0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
21 tayangan5 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang penyaluran dana hibah dan bantuan sosial dalam pembangunan di Indonesia, khususnya di Bali. Dana tersebut sering disalahgunakan dan menimbulkan ketergantungan masyarakat. Regulasi baru seperti Permendagri No. 32/2011 dan Pergub Bali No. 67/2012 ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana hibah.
Dokumen tersebut membahas tentang penyaluran dana hibah dan bantuan sosial dalam pembangunan di Indonesia, khususnya di Bali. Dana tersebut sering disalahgunakan dan menimbulkan ketergantungan masyarakat. Regulasi baru seperti Permendagri No. 32/2011 dan Pergub Bali No. 67/2012 ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana hibah.
Dokumen tersebut membahas tentang penyaluran dana hibah dan bantuan sosial dalam pembangunan di Indonesia, khususnya di Bali. Dana tersebut sering disalahgunakan dan menimbulkan ketergantungan masyarakat. Regulasi baru seperti Permendagri No. 32/2011 dan Pergub Bali No. 67/2012 ditujukan untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan dana hibah.
KETERGANTUNGAN DAN TUMPULNYA KEMANDIRIAN. Dibaca: 2215 Pengunjung Share
Oleh : Biro Humas Setda Prov Bal
MASYARAKAT Indonesia, termasuk Bali tentunya, saat ini sangat
akrab dengan istilah dana hibah atau bantuan sosial (bansos). Dalam benak mereka, kedua jenis dana itu adalah “rejeki” yang bisa dibagi-bagi, baik melalui perantara anggota DPR(D) maupun langsung oleh pihak eksekutif. Pos belanja hibah dan bansos menjadi salah satu pos belanja dalam APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) yang paling menarik perhatian bahkan menjadi "rebutan" masyarakat. Hal ini sangat dimengerti karena jenis belanja ini tidak perlu dikembalikan kepada negara. Namun dalam perkembangannya bantuan hibah dan bansos ini ternyata sering menimbulkan masalah hukum sehingga sering menelan korban baik dari kalangan penyelenggara negara maupun kalangan masyarakat itu sendiri, sebagai akibat dari penyalahgunaan hibah dan bansos yang akhirnya mereka harus berhadapan dengan masalah hukum. Hal ini bisa terjadi paling tidak ada dua faktor penyebabnya. Pertama, belum adanya petunjuk teknis mengenai penyaluran dan pemanfaatan dana hibah dan bantuan sosial yang bersumber dari APBD. Kedua, sering terjadinya moral hazard di kalangan oknum penyelenggara negara serta oknum masyarakat. Pemahaman masyarakat tentang dana hibah dan bantuan sosial selalu diartikan sebagai “uang kas” yang penggunaannya suka-suka masyarakat. Padahal sesuai ketentuan UU No 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahwa setiap pengeluaran anggaran negara harus dapat dipertanggungjawabkan baik secara fisik maupun administratif. Oleh karena itu masyarakat perlu memahami mekanisme atau prosedur dari mulai perencanaan, pengusulan (proposal) dan pemanfaatan serta pertanggungjawaban hibah dan bansos. Aspek lain yang perlu dicermati bahwa bantuan hibah dan bantuan sosial yang jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun hal ini terlihat dari jumlah proposal yang masuk ke pemda sampai ratusan bahkan suatu saat akan mencapai ribuan, sehingga apabila tidak dikendalikan akan menimbulkan dua implikasi. Pertama, akan mengurangi kemampuan pemda untuk melaksanakan urusan wajib dan urusan pilihan yang telah diamanahkan dalam UU No,.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua, akan menumpulkan kemandirian masyarakat suatu hal yang tidak baik dalam rangka menciptakan masyarakat madani. Banyak contoh hal-hal kecil yang seharusnya dapat dilakukan masyarakat (swadaya) sekarang sepenuhnya digeser menjadi beban pemerintah. Bila kondisi ini dibiarkan berlangsung dalam jangka panjang maka dikhawatirkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan khususnya dalam mengawasi dan memelihara sarana dan prasarana pembangunan akan semakin melemah yang pada gilirannya akan melahirkan masyarakat yang acuh pada lingkungan yang ada dan akan menumpulkan kemandirian masyarakat. Oleh karena itu pemerintah memandang perlu untuk mengatur dan mengendalikan pemanfaatan hibah dan bantuan sosial yang dananya bersumber dari APBD yaitu dengan dikeluarkannya Permendagri No 32 tahun 2011 tentang pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan sosial yang bersumber dari APBD. Keluarnya Permendagri ini mengandung spirit pelaksanaan prinsip good governance (tata kelola pemerintahan yang baik) dalam pengelolaan APBD khususnya dalam penyaluran hibah dan bansos kepada masyarakat. Seperti diketahui bahwa prinsip good governance menurut UNDP (United Nations Development Programme) atau Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-bangsa, antara lain prinsip akuntabilitas dan prinsip transparansi. Melalui Permendagri ini diharapkan tercipta tertib administrasi, akuntabilitas dan transparansi pengelolaan hibah dan bansos. Selanjutnya yang perlu dipahami oleh masyarakat bahwa penerima hibah atau bansos (baik berupa barang atau uang) harus bertanggung jawab secara formal maupun material atas penggunaan hibah dan bansos yang diterimanya. Artinya penerima hibah atau bansos akan menjadi obyek pemeriksaan (obrik) dari pihak satuan pemeriksa intern pemerintah maupun dari Badan Pemeriksa Keuangan. Berdasarkan aturan baru kepada masyarakat/organisasi kemasyarakatan yang akan mengajukan hibah atau bansos kepada pemda baik propinsi maupun kabupaten/kota perlu mengajukan usulan tertulis kepada kepala daerah (bupati/walikota/gubernur) dengan memperhatikan peruntukkan secara spesifik dan besaran anggaran yang rasional dan jujur. Pada tahap ini masyarakat sering kurang memahami dalam dua hal. Pertama, sering mengajukan usulan anggaran yang tidak masuk akal (irasional) untuk sebuah kegiatan dan kurang memunculkan besaran keswadayaannya. Kedua, masyarakat sering mengajukan proposal ketika APBD sudah disahkan DPRD. Juga masyarakat sering menyampaikan proposal kepada seluruh SKPD tanpa melihat konteks kegiatan dengan tupoksi SKPD yang bersangkutan. Kondisi ini sangat menyulitkan SKPD karena terkait dengan prinsip disiplin anggaran yang harus dipegang teguh. Permendagri tentang hibah dan bansos perlu direspon positif dan dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. Masyarakat perlu memahami dan menyadari agar pengusulan setiap bantuan kepada pemerintah perlu disesuaikan dengan perencanaan yang paralel dengan perencanaan APBD, sehingga menjadi penting peningkatan kualitas pelaksanaan rapat koordinasi pembangunan (Rakorbang) sebagai forum perencanaan pembangunan yang dapat mengakomodir kegiatan masyarakat (tentu diawali dengan seleksi yang efektif). Hal lain yang perlu mendapat perhatian masyarakat bahwa bantuan hibah tidak bersifat terus-menerus tiap tahun, tidak wajib dan tidak mengikat kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan (artinya pengecualian ini dapat dibenarkan apabila ada ketentuan yang membolehkannya). Sedangkan bansos pada dasarnya sama tidak terus- menerus, kecuali dalam keadaan tertentu dapat berkelanjutan (ini harus diatur dalam peraturan kepala daerah agar tidak multitafsir). Rawan korupsi Pemanfaatan dana hibah atau bansos tentu bukan untuk menciptakan ketergantungan masyarakat kepada pemerintah secara berlebihan. Tetapi sebaliknya diharapkan menumbuhkan masyarakat madani, yaitu masyarakat yang mandiri, demokratis, tahu dan mau melaksanakan hak dan kewajibannya sebagai warga negara serta beradab. Berita miring terkait dana hibah dan bansos dalam sering mencuat di media massa maupun di tengah masyarakat. Padahal ketentuan dan sistem pertanggungjawaban dana hibah dan bansos ini sudah ada, namun tetap saja selalu menimbulkan tanda tanya, baik masalah penyaluran yang tidak prioritas, anggaran hibah yang fantastis, penerima yang tidak jelas dan tepat sasaran, serta isu muatan politik bahwa dana tersebut hanya sebagai balas jasa atau bentuk pencitraan saja. Dana hibah dan bansos yang tidak jelas peruntukan dan sasarannya sangat rawan terjadi penyimpangan dan korupsi. Di Bali, beberapa anggota DPRD, bahkan beberapa kepala daerah dan penerima hibah harus diperiksa Kejaksaan atau Kepolisian, bahkan ada yang sampai menjadi tersangka dan terpidana akibat dijerat UU Anti-korupsi. Beberapa kelemahan yang berujung pada perkara hukum dalam penyaluran dana hibah di antaranya kelemahan perencanaan dan penyusunan proposal, realisasi yang tidak sesuai, pertanggungjawaban fiktif, sampai adanya penyuapan dalam proses pencairannya. Rawannya penyelewengan dana hibah dan bansos menuntut adanya perbaikan sistem penyaluran, pola pertanggungjawaban dan sistem pengawasan yang ketat. Permendagri No 32/2011 sebagai aturan main pemberian dana hibah dan bansos telah mengatur dengan jelas tentang definisi, syarat penerima, naskah perjanjian hibah, pelaksanaan, pelaporan, pertanggungjawaban, monitoring dan evaluasi pelaksanaan hibah dan bansos. Pemberian hibah harus memperhatikan asas keadilan, kepatutan, rasionalitas, dan manfaat untuk masyarakat. Terkait syarat penerima hibah, untuk ormas harus terdaftar minimal 3 tahun di pemda, berdomisili di daerah yang bersangkutan dan punya sekretariat tetap. Sementara untuk pertanggungjawabannya meliputi laporan penggunaan dana hibah disertai bukti-bukti pengeluaran yang lengkap dan sah. Di samping Permendagri, di Bali sudah terbit Peraturan Gubernur Nomor 67 Tahun 2012 tentang pedoman Pemberian Hibah dan Bantuan Sosial Provinsi Bali, sebagai regulasi lanjutan Permendagri. Dua regulasi ini diharapkan dapat memperketat proses pemberian hibah dan bansos dan memperkecil peluang penyelewengan. Regulasi ini harus disosialisasikan, dipahami dan dipatuhi oleh pemberi maupun menerima hibah sehingga tidak ada lagi titip-menitip proposal yang tujuannya tidak jelas, tidak tepat sasaran, untuk kepentingan politis dan merugikan masyarakat. Peran aktif masyarakat, LSM, dan DPRD sangat diperlukan dalam pengawasan penyaluran dan penggunaan dana hibah dan bansos. Begitu pula kepada BPK agar dapat melakukan audit secara profesional, serta aparat penegak hukum harus tegas dan tidak tebang pilih dalam proses penegakan hukum. Belanja hibah sebagai salah satu komponen keuangan daerah yang setiap tahunnya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), selayaknya dikelola secara tertib, taat peraturan perundang- undangan, efisien, ekonomi, efektif, transparan dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan dan manfaat untuk rakyat. Pengelolaan dana hibah idealnya harus berpegang teguh pada filosofi akuntansi. Artinya, segala uang yang dikeluarkan, maka harus ada input yang diterima. Walaupun demikian, perlu diingat bahwa fakta pengelolaan dana hibah pada Belanja Tidak Langsung merupakan uang yang dikeluarkan tanpa mendapatkan input yang terukur dari pelaksanaannya. Berbeda misalnya dengan belanja barang atau belanja jasa yang jelas motif umpan balik yang diterima. Dengan realita seperti inilah pengelolaan dana hibah menjadi rawan korupsi. Mengingat belanja hibah sejatinya diperuntukkan untuk akselerasi pembangunan daerah, maka setiap tahunnya Menteri Dalam Negeri selalu mengeluarkan peraturan tentang pengelolaan dana hibah. Peraturan paling anyar yang juga menyinggung masalah itu adalah Permendagri No.113/2014 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan Permendagri no.114/2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa. (*)