Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN
   
1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan penyakit internasional, menjangkit 13,5 juta individu tiap
tahunnya. Sejak 1948 kloramfenikol digunakan untuk mengurangi kasus yang fatal dari 20%
menjadi 1%. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan penyakit infeksi
sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diagnosis dini
demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat dapat segera diberikan, sehingga
komplikasi dapat dihindari. Diagnosis  pasti demam tifoid dengan cara mengisolasi kuman S.
typhii,memerlukan waktu yang cukup lama (4–7 hari) dan tidak semua laboratorium mampu
melaksanakannya. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis
dan tes serologis saja (Verma, 2010).
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan
metode tabung atau dengan metode peluncuran (slide). Uji widal dengan metode peluncuran
dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan
spesifisitas uji widal tabung lebih baik dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani,
2005).
Antigen merupakan suatu substansi yang dapat merangsang hewan atau manusia untuk
membentuk protein yang dapat berikatan dengannya dengan cara spesifik. Antibodi merupakan
suatu substansi yang dihasilkan sebagai jawaban (respon) terhadap antigen yang reaksinya
spesifik terhadap antigen tersebut. Antibodi yang dihasilkan tadi hanya akan bereaksi dengan
antigennya atau dengan antigen lain yang mempunyai persamaan dekat dengan antigen pertama.
Antibodi yang terdapat dalam cairan tubuh biasanya disebut antibodi humoral dan beberapa
diantaranya dapat menghasilkan reaksi yang dapat dilihat dengan mata (visibel). Antibodi
spesifik dibentuk di dalam sel tertentu yang bereaksi secara spesifik dan langsung terhadap
antigen. Antibodi semacam ini dikenal sebagai antigen seluler (Soenarjo, 1989).
Aglutinasi merupakan reaksi serologi klasik yang dihasilkan gumpalan suspensi sel oleh
sebuah antibodi spesifik yang secara tidak langsung meyerang spesifik antigen. Beberapa uji
telah digunakan secara luas untuk mendeteksi antibodi yang menyerang penyakit yang dihasilkan
mikroorganisme pada serum dalam waktu yang lama. Fase pertama aglutinasi adalah penyatuan
antigen-antibodi terjadi seperti pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu.
Fase kedua yaitu  pembentukan kisi-kisi tergantung pada penanggulangan gaya tolak
elektrostatik partikel-partikel (Olopoenia dan King, 1999).

1.2 Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mendeteksi penyakit typus dan berat ringannya
infeksi oleh bakteri Salmonella typhii dengan melihat titer antibodi dalam serum.

1.3 Prinsip Kerja


Reaksi antara antigen Salmonella sp yang terdapat pada reagen widal dengan antibody
Salmonella sp yang terdapat pada serum pasien.

1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Uji reaksi Widal menggunakan suspensi bakteri S.typhii dan S. paratyphi dengan


perlakuan antigen H dan O. Antigen ini dikerjakan untuk mendeteksi antibodi yang sesuai pada
serum pasien yang diduga menderita demam typhoid. Antibodi IgM somatik O menunjukksn
awal dan merepresentasikan respon serologi awal pada penderita demam thypoid akut, dimana
antibodi IgG flagela H biasanya berkembang lebih lambat tetapi tetap memanjang.  
Salmonella sering bersifat pathogen untuk manusia atau hewan  jika masuk kedalam 
tubuh  melalui mulut. Bakteri ni ditularkan dari hewan atau produk hewan kepada  manusia, dan
menyebabkan enteris, infeksi sistemik dan demam enteric. Salmonella  merupakan bakteri Gram
(-)  batang, tidak berkapsul dan bergerak dengan flagel peritrich. (Soemarno, 2000).
PanjangSalmonella bervariasi, kebanyakan spesies kecuali Salmonella pullorumgallinarum dapat
bergerak dengan flagel peritrich, bakteri ini mudah tumbuh pada pembenihan biasa, tetapi
hampir tidak pernah meragikan laktosa dan sukrosa. Bakteri ini termasuk asam dan kadang –
kadang gas dari glukosa dan maltosa, dan biasanya membentuk H2S. Bakteri ini dapat hidup
dalam air beku untuk  jangka waktu yang cukup lama. Salmonella resisten terhadap zat-zat 
kimia tertentu (misalnya hijau brilliant, natrium tetratrionat, dan natrium desoksikolat) yang
menghambat bakteri enteric lainnya. Oleh karena itu senyawa ini bermanfaat untuk dimasukkan 
dalam  pembenihan yang dipakai untuk mengisolasi  Salmonella  dari tinja.  (Jawetz, dkk. 1996).
Salmonella pada umumnya harus diidentifikasikan dengan analisa antigenik seperti
Enterobacteriaceae yang lain. Salmonella mempunyai antigen O dan antigen H, tetapi beberapa
diantaranya ada yang memiliki antigen Vi. Antigen ini dapat mengganggu aglutinasi O atau anti
serum O dan berhubungan dengan virulensi. Bagian paling luar dari dinding sel lipopolisakarida
salah satunya adalah antigen O, yang terdiri dari satuan-satuan lipopolisakarida yang berulang,
sehingga jika kehilangan antigen ini mengakibatkan bentuk koloni yang seharusnya menjadi
kasar. Antigen H terletak pada flagel dan jika kehilangan antigen H dapat
mengakibatkan Salmonella ini tidak dapat  bergerak. Kedua antigen ini dapat digunakan untuk
identifikasi Salmonella (Jawetz et al., 1974).
Penyakit tifus yang berat menyebabkan komplikasi pendarahan, kebocoran usus, infeksi
selaput, renjatan bronkopnemonia dan kelainan di otak. Terdapat gejala penyakit tifus segera di
lakukan pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosa penyakit tifus, koma.
Keterlambatan diagnose dapat menyebabkan komplikasi yang berakibat fatal, sampai pada
kematian. Tanda-tanda dan gejala PA (Paratyphoid fever A) menunjukan tidak spesifitas, jenis
penyakit ini sulit untuk didiagnosa secara akurat. Meskipun  diagnosis definitife tetapi, dapat
dibuat isolasi SPA (serovar Paratyphi A (SPA), dari spesimen klinis seperti darah, sumsum
tulang, urin atau tinja atau dengan menunjukan meningkatnya titer O (somatic), H (flagelata),
dan A (flagella), ditandai dengan aglutinasi antibodi dalam sampel serum yang berpasangan
(Shukunet.al., 2011).
Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan bakteriadalah limfosit B yang
memproduksi antibodi, dan limfosit T yangmengatur sintesis antibodi. Untuk menimbulkan
respons antibodi,limfosit B dan Limfosit T harus berinteraksi satu dengan yang
lain(Kresno,S.B,2001).S.typhiyang berada di jaringanseperti hepar dan limpa, apabilakeluar dari
makrofag dan menjadi bakteri yang ekstraseluler, maka bakteritersebut akan segera difagositosis
oleh sel fagosit, sel netrofil, monosit danhistiosit.Lipopolisakaridadapat mengaktifkan jalur
alternatif dari sistemkomplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses
iniendotoksin akan dikeluarkan yang dapat merangsangmakrofag,untukmensekresi sitokin.
Beberapa sitokin dapat menyebabkan demam danmerangsang sintesis dari protein fase akut
sepertiC-Reactive Protein(CRP) (Handojo,I,2004).
Lipopolisakarida (LPS)dapat merangsang respons imun tanpamelibatkan limfosit T dan
dapat langsung merangsang limfosit B melaluiimunoglobulin permukaan untukberproliferasi dan
berdiferensiasi menjadisel plasma yang memproduksiantibodi(aglutininO), antibodi
yangdiproduksi terutama IgM(Handojo, 2004).Limfosit B mengandung IgM pada permukaannya
sebagai reseptor antigen, sehingga IgM terbentukpaling awal pada respons imun primer, tetapi
respons IgM umumnyapendek yaitu hanya beberapa hari kemudian menurun, dengan
responsIgM yang umumnya pendek inilah dapat digunakan untuk menentukanapakah suatu
infeksi yangdiderita oleh seseorang akut atau tidak (Kresno,S.B,2001).
AntigenH(flagela dan fimbriae)danantigen Vi (kapsul)merupakan antigenyang hanya
dapat merangsang limfosit B melaluilimfositT helper 2(Th2) untuk berproliferasi dan
berdiferensiasi menjadisel plasma untuk memproduksi aglutinin H dan Vi. Atas dasar
ini,aglutinin O diproduksi lebih awal (akhir minggu pertama) daripadaaglutinin H dan Vi
(minggu kedua). Titer aglutinin akan mencapaipuncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya
febris dan bertahanselama beberapa bulan kemudian menurun perlahan-lahan (Handojo,I,2004).
Gambaran KlinisGambaran klinis sangat penting untuk membantu mendeteksisecara dini
demam tifoid, masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2minggu setelahS.typhitertelan ,tetapi
bisa juga dalam waktu tiga hariatau dua bulan (WHO,2003).Gejala klinis penyakit ini pada
minggu pertama, ditemukandengan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
padaumumnya yaitu demam, nyeri kepala, diare, konstipasi, nyeriotot, anoreksia, mual, muntah,
batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkansuhu badan meningkat. Demam meningkat
perlahan-lahan terutama padasore hingga malam hari. Dalam minggu ke dua gejala-gejala lebih
jelasberupa demam, lidah yang kotor dibagian tengahnya sedangkan lidah dibagian tepi dan
ujungnya merah, hepatomegali, splenomegali, dansomnolen (Widodo,D,2006)
BAB III
METODOLOGI
3.1 Alat
1. Mikropipet
2. tip
3. Slide widal
4. Batang pengaduk
5. Masker
6. Handscun

3.2 Bahan
1. Reagen kit widal
2. Serum

3.3 Sampel
1. Serum

3.4 Prosedur Kerja


1. Di ambil 3 buah object glass dan pada masing masing object glass dipipetkan serum
sebanyak 0μl, 10μl, dan 5μl.
2. Masing-masing object glass ditetesi 1 tetes reagen S. typhii H, dicampur supaya
larutan menjadi homogen.
3.   Object glass digoyang-goyang selama 1 menit. Tepat 1 menit, diamati ada tidaknya
aglutinasi.

3.5 Interpretasi Hasil


1. Tidak ada aglutinasi, hasil negatif (-). Penderita tidak terinfeksi S. typhii H.
2. Ada aglutinasi, hasil positif (+). Penderita terinfeksi S.typhii H.
a) Pada serum 20 μl, titer Ab (+) 1/80 = infeksi ringan
b) Pada serum 10 μl, titer Ab (+) 1/160 = infeksi aktif
c) Pada serum 5 μl, titer Ab (+) 1/320 = infeksi berat
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1  Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan terjadinya aglutinasi pada serum
Kelompo  Terjadi Aglutinasi
20 10 5 2,5 Probandus
k
1 + + + + Ria Murniati
2 + + + Ai Nurjanah
3 + + + Ai Nurjanah
4 - Ria Murniati
5 - Hikmah S.
6 - Ade Irma

 4.2 Pembahasan
Hasil praktikum menunjukkan bahwa setelah serum praktikan yang masing-masing
terdiri atas 5 µl, 10 µl, 20 µl di tetesi dengan reagen Salmonella typhii, terbentuk gumpalan pada
serum  10 µl karena tejadi reaksi antara antigen dengan antibodi. Sampel 5 µl dan 20 µl tidak
tebentuk gumpalan karena tidak adanya reaksi antara antigen dengan antibodi. Hal ini
menunjukkan bahwa serum praktikan tidak terinfeksi oleh bakteri S. Typhii. Kontrol
menunjukkan hasil positif setelah ditetesi dengan reagen, dimana terbentuknya gumpalan atau
aglutinasi, hal ini berarti bahwa serum tersebut terinfeksi oleh bakteri S. Typhii.
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau
dengan metode peluncuran (slide). Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan lebih
cepat dibandingkan dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas uji widal tabung
lebih baik dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani, 2005).
Demam tifoid merupakan penyakit internasional, menjangkit 13,5 juta individu tiap
tahunnya. Sejak 1948 kloramfenikol digunakan untuk mengurangi kasus yang fatal dari 20%
menjadi 1% (Verma, 2010). Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan
penyakit infeksi sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Diagnosis dini demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat dapat
segera diberikan,sehingga komplikasi dapat dihindari. Diagnosis pasti demam tifoid dengan cara
mengisolasi kuman S. typhii, memerlukan waktu yang cukup lama (4–7 hari) dan tidak semua
laboratorium mampu melaksanakannya. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji widal merupakan salah satu uji serologis
yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk
Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan metode peluncuran
(slide). Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan
uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas uji widal tabung lebih baik dibandingkan
dengan uji widal peluncuran (Wardhani, 2005).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat (Jawetz et al., 1974).
Antigen mempunyai dua atau lebih tempat reaksi atau antigen-reaction
site atau antigen-determinant site, sehingga secara umum dikenal sebagai substansi yang
mempunyai multivalent dan multispesifik. Imunoglobulin-G (IgG) berstruktur elips memanjang
dengan dua atau lebih permukaan tempat reaksi atau antibody-reaction site yang sama, yaitu satu
pada tiap ujungnya dan mempunyai kemampuan ikatan spesifik yang dikenal dengan bivalent
atau monovalent (Volk, 1992). Interaksi antigen-ntibodi dibagi dalam 3 kategori yaitu  primer,
sekunder, dan tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen dengan antibodi merupakan
suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul antigen dengan molekul antibodi.
Reaksi ini jarang terlihat, deteksi biasanya dikerjakan dengan reaksi-reaksi sekunder yang
merupakan alat bantu untuk memvisualisasikan reaksi, misalnya presipitasi. Reaksi tertier
merupakan ekspresi biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna untuk merusak.
Interaksi antigen-antibodi kadang-kadang dinyatakan sebagai manifestasi tersier. Reaksi-reaksi
tersebut adalah merupakan tanda-tanda biologik interaksi antigen-antibodi dan kadang-kadang
berguna pada penderita tetapi kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit karena injuri
imunologik (Bellanti, 1993).
Jawetz et al. (1974), menyatakan bahwa antigen mempunyai tiga struktur utama, yaitu :
1.   “H” atau antigen flagelar yang diinaktifkan oleh pemanasan diatas 600C dan bisa juga dengan
alkohol dan asam. Antigen ini merupakan sediaan terbaik untuk uji serologi dengan penambahan
formalin pada kultur motil muda. Antigen H ini mengandung beberapa unsur pokok imunologi.
Di dalam spesies salmonella tunggal, antigen flagelar ini terbentuk dalam satu atau dua bentuk
yang disebut fase 1 dan fase 2. Organisme cenderung akan bermutasi dari satu fase ke fase lain
yang disebut dengan fase variasi. Antibodi yang berikatan dengan antigen H adalah IgG.
2.   “O” atau antigen somatik yang terbentuk pada permukaan tubuh bakteri baik dalam bentuk motil
maupun non-motil dan resisten untuk memanjang pada pemanasan 1000C , alkohol dan cairan
asam. Antigen O diambil dari bakteri basil non-motil atau dengan perlakuan dengan pemanasan
dan alkohol. Kandungan sera antibodi anti-O, seperti aglutinasi antigen yang lambat pada masa
granular. Antibodi terhadap antigen O yang utama adalah IgM.
3.   Antigen “Vi” yang ada pada perifer ekstrim tubuh atau pada kapsul. Antigen ini akan rusak oleh
pemanasan selama 1 jam pada suhu 600C dan oleh asam dan fenol. Kultur yang mempunyai
antigen Vi lebih virulen dari pada yang tidak punyai antigen Vi.
Antibodi-antibodi yang mampu bereaksi dengan antigen dalam larutan salin disebut
dengan antibodi salin atau komplet yang sebagian besar terdiri atas antibodi IgM. Antibodi yang
tidak mampu bereaksi dalam larutan salin disebut antibodi inkomplet atau antibodi blocking yang
termasuk di sini adalah antibodi IgG. Jenis antibodi 7S IgG tertentu tidak dapat mengaglutinasi
sel darah merah dalam suspensi salin meskipun telah terikat kuat pada antigen (sel darah merah)
(Bellanti, 1993).
Menurut Olopoenia dan King (1999), ada beberapa hal yang akan menyebabkan hasil
aglutinasi Widal menjadi positif maupun negatif. Hal yang menyebabkan uji aglutinasi Widal
menjadi negatif antara lain tidak adanya infeksi oleh S. typhii, tidak cukupnya inokulum antigen
bakteri pada inang untuk menginduksi produksi antibodi, kesulitan teknis dan eror dalam
penampilan uji, perlakuan antibodi sebelumnya, keragaman preparasi antigen komersial,
dancarrier state. Hal yang akan menyebabkan hasil aglutinasi Widal menjadi positif antara lain
pasien yang dites menderita demam typhoid, sebelumnya telah diimunisasi dengan
antigen Salmonella, reaksi silang dengan Salmonella non-typhoid, keragaman dan minimnya
standarisasi preparasi antigen komersial, infeksi dengan malaria atau Enterobacteriaceae lain,
dan penyakit lain seperti dengue. Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat
pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bilamana tidak lagi didapatkan
gejala yang sesuai.
Adanya hasil negatif pada hasil praktikum menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi
antara antigen dengan antibody. Antibodi dapat menimbulkan penolakkan sehingga interaksi
tidak terjadi. Proses penolakkan ini dapat terjadi dalam dua bentuk yatitu penolakkan hiperakut
terjadi bila antibodi anti donor yang terbentuk sebelumnya sudah ada di dalam sirkulasi resipien
serta pada individu yang tidak dibuat peka, antibodi humoral anti-HLA berkembang bersama
penolakkan yang diperantarai sel T. Antibodi ini penting sekali dalam
penghantaran penolakkan akut lambat, pada resipien yang telah diobati dengan obat-obatan
imunosupresif setelah pencangkokan (Robbins dan Kumar, 1995).
                                            
Positif  (+)       : Terjadi aglutinasi, berarti terdapat antibodi.
Negatif  (-)       : Tidak terjadi aglutinasi, berarti tidak terdapat antibodi.

BAB  V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1    Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa:
1.        Praktikan yang sampel darahnya diambil ari kelompok 2, pernah menderita thypus karena
serumnya mengalami aglutinasi setelah ditetesi dengan reagen S. Typhii.
2.      Serum yang mengandung Ab terhadap Salmonella typhii apabila bereaksi dengan
AgSalmonella typhii yang dilekatakan pada partikel, akan mengalami aglutinasi, karena Ab
dalam serum akan mengikat Ag bakteri Salmonella typhii (hasil positif).
3.        Apabila serum penderita tidak mengandung Ab terhadap Salmonella , maka tidak akan terjadi
aglutinasi karena tidak ada ikatan (interaksi) antara Ag Salmonella dengan Ab
terhadap Salmonella typhii (hasil negatif).

4.2    Saran
Saran yang bisa diberikan adalah bahwa perlu adanya pengujian lebih lanjut mengenai
ada tidaknya Salmonella typhii pada darah praktikan.

DAFTAR PUSTAKA

Bellanti, J. 1993. Imunologi III. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.


Jawetz, E, J. L Melnick, and E. A. Adelberg. 1974. Review of Medical Microbiology.
Lange Medical Publication, Canada.

Jawetz, Ernest. 1996. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta : EGC.

Olopoenia, L.A and A.L King. 1999. Widal Aglutination Test – 100 Years Later : Still
Plaqued by Controversi. Howard University, Washington.

Robbins, S.L dan V. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I Edisi 4. ECG, Jakarta.

Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinis. Yogyakarta: Akademi Analis


kesehatan Yogyakarta Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Soenarjo. 1989. Dasar-dasar Imuno Bioreproduksi pada Hewan. Fakultas Peternakan


Unsoed, Purwokerto.

Shukun, W. Qian, W. Conjia, C. Deshen, S. and Xianhua, W. 2011. Value of a single


serum widal agglutination test in diagnosis of paratyphoid fever A. International
Research Journal of Biochemistry and Bioinformatics (ISSN-2250-9941) Vol.
1(8) pp. 209-214,

Verma, S, S. Thakur, A. Kanga, G Singh, and P. Gupta. 2010.


Emerging Salmonella parathypi A Enteric fever and changing trends in
antimicrobial resistance pattern of salmonella in Shimla. Indian Journal Of
Medical Microbiology, 28 (1): 51-53.

Volk, W.A. 1992. Basic Microbiology sevent Edition. Harper-Collins Publishers, New
York.
Wardhani, P. Prihatini, M.Y. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, 12 (1) : 31-37.

Anda mungkin juga menyukai