Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

INFEKSI JARINGAN LUNAK

Disusun oleh :

Asti Sauna Mentari (NIM. 1807101030087)


Delya Sukma (NIM. 1807101030029)
Sry Audian Ansari (NIM. 1807101030098)
Ghina Husniyya (NIM. 1807101030058)
Safina Khairidina (NIM. 1807101030104)
Raudhatul Jannah (NIM. 1807101030035)
Nurul Maghfirah (NIM. 1807101030038)
Ismail Saleh Tarigan (NIM. 1807101030047)
Fidya Anastasia (NIM. 1807101030086)

SUB BAGIAN BEDAH PLASTIK REKONSTRUKSI ESTETIK


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
TAHUN 2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Infeksi
Jaringan Lunak”, yang penulis ajukan untuk melengkapi tugas stase di bagian Bedah
Plastik.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada


Konsulen Sub Bagian Ilmu Bedah Plastik Rekonstruksi Estetik sebagai pembimbing
penulis yang telah memberikan waktu dan kesempatannya untuk membimbing dalam
proses penulisan makalah ini hingga penulis dapat menyelesaikan referat ini tepat pada
waktunya. Penulis akhirnya mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada semua
pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari ada banyak kekurangan


dalam penyusunan makalah ini, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna perbaikan makalah ini di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat
memberi manfaat, dan berguna bagi kami semua, Aamiin.

Banda Aceh, Oktober 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................ 3
2.1 Definisi............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi..................................................................................... 3
2.3 Faktor Resiko.................................................................................... 4
2.4 Etiologi.............................................................................................. 4
2.5 Patogenesis........................................................................................ 5
2.6 Klasifikasi......................................................................................... 5
2.7 Diagnosis........................................................................................... 8
2.8 Tata Laksana..................................................................................... 10
2.9 Komplikasi........................................................................................ 18
2.10 Prognosis........................................................................................ 19
BAB III PENUTUP............................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................. 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit infeksi jaringan lunak merupakan infeksi yang dapat dikelompokkan


dalam skin and soft tissue infection (SSTI). Infeksi kulit dan jaringan lunak ini dapat
muncul akibat invasi dari mikroba yang terjadi di kulit dan jaringan lunak dibawahnya.
Presentasi dan manajemen penatalaksanaan dari infeksi memiliki variasi yang beragam,
hal ini disesuaikan berdasarkan etiologi, lokasi infeksi dan tingkat keparahan. Penyebab
dari infeksi sering ditimbulkan oleh bakteri MRSA (Methicilin Resistence
Staphylococcus aureus) dan Streptococcus beta hemolitik. Proses infeksi melibatkan
interaksi antara bakteri dengan pertahanan tubuh dari host. Infeksi SSTI dapat
diklasifikasikan menjadi infeksi sederhana dan kompleks (nekrosis dan non nekrosis). 1

Infeksi SSTI yang diklasifikasikan menjadi infeksi sederhana termasuk dalam


infeksi pioderma. Untuk infeksi yang dapat mengancam jiwa yaitu necrotizing fascitiis.
Kriteria diagnosis minimal yang dapat ditemukan ialah adanya eritema, edema, teraba
hangat pada lokasi infeksi, dan nyeri tekan. Pada area infeksi dapat terjadi disfungsional
dari area atau anggota tubuh yang terkena infeksi, namun hal tersebut bergantung
kepada tingkat keparahan dari penyakit.2

Dalam menegakkan diagnosis dapat didasarkan kepada evaluasi klinis,


pemeriksaan penunjang seperti laboratorium. Manifestasi yang dapat timbul dari infeksi
SSTI ini melibatkan respon inflamasi dengan manifestasi seperti demam dan timbulnya
progresi dari lesi dan bula. Sedangkan dalam penatalaksanaannya merupakan suatu
tantangan bagi petugas medis untuk megidentifikasi apakah seseorang tersebut
membutuhkan prosedur medis yang bersifat intervensi atau pembedahan atau dapat
dilakukan perawatan medis saja. Sekitar 7-10% dari penderita SSTI akan menjalani
perawatan inap di rumah sakit.1,2

Pemberian terapi antimikroba dapat dipilih berdasarkan pengetahuan tentang


patogen yang menginfeksi, keparahan dari penyakit, beserta komplikasi yang
menyertainya. Rute pemberian antimikroba dapat diberikan melalui jalur peroral dan
intravena. Untuk mencapai penatalaksaan yang optimal pemilihan antimikroba dapat

1
diberikan berdasarkan potensi resistensi dari bakteri patogen yang menginfeksi.
Penyakit infeksi ini akan meningkat pada individu dengan imun yang rendah seperti
HIV, diabetes melitus, dan pasien dengan kemoterapi.1,2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Infeksi jaringan lunak dapat dikategorikan menjadi skin and soft tissue infection
(SSTI). Infeksi ini merupakan suatu keadaan terinfeksinya kulit dan jaringan lunak di
bawahnya akibat invasi dari mikroba.1 Keadaan klinis, manifestasi, etiologi, beserta
tingkat keparahan memiliki variasi yang berbeda. Hal tersebut berdasarkan kepada
mikroba yang menginvasi, lokasi infeksi, dan perjalanan dari penyakit tersebut.
Penyebab dari infeksi sering ditimbulkan oleh bakteri MRSA (Methicilin Resistence
Staphylococcus aureus) dan Streptococcus beta hemolitik. Infeksi pada kulit dan
jaringan lunak memiliki resiko tinggi untuk dapat terjadi pada orang dengan tingkat
imun yng rendah, seperti HIV, diabetes melitus, atau pada pasien dengan kemoterapi. 2

2.2. Epidemiologi

Infeksi pada kulit dan jaringan lunak sering dijumpai dalam praktek sehari-
hari, baik di unit gawat darurat maupun di poliklinik. Insidensi terjadinya infeksi kulit
dan jaringan lunak di Amerika Serikat yaitu 6 juta kasus per tahun. Infeksi kulit dan
jaringan lunak dengan tingkat insidensi yang tinggi yaitu selulitis. Di Amerika Utara,
10% rawat inap di rumah sakit diakibatkan oleh infeksi jaringan lunak pada tahun 1998-
2006. Terjadi peningkatan kunjungan rawat jalan pada tahun 1997 yaitu 4,6 juta
kunjungan dibandingkan pada tahun 2005 yaitu 9,6 juta kunjungan. Sebuah penelitian di
Belanda juga menunjukkan peningkatan jumlah pasien sebanyak 5 kali lipat pada pasien
berusia 54 tahun ke 85 tahun atau lebih tua.3

Berdasarkan profil kesehatan Indonesia tahun 2005, penyakit kulit dan jaringan
lunak merupakan penyakit kedua terbanyak pada pasien rawat jalan di rumah sakit,
yaitu sebesar 501.280, atau sebesar 3,16% dari total pasien rawat jalan. Jumlah ini
menurun pada tahun 2009, menjadi 247.256 kasus. 4

3
2.3. Faktor Resiko

Usia yang lebih tua, penyakit kardiopulmoner atau hepatorenal, diabetes


melitus, kelemahan, imunosenescence atau immunocompromise, suplai darah yang tidak
memadai, obesitas, insufisiensi arteriovenosa atau limfatik perifer, dan trauma
merupakan beberapa faktor risiko untuk penyakit infeksi kulit dan jaringan lunak. Faktor
predisposisi untuk penyakit infeksi jaringan lunak termasuk penurunan vaskularisasi
jaringan dan oksigenasi, peningkatan stasis cairan perifer dan risiko trauma kulit, dan
penurunan kemampuan untuk memerangi infeksi. Misalnya, pada diabetes meningkatkan
risiko komplikasi terkait infeksi lima kali lipat. Berikut faktor risiko pada infeki kulit dan
jaringan lunak (Gambar 1).1,2

Gambar 1. Faktor risiko pada infeksi kulit dan jaringan lunak.2

2.4. Etiologi

Infeksi kulit dan jaringan lunak (skin and soft tissue infection/SSTI) adalah
salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi. Penyebab tersering infeksi kulit dan
jaringan lunak adalah bakteri gram positif.5

Tabel 1. Etiologi infeksi jaringan lunak.5


Tipe Infeksi Penyebab Tersering Penyebab yang Lebih Jarang
Erisipelas Staphylococus aureus, Streptococci grup B, C, dan G
Streptococcus grup A
Selulitis S. aureus, Streptococcus Streptococci grup B, C, dan G;

4
grup A Streptococcus iniae; Pneumococcus;
Haemophillus influenzae (anak);
Escherichia coli; Proteus; Enterobakter
lain; Campylobacter jejuni; Moraxella;
Crptococcus neoformans; Legionella
pneumphila, Leginonella micdadei;
Bacillus anthracis (antraks); Aeromonas
hydrophila; Erysipelothrix rhusiopathiae;
Vibrio vulnificus, Vibrio alginolyticus,
Vibrio cholera non-01

2.5. Patogenesis

Sebagian besar SSTI terjadi de novo, atau terjadi setelah kerusakan pada
pelindung kulit yang diakibatkan oleh trauma, pembedahan, atau pun peningkatan
ketegangan jaringan akibat stasis cairan. Infeksi juga dapat berasal dari tempat yang
berdekatan atau dari penyebaran emboli dari tempat yang jauh. S. aureus dan
streptococci bertanggung jawab atas sebagian besar SSTI yang didapat dari komunitas.
Dalam satu studi prospektif, streptokokus beta-hemolitik ditemukan menyebabkan
hampir tiga perempat kasus selulitis difus. S. aureus, P. aeruginosa, enterococcus, dan
Escherichia coli merupakan organisme utama yang diisolasi dari pasien rawat inap
dengan SSTI.2

Infeksi MRSA dapat ditandai dengan adanya pencairan jaringan yang terinfeksi
dan terjadinya pembentukan abses yang mana peningkatan tegangan jaringan
menyebabkan iskemia dan nekrosis kulit di atasnya. Penyebaran limfatik dan hematogen
menyebabkan septikemia dan menyebar ke organ lain (misalnya; paru-paru, tulang dan
katup jantung). Infeksi ekstremitas bawah akibat diabetes, infeksi parah yang didapat di
rumah sakit, infeksi nekrosis, dan infeksi kepala dan tangan menimbulkan risiko
kematian dan kecacatan fungsional yang lebih tinggi.2

2.6. Klasifikasi

5
SSTI diklasifikasikan menjadi sederhana (simple) dan kompleks (nekrosis atau
non-nekrosis) yang dapat melibatkan kulit, lapisan subkutan, lapisan fasia, dan struktur
muskulotendinus. SSTI dapat bernanah/purulen atau tidak bernanah/non-purulen
(ringan, sedang, atau parah). Untuk membantu stratifikasi intervensi klinis, SSTI dapat
diklasifikasikan berdasarkan tingkat keparahan, adanya komorbiditas, kebutuhan dan
sifat intervensi terapeutik (Tabel 2).2

Infeksi sederhana (simple infection) terbatas pada kulit dan jaringan lunak
superfisial, umumnya merespon dengan baik terhadap manajemen rawat jalan. SSTI
sederhana yang umum adalah selulitis, erisipelas, impetigo, ektima, folikulitis, furunkel,
bisul, abses, dan trauma akibat infeksi. Infeksi kompleks (complicated infection) yang
meluas dan melibatkan jaringan dalam di bawahnya adalah abses, ulkus dekubitus,
necrotizing fascilitis, gangren Fournier, dan infeksi dari gigitan manusia atau hewan.
Infeksi ini dapat muncul dengan gambaran sindrom respons inflamasi sistemik atau
sepsis, dan kadang-kadang, nekrosis iskemia. Infeksi perianal, infeksi kaki diabetik,
infeksi pada pasien dengan penyakit penyerta yang signifikan, dan infeksi dari patogen
yang resisten juga merupakan infeksi yang rumit.2

Tabel 2. Sistem klasifikasi pada SSTI.2

KLASIFIKASI DESKRIPSI
Infeksi sederhana tanpa tanda atau gejala sistemik yang menunjukkan
1 penyebaran* dan tidak ada penyakit penyerta yang tidak terkontrol
yang dapat mempersulit pengobatan; setuju untuk manajemen rawat
jalan dengan antimikroba topikal atau oral
Infeksi dengan tanda atau gejala sistemik yang menunjukkan
2 penyebaran * atau dengan komorbiditas stabil, atau infeksi tanpa
penyebaran sistemik tetapi dengan komorbiditas yang tidak
terkontrol; mungkin memerlukan manajemen rawat inap atau
antibiotik parenteral
Infeksi dengan tanda atau gejala penyebaran sistemik * atau penyakit
3 penyerta yang tidak terkontrol; manajemen rawat inap dengan
antibiotik parenteral diperlukan

6
Infeksi dengan tanda sepsis sistemik yang berpotensi fatal “
4 membutuhkan antibiotik parenteral; manajemen rawat inap (mungkin
di unit perawatan kritis) diperlukan, pembedahan dapat diindikasikan

* —Tanda dan gejala yang menunjukkan penyebaran infeksi: demam, takikardia,


diaforesis, kelelahan, anoreksia, dan muntah.
“ —Tanda yang mengindikasikan sepsis sistemik: perubahan status mental, takikardia,
takipnea, dan hipotensi.

Gambar 2. Selulitis dan furunkel.2

Gambar 3. Abses di regio gluteal sinistra dan pioderma gangrenosum. 2

7
2.7. Diagnosis

Diagnosis pada pasien dengan SSTI dapat ditegakkan dengan cara melakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Temuan klinis pada pasien
dengan SSTI sederhana dapat berupa eritema, rasa hangat, edema, dan nyeri di area
yang terkena, dimana regio ekstremitas bawah adalah daerah yang paling sering terkena.
Indurasi adalah karakteristik infeksi yang lebih superfisial seperti erisipelas dan
selulitis. Pasien dengan necrotizing fasciitis dapat mengalami nyeri yang tidak sesuai
dengan temuan fisik, perkembangan infeksi yang cepat, anestesi kulit, perdarahan atau
perubahan bulosa, dan krepitasi yang menunjukkan adanya gas di jaringan lunak.
Infeksi necrotizing fasciitis dan non-nekrosis dapat dibedakan dengan temuan berupa
edema dan bula tegang di atasnya.2

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan yaitu berupa pemeriksaan darah


lengkap, kadar protein C reaktif (CRP), tes fungsi hati, dan tes fungsi ginjal.
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien dengan infeksi berat maupun terhadap pasien
yang memiliki suatu penyakit komorbid yang dapat menyebabkan disfungsi organ.
Penilaian terhadap resiko terjadinya necrotizing fasciitis pada pasien SSTI dapat dengan
menggunakan suatu indikator laboratorium (Gambar 4).2

Kultur darah tidak mungkin mengubah pengelolaan SSTI lokal sederhana pada
pasien yang sehat dan kompeten imun, dan biasanya tidak diperlukan. Namun, karena
potensi keterlibatan jaringan yang dalam, kultur berguna pada pasien dengan infeksi
berat atau tanda-tanda keterlibatan sistemik, pada pasien yang lebih tua atau dengan
gangguan imunitas, dan pada pasien yang membutuhkan pembedahan. Kultur luka tidak
diindikasikan pada sebagian besar pasien sehat, termasuk mereka yang dicurigai
mengalami infeksi MRSA, tetapi berguna pada pasien dengan gangguan sistem imun
dan pasien dengan selulitis yang signifikan; limfangitis; sepsis; abses berulang,
persisten, atau besar; atau infeksi dari gigitan manusia atau hewan. Biopsi jaringan,
merupakan tes diagnostik yang lebih disukai untuk SSTI nekrosis, idealnya diambil dari
tepi luka, dari kedalaman luka gigitan, dan setelah debridement infeksi nekrotikan dan
luka traumatis. Aspirasi steril dari jaringan yang terinfeksi adalah metode pengambilan
sampel lain yang direkomendasikan, lebih disukai sebelum memulai terapi antibiotik. 2

8
Gambar 4. Indikator laboratorium pasien SSTI dengan kategori risiko tinggi dan
rendah untuk necrotizing fasciitis dimana skor ≥6 adalah indikatif, sedangkan skor ≥8
adalah prediktif kuat.2

Studi pencitraan tidak diindikasikan untuk SSTI sederhana, dan pembedahan


tidak boleh ditunda untuk pencitraan. Radiografi/foto polos, ultrasonografi, computed
tomography (CT-scan), atau magnetic resonance imaging (MRI) dapat menunjukkan
edema jaringan lunak atau penebalan fasia, pengumpulan cairan, atau udara jaringan
lunak. Pencitraan resonansi magnetik sangat sensitif (100%) untuk necrotizing fasciitis;
spesifisitas lebih rendah (86%). Keterlibatan luas dari fasia intermuskular dalam,
penebalan fasia (lebih dari 3 mm), dan tidak adanya peningkatan sinyal secara parsial
atau lengkap dari fasia yang menebal pada gambar postgadolinium menunjukkan

9
adanya necrotizing fasciitis. Menambahkan ultrasonografi ke pemeriksaan klinis pada
anak-anak dan remaja dengan dugaan klinis SSTI meningkatkan akurasi diagnosis luas
dan kedalaman infeksi.2

2.8. Tata Laksana

Penatalaksanaan dari SSTI berdasarkan dari tingkat keparahan dan lokasinya,


dan apakah terdapat komorbiditas pasien. Menurut pedoman dari Infectious Diseases
Society of America, penatalaksanaan awal ditentukan oleh ada atau tidaknya pus,
keparahan luka, dan jenis infeksi.2

10
Gambar 5. Algoritma tata laksana awal pada pasien SSTI. (MRSA = methicillin-
resistant Staphylococcus aureus; MSSA = methicillin-sensitive S. aureus).2

Infeksi Ringan dan Sedang

Antibiotik topikal yang dapat diberikan seperti mupirocin, retapamulin


merupakan pilihan pada pasien dengan impetigo dan folliculitis. Antibiotik golongan
beta-laktam efektif pada anak-anak dengan SSTI nonpurulen, seperti selulitis tanpa
komplikasi atau impetigo. Pada orang dewasa dengan SSTI ringan hingga sedang
merespon dengan baik terhadap beta-laktam tanpa adanya supurasi. Pasien yang tidak
membaik atau memburuk setelah 48 jam pengobatan harus menerima antibiotik untuk
menutupi kemungkinan infeksi MRSA dan pencitraan untuk mendeteksi purulensi. SSTI
purulen ringan di area yang mudah dijangkau dan tanpa selulitis di dapat diobati dengan
insisi dan drainase saja. Sedangkan pada anak dapat dilakukan teknik invasif yang
minimal (seperti stab incision, hemostat rupture of septations, in-dwelling drain
placemen) lebih efektif menurunkan morbiditas saat dilakukan perawatan di rumah sakit,
dan lebih ekonomis dibandingkan dengan drainase tradisional dan pembalutan luka.2

Terapi antibiotik diperlukan untuk abses yang berhubungan dengan selulitis


yang luas, perkembangan yang cepat, atau respon yang buruk terhadap drainase awal dan
yang melibatkan tempat tertentu (seperti; wajah, tangan, alat kelamin); dan yang terjadi
pada anak-anak dan orang dewasa yang orang tua yang memiliki penyakit komorbid atau
imunosupresi. Pada selulitis tanpa komplikasi, tidak apa perbedaan yang signifikan
terhadap pengobatan yang dilakukan selama 5 ataupun 10 hari. Dalam uji coba terkontrol
secara acak terhadap 200 anak dengan SSTI yang disebabkan oleh MRSA, yang diterapi
dengan klindamisin dan sefaleksin (Keflex) didapatkan hasil bahwa obat tersebut sama -
sama efektif terhadap penyakit tersebut.2

11
12
Gambar 6. Pilihan terapi antibiotik untuk infeksi ringan dan sedang SSTI dewasa dan
anak.2

Infeksi Berat

Perawatan rawat inap diperlukan untuk pasien yang mengalami infeksi yang
tidak terkontrol meskipun telah mendapat terapi antimikroba rawat jalan yang memadai
atau yang tidak membaik dengan antibiotik oral. Rawat inap juga diindikasikan untuk
pasien yang awalnya datang dengan infeksi yang berat, penyakit komorbiditas yang
tidak stabil, atau tanda-tanda sepsis sistemik, atau yang membutuhkan intervensi bedah
dengan anestesi. Antibiotik spektrum luas dengan efektivitas yang terbukti melawan
bakteri gram positif dan gram- organisme negatif dan anaerob harus digunakan sampai
kepekaan spesifik patogen tersedia.2

Antibiotik intravena harus dilanjutkan sampai gambaran klinis membaik,


pasien dapat mentolerir asupan oral, dan drainase atau debridemen selesai. Durasi terapi
antibiotik yang dianjurkan untuk pasien rawat inap adalah tujuh hingga 14 hari.
Tinjauan Cochrane tidak menetapkan keunggulan antibiotik yang sensitif terhadap
patogen dibandingkan yang lain dalam pengobatan MRSA SSTI. Antibiotik intravena
dapat dilanjutkan di rumah dengan pengawasan ketat setelah dimulai di rumah sakit atau
unit gawat darurat. Pilihan antibiotik untuk infeksi berat (termasuk MRSA SSTI)
diuraikan dibawah ini (Gambar 8).2

13
Pengobatan pada necrotizing fasciitis yang teridentifikasi harus segera
dilakukan konsultasi bedah untuk dilakukan debridemen pada jaringan nekrotik yang
dikombinasikan dengan antibiotik empiris spektrum luas intravena dosis tinggi.
Spektrum antibiotik dapat dipersempit setelah mikroba yang menginfeksi diidentifikasi
dan hasil pengujian kerentanan tersedia. Necrotizing fasciitis monomikroba yang
disebabkan oleh infeksi streptokokus dan klostridial diobati dengan penisilin G dan
klindamisin; Infeksi S. aureus diobati menurut kerentanannya. Terapi antibiotik harus
dilanjutkan sampai gejala sepsis sembuh dan pembedahan selesai. Pasien mungkin
memerlukan pembedahan berulang sampai debridemen dan drainase selesai dan
penyembuhan dimulai. 2

Pertimbangan Khusus

Pasien immunocompromised lebih rentan terhadap SSTI dan mungkin tidak


menunjukkan gambaran klinis klasik maupun temuan laboratorium karena respon
inflamasi mereka yang kurang. Pengujian diagnostik harus dilakukan lebih awal untuk
mengidentifikasi organisme penyebab dan mengevaluasi sejauh mana keterlibatannya,
dan terapi antibiotik harus dimulai untuk mencakup kemungkinan patogen, termasuk
organisme atipikal yang dapat menyebabkan infeksi serius (misalnya, bakteri gram
negatif yang resisten, anaerob, jamur).2

Jenis SSTI tertentu mungkin dihasilkan dari eksposur yang dapat diidentifikasi.
Gigitan anjing dan kucing pada pejamu yang immunocompromised dan yang
melibatkan wajah atau tangan, periosteum, atau kapsul sendi biasanya diobati dengan
antibiotik beta-laktam atau penghambat beta-laktamase (misalnya, amoksisilin/
klavulanat). Pada pasien alergi terhadap penisilin, kombinasi trimetoprim/
sulfametoksazol atau kuinolon dengan klindamisin atau metronidazol dapat digunakan.
SSTI sederhana yang dihasilkan dari paparan air tawar dapat diobati dengan antibiotik
empiris seperti golongan kuinolon, sedangkan doksisiklin digunakan untuk SSTI yang
terjadi setelah terpapar air garam. Pilihannya didasarkan pada organisme penyebab
dugaan (misalnya Aeromonas hydrophila, Vibrio vulnificus, Mycobacterium marinum).
Pada pasien selulitis berulang, pemberian penisilin oral profilaksis, 250 mg dua kali
sehari selama enam bulan, dapat diberikan untuk mengurangi risiko kekambuhan hingga
tiga tahun sebesar 47%.2

14
Gambar 7. Algoritma tata laksana pada pasien SSTI rawat inap.2

15
16
17
Gambar 8. Pilihan terapi antibiotik pada fascilitis nekrosis dan komplikasi lain pada
SSTI pada dewasa dan anak.2

2.9. Kompllikasi

Adapun komplikasi dari infeksi jaringan lunak adalah penyebaran infeksi yang
berat ke jaringan lunak yang lebih dalam (deep tissue infection). Hal ini terkait dengan
infeksi kilit dan jaringan lunak komplikata yang disebabkan oleh bakteri Methicillin-
Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA) yang menimbulkan peningkatan angka
hospitalisasi, biaya kesehatan, serta mortalitas secara umum. Umumnya yang
mengalami komplikasi pada infeksi jaringan lunak adalah pasien yang mengalami
hospitalisasi rekuren, diabetes, neutropenia, luka gigit, dan kontak dengan hewan.
Komplikasi yang didapatkan berupa limfadenitis, miositis dan necrotizing fasciitis,
gangren, osteomyelitis, bakteriemia, endokarditis, septikemia, atau sepsis. Keberadaan
leukositosis dan leukopenia dapat menginsikasikan suatu sindrom sepsis, sementara
peningkatan kreatin kinase sugestif untuk mionekrosis karena necrotizing fasciitis atau
suatu sindrom kompartemen.6

18
Infeksi jaringan lunak menimbulkan berbagai macam komplikasi, namun
komplikasi yang paling berat dari hal tersebut adalah mengakibatkan terjadinya toksik
syok sindrom, gas gangren, dan necrotizing fasciitis. Toksik syok sindrom adalah
infeksi gram positif fulminan akibat S. Aureus atau S. Piogenes yang membutuhkan
pengobatan antibiotik yang agresif. Begitupula dengan gas gangren (mionekrosis) dan
necrotizing fasciitis membutuhkan kontrol sumber infeksi dan debridement serial
tergantung pada agresivitas infeksi. Pada keadaan tersebut sering terjadi deteriorasi
klinis sehingga meningkatkan kebutuhan perawatan di unit inensif oleh karena
perburukan infeksi yang menimbulkan gagal ginjal, peningkatan leukosit, dan
peningkatan serum laktat dan bakteriemia. 7

2.10. Prognosis

Diperlukan stratifikasi derajat keparahan infeksi jaringan lunak untuk


menentukan perawatan yang sesuai dan pemilihan antbiotik yang tepat untuk
memperbaiki kondisi pasien. Prognosis juga bergantung kepada pemilihan jenis
antibiotika, instrumen entri, derajat keparahan penyakit, da komplikasi klinis.1

Mortalitas pasien yang sudah jatuh ke tahap necrotizing fasciitis amat tinggi,
mencapai 46%. Literatus lainnya menunjukkan angka mortalitas adalah sebanyak 16-
24%. Faktor yang menentukan prognosis pasien dengan infeksi jaringan lunak antara
lain usia >50 tahun, nilai leukosit >40.000 sel/mm3 , hematokrit >50%, denyut jantung
>110 kali per menit, temperatur 36°C, dan serum kreatinin >1,5 mg/dL.8

19
BAB III
PENUTUP

Penyakit infeksi jaringan lunak merupakan infeksi yang dapat dikelompokkan


dalam skin and soft tissue infection (SSTI). Penyakit SSTI dapat diklasifikasikan
menjadi infeksi sederhana dan kompleks (nekrosis dan non nekrosis). Infeksi kulit dan
jaringan lunak ini dapat muncul akibat invasi dari mikroba yang terjadi di kulit dan
jaringan lunak dibawahnya. Penyebab infeksi paling sering ditimbulkan oleh bakteri
MRSA (Methicilin Resistence Staphylococcus aureus) dan Streptococcus beta
hemolitik. Presentasi dan manajemen penatalaksanaan pada SSTI bervariasi, hal ini
bergantung terhadap etiologi, lokasi infeksi dan tingkat keparahan penyakit. Infeksi
jaringan lunak dapat menimbulkan berbagai macam komplikasi, yang paling berat yaitu
terjadinya toksik syok sindrom, gas gangren, dan necrotizing fasciitis. Prognosis
bergantung terhadap pemilihan jenis antibiotika, instrumen entri, derajat keparahan
penyakit, dan komorbid ataupun komplikasi klinis. Faktor yang menentukan prognosis
pasien dengan infeksi jaringan lunak antara lain usia >50 tahun, nilai leukosit >40.000
sel/mm3 , hematokrit >50%, denyut jantung >110 kali per menit, temperatur 36°C, dan
serum kreatinin >1,5 mg/dL.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Ki V RC. Bacterial skin and soft tissue infections in adults: A review of their
epidemiology, pathogenesis, diagnosis, treatment and site of care. Can J Infect
Dis Med Microbiol. 2018;19(2):173–84.

2. Ramakrishnan K, Salinans RC, Higuita NIA. Skin and Soft Tissue Infections.
Am Fam Physician. 2015;92(6):474–88.

3. Hersh A, Chambers H, Maselli J, Gonzales R. National trends in ambulatory


visits and antibiotic prescribing for skin and soft-tissue infections. Arch Intern
Med. 2008;

4. Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2009. Departemen


Kesehatan RI; 2010.

5. Lipworth A. Non-necrotizing Infections of the Dermis and Subcutaneous Fat :


Cellulitis and Erysipelas. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
United States: Mc Graw Hill; 2012.

6. Leong HN, Kurup A, Tan MY, Kwa ALH, Liau KH WM. Management of
complicated skin and soft tissue infections with a special focus on the role of
newer antibiotics. Infect Drug Resist. 2018;11:1959–74.

7. Burnham JP, Kirby JP KM. Diagnosis and management of skin and soft tissue
infections in the intensive care unit: a review. Intensive Care Med. 2016;

8. Goldstein EJC, Anaya DA DE. Necrotizing Soft-Tissue Infection: Diagnosis and


Management. Clin Infect Dis. 2017;44(5):705–710.

21

Anda mungkin juga menyukai