Anda di halaman 1dari 10

QAWAID FIQHIYYAH

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah :

Qawaid Fiqhiyyah

Dosen Pengampu: Agus Sunaryo S.H.I., M.S.I.

Disusun oleh :

Choerun Nisa (1917301129)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PURWOKERTO


2020

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah, selalu saya haturkan kepada hadirat Allah SWT,
Tuhan semesta alam yang dengannya kita mendapat rahmat, nikmat, serta hidayah dan
inayah-Nya, sehingga dapat melaksanakan fungsi kita di muka bumi ini sebagai hamba-
Nya yang selalu taat pada syari'at.

Sholawat serta salam senantiasa tetap tercurahkan kapada Nabi Muhammad


SAW, sosok yang datang untuk membimbing kita menuju ke jalan yang diridhai-Nya
dan patut menjadi tauladan ummat Islam hingga akhir zaman.

Rasa syukur yang tak terhingga, atas petunjuk dan pertolongan Allah SWT. saya
dapat menyelesaikan penulisan makalah ini, walaupun didalamnya masih terdapat
banyak kekurangan dan kekhilafan, yang mana hal itu memang benar-benar bersumber
dari kelemahan penulis. Semoga makalah yang berjudul “Qawa’id Fiqhiyyah”, ini dapat
menambah wawasan baru dalam bidang keilmuan saya serta pembaca pada umumnya.
Kritik dan saran selalu saya harapkan agar bisa lebih maju dan juga demi memperbaiki
kesalahan yang terdapat dalam makalah ini.

Purwokerto, 20 Oktober 2020

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Sebagai salah satu disiplin ilmu Qawaid fiqhiyyah tidak berdiri sendiri
dalam tema dan kajiannya. Sebagai derifasi dari fikih atau hukum Islam, qawaid
fiqhiyyah merupakan simpul-simpul umum dari beberapa permasalahan hukum
Islam yang dapat digunakan oleh kalangan awam maupun fuqaha dalam mencari
solusi permasalahan hukum yang muncul di tengah masyarakat dalam pelbagai
tema baik ibadah, muamalah, maupun isu-isu hukum Islam kontemporer.
Qawaid Fiqhiyyah akan tampak fungsinya pada saat seseorang atau seorang
mujtahid bahkan seorang hakim di pengadilan ketika menghadapi problematika
hukum Islam. Problematika tersebut akan mengantarkan seorang mujtahid dan
hakim kepada satu kesimpulan hukum yang itu sangat berarti bagi kepentingan
umat Islam, biasanya para ulama mujtahid menghimpun dan mengumpulkan
segala permasalahan hukum yang berada dan ditempatkan pada satu kaidah
fikih. Apabila permasalahan tersebut sesuai dengan kaidah fikih yang bersifat
kulli (universal) maka seorang mujtahid akan menemukan hukum terhadap
problematika tersebut.
Problematika yang dinamis, terlebih bersifat kasuistis merupakan wujud
perkembangan komplesitas peradaban manusia. Islam secara subyektif, terlebih
pendapat tokoh Islam secara fanatik-primordialis-subyektif turut andil dalam
menyelesaikan beberapa kasus dengan perangkat operasional tertentu seperti
Qawaid Fiqhiyyah.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Keistimewaan Qawa’id Fiqhiyyah


Dengan menguasai qaidah Fiqhiyah, serorang telah faqih akan lebih
moderat dalam menyikapi masalah-masalah sosial, ekonomi, politik, budaya dan
lebih mudah mencari solusi terhadap masalah yang muncul dan berkembang
dalam masyarakat. Hasbi Ash-Shiddiqi dalam bukunya Filsafat Hukum Islam
merujuk pendapat Abdul Wahhab Khallaf mengemukakan : Nash-nash tasyri’
telah mensyariatkan hukum terhadap bebagai macam undang-undang baik
mengenai perdata, pidana, ekonomi, dan undang-undang dasar telah sempurna
dengan adanya nash-nash yang menetapkan prinsip umum. Dibuat demikian
agar prinsip-prinsip umum menjadi petunjuk bagi mujtahid dalam menetapkan
hukum dan menjadi pelita dibawah sinaran nyala api untuk mewujudkan
keadilan dan kemaslahatan umat. Para mujtahid dakan merasa lebih mudah
dalam mengistinbakan hukum yakni dengan menggolongkan masalah-masalah
yang serupa dibawah lingkup satu kaidah. “barangsiapa memlihara ushul maka
ia akan sampai kepada maksud, dan barangsiapa memelihara Qawaid selayaknya
ia mencapai maksud.
Kaidah-kaidah fiqh sangat penting dan bermanfaat bagi ilmu fiqh. Keistimewaan
Qawaid Fiqhiyyah antara lain ialah:1
1. Dengan mengetahui kaidah-kaidah fiqh kita akan mengetahui prinsip-prinsip
umum fiqh sehingga dapat mengetahui titik temu dari masalah-masalah fiqh.
2. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih mudah menetapkan
hukum bagi masalah-masalah yang dihadapi.

1
Djazuli, Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, (Jakarta: Kencana, th.
2006), 105.
3. Dengan memperhatikan kaidah-kaidah fiqh akan lebih arif dalam
menerapkan materi-materi fiqh dalam waktu dan tempat yang berbeda, untuk
keadaan dan adat yang berlainan.
4. Memberi kemudahan di dalam menemukan hukum-hukum untuk kasus-
kasus hukum yang baru dan tidak jelas nashnya dan memungkinkan
menghubungkannya dengan materi-materi fiqh yang lain yang tersebar di
berbagai kitab fiqh serta memudahkan di dalam memberikan kepastian
hukum.
5. Qawa`id fiqhiyyah selain dapat memelihara dan menghimpun berbagai
masalah yang sama, juga sebagai tolok ukur dalam mengidentifikasi
berbagai hukum yang masuk dalam ruang lingkupnya.
6. Qawa`id fiqhiyyah dapat menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sama
illatnya, walaupun berbeda-beda kasusnya, merupakan satu jenis illat dan
mashlahat
7. Sebagian besar kajian masalah ushul fiqh tidak membahas secara detil
hikmah tasyri` dan maksudnya, tapi mengkaji bagaimana cara mengeluarkan
hukum dari lafadz-lafadz dalil syara` dengan kaedah-kaedah yang
memungkinkannya dapat mengeluarkan hukum-hukum cabang (furu`).
Sedangkan qawa`id fiqhiyyah selain mengkaji maksud-maksud syara` secara
umum dan khusus, juga dapat sebagai barometer dalam meneliti dan
mengenal rahasia-rahasia hukum dan hikmah-hikmahnya2.
B. Urgensi Qawa`id fiqhiyyah
Adapun urgensitas Qawa`id fiqhiyyah terlihat dari paparan Abû Zahrah
tentang batasan ijtihad. Abû Zahrah membagi ranah ijtihad pada dua bidang.
Pertama, ijtihad yang terkait dengan penggalian hukum dan penjelasannya dan
kedua, ijtihad yang berkaitan dengan penerapan hukum. Ijtihad model pertama
versi Abû Zahrah adalah ijtiha yang sempurna dan khusus bagi kelompok ulama
yang berusaha mengetahui hukum-hukum cabang yang bersifat praktis dari
dalil-dalil yang rinci. Menurut jumhur ulama, ijtihad seperti ini dapat terputus
2
Ali Ahmad al-Nadwi, al-Qawa`id al-Fiqhiyyah, h. 70
pada suatu zaman meskipun kalangan Hanâbilah berpendapat bahwa suatu
zaman tidak mungkin kosong dari ijtihad ini.
Ijtihad model kedua, ulama sepakat bahwa suatu zaman tidak mungkin
kosong dari model ijtihad kedua. Mereka adalah mujtahid yang men-takhrij dan
menerapkan ‘illat-‘illat hukum yang digali dari persoalan-persoalan cabang yang
telah digali oleh ulama terdahulu. Dengan metode tathbîq (aplikasi) ini, akan
tampak hukum pelbagai masalah yang belum diketahui oleh mujtahid model
pertama di atas. Pola ijtihad mujtahid model kedua ini lazim disebut dengan
tahqîq almanâth (penetapan dan penerapan illat). Al-Qarâfi secara garis besar
berpendapat tentang urgensi Qawa`id fiqhiyyah ada tiga yaitu:
1. Kaidah fiqhiyyah mempunyai kedudukan istimewa dalam khazanah
keilmuan Islam karena kepakaran seorang faqîh sangat terkait erat
dengan penguasaan kaidah fiqhiyyah.
2. Dapat menjadi landasan berfatwa.
3. Menjadikan ilmu fikih lebih teratur sehingga mempermudah seseorang
untuk mengidentifikasi fikih yang jumlahnya sangat banyak. Al-Zarkasyî
berpendapat bahwa mengikat perkara yang bertebaran lagi banyak
(fikih), dalam kaidah-kaidah yang menyatukan (kaidah fiqhiyyah) adalah
lebih memudahkan untuk dihapal dan dipelihara.
Adapun Mustafâ al-Zarqâ’ berpendapat bahwa urgensi kaidah fiqhiyyah
menggambarkan secara jelas mengenai prinsipprinsip fikih yang bersifat umum
membuka cakrawala serta jalan-jalan pemikiran tentang fikih. Kaidah fiqhiyyah
mengikat pelbagai hukum cabang yang bersifat praktis dengan pelbagai
dhawâbit, yang menjelaskan bahwa setiap hukum cabang tersebut mempunyai
satu manât (illat/alasan hukum) dan segi keterkaitan, meskipun obyek dan
temanya berbeda-beda3.
C. Faktor pendorong penyusunan Qawaid Fiqhiyah

3
Syamsul Hilal, qawâ‘id fiqhiyyah furû‘iyyah sebagai
Sumber hukum islam, (Fakultas Syariah IAIN Raden Intan Lampung)
Antara faktor yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini
ialah peranan para ulama’ dan mujtahid. Golongan ini memainkan peranan
mereka menggunakan akal fikiran berdasarkan ilmu daripada sumber
perundangan, selaras dengan konsep syariat yang sesuai dilaksanakan tanpa
mengira masa dan tempat. Justeru itulah para mujtahid berusaha dengan
berijtihad untuk memahami nas-nas dan mempraktikkan kaedah-kaedah yang
umum terhadap masalah furu’ yang baru dan sentiasa muncul. Sebagai contoh,
melalui konsep al-Qiyas, Istihsan, ‘Uruf serta berbagai sumber lain lagi.
Dalam konteks lain, para ulama’ dan mujtahid mengkaji dan mendalami
semua ruang serta sumber perundangan Islam yang luas dan berijtihad dengan
ilmu yang mereka ada untuk memahami nas-nas dalam mengkaji prinsip-prinsip
syariat yang sesuai dengan keadaan masa dan tempat. Justeru itu, mereka
mempraktikkkan kaedah yang berbentuk umum terhadap masalah khusus atau
furu’ yang baru serta sentiasa wujud dalam masyarakat.
Antara faktor lain yang membawa kepada terbentuknya kaedah fiqhiyyah ini
sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama’ dan fakta sejarah ialah kerana
terdapat nas-nas yang dapat ditafsirkan dengan berbagai-bagai. Yaitu ada nas
yang berbentuk umum yang merangkumi pelbagai masalah, dan ada nas yang
mutlaq yang mana melahirkan pendapat-pendapat untuk mengikatnya atau untuk
memuqayyadkannya.
Selain itu, kaedah fiqhiyyah ini juga muncul akibat terdapat kaedah-
kaedah umum yang berasaskan adat kebiasaan yang muncul dalam
perkembangan hidup manusia dari satu generasi ke satu generasi lain untuk
disesuaikan dengan masalah-masalah hukum furu’. Oleh yang demikian, ia
memerlukan sumber-sumber akal fikiran dan amalan-amalan yang berterusan
sebagai adat atau ‘uruf untuk mengeluarkan hukum yang fleksibel di samping
untuk menangani persoalan semasa yang sentiasa wujud dan berterusan
sehinggan kini
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat dikumukakan beberapa faktor pendorong
penyusunan qawa’id fiqhiyyah sebagai berikut:
1. Makin bertambah banyaknya hukum fiqh, sehingga menyebabkan
semakin sulitnya menghafal hukum-hukum fiqh tersebut. Maka untuk
mempermudah menghafal dan mengidentifikasi hukum fiqh yang sangat
banyak tersebut, disusunlah qawaid fiqhiyyah.
2. Para ulama dalam menyusun qawaid fiqhiyyah terinspirasi oleh sebagian
teks alquran dan hadist yang bersifat jawami’ al-kalim
3. Secara praktis, pembentukan qawaid fiqhiyyah didorong oleh
pengalaman para ulama dilapangan. Para ulama kadang-kadang dituntut
untuk memberikan jawaban yang cepat dan tepat terhadap pertanyaan
yang diajukan kepada mereka. Dengan kecepatan dan ketajaman
pemikiran, mereka memberikan jawaban yang singkat dan padat.
D. Ruang lingkup Qawaid Fiqhiyah
Menurut M. az-Zuhayliy dalam kitabnya al-Qawa’id al-fiqhiyyah
berdasarkan cakupannya yg luas terhadap cabang dan permasalahan fiqh, serta
berdasarkan disepakati atau diperselisihkannya qawa’id fiqhiyyah tersebut oleh
madzhab-madzhab atau satu madzhab tertentu, terbagi pada 4 bagian, yaitu :
1. Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Asasiyyah al- Kubra, yaitu qaidah-qaidah fiqh
yangg bersifat dasar dan mencakup berbagai bab dan permasalahan fiqh.
Qaidah-qaidah ini disepakati oleh seluruh madzhab. Yang termasuk kategori
ini adalah :
a. Al-Umuru bi maqashidiha.
b. Al-Yaqinu la Yuzalu bi asy-Syakk.
c. Al-Masyaqqatu Tajlib at- Taysir.
d. Adh-Dhararu Yuzal,
e. Al- ’Adatu Muhakkamah.
2. Al-Qawa’id al-Kulliyyah : yaitu qawa’id yang menyeluruh yang diterima
oleh madzhab-madzhab, tetapi cabang-cabang dan cakupannya lebih sedikit
dari pada qawa’id yang lalu. Seperti kaidah : al-Kharaju bi adh-dhaman/Hak
mendapatkan hasil disebabkan oleh keharusan menanggung kerugian, dan
kaidah : adh-Dharar al- Asyaddu yudfa’ bi adh-Dharar al-Akhaf Bahaya
yang lebih besar dihadapi dengan bahaya yang lebih ringan. Banyak kaidah-
kaidah ini masuk pada kaidah yang 5, atau masuk di bawah kaidah yg lebih
umum.
3. Al-Qawa’id al-Madzhabiyyah (Kaidah Madzhab), yaitu kaidah-kaidah yang
menyeluruh pada sebagian madzhab, tidak pada madzhab yang lain. Kaidah
ini terbagi pada 2 bagian :
a. Kaidah yang ditetapkan dan disepakati pada satu madzhab.
b. Kaidah yang diperselisihkan pada satu madzhab.
Contoh, kaidah : ar-Rukhash la Tunathu bi al- Ma’ashiy Dispensasi tidak
didapatkan karena maksiat. Kaidah ini masyhur di kalangan madzhab Syafi’i
dan Hanbali, tidak di kalangan mazhab Hanafi, dan dirinci di kalangan
madzhab Maliki.
4. Al-Qawa’id al-Mukhtalaf fiha fi al-Madzhab al-Wahid, yaitu kaidah yang
diperselisihkan dalam satu madzhab. Kaidah-kaidah itu diaplikasikan dalam
satu furu’ (cabang) fiqh tidak pada furu’ yg lain, dan diperselisihkan dalam
furu’ satu madzhab.
Contoh, kaidah : Hal al-’Ibroh bi al-Hal aw bi al-Maal?/Apakah hukum yang
dianggap itu pada waktu sekarang atau waktu nanti? Kaidah ini
diperselisihkan pada madzhab Syafi’i. oleh karena itu pada umumnya
diawali dengan kata :hal/apakah.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA

Duski Ibrahim, al-qawa`id al-fiqhiyah


(kaidah-kaidah fiqih), Palembang, CV Amanah, tahun 2019.
Dr. H. Toha Andiko, M.Ag. , ilmu qawa’id fiqhiyyah, Penerbit Teras, Bengkulu,
tahun 2011.
Dr. H. Darmawan, SHI, MHI. , kaidah-kaidah
Fiqhiyyah, Revka Prima Media, Surabaya, tahun 2020.
Firman Arifandi, LL.B, LL.M, Qawaid Fiqhiyyah Sebagai Formulasi Hukum,
Rumah Fiqih Publishing, Jakarta Selatan, tahun 2018.
Dr. H. Fathurrahman Azhari, M.H.I. , qawaid fiqhiyyah
Muamalah, Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU) Banjarmasin, Banjarmasin, tahun 2015
Ade Rohyana, Ilmu Qawa’id: Kaidah – kaidah hukum islam, Gaya Media
Pratama, Jakarta, Tahun 2008.
Syamsul Hilal, 2013, qawâ‘id fiqhiyyah furû‘iyyah sebagai
Sumber hukum islam, AL-‘ADALAH Vol. XI, No. 2
Sokon Saragih, 2020, masa perkembangan dan pembukuan qawaid fiqhiyyah,
Tazkiya, Vol. IX No.1.
Abnan Pancasilawati, 2012, urgensi kaidah fikih dan aplikasinya terhadap
masalahmasalah sosial, FENOMENA Vol. IV No. 2.
M. Adib Hamzawi, 2016, Qawa’Id Usuliyyah & Qawa’Id Fiqhiyyah (Melacak
Konstruksi Metodologi Istinbath
al-Ahkam), Inovatif: Volume 2 No. 2

Anda mungkin juga menyukai