Anda di halaman 1dari 17

A.

Kompensasi Kerugian
Kompensasi kerugian adalah kompensasi kerugian fiskal berdasarkan Surat
Pemberitahuan Tahunan, Surat Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Keberatan, atau
Putusan Banding, sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31A UU
Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU Nomor 17 Tahun 2000.
Kompensasi kerugian adalah proses membawa kerugian dalam satu tahun pajak
ke tahun-tahun pajak berikutnya. Hai ini terjadi karena kerugian yang didapatkan
dalam satu tahun pajak dapat digunakan untuk menutupi keuntungan pada tahun-
tahun berikutnya sehingga pada tahun-tahun tersebut Pajak Penghasilan nya menjadi
lebih kecil atau tidak terutang sama sekali. Kompensasi kerugian dalam Pajak
Penghasilan diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan.
Adapun beberapa point penting yang perlu diperhatikan dalam hal kompensasi
kerugian ini adalah sebagai berikut:
1. Istilah kerugian merujuk kepada kerugian fiskal bukan kerugian komersial.
Kerugian atau keuntungan fiskal adalah selisih antara penghasilan dan biaya-
biaya yang telah memperhitungkan ketentuan Pajak Penghasilan.
2. Kompensasi kerugian hanya diperkenankan selama lima tahun ke depan secara
berturut-turut. Apabila pada akhir tahun kelima ternyata masih ada kerugian
yang tersisa maka sisa kerugian tersebut tidak dapat lagi dikompensasikan.
3. Kompensasi kerugian hanya untuk Wajib Pajak, baik badan maupun orang
pribadi, yang melakukan kegiatan usaha yang penghasilannya tidak dikenakan
PPh Final dan perhitungan Pajak Penghasilannnya tidak menggunakan norma
penghitungan.
Kerugian usaha di luar negeri tidak bisa dikompensasikan dengan penghasilan
dari dalam negeri.
Menurut pasal 6 ayat (2) UU PPh, apabila penghasilan bruto setelah dikurangi
biaya-biaya yang diperkenankan oleh UU PPh didapat kerugian, maka kerugian
tersebut dikurangkan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 (lima) tahun
berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian
tersebut.

B. Penyusutan, Amortisasi, dan Revaluasi Aktiva


Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang Undang nomor 7 tahun 1983 dst Undang
Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) pembebanan biaya
atas perolehan harta berwujud dan tidak berwujud yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 tahun harus dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Penyusutan
aktiva tetap dan amortisasi harta tak berwujud tersebut dapat dibebankan sebagai
pengurang penghasilan (biaya fiskal). Penentuan harga perolehan aktiva tetap sangat
penting karena harga perolehan menjadi dasar untuk menghitung besarnya biaya
penyusutan tiap-tiap tahun. Adapun ketentuan sesuai dengan pasal 10 UU PPh,
penentuan harga perolehan aktiva tetap sebagai berikut:
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan
atau diterima sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2. Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
3. Nilai perolehan atau nilai pengalihan harta yang dialihkan dalam rangka
likuidasi, penggabungan, peleburan pemekaran, pemecahan, atau pengembalihan
usaha adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
4. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan sumbangan atau
hibah:
a. Yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang menerima
pengalihan, sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan
pengalihan atau nilai yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
b. Yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang
menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dan harta tersebut.
5. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran modal (inbreng)
bagi badan yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
Penyusutan adalah alokasi jumlah suatu aktiva yang dapat disusutkan sepanjang
masa yang diestimasi. Penyusutan perlu dilakukan karena manfaat yang diberikan
dan nilai dari aktiva tersebut semakin berkurang. Pengurangan nilai aktiva
dibebankan secara bertahap. Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap
berwujud dibagi menjadi dua golongan yaitu:
1. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan
2. Harta berwujud yang berupa bangunan
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat kelompok, yaitu:
a) Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 4
tahun
b) Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 8
tahun
c) Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 16
tahun
d) Kelompok harta berwujud bukan bangunan yang mempunyai masa manfaat 20
tahun
Harta berwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Permanen: masa manfaat 20 tahun
2. Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari bahan yang
tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan. Masa
manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk harta
yang masih dalam proses pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan harta tersebut. Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, Wajib Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta
yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Aset tetap, kecuali tanah, akan makin berkurang kemampuannya untuk
memberikan jasa bersamaan dengan berlakunya waktu. Jumlah yang dapat
disusutkan, dialokasikan ke setiap periode akuntansi selama masa manfaat asset
dengan berbagai metode yang sistematis dan diterapkan secara konsisten atau taat
asas, tanpa memandang tingkat profitabilitas perusahaan dan pertimbangan
perpajakan agar dapat menyediakan daya banding hasil afiliasi perusahaan dari
periode ke periode, penyusutan dapat dilakukan dengan berbagai metode yang dapat
dikelompokkan menurut akuntansi komersial.
Metode penyusutan menurut ketentuan peundang-undangan perpajakan
sebagaimana telah diatur dalam pasal 11 UU PPh No. 36 Tahun 2008 menyatakan:
a) Metode garis lurus (straight line method), atau metode saldo menurun (declining
balance method) untuk Aset Tetap Berwujud Bukan Bangunan
b) Metode garis lurus untuk Aset Tetap Berwujud Berupa Bangunan.
UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 11 menyatakan kelompok harta berwujud
serta tarif penyusutannya adalah sebagai berikut:
Tarif penyusutan sebagaimana
Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat dimaksud dalam
Ayat 1 Ayat 2
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5%
     Tidak Permanen 10 Tahun 10%

Untuk keperluan penyusutan, harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan


masa manfaat dikelompokkan menjadi Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan
Kelompok 4. Jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan yang tidak termasuk dalam
Kelompok 1, Kelompok 2, Kelompok 3, dan Kelompok 4 digunakan masa manfaat
dalam Kelompok 3. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
96/PMK.03/2009 jo Peraturan Dirjen Pajak No. Per-55/PJ./2009, Wajib Pajak dapat
memperoleh penetapan masa manfaat atas jenis-jenis harta berwujud bukan
bangunan sesuai dengan masa manfaat yang sesungguhnya. Untuk memperoleh
penetapan, Wajib Pajak harus mengajukan permohan kepada Direktur Jenderal Pajak
dengan menunjukkan masa manfaat yang sesungguhnya jenis-jenis harta berwujud
bukan bangunan. Dalam hal permohonan ditolak, Wajib Pajak menggunakan masa
manfaat jenis-jenis harta berwujud bukan bangunan sesuai dengan Peraturan Menteri
Keuangan No. 96/PMK.03/2009.
 Kelompok I
No. Jenis Usaha Jenis Harta
1. Semua Jenis Usaha a. Mebel dan peralatan dari kayu atau rotan
termasuk meja, bangku, kursi, almari dan yang
sejenisnya yang bukan bagian dari bangunan
b. Mesin kantor seperti mesin tik, mesin hitung,
duplikator, mesin fotokopi, mesin
akunting/pembukuan, komputer, printer,
scanner dan sejenisnya
c. Perlengkapan lainnya seperti amplifier,
tape/cassette, video recorder, televisi dan
sejenisnya.
d. Sepeda motor, sepeda dan becak
e. Alat perlengkapan khusus (tools) bagi
industri/jasa yang bersangkutan
f. Alat dapur untuk memasak, makanan dan
minuman
g. Dies, jigs, dan mould.
2. Pertanian, perkebunan, Alat yang digerakkan bukan dengan mesin
kehutanan, dan perikanan
3. Industri makanan dan Mesin ringan yang dapat dipindah-pindahkan
minuman seperti, huller, pemecah kulit, penyosoh, pengering,
pallet, dan sejenisnya
4. Perhubungan Mobil taksi, bus dan truk yang digunakan sebagai
pergudangan dan angkutan umum.
komunikasi
5. Industri semi konduktor Falsh memory tester, writer machine, biporar test
system, elimination (PE8-1), pose checker.
 Kelompok II
No. Jenis Usaha Jenis Harta
1. Semua jenis usaha a. Mebel dan peralatan dari logam temasuk meja,
bangku, kursi, almari dan sejenisnya yang bukan
merupakan bagian dari bangunan. Alat pengatur
udara seperti AC, kipas angin dan sejenisnya.
b. Mobil, bus, truk speed boat dan sejenisnya.
c. Container dan sejenisnya.
2. Pertanian, perkebunan, a. Mesin pertanian / perkebunan seperti traktor dan
kehutanan, perikanan mesin bajak, penggaruk, penanaman, penebar
benih dan sejenisnya.
b. Mesin yang mengolah atau menghasilkan atau
memproduksi bahan atau barang pertanian,
kehutanan, perkebunan, dan perikanan.
3. Industri makanan dan a. Mesin yang mengolah produk asal binatang,
minuman unggas dan perikanan, misalnya pabrik susu,
pengalengan ikan
b. Mesin yang mengolah produk nabati, misalnya
mesin minyak kelapa, magarine, penggilingan
kopi, kembang gula, mesin pengolah biji-bijian
seperti penggilingan beras, gandum, tapioka.
c. Mesin yang menghasilkan / memproduksi
minuman dan bahan-bahan minuman segala jenis.
d. Mesin yang menghasilkan / memproduksi bahan-
bahan makanan dan makanan segala jenis.
4. Industri mesin Mesin yang menghasilkan / memproduksi mesin
ringan (misalnya mesin jahit, pompa air).
5. Perkayuan Mesin dan peralatan penebangan kayu.
6. Konstruksi Peralatan yang dipergunakan seperti truk berat, dump
truck, crane buldozer dan sejenisnya.
7. Perhubungan, a. Truck kerja untuk pengangkutan dan bongkar
pergudangan dan muat, truck peron, truck ngangkang, dan
komunikasi sejenisnya;
b. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus
dibuat untuk pengangkutan barang tertentu
(misalnya gandum, batu - batuan, biji tambang
dan sebagainya) termasuk kapal pendingin, kapal
tangki, kapal penangkap ikan dan sejenisnya, yang
mempunyai berat sampai dengan 100 DWT;
c. Kapal yang dibuat khusus untuk menghela atau
mendorong kapal-kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan
sejenisnya yang mempunyai berat sampai dengan
100 DWT;
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang
mempunyai berat sampai dengan 250 DWT;
e. Kapal balon.
8. Telekomunikasi a. Perangkat pesawat telepon;
b. Pesawat telegraf termasuk pesawat pengiriman
dan penerimaan radio telegraf dan radio telepon.
9. Industri semi konduktor Auto frame loader, automatic logic handler, baking
oven, ball shear tester, bipolar test handler (automatic),
cleaning machine, coating machine, curing oven,
cutting press, dambar cut machine, dicer, die bonder,
die shear test, dynamic burn-in system oven, dynamic
test handler, eliminator (PGE-01), full automatic
handler, full automatic mark, hand maker, individual
mark, inserter remover machine, laser marker (FUM
A-01), logic test system, marker (mark), memory test
system, molding, mounter, MPS automatic, MPS
manual, O/S tester manual, pass oven, pose checker,
re-form machine, SMD stocker, taping machine, tiebar
cut press, trimming/forming machine, wire bonder,
wire pull tester.
 Kelompok III
No. Jenis Usaha Jenis Harta
1. Pertambangan selain Mesin-mesin yang dipakai dalam bidang
minyak dan gas pertambangan, termasuk mesin - mesin yang
mengolah produk pelikan.
2. Permintalan, pertenunan a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk-
dan pencelupan produk tekstil (misalnya kain katun, sutra, serat-
serat buatan, wol dan bulu hewan lainnya, lena
rami, permadani, kain-kain bulu, tule).
b. Mesin untuk yang preparation, bleaching, dyeing,
printing, finishing, texturing, packaging dan
sejenisnya. 
3. Perkayuan a. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk -
produk kayu, barang-barang dari jerami, rumput
dan bahan anyaman lainnya.
b. Mesin dan peralatan penggergajian kayu
4. Industri kimia a. Mesin peralatan yang mengolah / menghasilkan
produk industri kimia dan industri yang ada
hubungannya dengan industri kimia (misalnya
bahan kimia anorganis, persenyawaan organis dan
anorganis dan logam mulia, elemen radio aktif,
isotop, bahan kimia organis, produk farmasi,
pupuk, obat celup, obat pewarna, cat, pernis,
minyak eteris dan resinoida-resinonida wangi-
wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun,
detergent dan bahan organis pembersih lainnya,
zat albumina, perekat, bahan peledak, produk
pirotehnik, korek api, alloy piroforis, barang
fotografi dan sinematografi.
b. Mesin yang mengolah / menghasilkan produk
industri lainnya (misalnya damar tiruan, bahan
plastik, ester dan eter dari selulosa, karet sintetis,
karet tiruan, kulit samak, jangat dan kulit
mentah).
5. Industri mesin Mesin yang menghasilkan/memproduksi mesin
menengah dan berat (misalnya mesin mobil, mesin
kapal).
6. Perhubungan, dan a. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus
komunikasi dibuat untuk pengangkutan barang-barang
tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji
tambang dan sejenisnya) termasuk kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal penangkapan
ikan dan sejenisnya, yang mempunyai berat di
atas 100 DWT sampai dengan 1.000 DWT.
b. Kapal dibuat khusus untuk mengela atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran terapung dan
sejenisnya, yang mempunyai berat di atas 100
DWT sampai dengan 1.000 DWT.
c. Dok terapung.
d. Perahu layar pakai atau tanpa motor yang
mempunyai berat di atas 250 DWT.
e. Pesawat terbang dan helikopter-helikopter segala
jenis.
7. Telekomunikasi Perangkat radio navigasi, radar dan kendali jarak
jauh.
 Kelompok IV
No. Jenis Usaha Jenis Harta
1. Konstruksi Mesin berat untuk konstruksi
2. Perhubungan dan a. Lokomotif uap dan tender atas rel
komunikasi
b. Lokomotif uap atas rel, dijalankan dengan baterai
atau dengan tenaga listrik dari sumber luar
c. Lokomotif atas rel lainnya
d. Kereta, gerbong penumpang dan barang,
termasuk kontainer khusus dibuat dan
diperlengkapi untuk ditarik dengan satu alat atau
beberapa alat pengangkutan.
e. Kapal penumpang, kapal barang, kapal khusus
dibuat untuk pengangkutan barang-barang
tertentu (misalnya gandum, batu-batuan, biji
tambang dan sejenisnya) termasuk kapal
pendingin dan kapal tangki, kapal penangkap ikan
dan sejenisnya, yang mempunyai berat di atas
1.000 DWT.
f. Kapal dibuat khusus untuk menghela atau
mendorong kapal, kapal suar, kapal pemadam
kebakaran, kapal keruk, keran-keran terapung dan
sebagainya, yang mempunyai berat di atas 1.000
DWT.
g. Dok-dok terapung. 
 Penyusutan telepon seluler
Atas biaya perolehan atau pembelian telepon seluler, termasuk juga alat
komunikasi berupa pager, yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk
pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian
melalui penyusutan aktiva tetap kelompok I sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Menteri Keuangan No. 96/PMK.03/2009.
 Penyusutan kendaraan dinas
Atas biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan
atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu
karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan sebesar 50% dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau
perbaikan besar melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 96/PMK.03/2009.
Kendaraan sedan atau sejenis di atas mencakup juga kendaraan jenis
minibus sepanjang digunakan hanya untuk seorang pegawai tertentu karena
jabatan atau pekerjaannya, dan penggunaannya full time baik untuk kepentingan
perusahaan maupun keperluan pribadi dan keluarga pegawai yang bersangkutan.
 Perlakuan nilai sisa buku suatu harta yang dialihkan
Nilai sisa buku suatu harta yang dialihkan dibebankan sebagai kerugian pada:
1. tahun terjadikan pengalihan tersebut; atau
2. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada suatu masa kemudian
dalam hal hasil penggantian asuransi atas harta tersebut baru dapat diketahui
dengan pasti di masa kemudian.
Ketentuan tersebut di atas tidak berlaku apabila harta dialihkan untuk tujuan
bantuan sumbangan, hibahan yang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan,
kepemilikan, atau pengusaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.

Amortisasi Harta Tak Berwujud


Ketentuan mengenai amortisasi harta tak berwujud di atur dalam pasal 11 A UU
PPh sebagai berikut:
 Pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dan digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan di amortisasi sesuai tarif dalam
tabel berikut:
Tarif penyusutan sebagaimana
Kelompok Harta Berwujud Masa Manfaat dimaksud dalam
Ayat 1 Ayat 2
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1 4 Tahun 25% 50%
Kelompok 2 8 Tahun 12,5% 25%
Kelompok 3 16 Tahun 6,25% 12,5%
Kelompok 4 20 Tahun 5% 10%
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5%
     Tidak Permanen 10 Tahun 10%

 Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan modal suatu perusahaan
dibebankan pada tahun terjadinya pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan tabel
masa manfaat dan tarif amortisasi.
 Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan pengeluaran lain di bidang
penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan
produksi.
 Metode satuan produksi diakukan dengan menerapkan persentasi amortisasi yang
besarnya setiap tahun sama dengan persentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang bersangkutan dengan taksiran
jumlah seluruh kandungan minyak dan gas bumi dilokasi tersebut yang dapat
diproduksi. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk memperoleh hak atau
pengeluaran lain, maka atas sisa pengeluaran tersebut boleh dibebankan sekaligus
dalam tahun pajak yang bersangkutan.
 Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan
gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil
alam lainnya, dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi paling tinggi
20% setahun.
Pengeluaran sebelum operasi komersial dikapitalisasi dan diamortisasi sesuai
dengan table masa manfaat dan tarif amortisasi. Apabila terjadi pengalihan harta tak
berwujud atau hak hak lainnya, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian
merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut. Apabila terjadi
pengalihan harta dalam rangka bantuan sumangan atau hibah berupa harta tak
berwujud yang memnuhi syarat sebagai bukan objek pajak, maka jumlah nilai sisa
buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai kerugin bagi pihak yag
mengalihkan. Permenkeu No.248/PMK.03/2008 mengatur mengenai amortisasi atas
pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk
bidang usaha tertentu, sebagai berikut:
Amortisasi atas pengeluaran unuk memperoleh harta tak berwujud dan
pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan diakukannya
pengeluaran atau pada bulan produksi komersial (penjualan mulai dilakukan). Bidang
usaha tertentu adalah:
1. Bidang usaha kehutanan yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil
hutan yang tanamannya dapat berproduksi baerkal-kali dan baru
menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
2. Bidang usaha perkebunan tnaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan
yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan
setelah ditanam lebih dari 1 (satu) tahun.
3. Bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan dimana ternak
dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah ditanam lebih
dari 1 (satu) tahun.

Revaluasi Aktiva
Adanya perkembangan harga yang tajam atau perubahan kebijakan di bidang
moneter dapat menyebabkan kekurangserasian antara biaya dan penghasilan, yang
dapat mengakibatkan timbulnya beban pajak yang kurang wajar. Dalam kondisi
seperti ini Menteri Keuangan diberi wewenang untuk menetapkan peraturan tentang
penilaian kembali aktiva tetap (revaluasi) atau indeksasi biaya dan penghasilan.
Kewenangan yang diberikan kepada Menteri Keuangan ini diatur dalam Pasal 19
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 (UU
PPh). Peraturan pelaksanaan yang menjadi pedoman dalam melaksanakan revaluasi
terdiri dari:
a) Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 79/PMK.03/2008
tanggal 23 Mei 2008 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk
Tujuan Perpajakan,
b) Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2009 tanggal 23 Februari
2009 tentang Tata Cara Pengajuan Permohonan Dan Pengadministrasian
Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan Perpajakan,
c) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-56/PJ/2009 tanggal 25 Mei
2009 tentang Penyampaian Dan Penegasan Atas Pelaksanaan Peraturan Direktur
Jenderal Pajak Nomor.
Wajib Pajak (WP) yang boleh melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan
adalah WP badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT). WP badan dalam
negeri dan BUT tersebut harus memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir
sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
2. Bukan WP yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
Inggris dan mata uang Dollar Amerika Serikat.
3. Dalam jangka waktu lima tahun sebelumnya perusahaan tidak melakukan
revaluasi.
Revaluasi dapat dilakukan terhadap:
a) Seluruh aktiva tetap berwujud, termasuk tanah yang berstatus hak milik atau Hak
Guna Bangunan; atau
b) Seluruh aktiva tetap berwujud tidak termasuk tanah, yang terletak atau berada di
Indonesia, dimiliki, dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
Revaluasi harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aktiva tetap
tersebut yang berlaku pada saat revaluasi dilakukan. Nilai pasar atau nilai wajar
tersebut ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang telah
memperoleh izin dari pemerintah. Jika nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan
tersebut ternyata tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, DJP akan
menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aktiva yang bersangkutan. Revaluasi
harus dilakukan dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak tanggal laporan
perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. Berikut prosedur revaluasi:
1. WP yang melakukan revaluasi untuk tujuan perpajakan harus mendapatkan
persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak (DJP).
2. Setelah perusahaan jasa penilai/ahli penilai menetapkan nilai pasar atau nilai
wajar dan menerbitkan laporannya, WP mengajukan permohonan kepada Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) yang membawahi
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tempat WP terdaftar.
3. Jika hasil penelitian menyatakan bahwa permohonan tersebut telah memenuhi
persyaratan formal dan material, maka Kepala Kanwil DJP wajib menerbitkan
keputusan persetujuan. Sebaliknya jika berdasarkan hasil penelitian permohonan
perusahaan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan formal dan/atau material,
maka Kepala Kanwil DJP wajib menerbitkan keputusan penolakan.
4. Keputusan persetujuan atau penolakan tersebut harus diterbitkan paling lama 30
(tiga puluh) hari kerja setelah tanggal diterimanya permohonan. Apabila setelah
jangka waktu tersebut terlampaui Kepala Kanwil DJP belum menerbitkan
keputusan persetujuan atau keputusan penolakan, maka permohonan WP
dianggap diterima dan Kepala Kanwil DJP wajib menerbitkan keputusan
persetujuan dalam waktu paling lama tiga hari kerja setelah tanggal berakhirnya
jangka waktu 30 hari tersebut.
5. Keputusan persetujuan ini berlaku terhitung mulai tanggal akhir jangka waktu 30
(tiga puluh) hari kerja tersebut. Keputusan yang dibuat Kepala Kanwil DJP
merupakan keputusan yang dibuat atas nama Direktur Jenderal Pajak.
6. Permohonan untuk memperoleh persetujuan revaluasi dibuat dengan
menggunakan format sesuai Lampiran I PER-12/Pj/2009 dan harus dilampiri
dengan:
1) Fotokopi surat ijin usaha perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang telah
memperoleh ijin dari Pemerintah, yang dilegalisir oleh instansi Pemerintah
yang berwenang menerbitkan surat ijin usaha tersebut,
2) Laporan penilaian Perusahaan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai,
3) Daftar Penilaian Kembali Aktiva Tetap Perusahaan Untuk Tujuan
Perpajakan dengan format sesuai lampiran II Per-12/Pj/2009,
4) Laporan Keuangan tahun buku terakhir sebelum revaluasi dilakukan yang
telah diaudit akuntan publik.
7. Jika permohonan yang disampaikan tidak lengkap, maka Kepala Kanwil DJP
wajib menerbitkan surat permintaan kelengkapan dalam jangka waktu paling
lama 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan.
8. WP harus melengkapi kekurangannya dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh)
hari kerja sejak saat diterimanya surat permintaan kelengkapan.
 Pajak Penghasilan (PPh) atas Selisih Lebih Revaluasi
Selisih lebih revaluasi di atas nilai sisa buku fiskal dikenakan PPh yang
bersifat final sebesar 10% (sepuluh persen). PPh final tersebut wajib dibayar ke
kas negara dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) paling lama 15 (lima
belas) hari setelah tanggal diterbitkannya keputusan persetujuan.
WP yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi
sekaligus PPh yang terutang dapat mengajukan permohonan pembayaran secara
angsuran paling lama 12 (dua belas) bulan.
Permohonan diajukan kepada Kepala Kanwil DJP dengan format sesuai
Lampiran V PER-12/PJ./2009 bersamaan dengan pengajuan permohonan
persetujuan revaluasi. Atas permohonan ini Kepala Kanwil DJP atas nama
Direktur Jenderal Pajak wajib menerbitkan keputusan persetujuan (seluruhnya
atau sebagian) atau keputusan penolakan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja.
Apabila jangka waktu 30 hari tersebut terlampaui dan DJP belum
menerbitkan keputusan, maka permohonan dianggap diterima dan Kepala
Kanwil DJP wajib menerbitkan keputusan persetujuan dalam jangka waktu
paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah tanggal berakhirnya jangka waktu 30 hari
kerja tersebut. Keputusan persetujuan ini berlaku terhitung mulai tanggal akhir
jangka waktu 30 kerja tersebut.
Jika WPP memperoleh memperoleh keputusan persetujuan untuk
mengangsur, maka pembayaran PPh harus dilakukan paling lama pada tanggal
jatuh tempo setiap angsuran pembayaran.
 Perhitungan Penyusutan
Revaluasi harus diikuti dengan perubahan perhitungan penyusutan aktiva
tetap untuk periode setelah revaluasi. Penyusutan untuk periode yang dimulai
sejak bulan dilakukannya revaluasi berlaku ketentuan sebagai berikut:
1. Dasar penyusutan fiskal aktiva tetap adalah dasar penyusutan fiskal pada
awal tahun pajak yang bersangkutan.
2. Sisa masa manfaat fiskal aktiva tetap adalah sisa manfaat fiskal pada awal
tahun pajak yang bersangkutan.
3. Perhitungan penyusutannya dihitung secara prorata sesuai dengan
banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak tersebut.
4. Penyusutan fiskal aktiva tetap yang tidak memperoleh persetujuan revaluasi,
tetap menggunakan dasar penyusutan fiskal dan sisa manfaat fiskal semula
sebelum dilakukannya revaluasi.

C. Penentuan Harga Perolehan


Penentuan harga prolehan aktiva tetap sangat penting karena harga perolehan
menjadi dasar untuk menghitung besarnya biaya penyusutan tiap-tiap tahun. Adapun
ketentuan sesuai dengan pasal 10 UU PPh No. 36 Tahun 2008, penentuan harga
perolehan aktiva tetap sebagai berikut:
1. Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak
dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan
atau diterima sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang
seharusnya dikeluarkan atau diterima.
2. Nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah
jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar.
3. Nilai perolehan atau nilai pengalihan hata yang dialihkan dalam rangka likuidasi,
penggabungan, pleburan pemekaran, pemecahan, atau pengmbilalihan usaha
adalah jumlah yang seharunya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga
pasar, kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
4. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan sumbangan atau
hibah:
a) Yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang meneima
pengalihan, sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang melakukan
pengalihan atau nilai yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak.
b) Yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang menerim
pengalihan, sama dengan nilai pasar dan harta tersebut.
5. Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran modal (inbreng)
bagi badan yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dari harta
tesebut.

D. Pajak Final
Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah pajak yang dikenakan dengan tarif
dan dasar pengenaan pajak tertentu atas penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama tahun berjalan. Pembayaran, pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan
Final (PPh Final) yang dipotong pihak lain maupun yang disetor sendiri bukan
merupakan pembayaran dimuka atas PPh terutang akan tetapi merupakan pelunasan
PPh terutang atas penghasilan tersebut, sehingga wajib pajak dianggap telah
melakukan pelunasan kewajiban pajaknya. Dengan demikian maka penghasilan yang
telah dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh final) ini tidak akan dihitung lagi Pajak
Penghasilannya pada SPT Tahunan dengan penghasilan lain yang non final untuk
dikenakan tarif progresssif (pasal 17 UU PPh). Namun atas pelunasan pemotongan
atau pembayaran PPh final tersebut juga bukan merupakan kredit pajak pada SPT
Tahunan.
Dari penjelasan tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Penghasilan
yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh Final) adalah sebagai berikut:
1. Penghasilan yang dikenakan PPh final tidak perlu digabungkan dengan
penghasilan lain (yang non final) dalam penghitungan Pajak Penghasilan pada
SPT Tahunan.
2. Jumlah PPh Final yang telah dipotong pihak lain ataupun dibayar sendiri tidak
dapat dikreditkan pada SPT Tahunan.
3. Biaya-biaya yang digunakan untuk menghasilkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang pengenaan PPh-nya bersifat final tidak dapat dikurangkan
Beberapa kategori penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan Final (PPh
Final) adalah sebagai berikut:
a) Penghasilan dari transaksi penjualan saham di bursa efek;
b) Penghasilan atas bunga deposito dan tabungan;
c) Penghasilan dari hadiah atas undian;
d) Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan;
e) Penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan;
f) Penghasilan atas bunga atau diskonto obligasi yang diperdagangkan dibursa
efek;
g) Penghasilan atas jasa konstruksi;
h) Penghasilan atas perusahaan pelayaran dalam negeri;
i) Penghasilan atas perusahaan pelayaran/penerbangan luar negeri;
j) Penghasilan BUT perwakilan dagang asing di Indonesia;
k) Penghasilan atas selisih lebih revaluasi aktiva tetap;
l) Penghasilan atas penjualan hasil produksi Pertamina;
m) Penghasilan atas bunga simpanan anggota koperasi;
n) Penghasilan perusahaan modal ventura dari transaksi penjualan saham atau
pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangan usaha;
o) Penghasilan atas diskonto surat perbendaharaan negara;
p) Penghasilan atas transaksi derivatif berupa kontrak berjangka yang
diperdagangkan di bursa;
q) Penghasilan atas deviden yang diterima oleh Orang Pribadi dalam negeri.
Tarif PPh Final
Jenis Penghasilan
No. Objek Tarif
/Peraturan
1. Bunga Bunga yang berasal dari 20% x
deposito/tabungan deposito/tabungan bank (yang Jumlah bruto
didirikan di dalam negeri
maupun di luar negeri melalui
melalui cabangnya di Indonesia),
termasuk jasa giro dan diskonto
Sertifikat BI.
Dasar Hukum : Termasuk dalam pengertian
- PP No.131 Tahun bunga adalah manfaat
2000 tabungan/deposito yang
diperoleh dari perusahaan
asuransi.
2. Penghasilan dari Panghasilan yang diterima oleh 0.1% x
transaksi saham penyelenggara bursa dari Jumlah bruto
Dasar Hukum : transaksi saham. nilai
- PP No.41 Tahun transaksi
1994 jo PP No.14 penjualan
tahun 1997 seluruh
saham
Ditambah
0.5% x nilai
pasar saham
saat IPO
untuk saham
pendiri
3. Hadiah atas undian Hadiah dengan nama dan 25% x
bentuik apapun melalui cara Jumlah bruto
undian yang diterima oleh orang nilai undian
pribadi/badan dalam negeri dan
luar negeri.
Dasar Hukum :
- PP No.132 Tahun
2000
4. Penghasilan dari Nilai pengalihan (nilai tertinggi 5 % x Nilai
pengalihan hak atas antara nilai berdasarkan akta Pengalihan
tanah dan/atau pengalihan dan NJOP tanah dan
bangunan bangunan) yang lebih dari Rp.60
Juta
Dasar Hukum :
- PP No.48 Tahun
1994 jo PP No.27
Tahun 1996 jo PP
No.79 Tahun 1999
5. Penghasilan dari Jasa perencanaan konstruksi, 26 2/3% x
persewaan tanah jasa pengawasan konstruksi 15% = 4% x
dan/bangunan jumlah
bruto*
Dasar Hukum : Persewaan tanah dan/atau 10% x
- PP No. 29 Tahun bangunan jumlah bruto
1996 jo PP No 5 nilai
Tahun 2002 persewaan
(baik yang
menyewakan
adalah WP
Badan/BUT
maupun WP
Orang
Pribadi)
6. Penghasilan bunga Bunga atau diskonto obligasi 15 % x
atau diskonto obligasi yang diperdagangkan di bursa jumlah bruto
efek (untuk WP
dalam negeri
dan BUT)
Dasar Hukum : 20 % x
- PP No. 139 Tahun jumlah bruto
2000 (untuk WP
luar negeri)
atau
(berdasarkan
tarif
persetujuan
penghindaran
pajak
berganda)
7. Imbalan jasa Jasa konstruksi oleh kontraktor 2%x
konstruksi pengusaha kecil imbalan
bruto jasa
pelaksanaan
konstruksi
Dasar Hukum : 4%x
- PP No. 140 Tahun imbalan
2000 bruto jasa
perencanaan
konstruksi
dan jasa
pengawasan
konstruksi
DAFTAR PUSTAKA

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=41

http://www.pandupajak.org/content/pph-pasal-25-atas-kompensasi-kerugian/

http://memebali.blogspot.com/2013/04/perpajakan-pajak-penghasilan.html

http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=269

http://saifulrahman.lecture.ub.ac.id/files/2013/10/PENYUSUTAN-DAN-
AMORTISASI.pdf

http://suluhpajak.com/uploads/newsletter/SPTaxNewsletter_1010-02.pdf

Anda mungkin juga menyukai