PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Demam tifoid merupakan penyakit internasional, menjangkit 13,5 juta individu tiap
tahunnya. Sejak 1948 kloramfenikol digunakan untuk mengurangi kasus yang fatal dari 20%
menjadi 1%. Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan penyakit infeksi
sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan masalah kesehatan di Indonesia. Diagnosis dini
demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat dapat segera diberikan, sehingga
komplikasi dapat dihindari. Diagnosis pasti demam tifoid dengan cara mengisolasi kuman S.
typhii,memerlukan waktu yang cukup lama (4–7 hari) dan tidak semua laboratorium mampu
melaksanakannya. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya berdasarkan gejala klinis
dan tes serologis saja (Verma, 2010).
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan
metode tabung atau dengan metode peluncuran (slide). Uji widal dengan metode peluncuran
dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan
spesifisitas uji widal tabung lebih baik dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani,
2005).
Antigen merupakan suatu substansi yang dapat merangsang hewan atau manusia untuk
membentuk protein yang dapat berikatan dengannya dengan cara spesifik. Antibodi merupakan
suatu substansi yang dihasilkan sebagai jawaban (respon) terhadap antigen yang reaksinya
spesifik terhadap antigen tersebut. Antibodi yang dihasilkan tadi hanya akan bereaksi dengan
antigennya atau dengan antigen lain yang mempunyai persamaan dekat dengan antigen pertama.
Antibodi yang terdapat dalam cairan tubuh biasanya disebut antibodi humoral dan beberapa
diantaranya dapat menghasilkan reaksi yang dapat dilihat dengan mata (visibel). Antibodi
spesifik dibentuk di dalam sel tertentu yang bereaksi secara spesifik dan langsung terhadap
antigen. Antibodi semacam ini dikenal sebagai antigen seluler (Soenarjo, 1989).
Aglutinasi merupakan reaksi serologi klasik yang dihasilkan gumpalan suspensi sel oleh
sebuah antibodi spesifik yang secara tidak langsung meyerang spesifik antigen. Beberapa uji
telah digunakan secara luas untuk mendeteksi antibodi yang menyerang penyakit yang dihasilkan
mikroorganisme pada serum dalam waktu yang lama. Fase pertama aglutinasi adalah penyatuan
antigen-antibodi terjadi seperti pada presipitasi dan tergantung pada kekuatan ion, pH dan suhu.
Fase kedua yaitu pembentukan kisi-kisi tergantung pada penanggulangan gaya tolak
elektrostatik partikel-partikel (Olopoenia dan King, 1999).
1.2 Tujuan
Tujuan praktikum ini adalah untuk mendeteksi penyakit typus dan berat ringannya
infeksi oleh bakteri Salmonella typhii dengan melihat titer antibodi dalam serum.
1.4 Manfaat
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
3.2 Bahan
1. Reagen kit widal
2. Serum
3.3 Sampel
1. Serum
4.1 Hasil
Tabel 1. Hasil pengamatan terjadinya aglutinasi pada serum
Kelompo Terjadi Aglutinasi
20 10 5 2,5 Probandus
k
1 + + + + Ria Murniati
2 + + + Ai Nurjanah
3 + + + Ai Nurjanah
4 - Ria Murniati
5 - Hikmah S.
6 - Ade Irma
4.2 Pembahasan
Hasil praktikum menunjukkan bahwa setelah serum praktikan yang masing-masing
terdiri atas 5 µl, 10 µl, 20 µl di tetesi dengan reagen Salmonella typhii, terbentuk gumpalan pada
serum 10 µl karena tejadi reaksi antara antigen dengan antibodi. Sampel 5 µl dan 20 µl tidak
tebentuk gumpalan karena tidak adanya reaksi antara antigen dengan antibodi. Hal ini
menunjukkan bahwa serum praktikan tidak terinfeksi oleh bakteri S. Typhii. Kontrol
menunjukkan hasil positif setelah ditetesi dengan reagen, dimana terbentuknya gumpalan atau
aglutinasi, hal ini berarti bahwa serum tersebut terinfeksi oleh bakteri S. Typhii.
Uji widal merupakan salah satu uji serologis yang sampai saat ini masih digunakan secara
luas, khususnya di negara berkembang termasuk Indonesia. Prinsip uji Widal adalah memeriksa
reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran
berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi
menunjukkan titer antibodi dalam serum. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau
dengan metode peluncuran (slide). Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan lebih
cepat dibandingkan dengan uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas uji widal tabung
lebih baik dibandingkan dengan uji widal peluncuran (Wardhani, 2005).
Demam tifoid merupakan penyakit internasional, menjangkit 13,5 juta individu tiap
tahunnya. Sejak 1948 kloramfenikol digunakan untuk mengurangi kasus yang fatal dari 20%
menjadi 1% (Verma, 2010). Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi merupakan
penyakit infeksi sistemik, bersifat endemis dan masih merupakan masalah kesehatan di
Indonesia. Diagnosis dini demam tifoid sangat diperlukan agar pengobatan yang tepat dapat
segera diberikan,sehingga komplikasi dapat dihindari. Diagnosis pasti demam tifoid dengan cara
mengisolasi kuman S. typhii, memerlukan waktu yang cukup lama (4–7 hari) dan tidak semua
laboratorium mampu melaksanakannya. Diagnosis demam tifoid sering ditegakkan hanya
berdasarkan gejala klinis dan tes serologis saja. Uji widal merupakan salah satu uji serologis
yang sampai saat ini masih digunakan secara luas, khususnya di negara berkembang termasuk
Indonesia. Uji widal dapat dilakukan dengan metode tabung atau dengan metode peluncuran
(slide). Uji widal dengan metode peluncuran dapat dikerjakan lebih cepat dibandingkan dengan
uji widal tabung, tetapi ketepatan dan spesifisitas uji widal tabung lebih baik dibandingkan
dengan uji widal peluncuran (Wardhani, 2005).
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka
penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada
kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Mencari standar titer uji Widal
seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah
endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak
sehat (Jawetz et al., 1974).
Antigen mempunyai dua atau lebih tempat reaksi atau antigen-reaction
site atau antigen-determinant site, sehingga secara umum dikenal sebagai substansi yang
mempunyai multivalent dan multispesifik. Imunoglobulin-G (IgG) berstruktur elips memanjang
dengan dua atau lebih permukaan tempat reaksi atau antibody-reaction site yang sama, yaitu satu
pada tiap ujungnya dan mempunyai kemampuan ikatan spesifik yang dikenal dengan bivalent
atau monovalent (Volk, 1992). Interaksi antigen-ntibodi dibagi dalam 3 kategori yaitu primer,
sekunder, dan tersier. Interaksi primer atau interaksi awal antigen dengan antibodi merupakan
suatu kejadian dasar yang terdiri dari pengikatan molekul antigen dengan molekul antibodi.
Reaksi ini jarang terlihat, deteksi biasanya dikerjakan dengan reaksi-reaksi sekunder yang
merupakan alat bantu untuk memvisualisasikan reaksi, misalnya presipitasi. Reaksi tertier
merupakan ekspresi biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna untuk merusak.
Interaksi antigen-antibodi kadang-kadang dinyatakan sebagai manifestasi tersier. Reaksi-reaksi
tersebut adalah merupakan tanda-tanda biologik interaksi antigen-antibodi dan kadang-kadang
berguna pada penderita tetapi kadang-kadang dapat menyebabkan penyakit karena injuri
imunologik (Bellanti, 1993).
Jawetz et al. (1974), menyatakan bahwa antigen mempunyai tiga struktur utama, yaitu :
1. “H” atau antigen flagelar yang diinaktifkan oleh pemanasan diatas 600C dan bisa juga dengan
alkohol dan asam. Antigen ini merupakan sediaan terbaik untuk uji serologi dengan penambahan
formalin pada kultur motil muda. Antigen H ini mengandung beberapa unsur pokok imunologi.
Di dalam spesies salmonella tunggal, antigen flagelar ini terbentuk dalam satu atau dua bentuk
yang disebut fase 1 dan fase 2. Organisme cenderung akan bermutasi dari satu fase ke fase lain
yang disebut dengan fase variasi. Antibodi yang berikatan dengan antigen H adalah IgG.
2. “O” atau antigen somatik yang terbentuk pada permukaan tubuh bakteri baik dalam bentuk motil
maupun non-motil dan resisten untuk memanjang pada pemanasan 1000C , alkohol dan cairan
asam. Antigen O diambil dari bakteri basil non-motil atau dengan perlakuan dengan pemanasan
dan alkohol. Kandungan sera antibodi anti-O, seperti aglutinasi antigen yang lambat pada masa
granular. Antibodi terhadap antigen O yang utama adalah IgM.
3. Antigen “Vi” yang ada pada perifer ekstrim tubuh atau pada kapsul. Antigen ini akan rusak oleh
pemanasan selama 1 jam pada suhu 600C dan oleh asam dan fenol. Kultur yang mempunyai
antigen Vi lebih virulen dari pada yang tidak punyai antigen Vi.
Antibodi-antibodi yang mampu bereaksi dengan antigen dalam larutan salin disebut
dengan antibodi salin atau komplet yang sebagian besar terdiri atas antibodi IgM. Antibodi yang
tidak mampu bereaksi dalam larutan salin disebut antibodi inkomplet atau antibodi blocking yang
termasuk di sini adalah antibodi IgG. Jenis antibodi 7S IgG tertentu tidak dapat mengaglutinasi
sel darah merah dalam suspensi salin meskipun telah terikat kuat pada antigen (sel darah merah)
(Bellanti, 1993).
Menurut Olopoenia dan King (1999), ada beberapa hal yang akan menyebabkan hasil
aglutinasi Widal menjadi positif maupun negatif. Hal yang menyebabkan uji aglutinasi Widal
menjadi negatif antara lain tidak adanya infeksi oleh S. typhii, tidak cukupnya inokulum antigen
bakteri pada inang untuk menginduksi produksi antibodi, kesulitan teknis dan eror dalam
penampilan uji, perlakuan antibodi sebelumnya, keragaman preparasi antigen komersial,
dancarrier state. Hal yang akan menyebabkan hasil aglutinasi Widal menjadi positif antara lain
pasien yang dites menderita demam typhoid, sebelumnya telah diimunisasi dengan
antigen Salmonella, reaksi silang dengan Salmonella non-typhoid, keragaman dan minimnya
standarisasi preparasi antigen komersial, infeksi dengan malaria atau Enterobacteriaceae lain,
dan penyakit lain seperti dengue. Hasil ulang pemeriksaan widal positif setelah mendapat
pengobatan tifus, bukan indikasi untuk mengulang pengobatan bilamana tidak lagi didapatkan
gejala yang sesuai.
Adanya hasil negatif pada hasil praktikum menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi
antara antigen dengan antibody. Antibodi dapat menimbulkan penolakkan sehingga interaksi
tidak terjadi. Proses penolakkan ini dapat terjadi dalam dua bentuk yatitu penolakkan hiperakut
terjadi bila antibodi anti donor yang terbentuk sebelumnya sudah ada di dalam sirkulasi resipien
serta pada individu yang tidak dibuat peka, antibodi humoral anti-HLA berkembang bersama
penolakkan yang diperantarai sel T. Antibodi ini penting sekali dalam
penghantaran penolakkan akut lambat, pada resipien yang telah diobati dengan obat-obatan
imunosupresif setelah pencangkokan (Robbins dan Kumar, 1995).
Positif (+) : Terjadi aglutinasi, berarti terdapat antibodi.
Negatif (-) : Tidak terjadi aglutinasi, berarti tidak terdapat antibodi.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Praktikan yang sampel darahnya diambil ari kelompok 2, pernah menderita thypus karena
serumnya mengalami aglutinasi setelah ditetesi dengan reagen S. Typhii.
2. Serum yang mengandung Ab terhadap Salmonella typhii apabila bereaksi dengan
AgSalmonella typhii yang dilekatakan pada partikel, akan mengalami aglutinasi, karena Ab
dalam serum akan mengikat Ag bakteri Salmonella typhii (hasil positif).
3. Apabila serum penderita tidak mengandung Ab terhadap Salmonella , maka tidak akan terjadi
aglutinasi karena tidak ada ikatan (interaksi) antara Ag Salmonella dengan Ab
terhadap Salmonella typhii (hasil negatif).
4.2 Saran
Saran yang bisa diberikan adalah bahwa perlu adanya pengujian lebih lanjut mengenai
ada tidaknya Salmonella typhii pada darah praktikan.
DAFTAR PUSTAKA
Olopoenia, L.A and A.L King. 1999. Widal Aglutination Test – 100 Years Later : Still
Plaqued by Controversi. Howard University, Washington.
Robbins, S.L dan V. Kumar. 1995. Buku Ajar Patologi I Edisi 4. ECG, Jakarta.
Volk, W.A. 1992. Basic Microbiology sevent Edition. Harper-Collins Publishers, New
York.
Wardhani, P. Prihatini, M.Y. 2005. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan
Antigen Import dan Antigen Lokal. Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, 12 (1) : 31-37.