aksi-aksi tidak berlanjut, perjuangan melemah dan kita semua terpecah belah. Intimidasi, doxing (menyebarluaskan informasi pribadi tanpa izin), serta penangkapan yang terjadi pada gerakan rakyat tidak akan menjadi hambatan ketika solidaritas, persatuan dan gerakan semakin kuat.
Karena kita semua adalah calon korban, sehingga satu-satunya
cara untuk mencegah teror adalah solidaritas dan tidak berhenti berlawan.Teror ini menegaskan bahwa kekuatan kita makin kuat dan besar, memaksa mereka menghalalkan segala cara mempertahankan penindasan yang semakin nyata. #MosiTidakPercaya tidak mungkin diturunkan, ketidakpercayaan hanya akan sembuh jika semua kebutuhan rakyat telah terpenuhi.
Teror dilakukan oleh negara pada gerakan rakyat yang sedang
memperjuangkan hak-haknya sekaligus menyatakan #MosiTidakPercaya pada pemerintah. Teror diarahkan pada kami, Aliansi Rakyat Bergerak, dalam bentuk intimidasi dan doxing di media sosial oleh akun-akun anonim serta situs berita pendukung pemerintah.
Pada tanggal 8 Oktober 2020, aksi penolakan Undang-Undang
Omnibus Law di Yogyakarta mengalami sejumlah tindakan represif dari aparat kepolisian. Tindakan itu diperparah oleh sejumlah kelompok organisasi masyarakat (ormas) reaksioner berafiliasi dengan partai politik pemegang kursi kekuasan saat ini yang dibenturkan dengan massa aksi .
Melalui sejumlah video yang tersebar di dunia maya serta
kesaksian korban, tidak sedikit massa aksi menjadi bulan- bulanan dari sejumlah anggota kepolisian maupun kelompok ormas tersebut. Tidak hanya pukulan dengan tangan atau bambu, mereka tak segan-segan menendang wajah dan kepala, atau menginjak bagian tubuh dari massa aksi yang tertangkap. Padahal, massa aksi itu tidak melakukan perlawanan. Polisi seolah membiarkan tindakan ormas reaksioner untuk melakukan tindakan main hakim sendiri. Tindakan brutal itu membuat banyaknya massa aksi yang menjadi korban. Dalam catatan tim medis Aliansi Rakyat Bergerak, ada setidaknya 300 massa aksi yang mengalami tindak kekerasan fisik dan 100 di antaranya harus mendapatkan penanganan medis secara serius di beberapa rumah sakit (PKU Muhammadiyah Yogyakarta, RS Panti Rapih, RS Bethesda, Asri Medical Center, RS Condong Catur, dan RS Bhayangkara). Korban yang ditangani di RS Bhayangkara, diminta untuk memberikan pernyataan bahwa pelayanan di rumah sakit tersebut sudah baik, sebelum ia pulang.
Selain kekerasan fisik, terjadi pula penangkapan dan penahanan
sepihak. Ada 95 massa aksi yang ditangkap pada tanggal 8 Oktober. Dalam proses penahanan ini, baik kuasa hukum maupun keluarga dibatasi akses pendampingan dan komunikasinya terhadap korban. Sampai 27 Oktober, masih ada empat orang yang dijadikan tersangka dalam aksi di kawasan Malioboro tersebut.
Tindakan represif aparatur negara tidak berhenti sampai di situ.
Hingga rilis dibuat, larangan dan ancaman untuk berkumpul dan menyuarakan pendapat masih terus terjadi. Misalnya, larangan yang dilayangkan oleh pihak kampus Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Universitas Sanata Dharma, terhadap segala aktivitas konsolidasi di lingkungan kampus. Selain itu, ormas reaksioner juga masih getol melakukan ancaman hingga pembubaran terhadap aktivitas konsolidasi, baik melalui pengawasan secara langsung di titik-titik lokasi yang akan dijadikan tempat berkumpul atau demonstrasi, maupun melalui propaganda di kanal-kanal media sosial seperti WhatsApp, Twitter, Instagram, juga platform lainnya. Ditambah lagi, ditemuinya mobilisasi sejumlah akun media sosial dan kelompok pendengung/buzzer yang menyebarluaskan fitnah dengan tujuan melakukan penggembosan, diskriminasi, dan mengucilkan elemen gerakan rakyat. Misalnya, peretasan terhadap akun WhatsApp sudah berlangsung lama dan masih terjadi hingga hari ini, serta beragam bentuk doxing terhadap tiga individu yang tergabung dalam ARB. Ada pengungkapan informasi pribadi dan tuduhan tak berdasar yang dilakukan oleh media Seword, akun Instagram dan Twitter @nc14ri (Nasionalis Cyber Indonesia), serta akun Twitter @DemoAnarki. Ancaman dan intimidasi terhadap anggota keluarga korban juga terjadi.
Selanjutnya, pada tanggal 19 Oktober beredar pesan berantai via
WhatsApp atas nama Polres Yogyakarta yang mengeluarkan surat perintah kepada seluruh jajaran kepolisian untuk melakukan pengawalan dan pengamanan atas aksi penolakan Omnibus Law yang akan dihelat oleh ARB dalam bentuk longmars menuju Kantor DPRD DIY. Padahal, dalam surat pemberitahuan kepada Polda DIY dan poster seruan aksi yang diunggah lewat kanal media sosial ARB sudah tercantum jelas bahwa lokasi aksi di Bundaran UGM. Keesokan harinya, banyak polisi yang berjaga di sepanjang Jl. Sudirman, Parkiran Abu Bakar Ali, dan sekitar Malioboro dengan peralatan keamanan lengkap, termasuk kawat berduri, serta kelompok ormas di sekitar Jl. Mataram. Barulah pada siang harinya, Polres Jogja melalui akun Instagram @polresjogja menyatakan pesan berantai tersebut adalah hoaks.
Dari fakta-fakta di atas, adanya penjagaan ketat oleh kepolisian
di sepanjang jalan menuju DPRD patut dipertanyakan, padahal menurut mereka sendiri informasi itu adalah hoaks. Di sisi lain, hoaks itu menyebabkan kesalahpahaman dan tuduhan bahwa aksi yang akan dihelat bertujuan untuk memicu kerusuhan. Hal ini merupakan bentuk rekayasa psikologis massa yang memicu ketakutan masyarakat pada aksi-aksi ARB, serta untuk menghadang aksi demonstrasi ke depannya. Penangkapan dan pemukulan secara brutal masih terus terjadi pada 24 Oktober 2020. Kejadian ini dialami oleh dua anggota Band Sidekick serta satu rekannya dengan tuduhan menghina institusi Brimob. Keduanya dijemput secara paksa oleh Brimob dan dibawa ke warmindo seberang Mako Brimob Baciro. Sesampainya di warmindo, mereka ditendang, ditampar, dipukul, diinterogasi, dan dipaksa mengakui perbuatan yang tidak mereka lakukan. Mereka juga ditanya soal keterlibatannya pada aksi penolakan Omnibus Law pada 8 Oktober lalu.
Setelah serangkaian kekerasan fisik yang diterima, mereka
dibawa ke Mako Brimob dan kembali diinterogasi serta mengalami pemukulan. Lantas, satu rekan lainnya menyerahkan diri dengan didampingi oleh tim hukum sebagai syarat agar kedua temannya dibebaskan. Pasca penyerahan diri itu, ketiganya dilepas, namun KTP mereka ditahan Brimob.
Penangkapan terhadap tiga orang tersebut bukanlah wewenang
Brimob, terlebih tindakan tersebut dibarengi pemukulan dan intimidasi. Hal ini merupakan bentuk tindakan sewenang- wenang serta supremasi dan superioritas aparatur negara terhadap kehidupan sipil. Seolah kehidupan sipil harus tunduk di bawah ketiak aparat negara, padahal dalam sistem demokrasi semuanya mempunyai kedudukan yang setara dan berhak atas rasa aman. Maka, tindakan tersebut, selain melanggar HAM juga merupakan bentuk tidak sehatnya sistem demokrasi di negara ini. Berdasar poin-poin di atas, Aliansi Rakyat Bergerak mengajak agar:
1. Melawan segala bentuk tindakan represif yang dilakukan oleh
aparatur negara secara langsung dalam bentuk penangkapan dan penahanan sepihak, kekerasan fisik, tekanan psikologis, hingga pembatasan pendampingan hukum, maupun yang tidak langsung melalui pembiaran persekusi massa aksi penolak Omnibus Law oleh ormas-ormas reaksioner. 2. Memperkuat solidaritas horizontal dengan mengonsolidasikan jaringan antar daerah untuk perlawanan terhadap Omnibus Law dan segenap sistem yang mengebiri hak-hak sipil. 3. Mengajak seluruh elemen gerakan kerakyatan untuk melakukan perlawanan yang berorientasi pada kepentingan rakyat dengan beragam taktik hingga Omnibus Law dan segala regulasi ngawur lainnya gagal.
Aksi demonstrasi bukanlah tujuan, namun hanya salah satu cara
mewujudkan tatanan demokratis dan berkeadilan. Begitu pun dalam aksi demonstrasi tanggal 8 Oktober lalu, kerusuhan bukan sesuatu yang direncanakan, apalagi capaian yang diinginkan. Kenyataan yang sebenarnya terjadi adalah akumulasi kemarahan kolektif merupakan respons dari carut-marutnya kondisi negara saat ini: upah murah, mahalnya biaya pendidikan, gelombang PHK massal, kenaikkan iuran BPJS dan tarif listrik, hasil panen murah, ketidakbecusan penanganan pandemi, pengesahan UU Minerba dan UU Omnibus Law, dihapusnya RUU PKS dari Prolegnas Prioritas 2020, rentetan kekerasan struktural dan pembunuhan terhadap bangsa West Papua, serta sebentuk kebijakan lain yang tidak masuk akal dan tidak berpihak pada rakyat kecil. Semua kemarahan itu menemukan tamsil di hadapan representasi fisik negara: aparat kepolisian dan Gedung DPRD DIY.
Kerusakan fisik yang diakibatkan oleh demonstrasi tersebut sama
sekali tak sepadan dengan pengrusakan alam oleh negara atas nama investasi. Kemarahan publik adalah akibat dari sistem bernegara yang bermasalah. Maka daripada sibuk mengarahkan jari pada demonstran, lebih baik bersama-sama menghancurkan sistem yang menindas.