TUGAS 2
Kemampuan organisasi untuk berfungsi sangat tergantung pada struktur otoritas yang terdapat di
dalam organisasi itu sendiri karena otoritas merupakan dasar dalam setiap kegiatan pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh seluruh anggota organisasi.
Weber menyatakan bahwa terdapat 3 jenis otoritas, yang berpengaruh terhadap pola kepemimpinan
maupun kegiatan pengambilan keputusan dalam suatu organisasi, yaitu berikut ini.
1) Otoritas Rasional Legal Otoritas yang muncul karena kepercayaan karyawan terhadap legalitas
aturan, pembagian kerja, dan hal dari orang yang ditempatkan sebagai pemimpin untuk
memberikan perintah. Otoritas sejenis ini merupakan dasar bagi organisasi pemerintahan.
2) Otoritas Tradisional Otoritas yang muncul karena kepercayaan orang terhadap tradisi, termasuk
status seseorang yang karena tradisi mempunyai hak untuk memerintah. Otoritas tradisional
merupakan dasar bagi organisasi gereja dan kerajaan.
3) Otoritas Kharismatik Otoritas yang muncul pada diri seseorang yang mempunyai karakteristik
pribadi yang luar biasa, yang menyebabkan orang tersebut dianggap mempunyai hak untuk
memerintah orang lain. Contohnya, pemerintahan yang bersifat revolusioner sering kali didasarkan
atas kharisma pimpinannya, seperti yang dimiliki oleh Fidel Castro atau Che Guevara.
Secara sederhana formalisasi dapat diartikan sebagai derajat atau tingkat pembakuan
(standardisasi) dari jabatan-jabatan yang terdapat dalam suatu organisasi. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa tingkat formalisasi merupakan salah satu alat yang dapat digunakan untuk mengukur
derajat standardisasi suatu organisasi. Standardisasi atau pembakuan bukan hanya mengurangi alternatif
cara yang bisa diikuti dalam pelaksanaan tugas, tetapi juga membuat karyawan menjadi bebas dari
keharusan untuk memikirkan sendiri cara yang hendak diikuti dalam menyelesaikan tugasnya.
Tentang bentuk formalisasi ada sementara pihak yang menyatakan bahwa formalisasi sebagai
tingkat penggunaan dokumen tertulis dalam kegiatan organisasi. Menurut pandangan ini bahwa peraturan
dan prosedur formalisasi selalu perlu diwujudkan dalam bentuk tertulis. Dengan demikian, derajat
formalisasi suatu organisasi bisa diukur dengan memeriksa kelengkapan dokumen tertulis yang dimiliki
ataupun digunakan dalam organisasi yang bersangkutan. Perlu diperiksa apakah organisasi memiliki buku
petunjuk atau manual yang memuat seluruh peraturan dan prosedur kerja yang digunakan dalam kegiatan
organisasi. Selanjutnya diperiksa juga jumlah dan kekhususan masing-masing peraturan, tingkat
kedalaman dan ketelitian uraian jabatan (job description), maupun berbagai jenis dokumen lain yang biasa
digunakan dalam kegiatan organisasi.
Di sisi lain ada pihak yang berpendapat bahwa derajat formalisasi suatu organisasi perlu mencakup
seluruh peraturan dan prosedur yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Cara mengukur derajat
formalisasi semacam ini dianggap lebih lengkap karena mempertimbangkan juga persepsi karyawan dalam
pengukuran derajat formalisasi. Dengan demikian, pengukuran derajat formalisasi menurut pandangan
semacam ini dilakukan dengan cara yang lebih lengkap, yaitu:
1) memeriksa banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi;
2) mempertimbangkan sikap karyawan dalam mematuhi peraturan atau dalam menjalankan
prosedur;
3) mempertimbangkan kejelasan prosedur kerja yang berlaku;
4) memeriksa konsistensi organisasi dalam memaksakan dipatuhinya peraturan.
Dua pandangan tersebut merupakan cara yang berbeda dalam mengukur hal yang sama, yaitu
formalisasi. Pandangan yang satu mengukur formalisasi hanya dengan berdasarkan data, yaitu dengan
mengukur banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi, sedangkan pandangan
kedua selain mempertimbangkan banyaknya dokumen resmi yang digunakan dalam kegiatan organisasi,
juga mencoba mendapat gambaran mengenai sikap (attitude) dari karyawan terhadap berbagai peraturan
maupun prosedur yang digunakan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pengukuran derajat
formalisasi yang hanya mempertimbangkan tin cat penggunaan dokumen tertulis saja maka dapat
diragukan ketepatannya.
Derajat formalisasi perlu diukur dengan menggunakan dimensi yang lebih lengkap, yaitu baik
menggunakan dokumen tertulis maupun dengan memeriksa persepsi anggota organisasi yang dapat
mempengaruhi sikap (attitude) mereka terhadap corak pengaturan yang diberlakukan. Pengukuran derajat
formalisasi dengan cara semacam ini dianggap mampu memperoleh gambaran yang lebih realistis
mengenai corak kehidupan yang sebenarnya dalam organisasi. Perilaku karyawan mestinya dipengaruhi
oleh corak peraturan dan prosedur resmi yang berlaku, dan juga oleh aturan-aturan tidak resmi maupun
berbagai kebiasaan dalam organisasi. Contoh, para petugas pemasaran sebuah perusahaan selalu
mengenakan dasi apabila mereka mengunjungi pelanggan padahal di perusahaan itu tidak pernah ada
peraturan tertulis ataupun pemberlakuan secara resmi mengenai penggunaan dasi.