Anda di halaman 1dari 6

KONSEP DASAR HIV/AIDS

1. Definisi
HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan pathogen yang menyerang sistem imun
manusia, terutama semua sel yang memiliki penenda CD 4+ dipermukaannya seperti
makrofag dan limfosit T. AIDS (acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan suatu
kondisi immunosupresif yang berkaitan erat dengan berbagai infeksi oportunistik, neoplasma
sekunder, serta manifestasi neurologic tertentu akibat infeksi HIV (Kapita Selekta, 2014).
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah suatu retrovirus yang berarti terdiri atas untai
tunggal RNA virus yang masuk ke dalam inti sel pejamu dan ditranskripkan kedalam DNA
pejamu ketika menginfeksi pejamu. AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah
suatu penyakit virus yang menyebabkan kolapsnya sistem imun disebabkan oleh infeksi
immunodefisiensi manusia (HIV), dan bagi kebanyakan penderita kematian dalam 10 tahun
setelah diagnosis (Corwin, 2009).
AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) atau kumpulan berbagai gejala
penyakitakibat turunnya kekebalan tubuh individu akibat HIv (Hasdianah dkk, 2014).
2. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang disebut HIV dari
sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut Lympadenopathy Associated
Virus(LAV) atau Human T-Cell Leukimia Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell
Lympanotropic Virus (retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA)
menjadi asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu (Nurrarif &
Hardhi, 2015).
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human Immunodeficiency Virus(HIV).
Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri dari lima fase yaitu:
a. Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi. Tidak ada gejala
b. Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 –2 minggu dengan gejala flu like illness
c. Infeksi asimtomatik: lamanya 1 –15 atau lebih tahun dengan gejala tidak ada
d. Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam, keringat malam hari, berat
badan menurun, diare, neuropati, lemah, rash, imfadenopati, lesi mulut
e. AIDS: lamanya bervariasi antara 1 –5 tahun dari kondisi AIDS pertama kali ditegakkan.
Didapatkan infeksi oportunis berat dan tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi
neurologis
3. Manifestasi Klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4 golongan, yaitu:
a. Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi yang berlangsung
antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
b. Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala limfadenopati umum
c. AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan gangguan sistem imun
atau kekebalan
d. Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis yang berat berupa diare
kronis, pneumonitis interstisial, hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang
disebabkan oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi. Penderita
akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit infeksi sekunder (Soedarto, 2009).
- Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV terkonfirmasi
menurut WHO:
a. Stadium 1 (asimtomatis)
1) Asimtomatis
2) Limfadenopati generalisata
b. Stadium 2 (ringan)
1) Penurunan berat badan < 10%
2) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo, onikomikosis, ulkus oral
rekurens, keilitis angularis, erupsi popular pruritik
3) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
4) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis, faringitis, otitis media
c. Stadium 3 (lanjut)
1) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
2) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
3) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1 bulan
4) Kandidiasis oral persisten
5) Oral hairy leukoplakia
6) Tuberculosis paru
7) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksiulang/sendi, meningitis,
bakteremia
8) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
9) Anemia (Hb <8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (<0,5×109/L) tanpa sebab jelas, atau
trombositopenia kronis (<50×109/L) tanpa sebab yang jelas
d.Stadium 4 (berat)
1) HIV wasting syndrome
2) Pneumonia akibat pneumocystis carinii
3) Pneumonia bakterial berat rekuren
4) Toksoplasmosis serebral
5) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
6) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah bening
7) Infeksi herpes simpleks mukokutan (>1 bulan) atau visceral
8) Leukoensefalopati multifocal progresif
9) Mikosis endemic diseminata
10) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
11) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
12) Septicemia Salmonellanon-tifoid yang bersifat rekuren
13) Tuberculosis ekstrapulmonal
14) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi, ensefalopati HIV, kriptokokosis
ekstrapulmoner termasuk meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
15) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV simtomatis (Kapita
Selekta, 2014)
4. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan. Seiring pertambahan
replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel limfosit CD 4+ akan terus menurun.
Umumnya, jarak antara infeksi HIV dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5
–10 tahun. Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik, seperti
demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan, limfadenopati, dan ruam kulit. Fase
akut tersebut dilanjutkan dengan periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah
terjadi penurunan jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun –tahun hingga terjadi
manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi oportunistik). Berbagai
manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan
potensi keganasan (Kapita Selekta, 2014).
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun) adalah sel –sel yang terinfeksi
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan
sumsum tulang. Dengan menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah
secara progresif. Diikutiberkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan menurunnya fungsi sel
T penolong (Susanto & Made Ari, 2013).
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV) dapat tetap tidak
memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama bertahun –tahun. Selama waktu ini, jumlah sel
T4 dapat berkurang dari sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 –
300 per ml darah, 2 –3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar ini, gejala –
gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto & Made Ari, 2013).
5. Diagnosis dan Pemeriksaan HIV
Diagnosis HIV ditegakkan dengan kombinasi antara gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium. Diagnosis laboratorium HIV dapat dilakukan dengan pemeriksaan serologis
untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap HIV dan pemeriksaan untuk mendeteksi
keberadaan virus HIV.Deteksi adanya virus HIV dalam tubuh dapat dilakukan dengan isolasi
dan biakan virus, deteksi antigen, dan deteksi materi genetik dalam darah pasien. Hal yang
perlu diperhatikan dalam melakukan tes terhadap antibodi HIV ini yaitu adanya masa jendela.
Masa jendela adalah waktu sejak tubuh terinfeksi HIVsampai mulai timbulnya antibodi yang
dapat dideteksi dengan pemeriksaan. Antibodi mulai terbentuk pada 4-8 minggu setelah
infeksi. Jika pada masa ini hasil tes HIV pada seseorang yang sebenarnya sudah terinfeksi
HIV dapat memberikan hasil yang negatif. Jika kecurigaan akan adanya risiko terinfeksi
cukup tinggi, perlu dilakukan pemeriksaan ulangan 3 bulan kemudian. Beberapa pemeriksaan
laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis HIV antara lain:
1. Pemeriksaan Antigen P24
Salah satu cara pemeriksaan langsung terhadap virus HIV untuk mendiagnosis HIV adalah
pemeriksaan antigen p24 yang ditemukan pada serum, plasma, dan cairan serebrospinal.
Kadarnya meningkat pada awal infeksi dan beberapa saat sebelum penderita memasuki
stadium AIDS. Oleh karena itu pemeriksaan ini dapat digunakan sebagai alat monitoring
terapi ARV. Sensitivitas pemeriksaan ini mencapai 99 % dan spesifitasnya lebih tinggi
hingga 99,9 %. Pada penderita yang baru terinfeksi, antigen p24 dapat positif hingga 45 hari
setelah infeksi, sehingga pemeriksaan p24 hanya dianjurkan sebagai pemeriksaan tambahan
pada penderita risiko tinggi tertular HIV dengan hasil pemeriksaan serologis negatif, dan
tidak dianjurkan sebagai pemeriksaan awal yang berdiri sendiri. Pemeriksaan antigen p24
juga dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis HIV pada bayi baru lahir dari ibu HIV
positif. Sensitivitasnya bervariasi sesuai umur dan kestabilan pada bayi berumur lebih dari 1
bulan.
2. Kultur HIV
HIV dapat dikultur dari cairan plasma, serum, cairan serebrospinal, saliva, semen, lendir
serviks, serta ASI. Kultur HIV biasanya tumbuh dalam 21 - 26hari. Pada saat ini kultur hanya
digunakan untuk kepentingan penelitian, karena nilai diagnostiknya telah digantikan oleh
pemeriksaan HIV-RNA yang lebih mudah, murah, dan lebih sensitif.
3. HIV-RNA
Jumlah HIV-RNA atau sering disebut juga viral load adalah pemeriksaan yang menggunakan
teknologi PCR untuk mengetahui jumlah HIV dalam darah. Pemeriksaan ini merupakan
pemeriksaan yang penting untuk mengetahui dinamika HIV dalam tubuh. Pemeriksaan HIV-
RNA sangat berguna untuk mendiagnosis HIV pada keadaan pemeriksaan serologis belum
bisa memberikan hasil (misalnya window period atau bayi yang baru lahir dari Ibu HIV
positif) atau pemeriksaan serologis memberikan hasil indeterminate. HIV-RNA dapat positif
pada 11 hari setelah terinfeksi HIV sehingga menurunkan masa jendela pada skrining donor
darah. Selain untuk diagnostik HIV-RNA juga merupakan alat penting dalam monitoring
pengobatan ARV saat ini. Hasil negatif semu dapat ditemukan karena penggunaan plasma
heparin, variasi genomik HIV, kegagalan primer/probe atau jumlah virus yang kurang dari
batas minimal deteksi alat pemeriksaan. Sedangkan hasil positif semu dapat juga terjadi
terutama akibat kontaminasi bahan pemeriksaan. Hasil positif semu ini dapat dicegah dengan
syarat PCR positif bila ditemukan 2 atau lebih produk gen.
4. Pemeriksaan Antibodi
Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV secara umur diklasifikasikan
sebagai pemeriksaan penapisan (skrining) dan pemeriksaan konfirmasi. Metode yang paling
banyak digunakan untuk pemeriksaan penapisan Enzyme linked immunosorbent
assay(ELISA), karena metode ini dianggap merupakan metode yang paling cocok digunakan
untuk penapisan spesimen dalam jumlah yang besar seperti pada donor darah. Metode ELISA
mengalami perkembangan dengan menggunakan antigen yang dilabel sebagai konjugat
sehingga hasil pemeriksaan sangat sensitif dan dapat mengurangi masa jendela. Agar
mempersingkat masa jendela, pada ELISA generasi 4 dibuat pemeriksaan yang dapat
mendeteksi baik antobodi dan antigen HIV.
Selain ELISA, metode lain untuk pemeriksaan serologi lain yang dapat digunakan adalah
pemeriksaan sederhana yang tidak membutuhkan atat seperti aglutinasi, imunofiltrasi (flow
through test), imunokromatografi (lateral flow test) dan uji celup (dipstick). Hasil positif pada
metode ini dihasilkan dengan timbulnya bintik atau garis yang berwarna atau ditemukan pola
aglutinasi. Pemeriksaan –pemeriksaan ini dapat dikerjakan kurang dari 20 menit, sehingga
seringkali disebut uji cepat dan sederhana (simple/rapid). Pemeriksaan dengan metode
sederhana ini sangat sesuai digunakan pada pelayanan pemeriksaan dan konseling serta pada
laboratorium dengan fasilitas yang terbatas dengan jumlah spesimen perhari yang tidak
terlalu banyak.
Sampai saat ini, pemeriksaan konfirmasi yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan
Western Blot(WB). Namun pemeriksaan ini membutuhkan biaya yang besar dan seringkali
memberikan hasil yang meragukan. Berbagai penelitian menemukan bahwa kombinasi
metode ELISA dan uji cepat dapat memberikan hasil yang setara dengan metode Westrn
Blotdengan biaya yang lebih rendah. WHO dan UNAIDS merekomendasikan penggunaan
kombinasi ELISA dan atau uji cepat untuk pemeriksaan antibodi terhadap HIV dibandingkan
kombinasi ELISA dan WB. Hasil pengujian beberapa uji cepat dibandingkan ELISA dan
WB, menemukan bahwa banyak uji cepat sudah memiliki sensitivitas dan spesifitas yang
baik.
5. Diagnosa Keperawatan
 
a. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup yang
beresiko.
b. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya infeksi
nonopportunisitik yang dapat ditransmisikan.
c. Intolerans aktivitas berhubungan dengan kelemahan, pertukaran oksigen, malnutrisi,
kelelahan.
d. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake yang kurang,
meningkatnya kebutuhan metabolic, dan menurunnya absorbsi zat gizi.
e. Diare berhubungan dengan infeksi GI
f. Tidak efektif koping keluarga berhubungan dengan cemas tentang keadaan yang orang
dicintai

Anda mungkin juga menyukai