Anda di halaman 1dari 36

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pertumbuhan linear merupakan indikator terbaik untuk menilai kesehatan anak

dan menjadi penanda akurat mengenai kualitas perkembangan manusia. Namun saat

ini banyak anak di seluruh dunia yang tidak hanya gagal mencapai target

pertumbuhan linear mereka karena kondisi kesehatan yang tidak optimal serta nutrisi

dan perawatan yang tidak adekuat tetapi juga mengalami gangguan perkembangan

fisik dan kecerdasan yang ireversibel yang sejalan dengan gangguan pertumbuhan

terjadi.1

Kejadian balita kerdil atau biasa disebut dengan stunting adalah kondisi

dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan

dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang kurang dari

minus 2 standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari World Health

Organization (WHO).2 Stunting menjadi penanda efek kumulatif dari masalah gizi

kronis selama 1000 hari pertama kehidupan. Penyebab langsung dari stunting terbagi

menjadi dua yaitu rendahnya intake dan kesakitan pada bayi terutama karena infeksi

penyakit menular. Sedangkan keadaan lain yang mendasari kejadian stunting antara

lain kelahiran premature, panjang badan lahir kurang, ibu pendek, rendahnya

pengetahuan ibu hamil, rendahnya tingkat pendidikan, kemiskinan, masalah

sosiokultural, perawatan dan pemberian makanan yang tidak adekuat, rendahnya

sumber pangan keluarga, lingkungan keluarga yang tidak sehat serta rendahnya

pelayanan kesehatan.2,3 Stunting memiliki berbagai akibat baik langsung maupun

jangka panjang antara lain meningkatnya angka kesakitan dan kematian, gangguan
perkembangan fisik dan kognitif, tingginya risiko terkena penyakit menular maupun

tidak menular pada usia dewasa serta menurunnya produktivitas dan kapasitas kerja

optimal.2

Stunting menjadi salah satu masalah gizi global dan dialami oleh sebagian besar

balita di dunia. Meningkatan perhatian dunia internasional terhadap stunting

merupakan hasil dari tingginya kewaspadaan terhadap stunting sebagai masalah

kesehatan utama masyarakat. Secara global pada tahun 2017 sekitar 22,2% atau

sekitar 150.8 juta balita di dunia mengalami stunting namun angka ini sudah

mengalami penurunan bila dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000

yaitu sekitar 32,6%. dari angka yang telah ada Asia menyumbang prevalensi tertinggi

stunting yaitu sekitar 55%, diikuti oleh Afrika (39%). Dan dari 83,6 juta balita

stunting di Asia, proporsi Stunting terbanyak berada pada Asia Selatan (58,7%) dan

proporsi paling sedikit berada pada Asia Tengah (0,9%). 4 Berdasarkan data dari

Global Nutrition Report 2014 (data dari 117 negara), Indonesia menduduki peringkat

kelima dan menjadi salah satu dari 17 negara dengan beban masalah gizi ganda yaitu

stunting, kurus dan obesitas.3 Berdasarkan data WHO, Indonesia termasuk dalam ke

dalam negara ketiga di Asia dengan prevalensi tertinggi di Asia Tenggara dengan

rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2005-2017 adalah 36,4%.5

Di Indonesia kejadian balita stunting berdasarkan pemantauan status gizi (PSG)

selama 3 tahun, prevalensi stunting menduduki urutan tertinggi dibandingkan dengan

masalah gizi lainnya. Prevalensi balita pendek pada tahun 2017 mencapai 29,6. 6

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 prevalensi balita dengan

stunting sebesar 37,2%.7 Hasil Riskesdas tahun 2018 prevalensi stunting juga

mengalami penurunan menjadi 30,8%.8 Di Maluku Utara berdasarkan penelitian yang

dilakukan oleh Ramli dkk tahun 20049, Prevalensi stunting dan stunting berat sebesar
29% dan 14.1% pada anak usia 0-23 bulan dan 38,4% dan 18,4% pada anak usia 0-59

bulan.

Pada tahun 2012 WHO menetapkan stunting menjadi salah satu target

Suistainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan

berkelanjutan kedua untuk menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi

pada tahun 2030 dan mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah

menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. 1 untuk mewujudkan hal ini

pemerintah menetapkan stunting menjadi salah satu program prioritas dan upaya

untuk menurunkan prevalensi stunting dijalankan berdasarkan Peraturan Menteri

Kesehatan no 39 tahun 2016 tentang pedoman penyelenggaraan program Indonesia

sehat dengan pendekatan keluarga dimana setiap intervensi dilakukan disetiap tahapan

kehidupan dimulai dari ibu hamil dan bersalin, balita, anak usia sekolah, remaja dan

dewasa muda.10 Pemerintah juga telah menetapkan strategi 5 pilar penanganan

stunting yang terdiri dari (1) komitmen dan visi kepemimpinan; (2) kampanye

nasional dan komunikasi perubahan perilaku; (3) konvergensi, koordinasi, konsolidasi

program pusat, daerah dan desa; (4) Gizi dan ketahanan pangan; (5) pemantauan dan

evaluasi. Dengan upaya percepatan penurunan stunting melalui intervensi gizi spesifik

dan intervensi gizi sensitif.11


II. ISI

A. Epidemiologi

Secara global pada tahun 2017 sekitar 22,2% atau 150.8 juta balita di dunia

mengalami stunting namun angka ini sudah mengalami penurunan bila dibandingkan

dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu sekitar 32,6%. dari angka yang telah ada

Asia menyumbang prevalensi tertinggi stunting yaitu sekitar 55%, diikuti oleh Afrika

(39%). Dan dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi Stunting terbanyak berada

pada Asia Selatan (58,7%), Asia Tenggara 14,9%, Asia Timur 4,8%, Asia Barat 4,2%

dan proporsi paling sedikit berada pada Asia Tengah (0,9%).4

Gambar 1. Tren prevalensi balita pendek di dunia tahun 2000-2017

Sumber: World Health Organization. Joint Malnutrition Estimates 2018

Gambar 2. Proporsi Jumlah balita pendek di Asia tahun 2017

Sumber: World Health Organization. Joint Malnutrition Estimates 2018


Berdasarkan data dari Global Nutrition Report 2014 (data dari 117 negara),

Indonesia menduduki peringkat kelima dan menjadi salah satu dari 17 negara dengan

beban masalah gizi ganda yaitu stunting, kurus dan obesitas. 3 Berdasarkan data WHO,

Indonesia termasuk dalam ke dalam negara ketiga di Asia dengan prevalensi tertinggi

di Asia Tenggara dengan rata-rata prevalensi balita stunting tahun 2005-2017 adalah

36,4%.5

Gambar 3. Rata-rata prevalensi balita pendek di regional Asia Tenggara tahun 2005-

2017

Sumber: World Health Organization: Child stunting data visualizations

dashboard 2018

Di Indonesia, berdasarkan data pemantauan status gizi pada tahun 2015, 2016 dan

2017 yang dilakukan sebagai monitoring dan eveluasi kegaiatan dan capaian program,

menunjukkan stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah

gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus dan obesitas. Prevalensi balita dengan stunting

mengalami penurunan dari tahun 2015 yaitu 29% menjadi 27,5% pada tahun 2016

tetapi kemudia mengalami peningkatan dari menjadi 29,6% pada tahun 2017. Pada

tahun 2017, prevalensi stunting dan severe stunting pada balita usia 0-59 bulan

sebesar 9,8% dan 19,8%. Keadaan ini mengalami peningakatan dari sebelumnya yaitu

prevalensi balita dengan severe stunting 8,5% dan balita stunting 19%. Provinsi
dengan prevalensi stunting tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur dan Provinsi

dengan prevalensi stunting terendah adalah Bali.6

Gambar 4. Masalah gizi di Indonesia tahun 2015-2017

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat. Pemantauan status gizi

Gambar 5. Prevalensi balita pendek di Indonesia tahun 2015-2017

Sumber: Ditjen Kesehatan Masyarakat. Pemantauan status gizi

Berdasarkan data hasil Riskesdas tahun 200712, prevalensi stunting pada balita di

Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 201013, prevalensi stunting mengalami sedikit

penurunan menjadi 35,6%, dan kemudian pada tahun 20137 kembali mengalami

peningkatan menjadi 37,2%. Dan berdasarkan Riskesdas tahun 2018 8 prevalensi

stunting juga mengalami penurunan menjadi 30,8%.


Gambar 6. Prevalensi balita pendek di Indonesia tahun 2007-2013

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan. Riset kesehatan dasar

Gambar 7. Prevalensi balita pendek di Indonesia tahun 2007-2018

Sumber: Badan Penelitian dan Pengembangan kesehatan. Riset kesehatan dasar 2018

Di Maluku Utara berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Ramli dkk tahun

20049, Prevalensi stunting dan stunting berat sebesar 29% dan 14.1% pada anak usia

0-23 bulan dan 38,4% dan 18,4% pada anak usia 0-59 bulan.

III. TINJAUN PUSTAKA

A. Definisi
Stunting adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan

yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau

tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan

anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh

banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi,

dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan

mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.

Stunting berkaitan dengan masalah kekurangan gizi kronis yang disebabkan oleh

asupan gizi yang kurang dalam waktu cukup lama akibat pemberian makanan yang

tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai janin masih dalam kandungan dan

baru nampak saat anak berusia dua tahun. Kekurangan gizi pada usia dini

meningkatkan angka kematian bayi dan anak, menyebabkan penderitanya mudah sakit

dan memiliki postur tubuh tidak maksimal saat dewasa. 14

B. Klasifikasi

Menilai status gizi anak dapat menggunakan tinggi badan dan umur yang

dikonversikan ke dalam Z-Score.15,16 Berdasarkan nilai Z-Score masing-masing

indikator tersebut ditentukan status gizi balita sebagai berikut :

C. Penyebab
Stunting pada balita merupakan konsekuensi dari beberapa faktor yang

berkaitan dengan factor makanan komplementer yang tidak adekuat, infeksi, Air Susu

Ibu eksklusif, keluarga dan rumah tangga.17 Faktor penyebab stunting yaitu :

1. Makanan Komplementer yang Tidak Adekuat

Manusia membutuhkan makanan untuk kelangsungan hidupnya. Makanan

merupakan sumber energi untuk menunjang semua kegiatan atau aktivitas

manusia. Seseorang tidak dapat menghasilkan energi yang melebihi dari apa yang

diperoleh dari makanan kecuali jika meminjam atau menggunakan cadangan

energi dalam tubuh. Namun kebiasaan meminjam ini akan dapat mengakibatkan

keadaan yang gawat, yaitu kekurangan gizi khususnya energi.18

Makanan komplementer yang tidak adekuat merupakan salah satu factor

penyebab stunting dan dibagi menjadi tiga, yaitu kualitas makanan yang rendah,

cara pemberian yang tidak adekuat dan keamanan makanan dan minuman.

Kualitas makanan yang rendah dapat berupa kualitas mikronutrien yang rendah,

keragaman jenis makanan yang dikonsumsi dan sumber makanan hewani yang

rendah, makanan yang tidak mengandung nutrisi dan makanan komplementer

yang mengandung energi rendah. Cara pemberian yang tidak adekuat berupa

frekuensi pemberian makanan yang rendah, pemberian makanan yang tidak

adekuat ketika sakit dan setelah sakit, konsistensi makanan yang terlalu halus dan

pemberian makanan yang rendah dalam kuantitas. Keamanan makanan dan

minuman dapat berupa makanan dan minuman yang terkontaminasi, kebersihan

yang rendah, penyimpanan dan persiapan makanan yang tidak aman. Penelitian

Meilyasari pada tahun 2013 menyatakan bahwa pemberian MP-ASI terlalu dini

meningkatkan resiko penyakit infeksi seperti diare, karena MP-ASI yang

diberikan tidak sebersih dan mudah dicerna seperti ASI. Pemberian MP-ASI
yang terlalu dini, terlambatnya memberikan MP-ASI juga bisa menyebabkan

pertumbuhan dan perkembangan balita menjadi terhambat karena kebutuhan gizi

balita tidak tecukupi. Praktek pemberian MP-ASI pada anak balita merupakan

salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya stunting. Stunting juga

disebabkan karena ketidakcukupan asupan zat gizi pada balita yang

menyebabkan terjadinya gagal tumbuh.18,19

2. Penyakit Infeksi

Infeksi klinis dan sub klinis, seperti infeksi pada usus, antara lain diare,

enviromental enteropathy, infeksi cacing, infeksi pernafasan (ISPA) dan malaria

menjadikan nafsu makan yang kurang akibat infeksi dan inflamasi. Infeksi bisa

berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara, yaitu mempengaruhi

nafsu makan, menyebabkan kehilangan bahan makanan karena muntah – muntah

atau diare, dan mempengaruhi metabolisme makanan. Gizi buruk atau infeksi

menghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber

energi di tubuh. Adapun penyebab utama gizi buruk yakni penyakit infeksi pada

anak seperti ISPA, diare, campak, dan rendahnya asupan gizi akibat kurangnya

ketersedian pangan di tingkat rumah tangga atau karena pola asuh yang salah.18

Rendahnya sanitasi dan kebersihan lingkungan pun memicu gangguan

saluran pencernaan, yang membuat energi untuk pertumbuhan teralihkan kepada

perlawanan tubuh menghadapi infeksi. Sebuah riset lain menemukan bahwa

semakin sering seorang anak menderita diare, maka semakin besar pula ancaman

stunting untuknya. Selain itu, saat anak sakit, lazimnya selera makan mereka pun

berkurang, sehingga asupan gizi makin rendah. Maka, pertumbuhan sel otak yang

seharusnya sangat pesat dalam dua tahun pertama seorang anak menjadi

terhambat. Dampaknya, anak tersebut terancam menderita stunting, yang


mengakibatkan pertumbuhan mental dan fisiknya terganggu, sehingga potensinya

tak dapat berkembang dengan maksimal.18

3. Faktor keluarga dan rumah tangga

Faktor keluarga dan rumah tangga dibagi lagi menjadi faktor maternal dan

faktor lingkungan rumah. Faktor maternal berupa nutrisi yang kurang pada saat

prekonsepsi, kehamilan dan laktasi, tinggi badan ibu yang rendah, infeksi,

kehamilan pada usia remaja, kesehatan mental, Intrauterine Growth Retardation

(IUGR) dan kelahiran preterm, jarak kelahiran yang pendek dan hipertensi.

Faktor lingkungan rumah berupa stimulasi dan aktivitas anak yang tidak adekuat,

perawatan yang kurang, sanitasi dan pasokan air yang tidak adekuat, akses dan

ketersediaan pangan yang kurang, alokasi dalam rumah tangga yang tidak sesuai

dan edukasi pengasuh yang rendah.18 Faktor-faktor tersebut antara lain:

a. Kecukupan Energi Ibu Hamil

Kecukupan energi ibu hamil di Indonesia berdasarkan Angka Kecukupan

Energi (AKE) hasil Studi Diet Total (SDT) tahun 2014 adalah lebih dari 50%

ibu hamil baik di perkotaan maupun dipedesaan, asupan energinya ≤ 70%

AKE.20

b. Anemia pada Ibu Hamil

Kondisi yang banyak terjadi pada ibu hamil adalah anemia, terutama

anemia defisiensi besi. Hal ini dapat mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan janin/bayi saat kehamilan maupun setelah dilahirkan.

Diperkirakan 41,8% ibu hamil di seluruh dunia mengalami anemia. Paling

tidak setengahnya disebabkan kekurangan zat besi. Ibu hamil dinyatakan

anemia jika hemoglobin kurang dari 11 mg/dl. Berdasarkan Rikesdas tahun


2013 anemia terjadi pada 37,1% ibu hamil di Indonesia, 36,4% ibu hamil di

perkotaan dan 37,8% ibu hamil di pedesaan.21

c. Kondisi Sanitasi dan Akses Air Minum

Akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi yang buruk dapat

meningkatkan kejadian penyakit infeksi yang dapat membuat energi untuk

pertumbuhan teralihkan kepada perlawanan tubuh menghadapi infeksi, zat gizi

sulit diserap oleh tubuh dan terhambatnya pertumbuhan.Berdasarkan konsep

dan definisi Milennium Development Goals (MDGs), rumah tangga memiliki

akses sanitasi layak apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat

kesehatan, antara lain dilengkapi dengan leher angsa, tanki septik (septic tank)

atau Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL) , yang digunakan sendiri atau

bersama.Lingkungan perumahan seperti kondisi tempat tinggal, pasokan air

bersih yang kurang, dan sanitasi yang tidak memadai merupakan faktor-faktor

yang dapat meningkatkan risiko terjadinya stunting. Air dan sanitasi memiliki

hubungan dengan pertumbuhan anak. Anak-anak yang berasal dari rumah

tangga yang tidak memiliki fasilitas air dan sanitasi yang baik berisiko

mengalami stunting. Sedangkan anak-anak yang memiliki tinggi badan

yangnormal pada umumnya berasal dari rumah tangga yang memiliki fasilitas

air dan sanitasi yang baik. Anak-anak yang awalnya mengalami stunting, jika

mereka berasal dari rumah tangga yang memiliki fasilitas air dan sanitasi yang

baik, mereka memiliki kesempatan sebesar 17 % untuk mencapai tinggi badan

yang normal bila dibandingkan dengan anak-anak stunting yang berasal dari

rumah tangga yang meniliki fasilitas air dan sanitasi yang buruk.22

d. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap

perkembangan orang lain menuju ke arah suatu cita-cita tertentu. Semakin

tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin mudah dalam memperoleh

pekerjaan, sehingga semakin banyak pula penghasilan yang diperoleh.

Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap

seseorang terhadap nilai-nilai yang baru dikenal. Tingkat pendidikan juga

menentukan mudah tidaknya seseorang menyerap dan memahami pengetahuan

tentang gizi dan kesehatan. Pengetahuan mengenai gizi merupakan proses awal

dalam perubahan perilaku peningkatan status gizi, sehingga pengetahuan

merupakan faktor internal yang mempengaruhi perubahan perilaku.

Pengetahuan ibu tentang gizi akan menentukan perilaku ibu dalam

menyediakan makanan untuk keluarga. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik

dapat menyediakan makanan dengan jenis dan jumlah yang tepat untuk

mendukung pertumbuhan dan perkembangan anaknya. Pengetahuan ibu

tentang gizi merupakan salah satu faktor penyebab stunting pada anak.23

4. ASI eksklusif

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012, ASI eksklusif

adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan sampai enam bulan,

tanpa menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain

(kecuali obat, vitamin dan mineral). Pemberian ASI adalah pemenuhan hak bagi

ibu dan anak. ASI tidak dapat tergantikan dengan makanan dan minuman yang

lain. ASI mengandung unsur-unsur gizi yang sangat berperan dalam pemenuhan

nutrisi bayi. Sampai usia 6 bulan, bayi direkomendasikan hanya mengkonsumsi

ASI secara eksklusif.24,25


ASI mengandung unsur-unsur gizi yang dibutuhkan oleh bayi untuk

pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. ASI adalah perlindungan agar

bayi tidak mudah jatuh sakit. Bayi yang diberi ASI terbukti lebih kebal terhadap

berbagai penyakit infeksi, seperti diare, pneumonia, ISPA dan otitis media

(infeksi telinga). ASI Eksklusif memiliki kontribusi yang besar terhadap tumbuh

kembang dan daya tahan tubuh anak. Anak yang diberi ASI eksklusif akan

tumbuh dan berkembang secara optimal karena ASI mampu mencukupi

kebutuhan gizi bayi sejak lahir sampai umur 24 bulan. ASI diperlukan untuk

pertumbuhan, perkembangan dan kelangsungan hidup bayi.24,25

D. Patofisiologi

Fase pertumbuhan manusia yang paling cepat adalah saat intrauterin. Setelah

kelahiran, penurunan bertahap dalam tingkat pertumbuhan terjadi selama beberapa

tahun pertama kehidupan. Panjang rata-rata bayi saat lahir adalah sekitar 20 inci,

panjang pada usia 1 tahun adalah sekitar 30 inci, panjang pada usia 2 tahun adalah

sekitar 35 inci, dan panjang pada usia 3 tahun adalah sekitar 38 inci. Setelah usia 3

tahun, pertumbuhan linier berlangsung pada tingkat yang relatif konstan 2 inci per

tahun (5 cm / tahun) hingga pubertas. Perawakan pendek mungkin merupakan

ekspresi normal dari potensi genetik, dalam hal ini tingkat pertumbuhan normal, atau

mungkin hasil dari suatu kondisi yang menyebabkan kegagalan pertumbuhan dengan

tingkat pertumbuhan yang lebih rendah dari normal. Kegagalan pertumbuhan adalah

istilah yang menggambarkan tingkat pertumbuhan di bawah kecepatan pertumbuhan

yang sesuai untuk usia.27

Pertumbuhan normal adalah hasil interaksi faktor genetik, nutrisi, metabolisme,

dan endokrin yang tepat. Secara fisiologi sekresi hormon pertumbuhan (GH) oleh

hipofisis dirangsang oleh hormon pelepas pertumbuhan (GHRH) dari hipotalamus.


GHRH juga merangsang proliferasi somatotrof. Sinyal lain yang dirangsang oleh

protein pelepas hormon pertumbuhan (GHRP) tertentu telah diidentifikasi yaitu

ghrelin merupakan ligan alami untuk reseptor ini. Reseptor GHRH adalah permukaan

sel yang berkaitan dengan protein G (Gs). Ini merangsang produksi cAMP intraseluler

setelah aktivasi yang diinduksi ligan. Ghrelin (dari kata ghre, kata dasar dalam bahasa

Indo-Eropa yang berarti tumbuh), unik karena merupakan polipeptida kecil yang

dimodifikasi pada asam amino ketiga (serin) dengan esterifikasi asam n-oktanoat.

Ghrelin adalah protein pada sistem gastrointestinal (disintesis dalam lambung) yang

secara spesifik menginduksi sekresi GH. Reseptor ghrelin diekspresikan pada

hipofisis anterior. Somatostatin yang dikeluarkan oleh hipotalamus menghambat

sekresi hormon pertumbuhan. Ketika hormon pertumbuhan disekresikan ke dalam

sirkulasi sistemik, insulin like growth factor (IGF) -1 dilepaskan, baik secara lokal

atau di lokasi tulang yang tumbuh. Hormon pertumbuhan bersirkulasi terikat pada

protein pengikat spesifik (GHBP), yang merupakan bagian ekstraseluler dari reseptor

hormon pertumbuhan. IGF-1 bersirkulasi terikat ke salah satu dari beberapa protein

pengikat (IGFBPs). IGFBP yang paling tergantung pada hormon pertumbuhan adalah

IGFBP-3.27

Kekurangan nutrisi yang berkepanjangan yang disebabkan oleh minimnya intake

energi akan mengakibatkan menyusutnya massa lemak dan penurunan konsentrasi

insulin sehingga menekan produksi leptin. Kadar leptin rendah merangsang sumbu

hipotalamus hipofisis adrenal dan mungkin sumbu hipotalamus hipofisis GH untuk

mempertahankan kadar kortisol dan GH yang tinggi yang diperlukan untuk lipolisis

untuk memastikan asam lemak cukup untuk mensuplai metabolisme otak dan jaringan

perifer selama kekurangan gizi. Sehingga leptin memastikan substrat yang seharusnya

digunakan untuk pertumbuhan dialihkan untuk homeostasis metabolik.28 Situasi ini


membaik ketika anak mulai bertumbuh. Pada akhir enam bulan intervensi, rasio leptin

dan leptin-adiponektin meningkat pada anak-anak yang mengalami stunting.29

Pertama kami berspekulasi bahwa perubahan adipokin pada anak yang terhambat

dikarenakan peningkatan massa lemak sebagai hasil dari suplementasi makanan dan

stimulasi psikososial. Namun, kami mengesampingkan efek massa lemak pada

perubahan hormon, karena tidak diukur dalam penelitian ini.Selain itu, tidak ada

hubungan signifikan yang ditemukan antara panjang anak dan perubahan BMI dengan

tingkat serum adipokine dan peptida di antara anak-anak yang terhambat dengan

suplementasi makanan dan stimulasi psikososial. 30

Penelitian sebelumnya yang dilakukan mengkonfirmasi di antara anak-anak yang

kekurangan gizi lebih rentan terhadap infeksi. Nutrisi yang kurang optimal dan

peradangan kronis yang dimediasi oleh sitokin proinflamasi berkontribusi pada

hambatan pertumbuhan.31 Tingkat CRP dan sebagian besar sitokin proinflamasi (IL-6,

IL-12, dan TNF-α) lebih rendah di antara anak-anak dengan pertumbuhan terhambat

dibandingkan kontrol pada awal. Satu penjelasan yang mungkin untuk hal ini adalah

selama kekurangan gizi kronis, ada reduksi dari sumsum tulang yang menghasilkan

penurunan produksi IL-6 dan TNF-α oleh sel-sel sumsum tulang. 32 Sebagai tambahan

anak-anak kurang gizi lebih rentan terhadap infeksi. Karena itu, tubuh menekan

imunitas seluler sebagai respons adaptif untuk mencegah reaksi autoimun. 33 IL-6

dianggap sebagai penginduksi terpenting hepatosit untuk mensintesis protein fase akut

terhadap respon infeksi, dan CRP diproduksi terutama di hati sebagai respons

terhadap IL-6.34 Penelitian sebelumnya yang dilakukan di wilayah studi kami saat ini

mengkonfirmasi lebih banyak infeksi di antara anak-anak yang kekurangan gizi

dibandingkan teman sebayanya dan adanya peningkatan level IL-6 menunjukkan

adanya infeksi yang mendasarinya.35 Namun, tingkat IL-6 meningkat pada anak
terhambat setelah enam bulan intervensi bukan pada awal. Kami juga mengamati

korelasi positif sedang antara IL-6 dan Tingkat CRP pada anak terhambat setelah

enam bulan intervensi yang dapat dijelaskan. Meski paparan infeksi yang konstan,

kurangnya respon imun yang di mediasi sel pada anak stunting mungkin membatasi

ekspresi sel-sel inflamasi pada rangsangan pada awal namun meningkat setelah enam

bulan intervensi karena peningkatan pada respons imun yang dimediasi sel terhadap

rangsangan infeksi.28 Hal tersebut disebabkan karena suplementasi makanan kaya

makronutrien dan mikronutrien. Namun, temuan ini perlu lebih jauh dieksplorasi

dalam studi masa depan.36,37

Stunting merupakan hasil dari beberapa etilogi yang kompleks yang juga

melibatkan faktor sosial, kondisi ekonomi dan politik. 38 Dalam beberapa tahun

terakhir beberapa bukti telah menunjukkan bahwa, sindrom inflamasi pada usus halus

yang disebut Pediatric E nvironmental Enteropathy (PEE) memainkan peran

utama pada penyakit ini.39-42 Analisis histopatologi yang dilakukan pada biopsi

duodenum dan studi mikrobiologi yang dilakukan pada aspirasi duodenum bayi dan

anak-anak yang terkena dampak PEE telah mengungkapkan tiga komponen utama

yang mendukung hipotesis patofisiologi saat ini yaitu,43 atrofi usus melalui

penumpulan vili, infiltrasi mediator inflamasi ke kedua epitel dan lamina propria, dan

perkembangan bakteri usus pro inflamasi dan patogen enterik yang bonafit.44 Oleh

karena itu dua kemungkinan yang terkait, secara etiologi dapat dijelaskan bahwa PEE

mengakibatkan serangkaian infeksi pada usus, ketidakseimbangan mikrobiota yang

melibatkan akuisisi oral berkelanjutan bakteri pada tinja yang berkoloni pada duodeno

jejunum, sehingga mengakibatkan small intestinal bacterial overgrowth (SIBO).

Ketidakseimbangan mikrobiota ini menghasilkan ekosistem yang tidak dapat


mempertahankan homeostasis usus dan fungsi vital usus yaitu untuk pencernaan dan

penyerapan nutrisi.45

Dalam beberapa tahun terakhir, penelitian tertentu telah membahas faktor risiko

yang terkait dengan PEE. Faktor paling penting yang terkait dengan PEE dapat

dikonseptualisasikan dengan faktor yang mendasari dan berkontribusi, mekanisme

biologis yang mengarah ke perubahan patofisiologi yang diamati di usus halus dan

hasil patofisiologi dari perubahan usus kecil ini. 45

Gambar 8. Patofisilogi Stunting

Sumber : BMC Pediatri tahun 2018


Fig. 1 Scheme depicting the different entities underlying or being affected by pediatric environmental enteropathy (PEE).
Underlying causes are colored in orange, physiological changes in red and consequences in green
E. Diagnosis

Penentuan perawakan pendek, dapat menggunakan beberapa standar antara

lain Z-score baku National center for Health Statistic/Center for Diseases Control

(NCHS/CDC) atau Child Growth Standards World Health Organization (WHO)

tahun 2005.46 Indeks TB/U merupakan indeks antropometri yang menggambarkan

keadaan gizi pada masa lalu dan berhubungan dengan kondisi lingkungan dan
sosial ekonomi. Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
47
1995/MENKES/SK/XII/2010 tentang standar antropometri penilaian status gizi

anak, pengertian pendek dan sangat pendek adalah status gizi yang didasarkan

pada indeks panjang badan menurut umur (PB/U) atau tinggi badan menurut

umur (TB/U) yang merupakan padanan istilah stunting (pendek) dan severely

stunting (sangat pendek).47 Pengaruh kekurangan zat gizi terhadap tinggi badan

dapat dilihat dalam waktu yang relatif lama.48

Beberapa penelitian menunjukkan proporsi perawakan pendek pada anak lebih

tinggi dengan menggunakan kurva WHO 2005 dibandingkan NCHS/CDC

sehingga implikasinya penting pada program kesehatan. 49,50 Tinggi badan dalam

keadaan normal akan bertambah seiring dengan bertambahnya umur.

Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap

masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh kekurangan zat

gizi terhadap tinggi badan akan tampak dalam waktu yang relatif lama sehingga

indeks ini dapat digunakan untuk menggambarkan status gizi pada masa lalu. 51

Klasifikasi status gizi pada anak, baik laki–laki maupun perempuan berdasarkan

standar WHO 2005 dapat dilihat pada tabel berikut.46

Tabel 1. Klasifikasi Stunting46

Indeks Ambang Batas Status Gizi


TB/U > +2 SD Perawakan tinggi
-2SD s/d +2SD Normal
-3SD s/d < -2SD Perawakan pendek
< -3SD Perawakan sangat pendek
Tabel 2. Panjang Badan per Umur (PB/U) untuk Laki-laki usia 0-2 Tahun46
Tabel 3. Panjang Badan per Umur (PB/U) untuk Laki-laki usia 2-5 Tahun46
Tabel 4. Panjang Badan per Umur (PB/U) untuk Perempuan usia 0-2 Tahun46
Tabel 5. Panjang Badan per Umur (PB/U) untuk Perempuan usia 2-5 Tahun46
F. Komplikasi

Konsekuensi yang diakibatkan dari terjadinya stunting pada balita maupun anak-anak

dapat berlangsung dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Komplikasi jangka pendek

adalah terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan

gangguan metabolisme dalam tubuh. Dalam jangka panjang, akibat buruk yang dapat

ditimbulkan adalah menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi belajar, menurunnya

system imunitas tubuh sehingga rentan terhadap penyakit, dan resiko tinggi untuk muculnya

penyakit diabetes, obesitas, penyakit jantung dan pembuluh darah, kanker, stroke dan

disabilitas pada usia tua. Kesemuanya ini akan menurunkan kualitas sumber daya manusia

sutu Negara, produktivitas dan daya saing bangsa.52

G. Kebijakan Dan Strategi Penanggulangan Stunting Di Indonesia

1. Kebijakan Penanggulangan Stunting di Indonesia

Upaya percepatan perbaikan gizi merupakan upaya Global, tidak saja untuk

Indonesia, melainkan semua negara yang memiliki masalah gizi stunting. Sebagai negara

anggota PBB dengan prevalensi stunting yang tinggi turut berupaya dan berkomitmen

dalam upaya percepatan perbaikan gizi „scaling up nutrition (SUN)“ masyarakat. Upaya

tersebut tidak terlepas dari rencana jangka panjang, menengah dan jangka pendek dengan

mengacu kepada undang-undang yang telah ditetapkan oleh Badan Legislatif. Di

Indonesia, berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dalam

rangka penanggulangan stunting, yaitu: 53,54

Undang-Undang nomor 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(2005-2025) menyebutkan, pembangunan pangan dan perbaikan gizi dilaksanakan secara

lintas sektor meliputi produksi, pengolahan, distribusi, hingga konsumsi pangan dengan
kandungan gizi yang cukup, seimbang, serta terjamin keamanannya. Pemerintah di

dalam RJPN mengagendakan Program Pembangunan Nasional Aksses Universal Air

Minum dan Sanitasi Tahun 2019, dimana tahun 2019 Indonesia dicanangkan dapat

menyediakan layanan air minum dan sanitasi yang layak bagi 100% rakyat Indonesia.53,54

Selanjutnya, Undang-Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan

yang mengatur penyelenggaraan upaya perbaikan gizi masyarakat meliputi: arah, tujuan,

dan strategi perbaikan gizi masyarakat. Tujuan perbaikan gizi adalah meningkatkan mutu

gizi perseorangan dan masyarakat, dilakukan melalui empat strategi, yaitu melalui

perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; perbaikan perilaku

sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi

yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan peningkatan sistem kewaspadaan

pangan dan gizi. Sejalan dengan kedua undang-undang tersebut, terbit Undang- Undang

tentang Pangan nomor 18 tahun 2012 yang menetapkan kebijakan di bidang pangan

untuk perbaikan status gizi masyarakat. Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun

Rencana Aksi Pangan dan Gizi setiap 5 (lima) tahun.53-55

Dari ketiga undang-undang tersebut selanjutnya diterbitkan Perpres No. 5/2010

tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2010-2014) menyebutkan, arah

Pembangunan Pangan dan Gizi yaitu meningkatkan ketahanan pangan dan status

kesehatan dan gizi masyarakat. Selanjutnya, Inpres No. 3/2010 menegaskan tentang

penyusunan Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi (RANPG) 2011-2015 dan Rencana

Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) 2011-2015 di 33 provinsi.53

Peraturan Pemerintah (PP) No. 33 tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu

Ekslusif dibuat sebagai peraturan pelaksana ketentuan pasal 129 ayat (2) UU No. 36
tahun 2009 tentang Kesehatan. Pengaturan pemberian ASI ekslusif dibuat untuk

memnjamin pemenuhan hak bayi untuk memperoleh ASSI ekslusif sampai dengan bayi

berumur 6 bulan dengan memperhatikan perrtumbuhan dan perkembangannya.

Pemberian ASI ekslusif diketahui berpengaruh terhadap kejadian ggizi buruk, dimana

rendahnya pemberian ASI ekslusif menjadi salah satu pemicu stunting pada anak.54,55

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 30 ayat (4) Peraturan Pemerintah No. 33 tahun

2012 tentang Pemberian ASI Ekslusif maka ditetapkan Permenkes No. 15 Tahun 2013

tentang Tata Cara Penyediaan Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu

Ibu. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada ibu agar tetap

leluasa memberikan ASI ekslusif dengan menyediakan saraana untuk menyusui di

tempat kerja maupun sarana umum, memberikan kesempatan bagi ibu yang bekerja di

dalam ruangan dan/atau di luar ruangan untuk menyusui dan/atau memerah ASI pada

waktu kerja di tempat kerrja salah satunya dengan penyediaan ruang ASI yang sesuai

standar.54,56

Peraturan Presiden nomor 42/2013 tentang Gerakan Nasional Perbaikan Gizi dibuat

sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan dan

kesadaran masyarakat akan pentingnya gizi dan pengaruhnya terhadap peningkatan

status gizi masyarakat. Gerakan Nasional Perbaikan gizi diterbitkan untuk mendukung

upaya bersama antara pemerintah dan masyarakat melalui penggalangan partisipasi dan

kepedulian pemangku kepentingan secara terencana dan terkoordinir untuk percepatan

perbaikan gizi dalam 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK). Perbaikan gizi

masyarakat diharapkan berdampak pada penurunan prevalensi stunting.53,54,57


Permenkes No.3 Tahun 2014 tentang Sanitasi Total Berbasis Masyarakat

(STBM), dimaksudkan untuk memperkuat upaya perilaku hidup bersih dan sehat,

mencegah penyebaran penyakit berbasis lingkungan, meningkatkan kemampuan

masyarakat, serta meningkatkan akses air minum dan sanitasi dasar melalui

penyelenggaraan STBM. STBM merupakan suatu pendekatan untuk mengubah

perilaku higienis dan saniter melalui pemberdayaan masyarakat. Pelaksanaan

STBM diharapkan mampu meningkatkan higienitas pribadi dan lingkungan, dimana

peningkatan higienitas dapat berdampak pada penurunan resiko stunting.53,54,58

Peraturan Menteri Kesehatan No.23 tahun 2014 tentang Upaya Perbaikan Gizi

dibuat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat pada seluruh

siklus kehidupan sejak dalam kandungan sampai dengan lanjut usia dengan

prioritas kepada kelompok rawan gizi. Permen ini mengatur tentang tugas dan

tanggung jawab, kecukupan gizi, pelayanan gizi, surveilans gizi, dan tenaga gizi.

Kelompok rawan gizi yang dimaksud dalam permen ini adalah bayi dan balita; anak usia

sekolah dan remaja perempuan; ibu hamil, nifas dan menyusui, pekerja wanita dan

usia lanjut. Pelayanan gizi dilakukan melalui pendidikan gizi, suplementasi gizi,

tata laksana gizi, dan surveilans gizi.53,54,59

Dengan demikian, instrumen pendukung kebijakan dalam percepatan perbaikan gizi

sudah cukup lengkap, dan membutuhkan upaya implementasi yang terorganisir dan

dapat diterapkan disetiap tingkatan oleh setiap elemen yang terlibat. Dibutuhkan upaya

yang lebih konkrit, fokus pada 1000 HPK dan integrasi kegiatan secara lintas program

(upaya spesifik) maupun lintas sektoral (upaya sensitif) oleh semua stakes holders.53

2. Intervensi Terhadap Penanggulangan Stunting di Indonesia


Untuk memastikan tercapainya target prevalensi stunting Worlf Health Assembly

(WHA) yaitu menurunkan angka stunting sebanyak 40% dari prevalensi 20133 yaitu

22% pada tahun 2025 dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) yaitu eliminasi

semua bentuk kekurangan gizi pada tahun 2030, perlu diupayakan percepatan penurunan

stunting dari kondisi saat ini. Melihat langsung pada tren penurunan stunting dari

penyebab langsung yaitu berat badan lahir rendah (BBLR), asupan gizi ibu hamil

(mikronutrisi antenatal), dan angka diare. Terdapat tiga skenario permodelan pencegahan

stunting untuk anak berusia dibawah dua tahun (baduta) hingga 2024. Skenario pertama

(pesimis): dengan upaya yang dilakukan saat ini angka stunting pada baduta akan turun

sekitar 1-1,5% per tahun. skenario kedua (moderat): dengan peningkatan upaya, angka

stunting pada baduta akan turun sebesar 1,5-2% per tahun dan dapat mencapai target

WHA dan TPB. Skenario ketiga (optimis): dengan peningkatan upaya yang lebih

optimis, angka stunting pada baduta akan turun sekitar 2-2,5% per tahun. 53,54,60

Sasaran prioritas Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting adalah ibu

hamil dan anak berusia 0-23 bulan atau rumah tangga 1.000 HPK. 1000 HPK merupakan

masa yang paling kritis dalam tumbuh kembang anak. Riskesdas (2013) mencatat bahwa

penurunan tumbuh kembang anak merupakan akibat dari buruknya pola makan bayi dan

anak. Hal ini menyebabkan peningkatan prevalensi stunting dari 29% (0-6 bulan), ke

39% (6-11 bulan), dan menjadi 42% (usia 24-35 bulan). Namun, stunting tidak hanya

dipengaruhi oleh status gizi ibu hamil dan anak selama 1.000 HK, tetapi juga

dipengaruhi oleh gizi ibu pada periode sebelumnya, terutama pada periode pra konsepsi

yaitu wanita usia subur dan remaja.60


Selain kategori sasaran prioritas pencegahan stunting terdapat kategori sasaran

penting yaitu anak usia 24-59 bulan, wanita usia subur (WUS), dan remaja putri. Sasaran

penting ini perlu diintervensi apabila semua sasaran prioritas telah terlayani secara

optimal. Intervensi yang dilakukan pemerintah dikelompokan menjadi intervensi sensitif

dan intervensi spesifik.54,60

Intervensi gizi spesifik dilakukan oleh Kementrian Kesehatan (Kemenkes) melalui

pusat kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).

Intervensi gizi spesifik menyasar penyebab stunting yang meliputi kecukupan asupan

makanan dan gizi, pemberian makan, perawatan dan pola asuh, serta pengobatan

infeksi/penyakit. Terdapat tiga kelompok intervensi gizi spesfisik yaitu intervensi

prioritas, interveni pendukung dan intervensi prioritas sesuai kondisi tertentu.54,60

Tabel 1. Intervensi Gizi Spesifik Percepatan Pencegahan Stunting60

Kelompok Intervensi Prioritas Intervensi Intervensi Prioritas

Sasaran Pendukung Sesuai Kondisi

Tertentu

Kelompok Sasaran 1.000 HPK

Ibu hamil  Pemberian makanan  Suplementasi  Perlindungan dari

tambahan bagi ibu hamil kalsium malaria

dari kelompok miskin/


 Pemeriksaan  Pencegahan HIV
Kurang Energi Kronik
kehamilan

 Suplementasi tablet tambah

darah

Ibu  Promosi dan konseling  Suplementasi  Pencegahan


menyusui meyusui kapsul vitamin A kecacingan

dan anak 0-
 Promosi dan konseling  Suplementasi
23 bulan
pemberian makan bayi dan taburia

anak (PMBA)
 Imunisasi

 Tata laksana gizi buruk


 Suplementasi zinc

 Pemberian makanan untuk pengobatan

tambahan pemulihan bagi diare

anak kurus
 Manajemen

 Pemantauan dan promosi terpadu balita sakit

pertumbuhan

Kelompok Sasaran Usia Lainnya

Remaja  Suplementasi tablet

Putri dan tambah darah

wanita usia

Anak 24 –  Tata laksana gizi buruk  Suplementasi  Pencegahan

59 bulan kapsul vitamin A kecacingan


 Pemberian makanan

tambahan pemulihan bagi  Suplementasi

anak kurus taburia

 Pemantauan dan promosi  Imunisasi

pertumbuhan
 Suplementasi zinc

untuk pengobatan
diare

 Manajemen

terpadu balita sakit

Intervensi gizi sensitif dilakukan oleh sektor lain di luar kesehatan, seperti

Kementrian Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementrian Pertanian,

Kementrian Sosial, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Intervensi gizi sensitif

mencakup peningkatan akses pangan bergizi, peningkatan kesadaran, komitmen dan

praktik pengasuhan gizi ibu dan anak, peningkatan akses dan kualitas pelayanan gizi dan

kesehatan, dan peningkatan penyediaan air bersih dan sarana sanitasi. Intervensi gizi

sensitif umumnya dilaksanakan di luar kementrian kesehatan. Sasaran intervensi gizi

sensitif adalah keluarga dan masyarakat umum. Intervensi dilakukan melalui berbagai

program dan kegiatan.53,54,60

Gambar 1. Intervensi Gizi Sensitif Percepatan Pencegahan Stunting60


.

3. Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting

Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting (Stranas Stunting) disusun

melalui proses penilaian dan diagnosis pencegahan stunting, termasuk identifikasi

prioritas kegiatan. Tujuannya adalah untuk memastikan agar semua sumber daya

diarahkan dan dialokasikan untuk mendukung dan membiayai kegiatan – kegiatan

prioritas, terutama untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan gizi pada
60
kelompok ibu hamil dan anak berusia 0-23 bulan atau rumah tangga 1.000 HPK.

Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting terdiri dari lima pilar, yaitu:

a) Komitmen dan Visi Kepemimpinan. Pilar 1 (satu) bertujuan memastikan pencegahan

stunting menjadi prioritas pemerintah dan masyarakat di semua tingkatan. Strategi


pencapaian pilar 1 (satu) adalah kepemimpinan Presiden untuk pencegahan, kepemimpinan

Pemerintah Daerah untuk pencegahan, Kepemimpinan Pemerintah Desa untuk pencegahan

dan pelibatan swasta, masyarakat madani, dan komunitas.53,60

b) Kampanye Nasional dan Komunikasi perubahan perilaku. Pilar 2 (dua) bertujuan untuk

meningkatkan kesadaran publik dan perubahan perilaku masyarakat untuk mencegah

stunting. Strategi pencapaian pilar 2 (dua) adalah kampanya perubahan perilaku bagi

masyarakat umum yang konsisten dan berkelanjutan, komunikasi antar pribadi sesuai konteks

sasaran, advokasi berkelanjutan kepada pengambilan keputusan, dan Pengembangan

kapasitas pengelola program. 53,60

c) Konvergensi program pusat, daerah, dan desa. Pilar 3 (tiga) bertujuan untuk memperkuat

konvergensi melalui koordinasi dan konsolidasi program dan kegiatan pusat, daerah, dan

desa. Strategi pencapaian tujuan pilar 3 (tiga) adalah memperkuat konvergensi dalam

perencanaan dan penganggaran program dan kegiatan untuk meningkatkan cakupan dan

kualitas intervensi gizi prioritas melalui pengembangan kapasitas pemerintah kabupaten/kota,

memperbaiki pengelolaan layanan program untuk memastikan sasaran prioritas (Rumah

Tangga 1.000) HPK) memperoleh da memanfaatkan paket intervensi yang disediakan, dan

memperkuat koordinasi lintas sektor dan antar tingkatan pemerintah, sampai dengan desa

untuk memastikan keselarasan penyediaan dan penyelenggaraan pelaksanaan program. 53,54,60

d) Ketahanan pangan dan gizi. Pilar 4 (empat) bertujuan meningkatkan akses terhadap

makanan bergizi dan mendorong ketahanan pangan. Strategi pencapaian tujuan pilar 4

(empat) adalah penyediaan pangan yang bergizi, perluasan program bantuan sosial dan

bantuan pangan yang bergizi untuk keluarga kurang mampu, pemenuhan kebutuhan pangan

dan gizi keluarga, dan penguatan regulasi mengenai label dan iklan pangan. 53,54,60
e) Pemantauan dan evaluasi. Pilar 5 (lima) bertujuan untuk meningkatkan pemantauan dan

evaluasi sebagai dasar untuk memastikan pemberi layanan yang bermutu, peningkatan

akuntabilitas, dan percepatan pembelajaran, pemantauan dan evaluasi akan menitikberatkan

pada: (a) danpak dan capaian program; (b) output kunci; dan (c) faktor-faktor yang

mendukung percepatan pencegahan stunting.53,60

Strategi ini diselenggarakan di semua tingkatan pemerintah dengan melibatkan

berrbagai institusi pemerintah yang terkait dan institusi non pemerintah, seperti swasta,

masyarakat madani, dan komunitas. Strategi ini digunakan untuk menyasar kelompok

prioritas rumah tangga 1.000 HPK dan masyarakat umum di lokasi prioritas.60

Anda mungkin juga menyukai