan atau Desa/Kelurahan
tergantung dari skala dan kriteria bencana yang terjadi. Aparat bersama-
sama masyarakat dalam rangka membangun kesiapsiagaan menuju
terwujudnya budaya siaga bencana melalui rencana aksi daerah dalam
pengurangan resiko bencana. Hal ini bertujuan untuk membangun
kesamaan gerak dan langkah dalam pengurangan resiko bencana atau
peningkatan pemahaman dan penyamaan persepsi melalui penguatan
kapasitas pemerintah daerah yang berpijak kepada penguatan kebijakan,
prosedur, personil dan kelembagaan, yang dijabarkan melalui:
Penguatan kebijakan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan kepada sosialisasi dan harmonisasi kebijakan
penanggulangan bencana di daerah, agar kebijakan dari tingkat
nasional dapat dijalankan secara operasional di daerah.\
Penguatan prosedur dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan kepada bagaimana pedoman, panduan dan juknis dapat
diimplementasikan sehingga memiliki daya dorong inisiasi yang tinggi
dari setiap pemangku kepentingan di daerah.
Penguatan personil dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan kepada peningkatan kapasitas aparatur pemda dalam
mendukung penyelenggaraan pencegahan, mitigasi dan kesiapsiagaan.
Penguatan kelembagaan dalam Pengurangan Resiko Bencana (PRB)
diarahkan untuk mendorong pembentukan BPBD di Kabupaten/Kota
dan peningkatan status hukum/aturan perundang-undangan
di daerah, terkait kelembagaan BPBD di provinsi/kabupaten/kota,
seperti status dari peraturan Gubernur/Bupati/Walikota sebagai dasar
10
pembentukan BPBD menjadi peraturan daerah.Pemerintah Daerah
melalui Pengurangan Resiko Bencana (PRB) mampu memprakarsai
dan menumbuhkembangkan sumber daya guna memberikan dukungan
terhadap penyelenggaraan utusan di bidang penanggulangan bencana
dengan fokus terhadap upaya pengurangan resiko bencana.
Pengurangan Resiko Bencana (PRB) diarahkan kepada peningkatan
pemahaman untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat serta
membudayakan kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Upaya ini
membutuhkan sumber daya yang memadai serta waktu yang panjang,
sehingga kedepan Pengurangan resiko bencana merupakan bagian
investasi pemerintah daerah di masa yang akan datang. Sebagaimana
investasi tentu tidak dapat dinikmati hasilnya segera/ bersifat instan
tetapi dirasakan pada masa yang akan datang yaitu dapat melindungi
atau mengamankan aset daerah dan aset negara yang sulit dihitung
nilainya. Menyadari akan hal tersebut, maka pemahaman kesadaran,
kepedulian dan tanggung jawab akan pentingnya upaya Pengurangan
Resiko Bencana (PRB) hendaknya dari waktu ke waktu harus selalu
ditingkatkan, agar tidak berdampak merugikan terhadap tata kehidupan
dan penghidupan masyarakat. Qanun Aceh Barat No 13 Tahun 2012
tentang penanggulangan bencana telah mengatur tentang
penyelenggaraan penanggulangan bencana yaitu pra bencana, saat
bencana dan pasca bencana. Pasal 17 dari qanun tersebut menyatakan
tentang pentingnya pemberian pelatihan dan pendidikan untuk
memberikan kesiapan bagi petugas penanggulangan bencana yang
meliputi pra bencana, saat bencana dan pasca bencana sehingga
petugas dapat meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kepedulian,
kemampuan dan kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi
bencana. Adapun pelatihan dalam rangka meningkatkan kemampuan
masyarakat yang ada di desa yaitu : penilaian resiko kerentanan dan
kemampuan masyarakat serta pemetaan ancaman, analisa tanda dan
suara peringatan bencana, dan pertolongan pertama pada gawat
darurat .
11
D. Kesiapsiagaan
1. Tindakan kesiapsiagaan
12
mobilisasi sumber daya lebih kepada potensi dan peningkatan sumber daya di
pemerintahan/masyarakat seperti keterampilan-keterampilan yang diikuti,
dana dan lainnya. Federasi Internasional Palang Merah dalam Keeney (2006),
menyatakankesiapsiagaan meliputi pertama adalah meningkatkan sistem
tanggap darurat bencana di tingkat lokal, nasional dan internasional untuk
meningkatkan efisiensi dan efektivitas. Hal ini mencakup antara lain:
pengembangan sistem peringatan dini dan rencana evakuasi untuk mengurangi
potensi korban jiwa dan kerusakan fisik, pendidikan dan pelatihan yang
ditunjuki oleh pejabat di sektor publik dan swasta, pelatihan personil tanggap
darurat, dan pembentukan kebijakan tanggap bencana, dengan prosedur
operasional, perjanjian organisasi yang saling berkolaborasi, dan adanya
sebuah standart pelayanan. Ke-dua adalah memperkuat kesiapsiagaan terhadap
bencana lokal dengan mendukung kegiatan berbasis masyarakat. Pendidikan
dan persiapan untuk meminimalkan resiko dapat dilakukan melalui media
massa, program sekolah, dan pameran kesehatan. selain itu, kesiapsiagaan
bencana lokal meliputi pengajaran pertolongan pertama dan cardiopulmonary
resusitasi (CPR) untuk anggota masyarakat dalam kehidupan sehari-hari dan
untuk kesiapsiagaan dalam respon bencana.Kesiapsiagaan menghadapi
bencana merupakan suatu aktivitas lintas sektor yang berkelanjutan. Kegiatan
itu membentuk suatu bagian yang tak terpisahkan dalam sistem nasional yang
bertanggungjawab untuk mengembangkan perencanaan dan program
pengelolaan bencana (pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, respons,
rehabilitasi, dan atau rekonstruksi) di Indonesia dikenal dengan Bakornas PB.
Satu hal terpenting untuk memastikan mutu dan efektivitas program
kesiapsiagaan bencana dan kedaruratan adalah melakukan koordinasi,
penilaian dan evaluasi secara hati-hati terhadap program-program yang telah
disiagakan untuk memastikan bahwa program tersebut dapat dioperasikan
secara efektif. Pan American Health Organization (PAHO, 2006),
menyebutkan Penanganan pelayanan kesehatan untuk korban cedera dalam
jumlah besar diperlukan segera setelah terjadinya bencana tanah longsor. Oleh
karena itu dibutuhkan kesiagaan untuk pertolongan pertama dan pelayanan
kedaruratan dalam beberapa jam pertama. Banyaknya korban jiwa yang tidak
13
tertolong karena minimnya sumber daya lokal, termasuk transportasi yang
tidak dimobilisasi segera. Sumber daya lokal sangat menentukan dalam
penanganan korban pada fase darurat.Tanggungjawab sektor kesehatan pada
saat bencana praktis mencakup semua aspek operasi normal pra-bencana.
Semua departemen teknis dan layanan penunjang dilibatkan pada saat
terjadinya bencana besar. Kesiapsiagaan harus ditujukan pada semua kegiatan
kesehatan dan sektor lainnya dan tak bisa dibatasi pada aspek yang paling
terlihat dari pengelolaan korban massal dan layanan kegawatdaruratan saja.
Pelaksanaan tugas penanganan kesehatan akibat bencana di lingkungan Dinas
Kesehatan dikoordinasi oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Dinas Kesehatan
dengan surat keputusan (Depkes RI, 2007).Berdasarkan LIPI-UNESCO dan
PAHO dalam penelitian ini peneliti melihat kesiapsiagaan dari tiga indikator
yaitu pengetahuan, sikap dan pelatihan. Sebagaimana kerangka aksi hyogo
2005-2015 yang dikutip oleh Astuti dan Sudaryanto (2010), menyatakan salah
satu prioritas kesiapsiagaan dalam upaya mencegah kematian dan kerugian
harta benda adalah pentingnya kesiapsiagaan petugas melalui peningkatan
pengetahuan, inovasi, dan pendidikan/pelatihan untuk membangun sebuah
budaya keselamatan dan ketangguhan di semua tingkat dari kecamatan sampai
kepada kabupaten kota. Pengetahuan yaitu hasil dari tahu, dan terjadi setelah
orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indera manusia, yakni penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007). Sikap yaitu reaksi atau respon
yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Sikap
secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap
stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakan reaksi yang
bersifat emosional terhadap stimulus sosial. (Notoatmodjo, 2007). Pelatihan
merupakan bagian dari suatu proses pendidikan, yang tujuannya untuk
meningkatkan kemampuan atau keterampilan khusus seseorang atau kelompok
orang. (Notoatmodjo, 1992). Pendidikan dan pelatihan kebencanaan
merupakan salah satu upaya penanggulangan bencana pada tahap
kesiapsiagaan bencana. (Renstra BNPB 2010-2014). pelatihan kebencanaan
14
sangat diperlukan baik untuk petugas maupun untuk masyarakat yang bakal
terkena bencana. (Soehatman,2010). Pelatihan yang diperlukan berkaitan
dengan penanggulangan bencana misalnya:
15
Membangun dinding penahan di lereng-lereng yang terjal
Universitas Sumatera Utara5. Memeriksa keadaan tanah secara
berkala
Mengukur tingkat kederasan hujan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan masyarakat untuk
menghindari korban jiwa dan harta akibat tanah longsor,
diantaranya :
1) Membangun pemukiman jauh dari daerah yang rawan
2) Bertanya pada pihak yang mengerti sebelum membangun
3) Membuat peta ancaman.
4) Melakukan deteksi dini
b. Kesiapsiagaan Saat Bencana
Ada beberapa tindakan yang harus dilakukan masyarakat saat tanah
longs terjadi, diantaranya :
1) Segera keluar dari daerah longsoran atau aliran runtuhan/puing
kebidang yang lebih stabil
2) Bila melarikan diri tidak memungkinkan, lingkarkan tubuh
anda seperti bola dengan kuat dan lindungi kepala anda.posisi
ini akan memberikan perlindungan terbaik untuk badan anda.
3) Kesiapsiagaan Pasca Bencana
16
- Wapada akan adanya banjir atau aliran reruntuhan setelah
longsor
- Laporkan kerusakan fasilitas umum yang terjadi kepada pihak
yang berwenang
- Periksa kerusakan pondasi rumah dan tanah disekitar terjadinya
longsor
- Tanami kembali daerah bekas longsor atau daerah sekitarnya
untuk menghindari erosi yang telah merusak lapisan atas tanah
yang dapat menyebabkan banjir bandang
- Mintalah nasehat pada ahlinya untuk mengevaluasi ancaman
dan teknik untuk mengurangi resiko tanah longsor.
17
1) merumuskan dan menetapkan kebijakan penanggulangan bencana
dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat,
efektif, dan efisien.
2) Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan
bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh.
b. TNI/POLRI
Penanggulangan bencana. Agar dalam setiap pelaksanaan
penanggulangan bencana alam dapat berjalan dengan lancar dan
berhasil dan berdayaguna, maka setiap aparatur negara baik dari
pemerintah daerah, aparat TNI, Kepolisian, ormas dan masyarakat
perlu memahami tentang organisasi penanggulangan bencana dengan
tugas dan fungsinya. Undang-Undang RI No. 34 tahun 2004, TNI dan
Polri bertugas melaksanakan operasi militer perang (OMP) serta
operasi militer selain perang (OMSP), didalam tugas operasi militer
selain perang salah satunya adalah membantu menanggulangi akibat
bencana alam. Melaksanakan kegiatan penanggulangan bencana
diwilayah baik dalam tahap pra bencana, saat tangggap darurat, pasca
bencana terjadi secara terpadu serta mencakup kegiatan, penyelamatan,
rehabilitasi, dan rekonstruksi sesuai dengan kebijakan yang telah
ditetapkan oleh BPBD Provinsi dan/atau petunjuk kepala BPBD
provinsi, dalam rangka penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada dasarnya langkah-langkah kegiatan untuk semua macam bencana
adalah sama dan dilaksanakan melalui tahap-tahap pra bencana, saat
tanggap darurat, pasca bencana. Perawatan kesehatan masyarakat dapat
menggunakan fasilitas kesehatan TNI yang ada satuan tugas pada
daerah bencana serta fasilitas kesehatan umum/Rumah Sakit yang
tersedia di daerah
18
1) Pra-Bencana; Kepala Puskesmas Melakukan Kegiatan :
a) Membuat peta geomedik daerah rawan bencana.
b) Membuat jalur evakuasi.
c) Mengadakan pelatihan.
d) Inventarisasi sumber daya sesuai dengan potensi bahaya yang
mungkin terjadi.
e) Menerima dan menindaklanjuti informasi peringatan dini
(Early Warning System) untuk kesiapsiagaan bidang
kesehatan.
f) Membentuk tim kesehatan lapangan yang tergabung dalam
Satgas.
19
3) Pasca Bencana; Kepala Puskesmas di Kecamatan Melakukan
Kegiatan :
a) Menyelenggarakan pelayanan kesehatan dasar di
penampungan dengan mendirikan Pos Kesehatan lapangan
b) Melaksanakan pemeriksaan kualitas air bersih dan pengawasan
sanitasi lingkungan.
c) Melaksanakan surveilans penyakit menular dan gizi buruk
yang mungkin timbul.
d) Segera melapor ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota bila
terjadi KLB penyakit menular dan gizi buruk.
e) Memfasilitasi relawan, kader dan petugas pemerintah tingkat
kecamatan dalam memberikan KIE kepada masyarakat luas,
bimbingan kepada kelompok yang berpotensi mengalami
gangguan stress pasca trauma, memberikan konseling pada
individu yang berpotensi mengalami gangguan stress pasca
trauma. Merujuk penderita yang tidak dapat ditangani dengan
konseling awal dan membutuhkan konseling lanjut, psikoterapi
atau penanganan lebih spesifik.
d. Dinas Pekerjaan Umum
Dinas pekerjaan umum mempunyai peran menyelenggarakan
penanggulangan bencana terkait bidang pekerjaan umum menganut
prinsip-prinsip sebagai berikut:
1) Tahap pra-bencana
Tahap pra bencana kegiatan pencegahan/mitigasi bencana
dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan dalam bentuk
penegakan hukum/ peraturan pemerintah pusat dan daerah dalam
pembangunan fisik dilapangan yang bertujuan untuk mengurangi
dampak kerugian yang terjadi bila terjadi suatu bencana seperti
dengan mematuhi rencana tata ruang dan tata bangunan yang telah
ditetapkan. Kesiapsiagaan dilakukan untuk memastikan upaya-
upaya cepat dan tepat yang perlu ditempuh dalam menghadapi
situasi darurat pada saat kejadian bencana seperti antara lain
20
dengan pemasangan dan pengujian sistem peringatan dini untuk
pengamatan gejala bencana dan penyediaan serta penyiapan bahan,
barang dan peralatan untuk pemenuhan kebutuhan dalam rangka
pemulihan prasarana dan sarana bidang ke-PU-an.
2) Tahap Tanggap Darurat
Tahap tanggap darurat dukungan yang diberikan dalam
kegiatan penyelamatan/evakuasi korban bencana adalah dengan
penyediaan dan pengoperasian peralatan yang diperlukan untuk
mendukung dan memberikan akses bagi pelaksanaan kegiatan
pencarian dan penyelamatan/evakuasi korban bencana beserta harta
bendanya dilokasi dan keluar dari lokasi bencana. Pelaksanaan
kegiatan tanggap darurat utamanya dilakukan untuk memulihkan
kondisi dan fungsi prasarana dan sarana, khususnya bidang ke-PU-
an yang rusak akibat bencana yang bersifat darurat/sementara
namun harus mampu mencapai tingkat pelayanan minimal yang
dibutuhkan, dan menyediakan berbagai sarana yang diperlukan
bagi perawatan dan penampungan sementara para
pengungsi/masyarakat korban bencana.
3) Tahap Pasca Bencana
Tahap pasca bencana kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi
yang dilaksanakan harus diupayakan untuk melibatkan peran serta
warga masyarakat. bantuan dari pemerintah diutamakan berupa
stimulan yang diharapkan akan dapat mendorong tumbuhnya
kewasdayaan warga masyarakat. Pekerjaan rehabilitasi dan
rekonstruksi diutamakan bagi prasarana dan sarana bidang kePU-
an dan rumah tinggal bagi warga masyarakat miskin/ yang tidak
mampu dengan pendekatan tridaya dalam pelaksanaannya
e. Dinas Sosial
Dinas sosial mempunyai peran menyelenggarakan kesejahtraan
sosial di daerah bencana, yang pada saat kejadian bencana, pasca
bencana dan tanggap darurat menjadi faktor penting mengurangi resiko
21
korban bencana yang meninggal dunia dan luka-luka. Hal ini
memungkinkan karena pada saat kejadian bencana infrastruktur dasar
dan sarana pelayanan publik menjadi rusak dan tidak berfungsi. hanya
sentuhan relawan dan masyarakat sekitar yang dekat daerah bencana
alam yang dapat mengurangi meningkatkan jumlah korban bencana.
Undang-Undang No.11 Tahun 2009 tentang kesejahtraan sosial
menjelaskanperan sumber daya manusia dalam penanganan bencana
alam pada saat kejadian bencana dan tanggap darurat antara lain:
Mengkondisikan tempat penampungan sementara
Menentukan tempat penampungan bagi korban bencana
merupakan upaya penting dalam setiap penanganan bencana. Peran
ini dapat dilakukan apabila SDM kesejahteraan sosial memiliki
pemahaman dan pengetahuan membaca peta rawan bencana dan
jalur evakuasi penanganan bencana.
Menyediakan data korban
Data korban merupakan informasi berharga bagi outsider
untuk melakukan berbagai langkah tindakan penanganan bencana
alam. keakuratan jumlah korban hidup dan meninggal serta
keberadaan korban, akan mengurangi meningkatnya jumlah korban
meninggal dan luka-luka. Oleh karena itu kemampuan melakukan
pendataan korban perlu didukung oleh keterampilan dan
kemampuan menggunakan berbagai media komunikasi.
Melakukan koordinasi penyediaan kebutuhan bagi korban
Menyiapkan berbagai kebutuhan bagi korban bencana alam,
tidak hanya sebatas penyediaan dapur umum. Kebutuhan specific
laki-laki dan perempuan serta balita menjadi bagian penting dalam
upaya dalam mengurangi meningkatnya jumlah korban. Kebutuhan
lain yang juga sangat diperlukan adalah sarana air bersih dan
keperluan mandi cuci dan kakus (MCK). berbagai kebutuhan
tersebut memerlukan pemahaman dan kemampuan melihat situasi
serta mengkoordinasikan dengan para pihak terkait.
22
Memberikan pelayanan psikososial
Peran yang sangat penting bagi SDM kesejahtraan sosial dan
memerlukan keahlian khusus adalah pelayanan psikososial. Peran
ini sangat diperlukan mengingat banyak korban bencana alam yang
umumnya mengalami trauma dan menghadapi kasus-kasus
gangguan stress.
Melakukan kegiatan evakuasi bagi korban bencana
Melakukan pertolongan dan mengevakuasi korban adalah dua
hal yang berbeda tapi dapat dilakukan bersama-sama. Inti dari
tindakan ini adalah upaya menyelematkan korban dengan
menghindari tempat/daerah yang dapat menimbulkan kerugian bagi
korban bencana. Namun demikian, tindakan yang ceroboh dapat
menimbulkan akibat kematian/kecacatan tidak hanya bagi korban
tetapi juga bagi SDM kesejahtraan sosial
23
Badan koordinasi antar kampung mempunyai fungsi sebagai berikut:
1) Mengkoordinasikan kejadian yang sedang dialami serta bantuan
yang diperlukan.
2) Hubungi instansi yang terkait untuk meminta bantuan sesuai
kebutuhan.
3) Bantuan instansi terkait dapat diminta kepada pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota dan Pusat, termasuk
lembaga/Instansi/Militer/Polisi.
1. Koordinasi
Koordinasi adalah sebuah bentuk rekapitulasi gagasan-gagasan
yang berasal dari individu-individu. Gabungan gagasan-gagasan tersebut
dapat terjadi ketika dua orang atau lebih datang berkumpul dan saling
membagi inti pemikiran dan pengalaman mereka untuk menjamin adanya
sebuah interaksi atau kombinasi yang harmonis (Manion, 2005).
Koordinasi adalah upaya menyatu padukan berbagai sumber daya
dan kegiatan organisasi menjadi suatu kekuatan sinergis, agar dapat
melakukan penanggulangan masalah kesehatan masyarakat akibat
kedaruratan dan bencana secara menyeluruh dan terpadu sehingga dapat
tercapai sasaran yang direncanakan secara efektif dan efisien secara
harmonis.
2. Motivasi
Motivasi adalah serangkaian sikap dan nilai-nilai yang
memengaruhi individu untuk mencapai hal yang specifik sesuai dengan
tujuan individu. Motivasi dapat memacu seseorang untuk bekerja keras
sehingga dapat mencapai tujuan mereka. Motif dapat dikatakan sebagai
daya penggerak dari dalam subjek untuk melakukan aktivitas-aktivitas dan
mencapai suatu
24
tujuan. Berdasarkan kamus bahasa indonesia motif dapat diartikan sebagai
suatu kondisi intern (kesiagaan). Sumber motivasi ada tiga faktor yaitu
kemampuan untuk berkembang, jenis pekerjaan, apakah mereka dapat
merasa bangga menjadi bagian dari organisasi tempat mereka bekerja.
25
d. Menyediakan dapur-dapur umum
e. Menyediakan air bersih, sarana kesehatan
f. Koordinasi dengan aparat secepatnya
Adapun tahapan mitigasi bencana tanah longsor, yaitu pemetaan,
penyelidikan, pemeriksaan, pemantauan, sosialisasi.
1. Pemetaan
Menyajikan informasi visual tentang tingkat kerawanan bencana alam
geologi di suatu wilayah, sebagai masukan kepada masyarakat dan atau
pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sebagai data dasar untuk
melakukan pembangunan wilayah agar terhindar dari bencana.
2. Penyelidikan
Mempelajari penyebab dan dampak dari suatu bencana sehingga dapat
digunakan dalam perencanaan penanggulangan bencana dan rencana
pengembangan wilayah.
3. Pemeriksaan
Melakukan penyelidikan pada saat dan setelah terjadi bencana,
sehingga dapat diketahui penyebab dan cara penaggulangannya.
4. Pemantauan
Pemantauan dilakukan di daerah rawan bencana, pada daerah strategis
secara ekonomi dan jasa, agar diketahui secara dini tingkat bahaya, oleh
pengguna dan masyarakat yang bertempat tinggal di daerah tersebut.
5. Sosialisasi
Memberikan pemahaman kepada Pemerintah Provinsi /Kabupaten
/Kota atau masyarakat umum, tentang bencana alam tanah longsor.
Sosialisasi dilakukan dengan berbagai cara antara lain, berita, poster,
booklet, dan leaflet atau dapat juga secara langsung kepada aparat
pemerintah.
26
G. Rehabilitasi Pasca Bencana
27
mempertimbangkan potensi resiko bencana, seperti gempa
bumi dan banjir.
Menyelenggarakan pendidikan, penyuluhan dan pelatihan
mengenai hal – hal tersebut diatas.
2. Melaksanakan kegiatan pelatihan dan bantuan modal usaha untuk
mengurangi ketergantungan masyarakat kepada sumber mata
pencarian yang tidak aman dan rawan bahaya.
3. Meningkatkan kemampuan masyarakat pada pasca bencana untuk
membangun kembali dan memperbaiki rumah, gedung dan bangunan
sejenisnya yang memenuhi standar teknis tata bangunan dengan
mempertimbangkan potensi risiko bencana, yang telah ditetapkan
lembaga berwenang serta sesuai dengan rencana tata ruang dan
wilayah. Hal ini dilakukan berdasarkan analisis risiko bencana, yang
antara lain meliputi rencana struktur dan pola ruang wilayah serta
penetapan kawasan dengan mempertimbangkan potensi risiko bencana
yang telah ditetapkan lembaga berwenang.
4. Mengajak masyarakat pada pasca bencana untuk :
Tidak membangun kembali rumah dan sejenisnya di tepi
tebing, di kaki bukit, di lereng gunung berapi, di tepi sungai,
dan di pinggir pantai.
Tidak menggantungkan kembali sumber mata pencariannya
pada kegiatan yang tidak aman dan rawan bahaya seperti :
membuka lahan dengan cara membakar, menambang batu /
pasir dan bahan tambang lain, membuang sampah di sungai
atau saluran air dan melakukan pembalakan/penebangan liar.
28
BAB III
KESIMPULAN
a. Kesimpulan
Tanah longsor atau dalam bahasa Inggris disebut Landslide, adalah
perpindahan material pembentuk lereng berupa batuan, bahan rombakan,
tanah, atau material campuran tersebut, bergerak ke bawah atau keluar
lereng. Penyebab epidemiologi tanah longsor yaitu; hujan, lereng terjal,
tanah yang kurang padat dan tebal, batuan yang kurang kuat , jenis tata
lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban
tambahan, pengikisan/erosi, adanya material timbunan pada tebing, bekas
longsoran lama, adanya bidang diskontinuitas, penggundulan hutan, dan
daerah pembuangan sampah. Adapun dampak epidemiologi tanah longsor
terhadap kesehatan masyarakat yaitu; peningkatan morbiditas, tingginya
angka kematian, masalah kesehatan lingkungan, masalah suplai bahan
makanan dan obat-obatan, serta keterbatasan tenaga medik dan paramedis
serta transportasi ke pusat rujukan.
Daerah yang memiliki relief morfologi kasar dengan lereng-lereng
yang terjal secara umum lebih rawan untuk terjadi gerakan tanah. Di
samping itu, kondisi batuan yang tidak kompak dan mudah mengalami
degradasi umumnya lebih mudah untuk terjadi gerakan tanah. Setidaknya
terdapat 918 lokasi rawan longsor di Indonesia. Setiap tahunnya kerugian
yang ditanggung akibat bencana tanah longsor sekitar Rp 800 miliar,
sedangkan jiwa yang terancam sekitar 1 juta.
Adapun tahap pengungsian bencana tanah longsor yaitu;
Peringatan Bahaya, Informasi yang Perlu Disampaikan Pada Masyarakat,
Transportasi, Saat Dilokasi Pengungsian Upaya pencegahan terjadinya
bencana tanah lonsor yaitu; pencegahan tingkat pertama (sebelum
terjadinya tanah longsor), pencegahan tingkat kedua (saat terjadinya tanah
longsor), dan pencegahan tingkat ketiga (setelah terjadinya tanah
longsor).
29
b. Saran
Adapun saran yang diberikan untuk menghindari bencana tanah longsor
adalah :
1. Jangan mencetak sawah dan membuat kolam pada lereng bagian atas
di dekat pemukiman
2. Buatlah terasering (sengkedan)
3. Segera menutup retakan tanah dan dipadatkan agar air tidak masuk ke
dalam tanah melalui retakan
4. Jangan melakukan penggalian di bawah lereng terjal
5. Jangan menebang pohon di lereng
6. Jangan mendirikan permukiman di tepi lereng yang terjadi
7. Jangan mendirikan bangunan di bawah tebing yang terjadi
8. Jangan memotong tebing jalan menjadi tegak
9. Jangan mendirikan rumah di tepi sungai yang rawan erosi
DAFTAR PUSTAKA
30
Moch Bachri. 2006. Geologi Lingkungan. Malang : CV. Aksara.
Nandi.2007.Longsor.http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/JUR._PEND._GEOGRA
FI/197901012005011NANDI/BUKU_LONGSOR.pdf__Pengayaan_Geologi_Ling
kungan.pdf. Diakses Tanggal 16 April 2011.
31