Anda di halaman 1dari 4

KASUS 2 PCOS

 Tanda dan Gejala


Penegakan diagnosis sindrom polikistik ovarium dapat dilakukan dengan melihat tanda-tanda
berikut :
1. Hiperandrogenemia: baik secara biokimia atau pemeriksaan fisik tanpa ada atau adanya
gangguan system endorkrin pengecekan dapat dilakukan dengan melihat pertumbuhan
bulu pada tubuh penderita atau dapat dilakukan dengan Ferriman Gallwel Score. Untuk
keakuratan hasil dapat pula di cek melalui direct radioimmunoassay (RIA) dengan
menghitung kadar testosterone bebas.
2. Anovulasi, yaitu tidak adanya ovulasi selama 3 bulan atau lebih . Sementara oligoovulasi
yaitu ovulasi yang terjadi lebih dari 35 hari.
3. Adanya polikistik ovarian dalam pemeriksaan penunjang seperti ultrasonografi.
4. Gabungan dua diantara 3 gejala diatas yaitu :-Oligovulasi dan adanya polikistik ovarium
-Hiperandrogenemia dan adanya polikistik ovarium.

 Faktor Resiko
Penyebab sindrom polikistik ovarium ini belum diketahui, namun diduga terdapat keterkaitan
dengan proses pengaturan ovulasi dan ketidakmampuan enzim yang berperan dalam sintesis
estrogen di ovarium. Berikut ini penjabaran mengenai etiologi dan patogenesis sindrom
polikistik ovarium :
1. Peningkatan faktor pertumbuhan menyebabkan peningkatan respon ovarium terhadap
Luteinizing Hormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone (FSH), sehingga perkembangan
folikel ovarium bertambah dan produksi androgen akan meningkat. Perkembangan folikel yang
berlebihan ini akan menyebabkan banyaknya folikel yang bersifat kistik.
2. Adanya hubungan antara obesitas dan peningkatan resiko polikistik ovarium melalui
peningkatan resistensi insulin yang menyebabkan sel teka memproduksi androgen dan
menghambat Sex Hormone Binding Globulin (SHBG) sehingga androgen bebas meningkat.
Keadaan ini menyebabkan androgen banyak di aromatisasi menjadi estrogen yang akan
menghasilkan LH dan memicu pematangan folikel.
3. Hiperandrogen , anovulasi dan polikistik ovarium disebabkan oleh factor genetic terkait
kromosom X.
 Patofisiologi
Patofisiologi yang pasti dari PCOS adalah kompleks dan kebanyakan masih tidak jelas, akan
tetapi suatu ketidakseimbangan hormonal yang mendasarinya yang diakibatkan oleh kombinasi
peningkatan androgen dan/atau insulin. Faktor genetik dan lingkungan terhadap gangguan
hormonal bergabung dengan faktor-faktor lain termasuk obesitas, disfungsi ovarium, dan
abnormalitas hipofisis berkontribusi terhadap etiologi PCOS.
Hiperandrogenisme adalah kontributor kuat terhadap etiologi PCOS (dideteksi pada
sekitar 60%-80% kasus). Resistensi insulin adalah juga kontributor terhadap PCOS dan
terdeteksi 50%-80% pada wanita dengan PCOS, terutama sekali pada pasien PCOS yang lebih
berat dan berat badan lebih. Sebaliknya, wanita yang kurus dan wanita dengan PCOS.

 Diagnosis
derajat lebih ringan tampaknya memiliki resistensi insulin dan hiperinsulinemia yang
kurang berat. Resistensi insulin berkontribusi terhadap gambaran metabolik tetapi juga terhadap
gambaran reproduksi melalui peningkatan produksi androgen dan peningkatan androgen bebas
dengan cara menurunkan sex hormone binding globulin (SHBG)

Telah ada tiga usaha yang jelas dan terpisah untuk menegakkan atau memperbaharui
kriteria diagnosa untuk SOPK. Kriteria diagnosa yang pertama adalah hasil dari konferensi yang
dilakukan oleh National Institute of Child Health and Human Development (NICHD)pada tahun
1990, yang menyimpulkan bahwa kriteria mayor untuk diagnosis PCOS adalah (1)
hiperandrogenisme dan/atau hiperandrogenemia, (2) disfungsi menstruasi, dan (3) eksklusi
penyebab lain yang memiliki presentasi klinis yang mirip. Kriteria diagnosa yang kedua adalah
hasil dari konferensi yang disponsori oleh European Society for Human Reproduction and
Embryologi (ESHRE) dan American Society for Reproductive Medicine (ASRM), yang
diputuskan di Rotterdam, Belanda, pada tahun 2003, yang menyimpulkan bahwa diagnosis
PCOS didasarkan adanya sekurang-kurangnya dua dari tiga kriteria mayor, termasuk (1)
oligo/anovulasi, (2) tanda klinis dan biokimia hiperandrogenisme, dan (3) ovarium polikistik
(yang diidentifikasi melalui ultrasonografi), juga mengeksklusikan kelainan kelebihan androgen
lain. Kriteria diagnosa yang ketiga adalah hasil kerja dari Androgen Excess and PCOS Society
(AE-PCOS) pada tahun 2006, yang menyimpulkan diagnosis PCOS sebagai berikut (1)
hiperandrogenisme (hirsutisme dan/atau hiperandrogenemia), (2) disfungsi ovarium
(oligo/anovulasi dan/atau ovarium polikistik), dan (3) eksklusi kelainan kelebihan androgen lain
atau yang berhubungan dengan itu).
Kriteria diagnostik NICHD 1990 yang asli adalah didasarkan pada konsep tradisional dari
PCOS yang membutuhkan fakta adanya hiperandrogenisme (hiperandrogenemia dan/atau
hirsutisme) dan disfungsi menstruasi (oligo/amenore). Kriteria Rotterdam ESHRE/ASRM 2003
mencakup spektum yang lebih luas dari kelainan ini, mengenai ovarium polikistik sebagai fakta
disfungsi ovarium dan mencakup wanita yang tidak memiliki hiperandrogenisme atau
hirsutisme. Kriteria AE-PCOS Society 2006 memungkinkan bahwa ovarium polikistik mungkin
dianggap suatu tanda disfungsi ovarium, tetapi lagi menekankan bahwa PCOS dikarakterisasi,
pertama dan paling sering oleh hiperandrogenisme, termasuk wanita baik dengan oligo/amenore
atau ovarium polikistik, tetapi menyingkirkan kelainan yang tidak memiliki gejala baik
hiperandrogenemia atau hirsutisme.
Untuk wanita dengan dugaan PCOS, tes skrining laboratorium mencakup pengukuran
serum total testosteron, DHEA-S, dan 17-OHP. Pengukuran gonadotropin serum tidak
diperlukan untuk diagnosa. Pada pasien yang menunjukkan hirsutisme moderat dan berat dengan
onset yang cepat, penilaian sebaiknya ditujukan untuk menentukan adanya neoplasma yang
memproduksi androgen. Testosteron total serum dan DHEA-S serum adalah esensial. Bila
nilainya melebihi batas kadar tumor, kemudian pemeriksaan imaging seperti ultrasonografi dan
MRI atau CT diperlukan untuk menentukan lokasi lesi. Kadang-kadang, kadar androgen sirkulasi
yang tinggi mungkin tidak berkaitan dengan lesi yang jelas, tetapi merupakan akibat pembesaran
ovarium bilateral nonkistik. Bila diikuti dengan onset gradual dari simptom ini, presentasi klinis
ini menunjukkan suatu diagnosis hipertekosis.
Diagnosa kelainan adrenal mencakup CAH, defisiensi primer 21-hidroksilase, sindroma
Cushing’s, dan tumor adrenal. CAH-defisiensi 21-hidroksilase diduga pada pasien-pasien dengan
peningkatan kadar 17-OHP lebih dari 3 ng/ml, dan tes stimulasi ACTH sebaiknya dilakukan.
Respon serum 17-OHP terhadap ACTH yang melebihi 10 ng/ml adalah indikasi adanya defek
enzim. Skrining laboratorium untuk sindroma Cushing’s paling baik dicapai dengan pengukuran
free kortisol dalam urin-24 jam. Respon abnormal membutuhkan tes lebih lanjut termasuk tes
supresi deksametason dosis rendah, dosis tinggi dan juga studi imaging untuk menentukan
adanya hyperplasia adrenal, sindroma Cushing’s, adenoma adrenal, atau tempat produksi ACTH
ektopik.

DAFTAR PUSTAKA

Indrani Nur dan Fitria Saftarina 2016, Effect of Polycystic Ovary Syndrome to Increase
Infertility Risk Factors, Bagian Kedokteran Okupasi, Fakultas Kedokteran, Fakultas Kedokteran,
Universitas Lampung.

Fajar Sudiono, Lunardhi Susanto,Wachjudi Kurnia, 2020, EFFECT OF HYPERBARIK


OXYGEN THERAPY ON TESTOSTERON CONCENTRATION IN POLICYSTIC
OVARIUM SYNDROME MODEL WITH INSULIN RESISTANCE, Fakultas Kedokteran
Universitas Hang Tuah.

Anda mungkin juga menyukai