Anda di halaman 1dari 3

Potret Pendidikan Dasar di Pinggiran Kota, Sorong-Papua Barat

    
1 Desember 2013   18:29 |
Diperbarui: 24 Juni 2015   04:27

Letaknya yang strategis membuatnya sering disebut sebagai pintu gerbang papua. Ya… kota sorong,
merupakan bagian dari kepulauan papua, provinsi papua barat.

Terletak pada kepala burung, yang oleh karena itu sering disebut sebagai pintu gerbang kepulauan
papua. Dan di kota inilah roda perekonomian berputar lebih cepat, maka tidak perlu di herankan lagi
bahwa angka pengangguran di kota ini sangatlah minim. Yang penting rajin, jujur dan mau berusaha
serta berdoa, pasti bisa hidup makmur.

Selain letaknya yang strategis, alamnya pun sangat mempesona. Keistimewaan pantai yang sangat
menakjubkan di karenakan air laut yang biru, ombak yang menggulung indah seakan mengajak kita
untuk menari bersamanya, dan tak kalah lagi pasir laut yang putih halus menambah keindahan
pantai-pantai di kota sorong.

Itulah sekilas gambaran kota sorong, papua barat. Letaknya yang strategis lengkap dengan
keindahan pantainya yang sangat menakjubkan.

Kini ada satu hal yang perlu kita ketahui lebih dalam. Tentang bagaimana dunia pendidikan yang
berlangsung dikota ini. Berada di daerah timur Indonesia, sudahkah mendapatkan pendidikan yang
layak? Yang sama dengan kota-kota besar di daerah barat Indonesia.

Hampir sebagaian besar pendidikan yang berlangsung di daerah kota, sudah mendapatkan
pendidikan yang layak. Pendidikan yang sama dengan di daerah barat Indonesia. Bagaimana tidak?
Setiap sekolah di daerah kota berlomba-lomba menyediakan gedung sekolah yang nyaman, lengkap
dengan fasilitas-fasilitas sekolah yang sangat memadai, di tambah lagi dengan guru-guru yang
berkualitas, serta memiliki manajemen yang sangat bagus, yang mampu bersaing dengan pendidikan
di luar kota sorong.

Tetapi, biar bagaimana pun kota sorong tidak hanya terdiri dari daerah kota melainkan juga daerah
pinggiran kota. Bagaimana dengan pendidikan di daerah pinggiran kota sorong?

Ada satu sekolah dasar yang menurut saya sangat menarik di jadikan sample untuk mengetahui
bagaimana pendidikan yang berlangsung di daerah penggiran kota, sorong-papua barat.

Letaknya ± 1 jam jika di tempuh dari daerah kota. Akses jalan menuju ke sana masih di katakan sulit.
Sebab jika musim hujan jalanan akan di penuhi lumpur. Sebaliknya jika musim panas, debu-debu
akan menyerang dengan ganasnya. Transportasi pun masih sangat sulit. Tidak ada angkutan umum
di daerah tersebut. Oleh karena itu, masyarakat sekitar lebih sering berjalan kaki jika ingin
berpergian kecuali yang memiliki kendaraan pribadi (itu pun bisa di hitung dengan jari).

Sebagian besar masyarakat bekerja sebagai pemecah batu. Setiap harinya mereka memecahkan
batu besar menjadi kecil-kecil yang kemudian batu-batu kecil itu di jual. 

Daerah pingiran kota ini memiliki keindahan pantai yang luar biasa. Oleh karena itu di jadikan
sebagai tempat wisata. Hal ini pun digunakan masyarakat sebagai sumber mata pencaharian.
Mereka berjualan apapun yang sekiranya bisa dijual kepada para pengunjung seperti kelapa muda,
sukun, tempurung kelapa, dan lain sebagainya.

Nama sekolah dasar yang berada di daerah ini dan sekaligus yang menjadi sample saya untuk
mengetahui bagaimana pendidikan dasar yang berlangsung di daerah pinggiran kota adalah SD
INPRES 136 SAOKA DISTRIK SORONG BARAT JALAN OBED MUBALUS.

Sekolah ini memiliki gedung yang boleh di katakan sangat baik, karena terdiri dari ruang kelas yang
nyaman , perpustakaan yang di design senyaman mungkin. Tidak ada satupun kecacatan dari sisi
gedungnya. Tetapi apalah artinya jika memiliki ruang kelas yang nyaman sementara jumlah tenaga
pengajarnya kurang.

Guru di sekolah ini hanya berjumlah 8 orang. Itupun sudah terhitung dengan kepala sekolah. Dan
yang memprihatinkan untuk siswa-siswi di sekolah ini adalah kepala sekolah dan sebagian gurunya
bertempat tinggal di daerah kota. Maka tak jarang guru-guru yang bertempat tinggal di daerah kota
tidak bisa datang ke sekolah untuk mengajar dengan alasan capek di jalan karena jarak dari rumah ke
sekolah terlalu jauh. Apalagi jika musim hujan tiba, akses jalan akan sangat sulit di lalui maka mereka
lebih memilih untuk tidak pergi mengajar.

Di sekitar lingkungan sekolah terdapat tiga rumah dinas guru. Guru-guru inilah yang setiap harinya
bisa ada di sekolah. Mengajar anak-anak didiknya, membimbing mereka, memasuki alam kehidupan
mereka sehingga guru-guru ini mampu mengerti porsi pendidikan seperti apa untuk mereka. Karena
anak-anak pinggiran kota seperti ini sangatlah berbeda dengan anak-anak yang hidup di kota. Yang
sangat nampak adalah bahasa yang mereka gunakan untuk berkomunikasi yaitu bahasa non baku.
Contoh, jika “di beri perintah tunjuk dahi mu”, mereka akan bingung karena tidak mengetahui apa
itu dahi. Yang mereka tahu adalah testa (bukan dahi).

Sampai pada saya berkenalan dengan salah satu staf gurudi SD tersebut, seorang guru olahraga yang
bernama Bapak Berti Relebulan. Berasal dari Tanimbar, Maluku Tenggara.Beliau sudah mengabdikan
diri untuk mengajar di SD tersebut selama 10 tahun sejak berjalannya proses KBM di sekolah ini.
Menceritakan bagaimanaharus mengajar anak-anak di daerah pinggiran kota seperti ini, yang harus
memasuki alam kehidupan mereka. Sebab mereka adalah batu yang harus kita pecahkan.

Kesempatan untuk langsung mengajar pun saya dapatkan. Hari di mana saya melakukan observasi
lingkungan sekolah juga cara berinteraksi guru dan siswa-siswi dalam pembelajaran, sekaligus hari di
mana untuk pertama kalinya saya mengajar siswa-siswi sekolah dasar di pinggiran kota. Dengan
sedikit bekal yang di berikan Bapak Berti Relebulan bagaimana cara berinteraksi dengan siswa-siswi
ini, tak ingin menolak kesempatan yang di berikan.

Dengan langkah yang pasti serta keingintahuan yang begitu hebat dari dalam diri, saya masuk ke
ruang belajar kelas 5. Memperkenalkan diri sebagai guru bahasa inggris yang ingin melakukan
observasi,sontak membuat mereka bergembira. Terlihat dari keantusiasan mereka ketika
mengatakan “kita mau belajar bahasa inggris”. Tetapi saya tak lantas mengajari mereka bahsa
inggris. Sebelumnya saya lebih ingin memgetahui seberapa hebat mereka bisa membaca bahasa
Indonesia.

Dan hati ini mulai terasa pilu, sangat miris ketika melakukan test membaca sebagian besar dari
mereka belum bisa membaca, kalaupun bisa itu dengan mengeja seperti layaknya anak yang baru
masuk sekolah. Bagaimana bisa kita belajar bahasa inggris sedangkan bahasa kita, bahasa Indonesia
saja kita belum fasih membacanya. Ini adalah siswa-siswi kelas 5 sekolah dasar, belum bisa fasih
membaca. Sebagai guru, sebagai calon guru, saya rasa sangat memilukan hati mendapati keadaan
seperti ini.

Tetapi terlepas dari keadaan ini, mereka punya semangat yang luar biasa untuk bisa ke sekolah. Bisa
bertemu teman-teman, bertemu guru-guru hebat yang setiap harinya mengajari mereka tentang
banyak hal dan membekali mereka dengan ilmu pengetahuan. Walaupun lagi-lagi memiriskan hati
saya, ada yang terlihat ke sekolah tanpa sepatu, hanya bertelanjang kaki. Tidak memakai seragam
sekolah. Kalaupun pakai, hanya celana saja yang berseragam.

Inilah salah satu potret pendidikan dasar di pinggiran kota, Sorong-Papua Barat. Meski hanya sedikit
yang bisa saya gambarkan, tetapi besar harapan agar para guru maupun calon guru segera
menyatukan paradigma bahwa guru bukanlah profesi semata tetapi guru adalah figur yang di
genggamannyalah terdapat masa depan bangsa. Perhatikanlah anak-anak pinggiran kota. Jangan
biarkan keadaan lingkungan membuat mereka mendapatkan keterbelakangan pendidikan.
Cerdaskalah anak-anak bangsa Indonesia secara merata.

Anda mungkin juga menyukai