Anda di halaman 1dari 5

Rekontruksi Bencana Konstruksi

Rekonstruksi Bencana: Gempa

Kondisi Ideal: Pedoman Rekontruksi Pascabencana di Indonesia

1. Pengertian
Rekonstruksi merupakan salah satu bidang penanganan pascabencana di Indonesia, selain
rehabilitasi. Kedua bidang tersebut (Rekonstruksi dan Rehabilitasi) disebut bidang RR.
Rekonstruksi adalah pembangunan kembali semua prasarana dan sarana serta
kelembagaan pada wilayah pascabencana pemerintahan/masyarakat dengan sasaran utama
tumbuh-kembangnya kegiatan ekonomi, sosial dan budaya, tegaknya hukum dan
ketertiban, serta bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan.

Untuk melaksanakan program Rehabilitasi & Rekonstruksi dengan lima sektor yang
menjadi kewenangan, bidang RR menggunakan metode Pengkajian Kebutuhan
Pascabencana (Jitupasna) yang tercantum pada Peraturan Kepala (Perka) BNPB Nomor 15
Tahun 2011. Selain itu, Indonesia sudah memiliki standar dan pedoman mengenai struktur
bangunan tahan gempa, yaitu SNI 1726 untuk bangunan gedung dan non gedung, serta
SNI 2847 sebagai persyaratan beton struktural untuk bangunan gedung.

Sebagai contoh di Jakarta, untuk bangunan gedung delapan lantai ke atas, harus ada proses
review oleh TABG (Tim Ahli Bangunan Gedung). Dari sana dilihat apakah rancangannya
memenuhi ketentuan-ketentuan SNI, termasuk ketentuan terkait ketahanan terhadap
gempa.

2. Apa yang Sudah Dilakukan oleh Indonesia?


Tidak benar jika Indonesia belum melakukan langkah mitigasi dan rekonstruksi pra dan
pascabencana dengan baik. Di Indonesia, terdapat pengembang swasta yang memegang
hak paten konstruksi jaring laba-laba yang membuat bangunan tahan gempa.

Selain itu, pendekatan rekonstruksi berbasis komunitas bernama Community-based


Settlement Rehabilitation and Reconstruction Project (CSRRP) –atau lebih dikenal
sebagai “Rekompak”–menempatkan tanggung jawab di tangan masyarakat.
Kelompok beranggotakan sepuluh hingga lima belas keluarga dibentuk untuk membangun
kembali rumah mereka pasca-Tsunami Aceh 2004. Proyek membantu masyarakat
membangun kembali atau merehabilitasi 15.000 unit perumahan, yang mewakili sekitar
35.000 orang (keluarga pasca-Tsunami) dan infrastruktur komunitas dasar di 176 desa.
Metode “Rekompak” pun mendapat umpan balik yang sangat positif dari korban bencana.

Selain itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) tengah
menggiatkan pengimplementasian teknologi RISHA (Rumah Instan Sederhana Sehat)
kepada para pengembang perumahan.

Teknologi RISHA akan mempermudah dan mempercepat pembangunan rumah. Selain itu,
dengan teknologi RISHA, rumah-rumah yang akan dibangun akan tahan gempa. RISHA
sudah dibangun di daerah perbatasan dan wilayah rawan bencana, seperti Aceh dan
Sinabung.

3. Belajar dari Jepang


Ketika berbicara tentang negara dengan kesiapan dan metode paling baik bagi mitigasi
dan rekonstruksi pra dan pascabencana, rasa-rasanya Indonesia harus sedikit-banyak
belajar dari Jepang.

Mitigasi bencana menjadi kurikulum wajib di sekolah-sekolah dasar di Negeri Matahari


Terbit tersebut. Terdapat banyak jalur evakuasi moderen dan taman-taman yang luas untuk
assembly point di seluruh penjuru kota. Subway dan reaktor nuklir otomatis tidak bekerja
ketika terjadi gempa. Jalanan pun dapat diperbaiki hanya dalam seminggu setelah gempa
terjadi.

Mayoritas rumah-rumah dan gedung-gedung didesain agar bisa “berteman” dengan


aktivitas seismik. Hal ini terbukti oleh data bahwa 87% bangunan di Tokyo adalah
bangunan tahan gempa.

Perusahaan-perusahaan Jepang bersedia untuk berinvestasi dan berinovasi bagi bangunan


tahan gempa. Sebanyak 51 juta dolar Amerika diinvestasikan untuk pendulum peredam
getaran yang mengizinkan gedung pencakar langit dapat berayun lebih baik dan mengikuti
ayunan getaran gempa.
Peringatan bahaya akibat gempa pun disiarkan dengan cepat oleh Badan Meteorologi
Jepang (JMA). Peringatan tsunami dikirimkan dalam waktu tiga menit sejak gempa
terjadi.
Early warning system bekerja jauh sebelum bencana meneror warga. Bahkan, Jepang
dikatakan jauh lebih siap terhadap bencana kegempaan dibandingkan dengan Amerika
Serikat. Padahal, Jepang dan Pantai Barat Amerika Serikat sama-sama dilalui oleh Cincin
Api Pasifik.

4. Apa yang Bisa Indonesia Benahi?


Rumah panggung dan rumah dari bambu yang jauh lebih tahan gempa dibandingkan
dengan rumah biasa (dari beton) adalah bukti bahwa orang Indonesia juga dapat belajar
dari leluhurnya dalam mitigasi dan rekonstruksi pra dan pascagempa.

Sayangnya, hingga saat ini banyak masyarakat Indonesia yang memiliki pemahaman yang
kurang tentang bahaya yang ditimbulkan oleh gempa. Hal tersebut tampak dari masih
dilakukannya praktik vandalisme oleh oknum-oknum tertentu yang merusak atau mencuri
sensor early warning system, seismograf, dan peringatan dini tsuanmi.

Selain itu, umumnya rumah-rumah di Indonesia dibangun tanpa perhitungan khusus atau
tanpa melibatkan tenaga ahli. Masih sedikit rumah yang mengindahkan metode
pembangunan mengikuti kaidah dan syarat oleh SNI.

Peraturan di Indonesia tentang bangunan tahan gempa yang di legitimasi lewat IMB (izin
mendirikan bangunan) cenderung masih lemah karena kurang diperhatikannya aspek
struktural pada proses pembangunan.

Indonesia perlu melakukan restorasi besar di bidang mitigasi dan rekonstruksi pra dan
pascabencana. Metode mitigasi pascabencana yang tertuang pada Jitupasna harus
diimplementasikan dengan lebih baik, karena pada Jitupasna, metode mitigasi
pascabencana melibatkan seluruh elemen lapisan masyarakat.

Selain itu, metode pembangunan rumah seharusnya mengikuti teknis yang disyarakatkan
oleh pemerintah melalui SNI. Diperlukan adanya penengasan terkait pentingnya aspek
struktural pada proses pembangunan.
Pemerintah sebaiknya memaksimalkan perannya dengan pengawasan dan sosialisasi
syarat SNI pada perumahan rakyat. Tidak hanya pada perumahan rakyat, gedung dan
infrastruktur lain — apalagi di daerah rawan gempa — harus benar-benar sesuai dengan
standar struktur tahan gempa yang disyaratkan.

Peran ini tidak hanya dapat dilakukan oleh pemerintah. Dosen-dosen Teknik Sipil di
daerah terkait juga dapat menjadi pengawas infrastruktur dan kebijakan tahan gempa agar
adanya rasa keterlibatan dan pemaksimalan stakeholder daerah terkaitdalam rekonstruksi
pascabencana.

Material dan metode konstruksi tahan gempa perlu digalakkan dan dibiasakan
penggunaannya di kalangan masyarakat, khususnya di daerah-daerah rawan gempa.
Pemerintah memiliki peran besar agar pengaplikasikan material dan metode konstruksi
tahan gempa dapat dibiasakan, namun peran utama dalam pengaplikasian material dan
metode tahan gempa tetap ada pada masyarakat itu sendiri.

Metode rekonsturksi “Rekompak” yang mendapatkan umpan balik yang sangat baik dari
para korban bencana sebaiknya tidak hanya berhenti diaplikasikan pada rekonstruksi
setelah Gempa dan Tsunami Aceh saja.

Perumahan rakyat dengan teknologi RISHA dan yang menggunakan bambu serta rumah
panggung dapat diimplementasikan dan disesuaikan dengan corak dan kecocokan dengan
daerah tertentu.

Pemerintah harusnya menyediakan dana yang lebih besar dan mengaplikasikan dana
sebaik dan seefektif mungkin untuk mitigasi, rekonsturksi, dan inovasi pra dan
pascabencana.
Untuk hal ini, Indonesia dirasa benar-benar harus belajar dari Jepang. Alokasi anggaran
pemerintah Jepang setiap tahun dialokasikan 5 persen dari APBN mereka wajib untuk
antisipasi bencana. Bandingkan dengan di Indonesia yang masih sangat minim. Alokasi
anggaran untuk BNPB pada tahun 2016, hanya Rp 1,2 trilyun dari total APBN Rp 2.095
trilyun.
Hal terpenting supaya mitigasi dan rekonstruksi pra dan pascabencana di Indonesia
berjalan dengan baik adalah pola pikir dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap bahaya
bencana yang perlu ditingkatkan.

Pendidikan dini terkait bahaya dan mitigasi bencana rasa-rasanya memiliki urgensi yang
tinggi untuk diimplementasikan di wilayah-wilayah rawan bencana alam, khususnya
gempa. Praktik vandalisme terhadap perangkat peringatan dan pencatatan bencana perlu
dihukum tegas.

Daftar Pustaka :
https://rezaprama.com/rekontruksi-gempa/

Anda mungkin juga menyukai