Anda di halaman 1dari 12

1.

Krisis hipertensi :
Definisi :
yakni terjadinya peningkatan tekanan darah tiba – tiba TDS atau TDD (masing - masing, >180
mmHg atau >120 mmHg) dengan atau tanpa disertai kerusakan organ target. Krisis
hipertensi terbagi dua, yakni : Hipertensi emergensi jika disertai dengan kerusakan organ
target dan Hipertensi urgensi jika tanpa kerusakan organ target.

Etiologi :

 Pengobatan tidak terkontrol


 Kelainan pada parenkim Ginjal
 Kelainan vaskular Ginjal
 Efek konsumsi obat tertentu
 Kelainan kolagen pada vaskular 
 Penyakit Cushing
 Pheokromositoma
 Pre-eklampsia dan eklampsia
 Kondisi paska operasi

Epidemiologi :
- Sekitar satu persen dari penderita hipertensi dapat mengalami krisis hipertensi
- Hipertensi emergensi dan urgensi sering dijumpai di instalasi gawat darurat yakni sekitar
27,5% dari semua kasus – kasus emergensi yang ada
- Di Indonesia prevalensi hipertensi berdasarkan hasil riset kesehatan dasar 2007 yang
dilakukan oleh kementerian kesehatan sebesar 32,2 % dan di provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam sebesar 30,2 %
- Kasus krisis hipertensi juga diketahui ditemukan 2 kali lebih sering pada usia lanjut dan
laki-laki dibandingkan pada wanita.
- Kasus ini juga lebih sering ditemukan pada kelompok dengan status ekonomi yang
rendah dibandingkan dengan yang tidak.

Tatalaksana :

- Tujuan utama dari penanganan krisis hipertensi adalah mencegah progresifitas


kerusakan organ target.
- Obat – obatan yang ideal digunakan pada kondisi pasien dengan hipertensi emergensi
bersifat: memberikan efek penurunan tekanan darah yang cepat, reversible dan mudah
dititrasi tanpa menimbulkan efek samping.
- Pengendalian penurunan tekanan darah tersebut harus benar – benar terkontrol
dengan baik dengan mempertimbangkan manfaat yang dicapai dan efek hipoperfusi
yang mungkin terjadi.
- Target penurunan tekanan darah sistolik dalam satu jam pertama sebesar 10 – 15% dari
takanan darah sistolik awal dan tidak melebihi 25 %.
- Jika kondisi pasien cukup stabil maka target tekanan darah dalam 2 sampai 6 jam
selanjutnya sekitar 160 /100 – 110 mmHg.
- Selanjutnya hingga 24 jam kedepan tekanan darah dapat diturunkan hingga tekanan
sistoliknya 140 mmHg
- Pasien hipertensi emergensi dapat mengalami natriuresis spontan yang menyebabkan
terjadinya penurunan volume intravascular, aka diberikan cairan kristaloid yang akan
memperbaiki perfusi organ dan mencegah menurunan tekanan darah yang drastic
akibat efek obat antihipertensi yang diberikan
- Pemberian cairan sebaiknya diberikan setelah target penurunan tekanan darah dalam 1
jam telah tercapai dan perlu pemantauan yang ketat.

Prognosis :

- hipertensi malignan yang tidak diobati maka dalam 1 tahun angka mortalitasnya
mencapai 79 % dengan median survival 10,5 bulan

2. Krisis hiperglikemia :

Definisi :

Krisis hiperglikemia merupakan komplikasi akut yang dapat terjadi pada Diabetes Mellitus
(DM), baik tipe 1 maupun tipe 2.

Krisis hiperglikemia dapat terjadi dalam bentuk ketoasidosis diabetik (KAD), status
hiperosmolar hiperglikemik (HHS) atau kondisi yang mempunyai elemen kedua keadaan
diatas.

KAD adalah keadaan yang ditandai dengan asidosis metabolik akibat pembentukan keton
yang berlebihan, sedangkan HHS ditandai dengan hiperosmolalitas berat dengan kadar
glukosa serum yang biasanya lebih tinggi dari KAD murni

Epidemiologi :

- Insidensi KAD berdasarkan suatu penelitian population-based adalah antara 4.6 sampai 8
kejadian per 1,000 pasien diabetes. Adapun angka kejadian SHH < 1%.
- SHH lebih sering terjadi pada usia tua (>60 tahun ) atau pada mereka yang baru
didiagnosis sebagai diabetes dengan onset lambat.

Patofisiologi :

Kadar insulin tidak adekuat untuk mempertahankan kadar glukosa serum yang normal dan
untuk mensupres ketogenesis. Hiperglikemia dapat melemahkan kapasitas sekresi insulin
dan menambah berat resistensi insulin sehingga hiperglikemia bertambah berat dan
produksi insulin makin kurang.
Pada KAD dan SHH, disamping kurangnya insulin yang efektif dalam darah, terjadi juga
peningkatan hormon kontra insulin, seperti glukagon, katekholamin, kortisol, dan hormon
pertumbuhan. Hormon-hormon ini menyebabkan peningkatan produksi glukosa oleh ginjal
dan hepar dan gangguan utilisasi glukosa dijaringan, yang mengakibatkan hyperglikemia dan
perubahan osmolaritas extracellular.

Kombinasi kekurangan hormon insulin dan meningkatnya hormon kontrainsulin pada KAD
juga mengakibatkan penglepasan/release asam lemak bebas dari jaringan adipose (lipolysis)
ke dalam aliran darah dan oksidasi asam lemak hepar menjadi benda keton (ß-
hydroxybutyrate [ß-OHB] dan acetoacetate) tak terkendali, sehingga mengakibatkan
ketonemia dan asidosis metabolik.

Pada sisi lain, SHH mungkin disebabkan oleh konsentrasi hormon insulin plasma yang tidak
cukup untuk membantu ambilan glukosa oleh jaringan yang sensitif terhadap insulin.

Diagnosis :
a. KAD : triad yang terdiri dari hiperglikemia, ketosis dan asidemia. Konsensus diantara
para ahli dibidang ini mengenai kriteria diagnostik untuk KAD adalah pH arterial < 7,3,
kadar bikarbonat < 15 mEq/L, dan kadar glucosa darah > 250 mg/dL disertai ketonemia
dan ketonuria moderate.

b. HHS : SHH didefinisikan sebagai hiperglikemia extrim, osmolalitas serum yang tinggi dan
dihidrasi berat tanpa ketosis dan asidosis yang signifikan. Nilai normal osmolaritas
adalah 290 ± 5 mOsm/kg air.

Hiperglikemia pada SHH biasanya lebih berat dari pada KAD; kadar glucosa darah > 600
mg/dL biasanya dipakai sebagai kriteria diagnostik.

Tatalaksana :
a. Terapi Cairan
- Rata-rata kekurangan cairan pada penderita KAD adalah 3-5 L, sedangkan pada
SHH sekitar 10 L atau lebih.
- Terapi cairan inisial diarahkan untuk ekpansi volume intravaskular, interstisial, dan
intraselular yang mengalami penurunan pada kondisi krisis hiperglikemik dan
restorasi dari perfusi renal.
- Pemberian resusitasi cairan dengan NaCl 0,9% intravena dengan kecepatan 15-20
ml/KgBB/jam atau 1-1,5 L/jam harus dimulai secepatnya dengan pemantauan status
hidrasi setiap jam.
- Terapi cairan berikutnya tergantung dari tanda hemodinamik, status hidrasi, serum
elektrolit, dan volume urin.
- Secara umum, 0,45% NaCl diberikan 250-500 ml/jam bila serum natrium yang terkoreksi
normal atau meningkat; sebaliknya, 0,9% NaCl diberikan dengan kecepatan yang
sama bila serum natrium yang terkoreksi rendah.

b. Terapi Insulin
- Pemberian insulin baik secara intravena continuous atau dengan injeksi SC atau IM
merupakan tatalaksana utama pada KAD
- Terdapat dua metode pemberian insulin sesuai rekomendasi :
 Pemberian bolus insulin reguler awal (0,1 unit/kg) yang diikuti dengan infus insulin
0,1 unit/kg/jam
 Pemberian insulin 0,14 unit/kg/jam.
- Kedua metode tersebut dinilai ekuivalen dari sisi perbaikan anion gap, perubahan
kadar glukosa, dan penanganan dehidrasi.
- Pemberian dosis awal insulin reguler <0,1 unit/kg/jam yang tidak diawali dengan
bolus awal insulin, akan menyebabkan kadar insulin yang rendah dan tidak adekuat
untuk mensupresi produksi badan keton di liver

c. Terapi kalium

Prognosis :
- Prognosis keduanya lebih buruk pada usia ekstrim yang disertai koma dan hipotensi.
- Bila mortalitas akibat KAD distratifikasi berdasarkan usia maka mortalitas pada
kelompok usia 60-69 tahun adalah 8%, kelompok usia 70-79 tahun 27%, dan 33% pada
kelompok usia > 79 tahun .
- Untuk kasus SHH mortalitas berkisar antara 10% pada mereka yang berusia < 75 tahun,
19% untuk mereka yang berusia 75-84 tahun, dan 35% pada mereka yang berusia >84
tahun

- Tingkat kematian pasien dengan ketoasidosis (KAD) adalah < 5%, sedangkan tingkat
kematian pasien dengan hiperglikemia hiperosmoler (SHH) masih tinggi yaitu 15%.
-

3. Keracunan organofosfat

Faktor resiko :
a. Internal
 Usia
Semakin bertambahnya usia seseorang maka kadar rata - rata kolinesterase dalam
darah akan semakin rendah sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan
pestisida.

 Status gizi
Pada kondisi gizi yang buruk, protein yang ada tubuh sangat terbatas sehingga
pembentukan enzim kolinesterase akan terganggu. Orang yang memiliki tingkat gizi
baik cenderung miliki kadar rata - rata kolinesterase lebih besar.

 Jenis Kelamin
Kadar enzim kolinesterase laki - laki lebih rendah dibandingkan perempuan karena
pada perempuan.

 Tingkat Pendidikan dan Pengetahuan


Tingkat pendidikan yang lebih tinggi diharapkan memiliki pengetahuan mengenai
pestisida dan bahayanya lebih baik di bandingkan dengan tingkat pendidikan yang
rendah, sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akan lebih
baik.

b. Eksternal

 Dosis
semakin besar semakin mempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna
pestisida. Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunan
pestisida. Dosis penyempotan di lapangan khususnya golongan organofosfat dosis
yang dianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha.

 Lama Kerja
Semakin lama bekerja menjadi petani akan semakin sering kontak dengan pestisida
sehingga risiko keracunan pestisida semakin tinggi. Penurunan aktivitas kolinesterase
dalam plasma darah karena keracunan pestisida akan berlangsung mulai seseorang
terpapar hingga 2 minggu setelah melakukan penyemprotan.

 Arah Angin
Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukan penyemprotan.
Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angin dengan kecepatan tidak
boleh melebihi 750 meter per menit. Petani yang melawan arah angin pada saat
penyemprotan akan mempunyai risiko lebih besar bila dibanding dengan petani yang
saat menyemprot tanaman searah dengan arah angin.

 Waktu Penyemprotan
Hal ini berkaitan dengan suhu lingkungan yang dapat menyebabkan keluarnya
keringat lebih banyak terutama pada siang hari. Sehingga waktu penyemprotan
semakin siang akan mudah terjadi keracunan pestisida terutama penyerapan melalui
kulit.

 Frekuensi Penyemprotan
Semakin sering melakukan penyemprotan, maka semakin tinggi pula risiko
keracunannya. Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai dengan ketentuan. Waktu
yang dibutuhkan untuk dapat kontak dapat kontak dengan pestisida maksimal 5 jam
perhari.

 Jumlah Jenis Pestisida yang Digunakan


menimbulkan efek keracunan lebih besar bila dibanding dengan pengunaan satu
jenis pestisida karena daya racun atau konsentrasi pestisida akan semakin kuat
sehingga memberikan efek samping yang semakin besar.

 Penggunaan Alat Pelindung Diri

Gejala klinis :

1. Sindroma muskarinik : Sindroma muskarinik menyebabkan beberapa gejala yaitu


konstriksi bronkus, hipersekresi bronkus, edema paru, hipersalivasi, mual, muntah, nyeri
abdomen, hiperhidrosis, bradikardi, polirua, diare, nyeri kepala, miosis, penglihatatan
kabur, hiperemia konjungtiva.

Onset terjadi segera setelah paparan akut dan dapat terjadi sampai beberapa hari
tergantung beratnya tingkat keracunan.
2. Sindroma nikotinik : Sindroma nikotinik pada umumnya terjadi setelah sindroma
muskarinik yang akan mencetuskan terjadinya sindroma intermediate berupa delayed
neuropathy. Hiperstimulasi neuromuscular junction akan menyebabkan fasikulasi yang
diikuti dengan neuromuscular paralysis yang dapat berlangsung selama 2 - 18 hari.
Paralisis biasanya juga mempengaruhi otot mata, bulbar, leher, tungkai dan otot
pernafasan tergantung derajat berat keracunan.

3. Sindroma sistem saraf pusat : Sindroma sistem saraf pusat terjadi akibat masuknya
pestisida ke otak melalui sawar darah otak. Pada keracunan akut berat akan
mengakibatkan terjadinya konvulsi.

4. Organofosfat - Induced Delayed Neuropathy : Organophosphaet - Induced Delayed


Neuropathy terjadi 2 – 4 minggu setelah keracunan.

Stadium :

1. Normal bila kadar AChE > 75 %

2. Keracunan ringan bila kadar AChE 75 % - 50 %

3. Keracunan sedang bila kadar AChE 50% – 25%

4. Keracunan berat bila kadar AChE < 25%

4. Syok :

5. SJS

Definisi :

Sindrom Stevens-Johnson merupakan suatu kelainan yang langka dan serius yang terjadi
pada kulit dan membran mukosa, yang meliputi lapisan bola mata, dalam mulut, dan alat
kelamin. Sindrom ini biasanya terjadi sebagai reaksi alergi terhadap obat-obatan yang
dikonsumsi atau infeksi. 

Sindrom Stevens-Johnson seringkali diawali dengan gejala seperti flu, yang kemudian diikuti
dengan ruam merah atau keunguan yang terasa menyakitkan dan dapat melebar serta
melepuh. Selanjutnya, bagian kulit atau membran mukosa yang terkena sindrom ini akan
mengelupas, dan pada akhirnya sembuh.

Gejala Klinis :

Beberapa gejala yang timbul saat seseorang mengalami sindrom Stevens-Johnson antara lain
demam, sakit di mulut dan tenggorokan, lemas, batuk dan rasa perih di mata. Tak sampai di
situ, dapat timbul beberapa gejala lanjutan berupa rasa nyeri atau rasa perih di kulit yang
meluas, ruam kemerahan yang menyebar, timbul lepuh pada kulit dan membran mukosa
seperti mulut, mata, hidung dan alat kelamin, yang diikuti dengan pengelupasan kulit
beberapa hari kemudian.

Sindrom Stevens-Johnson memang satu kelainan yang jarang terjadi dan sering tidak
terduga. Pemicu yang paling sering adalah konsumsi obat-obatan tertentu dan juga infeksi.
Beberapa obat tersebut antara lain obat pereda nyeri (paracetamol, acetaminophen,
ibuprofen, naproxen, atau piroxicam), obat asam urat (allopurinol), obat antibiotik
(penisilin), obat anti kejang dan untuk penyakit mental (antikonvulsan dan antipsikoti).

Faktor Risiko :

- Infeksi HIV
Insiden sindrom Stevens-Johnson mengintai 100 kali lebih besar orang-orang dengan
HIV dibandingkan mereka yang tidak memiliki HIV.

- Daya tahan tubuh lemah


Jika Anda memiliki daya tahan tubuh yang lemah, risiko untuk mengalami sindrom
Stevens-Johnson akan meningkat. Daya tahan tubuh Anda bisa terpengaruh akibat
transplantasi organ, infeksi HIV/Aids, dan penyakit autoimun

- Riwayat sindrom Stevens-Johnson


Jika Anda pernah menjalani pengobatan yang berhubungan dengan kondisi ini maka
Anda berisiko untuk kambuh lagi jika Anda kembali mengonsumsi obat-obatan yang
sama.

- Riwayat keluarga dengan sindrom Stevens-Johnson


Jika anggota keluarga terdekat Anda pernah mengalami sindrom Stevens-Johnson,
atau kelainan terkait yang disebut nekrolisis epidermal toksik (NET), maka Anda akan
lebih rentan untuk mengalami sindrom Stevens-Johnson.

Komplikasi :

o Infeksi sekunder di kulit (selulitis): Selulitis dapat menyebabkan komplikasi lain yang
mengancam jiwa Anda, termasuk sepsis.
o Infeksi darah (sepsis): Sepsis dapat terjadi, ketika bakteri dari infeksi memasuki
aliran darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Sepsis adalah kondisi yang dapat
berkembang dengan cepat, menyebabkan kegagalan organ, dan bahkan mengancam
jiwa Anda.
o Kerusakan di mata: Ruam yang disebabkan oleh sindrom Stevens-Johnson dapat
menyebabkan peradangan di mata. Dalam kasus yang ringan, ini dapat
menyebabkan iritasi dan mata kering, namun dalam kasus yang parah, ini dapat
menyebabkan kerusakan jaringan yang luas yang kemudian mengakibatkan
gangguan penglihatan hingga kebutaan.
o Kerusakan di paru-paru: Kondisi ini juga dapat menyebabkan kegagalan pernapasan
akut.
o Kerusakan kulit permanen: Ketika kulit baru tumbuh kembali setelah sembuh dari
sindrom Stevens-Johnson, mungkin dapat meninggalkan bekas berupa warna kulit
yang tidak merata, dan juga jaringan parut. Penyakit kulit ini juga bisa menyebabkan
rambut rontok dan kuku yang tidak tumbuh dengan normal

Tatalaksana :

Penderita sindrom Stevens-Johnson perlu ditangani secara intensif di rumah sakit. Apabila
pasien sedang mengonsumsi obat-obatan, maka langkah pertama yang dilakukan dokter
adalah menghentikan konsumsi obat tersebut.
Kemudian, dokter dapat memberikan obat-obatan untuk meredakan gejala yang dialami
pasien, seperti:

 Obat pereda nyeri untuk meredakan rasa perih.


 Obat kumur dengan kandungan obat bius dan antiseptik, untuk membuat mulut mati
rasa dalam waktu sementara agar pasien dapat menelan makanan lebih mudah.
 Antibiotik, pada pasien yang mengalami infeksi bakteri.
 Obat antiradang jenis kortikosteroid, yang dioles atau diminum untuk mengurangi
peradangan pada area yang terkena.

Untuk membantu proses penyembuhan, dokter juga akan menjalankan beberapa langkah
pendukung, seperti:

 Memberi pengganti nutrisi dan cairan tubuh melalui selang makan, yang dimasukkan
melalui hidung hingga ke lambung. Langkah ini dilakukan untuk mencukupi kebutuhan
cairan nutrisi yang hilang akibat luruhnya lapisan kulit.
 Mengompres luka dengan kain basah guna meredakan nyeri pada lepuh saat proses
penyembuhan.
 Mengangkat kulit mati dan mengoleskan petroleum jelly ke area kulit yang mengalami
lepuh.
 Pemeriksaan mata, dan memberikan obat tetes mata jika diperlukan.

6. Kegawatan psikiatri
- Psikosomatik: adanya faktor psikologik pada proses penyakitnya (faktor fisik),
contoh; hipertensi, rhematoid arthtritis, tirotoksikosis, ulkus peptikum, kolitis
ulserativa, asma bronkiale, neurodermatitis
- Gangguan cemas: merasa kawatir atau takut berlebihan, merasa gelisah atau tidak
dapat duduk tenang, mudah berkeringat dingin, berdebar-debar, gemetar, sulit
memulai tidur

- Gangguan depresi: merasa murung, sedih, hilang minat, menurunnya ketertarikan


terhadap aktivitas yang biasanya menyenangkan, mudah lelah, adanya keluhan fisik
yang berkepanjangan, sering terbangun tengah malam dan tidak dapat tidur lagi.
Depresi juga dapat terjadi pada lansia yaitu dengan risiko terjadi penurunan fungsi
fisik (=depresi terselubung)

- Gangguan Penyalahgunaan Zat: terjadi perubahan perilaku dan emosional karena


menggunakan alkohol/ zat lain (Penting ditanyakan: apakah pernah/ saat ini
menggunakan alkohol/ napza)

- Gangguan Demensia: penyakit degeneratif progresif. Masalah memory (adanya


kepikunan yang berat), kehilangan kontrol emosional (mudah kecewa, mudah marah/
iritabel, mudah menangis

- Bunuh diri/ menyakiti diri sendiri/ intoksikasi: adanya riwayat sebelumnya ide atau
rencana/ pikiran bunuh diri (hati2!)

- Gangguan psikotik: ketakutan atau pikiran tidak masuk akal, melihat bayangan atau
mendengar suara-suara yang tidak jelas sumbernya, gejala manik (gembira abnormal),
sedih sepanjang hari, merasa tidak berguna
- Gangguan perkembangan anak-remaja: dapat mempengaruhi emosional, perilaku
terbatas dan berulang, kesulitan berkomunikasi, keterlambatan tumbuh

- Gangguan perilaku anak-remaja: kesulitan memusatkan perhatian, aktivitas


berlebihan, tidak dapat duduk tenang, impulsivitas, perilaku mengganggu yang
berulang dan berkelanjutan (temper tantrum)

Tatalaksana :

3. Anti Psikotik

Kapan Merujuk?

1. Ketika pasien menunjukkan ide/ tanda-tanda usaha bunuh diri atau risiko yang
membahayakan orang lain;

2. Jika pasien mengalami disabilitas berat hingga tidak dapat meninggalkan rumah, merawat
anak, atau melakukan aktivitas sehari-hari;
3. Ketika petugas fasilitas pelayanan primer membutuhkan keahlian spesialistik untuk
mengkonfirmasi diagnosis atau melakukan terapi spesialistik;

4. Ketika relasi dokter-pasien sudah tidak berefek terapeutik

5. Ketika upaya yang dilakukan tidak membawa hasil yang optimal;

6. Jika ada gangguan fisik yang berat dari pasien;

7. Ketika pasien membutuhkan obat spesifik yang tidak disediakan oleh fasilitas pelayanan
primer

8. Jika pasien meminta untuk dirujuk

8. Skizofrenia Katatonik

Definisi :

- Katatonia atau perilaku katatonik adalah gangguan perilaku yang melibatkan gerakan
ekstrim. 
- Penyebabnya dapat secara psikologis atau neurologis.
- Bentuk yang paling terkenal melibatkan posisi kaku tak bergerak untuk jangka waktu yang
lama, seringkali berhari-hari atau minggu, bahkan lebih (disebut katalepsi).
- Katatonia juga dapat merujuk pada perilaku motorik gelisah tanpa tujuan yang tidak
dirangsang oleh hal apa pun di lingkungan.

Gejala Klinis :
- Beberapa pasien seperti mendengar bisikkan dan secara otomatis akan mematuhi perintah
atau meniru tindakan orang lain (echopraxia) atau meniru ungkapan mereka (echolalia)
- Gerakan cepat atau berulang terus-menerus, seringkali diikuti meringis dan ekspresi wajah
yang aneh, dan gerakan tubuh yang tidak biasa adalah ujung ekstrim lain dari katatonia
- Gejalanya ada 2 kategori : 
1. Gejala positif = gejala tipe I :
- Disorganisasi pikiran dan bicara : penderita bisa menceritakan keadaan sedih
denngan mimic muka yang gembira atau sebaliknya.
- Waham : penderita merasa dirinya seorang pahlawan atau orang besar dan
bertindak seperti pahlawan atau orang besar.
- Halusinasi : melihat, mendengar atau merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak
ada.
- Agitasi atau mengamuk : hal ini sering membuat penderita dikurung atau dipasung.

2. Gejala negatif = gejala tipe II :


- Hilangnya atau berkurangnya kemampuan di area tertentu, misalnya tidak
munculnya perilaku tertentu dan alogia (tidak mau bicara)

- Tidak ada dorongan kehendak atau inisiatif atau apatis.

- Menarik diri dari pergaulan social : penderita merasa senang jika tidak menjalani
kehidupan social.
- Tidak menunjukan reaksi emosional (afek datar)

Tatalaksana :

ASPEK MEDIKOLEGAL

Peraturan Perundang-Undangan yang Berkaitan pelayanan GD


Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pelayanan gawat darurat adalah UU No
23/1992 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No.585/1989 tentang Persetujuan
Tindakan Medis, dan Peraturan Menteri Kesehatan No.159b/1988 tentang Rumah Sakit.

Pengaturan Penyelenggaraan  Pelayanan Gawat Darurat


- Ketentuan tentang pemberian pertolongan dalam keadaan darurat telah tegas diatur
dalam pasal 51 UU No.29/ 2004 tentang Praktik Kedokteran, di mana seorang dokter wajib
melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan.
- UU No.23/1992 pasal 4 tentang Kesehatan : upaya penyelenggaraan pelayanan tersebut
sebenarnya merupakan hak setiap oranguntuk memperoleh derajat kesehatan yang optimal
- Selanjutnya pasal 7 mengatur bahwa “Pemerintah bertugas menyelenggarakan upaya
kesehatan yang merata danterjangkau oleh masyarakat” termasuk fakir miskin, orang
terlantar dan kurang mampu.
- Tentunya upaya ini menyangkut pula pelayanan gawat darurat, baik yang diselenggarakan
oleh pemerintah maupun masyarakat (swasta).
- Rumah sakit di Indonesia memiliki kewajiban untuk menyelenggarakan pelayanan gawat
darurat 24 jam sehari sebagai salah satu persyaratan ijin rumah sakit.
- Dalam pelayanan gawat darurat tidak diperkenankan untuk meminta uang muka sebagai
persyaratan pemberian pelayanan.
- Dalam penanggulangan pasien gawat darurat dikenal pelayanan fase pra-rumah sakit dan
fase rumah sakit.
- Pengaturan pelayanan gawat darurat untuk fase rumah sakit telah terdapat dalam Peraturan
Menteri Kesehatan No.159b/ 1988 tentang Rumah Sakit, di mana dalam pasal 23 telah
disebutkan kewajiban rumah sakit untuk menyelenggarakan pelayanan gawat darurat
selama 24 jam per hari.
- Untuk fase pra-rumah sakit belum ada pengaturan yang spesifik. Secara umum ketentuan
yang dapat dipakai sebagailandasan hukum adalah pasal 7 UU No.23/1992 tentang
Kesehatan, yang harus dilanjutkan dengan pengaturan yang spesifik untuk pelayanan gawat
darurat fase pra-rumah sakit. Bentuk peraturan tersebut seyogyanya adalah peraturan
pemerintah karena menyangkut berbagai instansi di luar sektor kesehatan.

Anda mungkin juga menyukai