Anda di halaman 1dari 5

DANA HIBAH DAN BANSOS DALAM

PEMBANGUNAN (BAGIAN 1). BERIMBAS


KETERGANTUNGAN DAN TUMPULNYA
KEMANDIRIAN.
Dibaca: 2215 Pengunjung
Share

Oleh : Biro Humas Setda Prov Bal

MASYARAKAT Indonesia, termasuk Bali tentunya, saat ini sangat


akrab dengan istilah dana hibah atau bantuan sosial (bansos). Dalam benak
mereka, kedua jenis dana itu adalah “rejeki” yang bisa dibagi-bagi, baik
melalui perantara anggota DPR(D) maupun langsung oleh pihak eksekutif. 
Pos belanja hibah dan bansos menjadi salah satu pos belanja dalam APBD
(Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang paling menarik perhatian
bahkan menjadi "rebutan" masyarakat.
Hal ini sangat dimengerti karena jenis belanja ini tidak perlu
dikembalikan kepada negara. Namun dalam perkembangannya bantuan
hibah dan bansos ini ternyata sering menimbulkan masalah hukum sehingga
sering menelan korban baik dari kalangan penyelenggara negara maupun
kalangan masyarakat itu sendiri, sebagai akibat dari penyalahgunaan hibah
dan bansos yang akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah
hukum.
Hal ini bisa terjadi paling tidak ada dua faktor penyebabnya. Pertama,
belum adanya petunjuk teknis mengenai penyaluran dan pemanfaatan dana
hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD. Kedua, sering
terjadinya moral hazard di kalangan oknum penyelenggara negara serta
oknum masyarakat. 
Pemahaman masyarakat tentang dana hibah dan bantuan sosial selalu
diartikan sebagai “uang kas” yang penggunaannya suka-suka masyarakat.
Padahal sesuai ketentuan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara
bahwa setiap pengeluaran anggaran negara harus dapat
dipertanggungjawabkan baik secara fisik maupun administratif. Oleh karena
itu masyarakat perlu memahami mekanisme atau prosedur dari mulai
perencanaan, pengusulan (proposal) dan pemanfaatan serta
pertanggungjawaban hibah dan bansos.
Aspek lain yang perlu dicermati bahwa bantuan hibah dan bantuan
sosial yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun hal ini terlihat dari
jumlah proposal yang masuk ke pemda sampai ratusan bahkan suatu saat
akan mencapai ribuan, sehingga apabila tidak dikendalikan akan
menimbulkan dua implikasi. 
Pertama, akan mengurangi kemampuan pemda untuk melaksanakan
urusan wajib dan urusan pilihan yang telah diamanahkan dalam UU No,.32
tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, akan menumpulkan
kemandirian masyarakat suatu hal yang tidak baik dalam rangka menciptakan
masyarakat madani. 
Banyak contoh hal-hal kecil yang seharusnya dapat dilakukan
masyarakat (swadaya) sekarang sepenuhnya digeser menjadi beban
pemerintah. Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung dalam jangka panjang
maka dikhawatirkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan
khususnya dalam mengawasi dan memelihara sarana dan prasarana
pembangunan akan semakin melemah yang pada gilirannya akan melahirkan
masyarakat yang acuh pada lingkungan yang ada dan akan menumpulkan
kemandirian masyarakat. 
Oleh karena itu pemerintah memandang perlu untuk mengatur dan
mengendalikan pemanfaatan hibah dan bantuan sosial yang dananya
bersumber dari APBD yaitu dengan dikeluarkannya Permendagri No 32 tahun
2011 tentang pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan sosial yang bersumber
dari APBD. Keluarnya Permendagri ini mengandung spirit pelaksanaan
prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dalam
pengelolaan APBD khususnya dalam penyaluran hibah dan bansos kepada
masyarakat. 
Seperti diketahui bahwa prinsip good governance menurut UNDP
(United Nations Development Programme) atau Program Pembangunan
Perserikatan Bangsa-bangsa, antara lain prinsip akuntabilitas dan prinsip
transparansi. Melalui Permendagri ini diharapkan tercipta tertib administrasi,
akuntabilitas dan transparansi pengelolaan hibah dan bansos.
Selanjutnya yang perlu dipahami oleh masyarakat bahwa penerima hibah
atau bansos (baik berupa barang atau uang) harus bertanggung jawab secara
formal maupun material atas penggunaan hibah dan bansos yang
diterimanya. Artinya penerima hibah atau bansos akan menjadi obyek
pemeriksaan (obrik) dari pihak satuan pemeriksa intern pemerintah maupun
dari Badan Pemeriksa Keuangan.
Berdasarkan aturan baru kepada masyarakat/organisasi
kemasyarakatan yang akan mengajukan hibah atau bansos kepada pemda
baik propinsi maupun kabupaten/kota perlu mengajukan usulan tertulis
kepada kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) dengan memperhatikan
peruntukkan secara spesifik dan besaran anggaran yang rasional dan jujur. 
Pada tahap ini masyarakat sering kurang memahami dalam dua hal. Pertama,
sering mengajukan usulan anggaran yang tidak masuk akal (irasional) untuk
sebuah kegiatan dan kurang memunculkan besaran keswadayaannya.
Kedua, masyarakat sering mengajukan proposal ketika APBD sudah
disahkan DPRD. Juga masyarakat sering menyampaikan proposal kepada
seluruh SKPD tanpa melihat konteks kegiatan dengan tupoksi SKPD yang
bersangkutan. 
Kondisi ini sangat menyulitkan SKPD karena terkait dengan prinsip
disiplin anggaran yang harus dipegang teguh. 
Permendagri tentang hibah dan bansos perlu direspon positif dan
dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. Masyarakat perlu memahami
dan menyadari agar pengusulan setiap bantuan kepada pemerintah perlu
disesuaikan dengan perencanaan yang paralel dengan perencanaan APBD,
sehingga menjadi penting peningkatan kualitas pelaksanaan rapat koordinasi
pembangunan (Rakorbang) sebagai forum perencanaan pembangunan yang
dapat mengakomodir kegiatan masyarakat (tentu diawali dengan seleksi yang
efektif).
Hal lain yang perlu mendapat perhatian masyarakat bahwa bantuan
hibah tidak bersifat terus-menerus tiap tahun, tidak wajib dan tidak mengikat
kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan (artinya
pengecualian ini dapat dibenarkan apabila ada ketentuan yang
membolehkannya). Sedangkan bansos pada dasarnya sama tidak terus-
menerus, kecuali dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan (ini harus diatur
dalam peraturan kepala daerah agar tidak multitafsir).
Rawan korupsi
Pemanfaatan dana hibah atau bansos tentu bukan untuk menciptakan
ketergantungan masyarakat kepada pemerintah secara berlebihan. Tetapi
sebaliknya diharapkan menumbuhkan masyarakat madani, yaitu masyarakat
yang mandiri, demokratis, tahu dan mau melaksanakan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara serta beradab. 
Berita miring terkait dana hibah dan bansos dalam sering mencuat di
media massa maupun di tengah masyarakat. Padahal ketentuan dan sistem
pertanggungjawaban dana hibah dan bansos ini sudah ada, namun tetap saja
selalu menimbulkan tanda tanya, baik masalah penyaluran yang tidak
prioritas, anggaran hibah yang fantastis, penerima yang tidak jelas dan tepat
sasaran, serta isu muatan politik bahwa dana tersebut hanya sebagai balas
jasa atau bentuk pencitraan saja.
Dana hibah dan bansos yang tidak jelas peruntukan dan sasarannya
sangat rawan terjadi penyimpangan dan korupsi. Di Bali, beberapa anggota
DPRD, bahkan beberapa kepala daerah dan penerima hibah harus diperiksa
Kejaksaan atau Kepolisian, bahkan ada yang sampai menjadi tersangka dan
terpidana akibat dijerat UU Anti-korupsi. 
Beberapa kelemahan yang berujung pada perkara hukum dalam
penyaluran dana hibah di antaranya kelemahan perencanaan dan
penyusunan proposal, realisasi yang tidak sesuai, pertanggungjawaban fiktif,
sampai adanya penyuapan dalam proses pencairannya. Rawannya
penyelewengan dana hibah dan bansos menuntut adanya perbaikan sistem
penyaluran, pola pertanggungjawaban dan sistem pengawasan yang ketat.
Permendagri No 32/2011 sebagai aturan main pemberian dana hibah dan
bansos telah mengatur dengan jelas tentang definisi, syarat penerima,
naskah perjanjian hibah, pelaksanaan, pelaporan, pertanggungjawaban,
monitoring dan evaluasi pelaksanaan hibah dan bansos. Pemberian hibah
harus memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat
untuk masyarakat. Terkait syarat penerima hibah, untuk ormas harus terdaftar
minimal 3 tahun di pemda, berdomisili di daerah yang bersangkutan dan
punya sekretariat tetap. Sementara untuk pertanggungjawabannya meliputi
laporan penggunaan dana hibah disertai bukti-bukti pengeluaran yang
lengkap dan sah. 
Di samping Permendagri, di Bali sudah terbit Peraturan Gubernur
Nomor 67 Tahun 2012 tentang pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan
Sosial Provinsi Bali, sebagai regulasi lanjutan Permendagri. Dua regulasi ini
diharapkan dapat memperketat proses pemberian hibah dan bansos dan
memperkecil peluang penyelewengan. Regulasi ini harus disosialisasikan,
dipahami dan dipatuhi oleh pemberi maupun menerima hibah sehingga tidak
ada lagi titip-menitip proposal yang tujuannya tidak jelas, tidak tepat sasaran,
untuk kepentingan politis dan merugikan masyarakat. Peran aktif masyarakat,
LSM, dan DPRD sangat diperlukan dalam pengawasan penyaluran dan
penggunaan dana hibah dan bansos. Begitu pula kepada BPK agar dapat
melakukan audit secara profesional, serta aparat penegak hukum harus tegas
dan tidak tebang pilih dalam proses penegakan hukum.
Belanja hibah sebagai salah satu komponen keuangan daerah yang
setiap tahunnya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), selayaknya dikelola secara tertib, taat peraturan perundang-
undangan, efisien, ekonomi, efektif, transparan dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk rakyat. 
Pengelolaan dana hibah idealnya harus berpegang teguh pada filosofi
akuntansi. Artinya, segala uang yang dikeluarkan, maka harus ada input yang
diterima. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa fakta pengelolaan dana
hibah pada Belanja Tidak Langsung merupakan uang yang dikeluarkan tanpa
mendapatkan input yang terukur dari pelaksanaannya. Berbeda misalnya
dengan belanja barang atau belanja jasa yang jelas motif umpan balik yang
diterima. Dengan realita seperti inilah pengelolaan dana hibah menjadi rawan
korupsi. 
Mengingat belanja hibah sejatinya diperuntukkan untuk akselerasi
pembangunan daerah, maka setiap tahunnya Menteri Dalam Negeri selalu
mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan dana hibah. Peraturan paling
anyar yang juga menyinggung masalah itu adalah Permendagri No.113/2014
tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri
no.114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. (*)

Anda mungkin juga menyukai