Husci Gangguan Jiwa

Anda mungkin juga menyukai

Anda di halaman 1dari 12

MAKAL

KONSEP GANGGUAN
AH JIWA

NAMA : HUSCI
NIM : A13.013

DIII KEPERAWATAN
TAHUN AKADEMIK
2013/2014
A. KONSEP GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa adalah suatu ketidakberesan kesehatan dengan manifestasi –manifestasi


psikologis atau perilaku terkait dengan penderita yang nyata dan kinerja yang buruk, dan
disebabkan oleh gangguan psikologis, genetik, fisis, atau kimiawi. Gangguan jiwa
mewakilisuatu keadaan yang tidak beres yang berhakikatkan penyimpangan dari suatu
konsep normatif. Setiap jenis ketidakberesan kesehatan itu memiliki tanda-tanda dan gejala
yang khas

Setiap gangguan jiwa dinamai dengan istila yang tercantum dalam PPDGJ-IV ( Pedoman
penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di indonesia edisi IV )

Gangguan jiwa merupakan pola psikologis atau prilaku yang umumnya terkaitdengan strees
atau kelainan mental yang tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal
manusia.
Gangguan tersebut didefenisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku, komponoen, kognitif
atau persepsi, yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau sistem saraf
yang menjalankan sistem sosial manusia.

B. FAKTOR-FAKTOR GANGGUAN JIWA

Gangguan jiwa  dipengaruhi oleh banyak faktor. Dalam diktat kuliah psikiatri, Dr. dr. Luh
Ketut Suryani mengungkapkan bahwa gangguan jiwa dapat terjadi karena tiga faktor yang
bekerja sama yaitu faktor biologik, psikologik, dan sosiobudaya.

FAKTOR BIOLOGIK

Untuk membuktikan bahwa gangguan jiwa adalah suatu penyakit seperti kriteria penyakit
dalam ilmu kedokteran, para psikiater mengadakan banyak penelitian di antaranya mengenai
kelainan-kelainan neurotransmitter, biokimia, anatomi otak, dan faktor genetik yang ada
hubungannya dengan gangguan jiwa.
Gangguan mental sebagian besar dihubungkan dengan keadaan neurotransmitter di otak,
misalnya seperti pendapat Brown et al, 1983, yaitu fungsi sosial yang kompleks seperti agresi
dan perilaku seksual sangat dipengaruhi oleh impuls serotonergik ke dalam hipokampus.
Demikian juga dengan pendapat Mackay, 1983, yang mengatakan noradrenalin yang ke
hipotalamus bagian dorsal melayani sistem monoamine di limbokortikal berfungsi sebagai
pemacu proses belajar, proses memusatkan perhatian pada rangsangan yang datangnya
relevan dan reaksi terhadap stres.
Pembuktian lainnya yang menyatakan bahwa gangguan jiwa merupakan suatu penyakit
adalah di dalam studi keluarga.
Pada penelitian ini didapatkan bahwa keluarga penderita gangguan afektif, lebih banyak
menderita gangguan afektif daripada skizofrenia (Kendell dan Brockington, 1980),  
skizofrenia erat hubungannya dengan faktor genetik (Kendler, 1983). Tetapi psikosis
paranoid tidak ada hubungannya dengan faktor genetik, demikian pendapat Kender, 1981).

Walaupun beberapa peneliti tidak dapat membuktikan hubungan darah mendukung etiologi
genetik, akan tetapi hal ini merupakan langkah pertama yang perlu dalam membangun
kemungkinan keterangan genetik. Bila salah satu orangtua mengalami skizofrenia
kemungkinan 15 persen anaknya mengalami skizofrenia.
Sementara bila kedua orangtua menderita, maka 35-68 persen anaknya menderita skizofrenia,
kemungkinan skizofrenia meningkat apabila orangtua, anak dan saudara kandung menderita
skizofrenia (Benyamin, 1976). Pendapat ini didukung Slater, 1966, yang menyatakan angka
prevalensi skizofrenia lebih tinggi pada anggota keluarga yang individunya sakit
dibandingkan dengan angka prevalensi penduduk umumnya.

FAKTOR PSIKOLOGIK

Hubungan antara peristiwa hidup yang mengancam dan gangguan mental sangat kompleks
tergantung dari situasi, individu dan konstitusi orang itu. Hal ini sangat tergantung pada
bantuan teman, dan tetangga selama periode stres. Struktur sosial, perubahan sosial dan tigkat
sosial yang dicapai sangat bermakna dalam pengalaman hidup seseorang.
Kepribadian merupakan bentuk ketahanan relatif dari situasi interpersonal yang berulang-
ulang yang khas untuk kehidupan manusia. Perilaku yang sekarang bukan merupakan
ulangan impulsif dari riwayat waktu kecil, tetapi merupakan retensi pengumpulan dan
pengambilan kembali.
Setiap penderita yang mengalami gangguan jiwa fungsional memperlihatkan kegagalan yang
mencolok dalam satu atau beberapa fase perkembangan akibat tidak kuatnya hubungan
personal dengan keluarga, lingkungan sekolah atau dengan masyarakat sekitarnya. Gejala
yang diperlihatkan oleh seseorang merupakan perwujudan dari pengalaman yang lampau
yaitu pengalaman masa bayi sampai dewasa.

FAKTOR SOSIOBUDAYA
Gangguan jiwa yang terjadi di berbagai negara mempunyai perbedaan terutama mengenai
pola perilakunya. Karakteristik suatu psikosis dalam suatu sosiobudaya tertentu berbeda
dengan budaya lainnya. Adanya perbedaan satu budaya dengan budaya yang lainnya,
menurut Zubin, 1969, merupakan salah satu faktor terjadinya perbedaan distribusi dan tipe
gangguan jiwa.
Begitu pula Maretzki dan Nelson, 1969, mengatakan bahwa alkulturasi dapat menyebabkan
pola kepribadian berubah dan terlihat pada psikopatologinya. Pendapat ini didukung
pernyataan Favazza

(1980) yang menyatakan perubahan budaya yang cepat seperti identifikasi, kompetisi,
alkulturasi dan penyesuaian dapat menimbulkan gangguan jiwa.
Selain itu, status sosial ekonomi juga berpengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa
Goodman (1983) yang meneliti status ekonomi menyatakan bahwa penderita yang dengan
status ekonomi rendah erat hubungannya dengan prevalensi gangguan afaktif dan
alkoholisma. (litbang)
http://www.balipost.co.id/BaliPostcetak/2005/8/3/k4.htm

Konsep penyebab gangguan jiwa yang popular adalah kombinasi bio-psiko-sosial. Gangguan
jiwa disebabkan karena gangguan fungsi komunikasi sel-sel saraf di otak, dapat berupa
kekurangan maupun kelebihan neurotransmitter atau substansi tertentu. Pada sebagian kasus
gangguan jiwa terdapat kerusakan organik yang nyata padas struktur otak misalnya pada
demensia. Jadi tidak benar bila dikatakan semua orang yang menderita gangguan jiwa berarti
ada sesuatu yang rusak di otaknya. Pada kebanyakan kasus malah faktor perkembangan
psikologis dan sosial memegang peranan yang lebih krusial. Misalnya mereka yang gemar
melakukan tindak kriminal dan membunuh ternyata setelah diselidiki disebabkan karena
masa perkembangan mereka sejak kecil sudah dihiasi kekerasan dalam

rumah tangga yang ditunjukkan oleh bapaknya yang berprofesi dalam militer. Jadi ilmu jiwa
justru merupakan satu-satunya ilmu yang mengenali penyakit medis secara komplet, yaitu
dari segi fisik, pola hidup dan juga riwayat perkembangan psikologis atau kejiawaan
seseorang. Oleh karena itu pengobatan ilmu kejiwaan juga bersifat menyeluruh, tidak sekedar
obat minum saja, tetapi meliputi terapi psikologis, terapi perilaku dan terapi kognitif/konsep
berpikir.
Setiap individu hendaknya mengetahui konsep-konsep tentang gangguan jiwa dan
pencegahannya. Mungkin saat ini cukup banyak masyarakat awam yang rajin membaca
rubrik kesehatan baik lewat tabloid maupun internet, tapi sayangnya permasalahan gangguan
jiwa kurang popular jika dibandingkan masalah osteoporosis, hipertensi, penyakit jantung,
stroke, makanan sehat maupun kesehatan kulit. Padahal yang perlu diketahui, gangguan jiwa
dapat mengenai siapa saja. Apalagi di tengah kehidupan yang semakin dipenuhi stressor
seperti sekarang ini. Tahukah Anda bahwa profesi yang paling banyak melakukan bunuh diri
di USA itu justru dokter spesialis kejiwaan?

Oleh karena itu mempelajari ilmu kejiwaan adalah penting dan lebih penting lagi untuk dapat
mempraktekkan kiat-kita untuk mendapatkan jiwa yang sehat. 

Konsep yang perlu Anda pahami adalah ada 3 mekanisme pertahanan utama jiwa kita untuk
menolak terjadinya gangguan jiwa di tengah terpaan badai kehidupan sebagaimanapun.
Ketiga benteng jiwa yang sehat itu adalah personality yang tangguh, persepsi yang positif
(positif thinking) dan kemampuan adaptasi. Kepribadian yang tangguh adalah hasil
pembelajaran selama proses perkembangan sejak kecil, dan tentunya hal ini didapatkan
dengan banyaknya asupan nilai-nilai yang ditanamkan di keluarga dan disekolah serta
didapatkan dari banyaknya pengalaman langsung. Nilai-nilai hanya dapat berfungsi jika
diterapkan langsung dalam keadaan nyata yaitu dengan banyak bergaul baik dengan
lingkungan benar maupun salah. Apabila kita berani SAY YES di lingkungan yang benar dan
SAY NO saat di lingkungan salah, lama kelamaan kepribadian kita akan tangguh. Mengurung
anak dengan tujuan menghindarinya dari perkenalan dengan narkoba tidak menjamin bahwa
kemudian ia tidak terjebak narkoba, yang benar adalah menanamkan nilai-nilai yang tangguh
kepada si anak serta membiarkannya mengenal narkoba. Kepribadiannya yang tangguh itu
sendiri yang akan membuatnya berani menolak narkoba seumur hidupnya.
Persepsi juga perlu sebagai benteng kejiwaan. Seseorang yang selalu memandang peristiwa
yang menimpanya dengan positif dan memandang hari depannya dengan optimis maka ia
memiliki jiwa

yang sehat. Persepsi positif diperlukan terutama menghadapi kegagalan-demi kegagalan


dalam hidup sehingga tidak membuat diri menjadi frustasi berlebih maupun menyalahi diri
sendiri bahkan bunuh diri.
Dan yang tidak kalah penting adalah kemampuan adaptasi karena segala sesuatu dalam hidup
ini potensial untuk berubah. Hari ini bisa hidup mapan, tapi hari esok siapa tahu. Hari ini bisa
bertemu kelompok orang yang asyik, hari esok siapa yang dapat menjanjikan. Adaptasi akan
membuat jiwa kita meliuk-liuk dalam kehidupan seperti air yang mengalir. Dengan demikian
kita dapat selalu menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada. Setiap menghadapi bencana
maka kita dapat mengubah pemikiran dari “mengapa semua ini harus kualami” menjadi “
setelah semua ini menimpaku, aku harus melakukan apa?”. Dengan demikian kita akan dapat
bangkit dan semakin maju setiap kali terjatuh. Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula
ikannya. Artinya, jadilah seseorang yang flexible dengan keadaan yang ada, NOW and
HERE.
C. DIAGNOSA DAN DIAGNOSA BANDING

Menurut Eugen Bleuler  diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat  gejala-gejala
primer dan disharmoni (keretakan, perpecahan atau ketidak seimbangan) pada unsur-unsur
kepribadian (proses pikir, afek/emosi, kemauan dan psikomotorik), diperkuat dengan adanya
gejala-gejala sekunder.
Kurt Schneider (1939) menyusun gejala rangking pertama (“first rank symtoms) dan
berpendapat bahwa diagnosa skizofrenia sudah boleh dibuat bila terdapat satu gejala dari
kelompok A dan satu gejala dari kelompok B, dengan syarat bahwa kesadaran penderita tidak
menurun.  (WF Maramis, 2004).

Gejala-gejala rangking pertama menurut Schneider ialah 


          1.    Hallusinasi pendengaran
                   (1) Pikirannya dapat didengar sendiri
                   (2) Suara-suara yang sedang bertengkar
                   (3) Suara-suara yang mengkomentari perilaku penderita

          2.      Gangguan batas ego


1. Tubuh dan gerakan-gerakan penderita dipengaruhi oleh suatu kekuatan dari luar
2. Pikirannya diambil atau disedot keluar
3. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain atau pikirannya dimasukkan kedalam pikiran
orang lain
4. Pikirannya diketahui orang lain atau pikirannya disiarkan keluar secara umuum
5. Perasaannya dibuat oleh orang lain
6. Kemauannya atau tindakannya dipengaruhi oleh orang lain
7. Dorongannya dikuasai orang lain
8. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham

Menurut Prof. Kusumanto Setyonegoro (1967) membuat diagnosa skizofrenia dengan


memperlihatkan gejala-gejala pada tiga buah koordinat, yaitu :
 Koordinat pertama (intinya organobiologik)
Yaitu  :Otisme, gangguan afek dan emosi, gangguan assosiasi(proses berfikir),
ambivalensi (gangguan kemauan), gangguan aktivitas (abulia atau kemauan yang
menurun) dan gangguan konsentrasi.

 Koordinat kedua (intinya psikologik)


Yaitu   :gangguan pada cara berfikir yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan
kepribadian dengan memperhatikan perkembangan ego, sistematik motivasi dan
psikodinamika dalam interaksi dengan lingkungan
              (WF Maramis, 2004)

PROGNOSA
     Dahulu bila diagnosa skizofrenia dibuat, maka ini berarti bahwa sudah tidak ada harapan lagi
bagi orang yang bersangkutan, bahwa kepribadiannya selalu akan menuju kemunduran
mental (deteriorasi mental).
       Dan bila seorang dengan skizofrenia kemudian menjadi sembuh, maka diagnosanya harus
diragukan.      
       Sekarang dengan pengobatan modern, ternyata bahwa bila penderita itu datang berobat dalam
tahun pertama setelah serangan pertama, maka kira-kira sepertiga dari mereka akan sembuh
sama sekali (“ Full remission atau recovery), sepertiga yang lain dapat dikembalikan ke
masyarakat walaupun masih harus sering diperiksa dan diobati selanjutnya (“Social
recovery”), sepertiga sisanya biasanya mempunyai prognosa yang jelek, mereka tidak dapat
berfungsi didalam masyarakat dan menuju kekemunduran mental, sehingga mungkin menjadi
penghuni tetap di Rumah Sakit Jiwa.

Untuk menetapkan prognosa, kita harus mempertimbangkan semua faktor dibawah ini :
1.    Kepribadian Pre-psikotik  : bila skizoid dan hubungan antar manusia memang     kurang
memuaskan, maka prognosanya lebih jelek. Bila skizofrenia timbul secara akut, maka
prognosa lebih baik dari pada bila penyakit itu mulai secara pelan-pelan.
2.    Jenis skizofrenia                     : jenis katatonik memiliki prognosa paling baik dari pada
semua jenis. Jenis hebefrenia dan simpleks memiliki prognosa yang sama jelek.
3.    Umur                                         : Semakin muda umur permulaannya, semakin jelek
prognosanya
4.    Pengobatan                             : Semakin lekas mendapat pengobatan, semakin baik
prognosanya
5.    Faktor keturunan                    : prognosa menjadi lebih berat bila didalam keluarga
terdapat seorang atau lebih yang juga menderita skizofrenia.
       (WF Maramis, 2004)

D. PENGOBATAN PENYAKIT GANGGUAN JIWA

       Pengobatan harus secepat mungkin diberikan, karena keadaan psikotik yang lama
menimbulkan kemungkinan yang lebih besar bahwa penderita menuju kekemunduran
mental.
       Terapis jangan melihat kepada penderita skizofrenia sebagai penderita yang tidak
dapat disembuhkan lagi atau sebagai suatu makhluk yang aneh dan inferior. Keluarga
atau orang lain dilingkungan penderita diberi penerangan (manipulasi lingkungan) agar
mereka lebih sabar menghadapinya.

Macam-macam pengobatan
1.     Farmako terapi
2.     Terapi elektro- konvulsi (TEK)
3.     Terapi koma insulin
4.     Psikoterapi dan rehabilitasi
5.     Lobotomi Prefrontal

         (WF Maramis,  1998)

 Farmakoterapi
                    Dari sudut organobiologi sudah diketahui bahwa pada skizofrenia (dan juga
gangguan jiwa lainnya) terdapat gangguan pada fungsi neurotransmitter sel-sel susunab
saraf pusat (otak) yaitu pelepasan zat dopamin dan serotonin yang mengakibatkan
gangguan proses  pikiran, alam perasaan dan perilaku sebagaimana yang telah diuraikan
pada bab III : gejala klinis skizofrenia. Oleh karena itu obat psikofarmaka yang akan
diberikan ditujukan pada gangguan fungsi neurotransmitter tadi, sehingga gejala-gejala
klinis tadi dapat dihilangkan atau dengan kata lain penderita skizofrenia dapat diobati
(Dadang Hawari, 2001)

1. Pemberian Anti psikosis


          1). Neuroleptika dosis efektif tinggi (diberikan) dalam dosis terbagi 2 – 3   kali/
sehari
          - Khlorpromazin  :          75 – 500 mg (per-os)
                                                     Injeksi 25 – 50 mg/kali (im)
          - Perazin                :          50 – 60 mg (per-os)
          -Thioridazin          :          75 – 500 mg (per-os)
          Diutamakan untuk skizofrenia yang disertai penyakit organik, misalnya skizofrenia
dengan gangguan hepar

2. Neuroleptika dengan dosis rendah (diberikan dalam dosis terbagi )   1-2 kali / sehari
- Flupenazin HCL      : 5 – 10 mg (per-os)
- Flupenazin depo       : 25 mg /4 minggu (intra musculer)
- Trifluoperazin          : 3 – 20 mg (per-os)
- Haloperidol               : 5 – 15 mg(per-os)
- Pimozid                      : 2 – 8 mg (per-os)
  (Pedoman Diagnosis dan terapi lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa, 1994)
3. Terapi elektro-konvulsi (TEK)
              Tidak lebih unggul dibandingkan dengan obat-obatan, tetapi bila diberikan
bersama-sama akan lebih mempercepat proses penyembuhan.
              (Maramis, 2004)
4. Terapi Koma insulin    
              Meskipun pengobatan ini tidak khusus, bila diberikan pada permulaan penyakit, 
hasilnya memuaskan. Prosentase kesembuhan lebih besar bila dimulai dalam waktu 6
(enam) bulan sesudah penderita jatuh sakit. Terapi koma insulin memberi hasil yang baik
pada katatonia dan skizofrenia paranoid.
(WF Maramis, 2004)
5. Psikoterapi dan Rehabilitasi  
              Bertujuan untuk memperkuat fungsi ego dengan cara psikoterapi agar pasien
bisa bersosialisasi. Manipulasi lingkungan agar lingkungan dapat memahami dan
menerima keadaan pasien, membimbing dalam kehidupan sehari-hari, memberi
kesibukan atau pekerjaan untuk pasien. Mengawasi minum obat secara teratur dalam
jangka waktu lama dan membawa pasien untuk pemeriksaan ulang.
              (Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Kedokteran Jiwa,1994)
6. Lobotomi Prefrontal
              Dapat dilakukan bila terapi lain secara intensif tidak berhasil dan bila penderita
sangat mengganggu lingkungannya.
(WF Maramis, 2004)

E. PERAWATAN KLIEN GANGGUAN JIWA


Menurut Carpenito (1989), pemberian asuhan keperawatan merupakan proses
terapeutik yang melibatkan hubungan kerjasama antara perawat dengan klien, keluarga
atau masyarakat untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal (Kelliat, 1991). Perawat
memerlukan metode ilmiah dalam melakukan proses terapeutik tersebut yaitu : Proses
keperawatan. Penggunaan proses keperawatan membantu perawat dalam melakukan
praktek keperawatan, menyelesaikan masalah keperawatan klien dan atau memenuhi
kebutuhan klien secara ilmiah, logis, sistematis dan terorganisasi.
Pada dasarnya proses keperawatan merupakan salah satu teknik penyelesaikan
masalah (problem solving). Proses keperawatan bertujuan untuk memberikan asuhan
keperawatan sesuai dengan kebutuhan dan masalah klien dapat diidentifikasi dan
diprioritaskan untuk dipenuhi dan diselesaikan.
Dengan menggunakan proses keperawatan, perawat dapat terhindar dari tindakan
keperawatan yang bersifat rutin, intuisi, tidak untuk bagi individu klien. Proses
keperawatan mempunyai ciri dinamis, siklik, saling bergantung, luwes dan terbuka.
Setiap tahap dapat diperbaharui jika keadaan klien berubah. Tahap demi tahap
merupakan siklus dan saling bergantung. Diagnosa keperawatan tidak mungkin dapat
dirumuskan jika data pengkajian belum ada.
Proses keperawatan merupakan sarana/wahana kerjasama perawat dan klien yang
umumnya pada tahap awal peran perawat lebih besar dari peran klien, namun pada proses
sampai akhir diharapkan peran klien lebih besar dari peran perawat sehingga kemandirian
klien dapat tercapai. Kemandirian klien merawat diri dapat pula digunakan sebagai
kriteria kebutuhan terpenuhi dan atau masalah teratasi.

Anda mungkin juga menyukai