Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH MODEL KEPERAWATAN PROFESIONAL

DISUSUN OLEH :

NINA PRISKA YANTI

AKPER KESDAM I/BB PEMATANGSIANTAR

T.A 2019/2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan yang telah melimpahkan rahmat dan karunia
serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Makalah MODEL
KEPERAWATAN PROFESIONAL .

Terimakasih kami ucapkan kepada Dosen Pembimbing untuk kesempatan yang diberikan
untuk menyelesaikan tugas kelompok ini.

Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini.

Saya mengharapkan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Akhir kata kami
ucapkan terima kasih.

Pematang Siantar, 13 oktober 2019

Nina priska yanti Tobing


DAFTAR ISI

Kata Pengantar......................................................................................................................i

Daftar Isi...............................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang..................................................................................................................1

BAB II KONSEP MODEL KEPERAWATAN

A.Model Konsep dan Teori Keperawatan Florence Nigtingale

B.Model Konsep dan Teori Keperawatan Marta E. Rogers

C.Model Konsep dan Teori Keperawatan Myra Levine

D.Virginia Henderson (Teori Henderson)

BAB III PEMBAHASAN

A. Pengertian Model Keperawatan......................................................................8

B. Macam-macam Metode penugasan.................................................................8

C. Metode Pemberian Askep...............................................................................9

D. Komponen Model keperawatan......................................................................14

E. Karateristikik..................................................................................................15

F. Langkah-langkah dalam model keperawatan..................................................16

DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................25
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peningkatan profesionalisme keperawatan di Indonesia dimulai sejak diterima dan diakuinya


keperawatan sebagai profesi pada Lokakarya Nasional Keperawatan (1983). Sejak saat itu
berbagai upaya telah dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional, Departemen
Kesehatan dan organisasi profesi, diantaranya adalah dengan membuka pendidikan pada
tingkat sarjana, mengembangkan Kurikulum Diploma III keperawatan, mengadakan pelatihan
bagi tenaga keperawatan, serta mengembangkan standar praktik keperawatan. Upaya penting
lainnya adalah dibentuknya Direktorat Keperawatan di Departemen Kesehatan di Indonesia.
Semua upaya tersebut bertujuan untuk meningkatkan profesionalisme keperawatan agar mutu
asuhan keperawatan dapat ditingkatkan. (Sitorus, 2006).

Walaupun sudah banyak hal positif yang telah dicapai di bidang pendidikan keperawatan,
tetapi gambaran pengelolaan layanan keperawatan belum memuaskan. Layanan keperawatan
masih sering mendapat keluhan masyarakat, terutama tentang sikap dan kemampuan perawat
dalam memberikan asuhan keperawatan kepada klien atau keluarga. (Sitorus, 2006).

Layanan keperawatan yang ada di Rumah Sakit masih bersifat okupasi. Artinya, tindakan
keperawatan yang dilakukan hanya pada pelaksanaan prosedur, pelaksanaan tugas
berdasarkan instruksi dokter. Pelaksanaan tugas tidak didasarkan pada tanggung jawab moral
serta tidak adanya analisis dan sintesis yang mandiri tentang asuhan keperawatan. Untuk
mengatasi masalah tersebut diperlukan restrakturing, reengineering, dan redesigning system
pemberian asuhan keperawatan melalui pengembangan Model Praktek Keperawatan
Profesional (MPKP) yang diperbaharui dengan SP2KP. (Sitorus, 2006).

B. Tujuan

a. Menjaga konsistensi asuhan keperawatan

b. Mengurangi konflik, tumpang tindih, dan kekosongan pelaksanaan asuhan keperawatan


oleh tim keperawatan

c. Menciptakan kemandirian dalam memberikan asuhan keperawatan


BAB II

KONSEP MODEL KEPERAWATAN

A. Model Konsep dan Teori Keperawatan Florence Nigtingale

Florence merupakan salah satu pendiri yang meletakkan dasar-dasar teori keperawatan yang
melalui filosofi keperawatan yaitu dengan mengidentifikasi peran perawat dalam menemukan
kebutuhan dasar manusia pada klien serta pentingnya pengaruh lingkungan di dalam
perawatan orang sakit yang dikenal teori lingkungannya.

Model konsep Florence Nigtingale memposisikan lingkungan adalah sebagai focus asuhan
keperawatan, dan perawat tidak perlu memahami seluruh proses penyakit model konsep ini
dalam upaya memisahkan antara profesi keperawatan dan kedokteran. Orientasi pemberian
asuhan keperawatan/tindakan keperawatan lebih di orientasikan pada yang adequate, dengan
dimulai dari pengumpulan data dibandingkan dengan tindakan pengobatan semata, upaya
teori tersebut dalam rangka perawat mampu menjalankan praktik keperawatan mandiri tanpa
tergantung dengan profesi lain.

B. Model Konsep dan Teori Keperawatan Marta E. Rogers

Model konsep dan teori keperawatan menurut Martha E. Rogers dikenal dengan nama konsep
manusia sebagai unit. Dalam memahami konsep model dan teori ini, Martha berasumsi
bahwa manusia merupakan satu kesatuan yang utuh, yang memiliki sifat dan karakter yang
berbeda-beda. Dalam proses kehidupan manusia yang dinamis, manusia selalu berinteraksi
dengan lingkungan yang saling mempengaruhi dan dipengaruhi, serta dalam proses
kehidupan manusia setiap individu akan berbeda satu dengan yang lain dan manusia
diciptakan dengan karakteristik dan keunikan tersendiri.

Asumsi tersebut didasarkan pada kekuatan yang berkembang secara alamiah yaitu keutuhan
manusia dan lingkungan, kemudian system ketersediaan sebagai satu kesatuan yang utuh
serta proses kehidupan manusia berdasarkan konsep homeodinamik yang terdiri dari :

a. Integritas : Individu sebagai satu kesatuan dengan lingkungan yang tidak dapat
dipisahkan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain.

b. Resonansi : Proses kehidupan antara individu dengan lingkungan berlangsung dengan


berirama dengan frekuensi yang bervariasi.

c. Helicy : terjadinya proses interaksi antara manusia dengan lingkungan akan terjadi
perubahan baik perlahan-lahan maupun berlangsung dengan cepat.

C. Model Konsep dan Teori Keperawatan Myra Levine

Model konsep Myra Levine memandang klien sebagai makhluk hidup terintegrasi yang
saling berinteraksi dan beradaptasi terhadap lingkungannya. Dan intervensi keperawatan
adalah suatu aktivitas konservasi dan konservasi energi adalah bagian yang menjadi
pertimbangan. Kemudian sehat menurut Levine itu dilihat dari sudut pandang konservasi
energi, sedangkan dalam keperawatan terdapat empat konservasi di antaranya energi klien,
struktur integritas, integritas personal dan integritas social, sehingga pendekatan asuhan
keperawatan ditunjukkan pada pengguanaan sumber-sumber kekuatan klien secara optimal.

D. Virginia Henderson (Teori Henderson)

Virginia henderson memperkenalkan defenition of nursing (defenisi keperawatan).


Defenisinya mengenai keperawatan dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya.Ia
menyatakan bahwa defenisi keperawatan harus menyertakan prinsip kesetimbangan
fisiologis. Henderson sendiri kemudian mengemukakan sebuah defenisi keperawatan yang
ditinjau dari sisi fungsional. Menurutnya, tugas unik perawat adalah membantu individu, baik
dalam keadaan sakit maupun sehat, melalui upayanya melaksanakan berbagai aktivitas guna
mendukung kesehatan dan penyembuhan individu atau proses meninggal dengan damai, yang
dapat dilakukan secara mandiri oleh individu saat ia memiliki kekuatan, kemampuan,
kemauan, atau pengetahuan untk itu. Di samping itu, Henderson juga mengembangkan
sebuah model keperawatan yang dikenal dengan “The Activities of Living”.Model tersebut
menjelaskan bahwa tugas perawat adalah membantu individu dalam meningkatkan
kemandiriannya secepat mungkin. Perawat menjalankan tugasnya secara mandiri, tidak
tergantung pada dokter.Akan tetapi perawat tetap menyampaikan rencananya pada dokter
sewaktu mengunjungi pasien.

1. Konsep Utama Teori Henderson

Konsep utama teori Henderson mencakup manusia, keperawatan, kesehatan, dan


lingkungan.Henderson melihat manusia sebagai individu yang membutuhkan bantuan untuk
meraih kesehatan, kebebasan, atau kematian yang damai, serta bantuan untuk meraih
kemandirian. Menurut Henderson, kebutuhan dasar manusia terdiri atas 14 komponen yang
merupakan komponen penanganan perawatan. Keempat belas kebutuhan tersebut adalah
sebagai berikut.

1) Bernapas secara normal

2) Makan dan minum dengan cukup

3) Membuang kotoran tubuh


4) Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan

5) Tidur dan istirahat

6) Memilih pakaian yang sesuai

7) Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan menyesuaikan pakaian dan
mengubah lingkungan

8) Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi integumen

9) Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai

10) Berkomunikasi dengan orang lain dalam menungkapkan emosi, kebutuhan, rasa takut,
atau pendapat

11) Beribadah sesuai dengan keyakinan

12) Bekerja dengan tata cara yang mengandung prestasi

13) Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi

14) Belajar mengetahui atau memuaskan atau rasa penasaran yang menuntun pada
perkembangan normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia.

Henderson juga menyatakan bahwa pikiran dan tubuh manusia tidak dapat dipisahkan satu
sama lain (inseparable). Sama halnya dengan klien dan keluarga, mereka merupakan satu
kesatuan (unit)

Dalam pemberian layanan kepada klien, terjalin hubungan antara perawat dengan klien.
Menurut henderson, hubungan perawat-klien terbagi dalam tiga tingkatan, mulai dari
hubungan sangat bergantung hingga hubungan sangat mandiri.

1. Perawat sebagai pengganti (substitute) bagi pasien

2. Perawat sebagai penolong (helper) bagi pasien

3. Perawat sebagai mitra (partner) bagi pasien.


Pada situasi pasien yang gawat, perawat berperan sebagai pengganti di dalam memenuhi
kebutuhan pasien akibat kekuatan fisik, kemampuan, atau kemampuan pasien yang
berkurang.Di sini perawat berfungsi untuk “melengkapinya”.Setelah kondisi gawat berlalu
dan pasien berada fase pemulihan, perawat berperan sebagai penolong untuk menolong atau
membantu pasien mendapatkan kembali kemandiriannya. Kemandirin ini sifatnya relatif,
sebab tidak ada satu pun manusia yang tidak bergantung pada orang lain. Meskipun
demikian, perawat berusaha keras saling bergantung demi mewujudkan kesehatan
pasien.Sebagai mitra, perawat dan pasien bersama-sama merumuskan rencana perawatan bagi
pasien.Meski diagnosisnya berbeda, setiap pasien tetap memiliki kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi. Hanya saja, kebutuhan dasar tersebut dimodifikasi berdasarkan kondisi patologis
dan faktor lainnya, seperti usia, tabiat, kondisi emosional, status sosial atau budaya, serta
kekuatan fisik dan intelektual.

Kaitannya dengan hubungan perawat-dokter, Henderson berpendapat bahwa perawat tidak


boleh selalu tunduk mengikuti perintah dokter. Henderson sendiri mempertanyakan filosofi
yang membolehkan seorang dokter memberi perintah kepada pasien atau tenaga kesehatan
lainnya.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Pengertian MPKP

Model Praktik Keperawatan Profesional (MPKP) adalah suatu sistem (struktur, proses dan
nilai-nilai profesional) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan
keperawatan termasuk lingkungan, yang dapat menopang pemberian asuhan tersebut (Hoffart
& Woods, 1996).

B. Macam-macam Metode Penugasan MPKP dalam Keperawatan

1. Metode Kasus

Metode kasus merupakan metode pemberian asuhan yang pertama kali digunakan. Sampai
perang dunia II metode tersebut merupakan metode pemberian asuhan keperawatan yang
paling banyak digunakan. Pada metode ini satu perawat akan memberikan asuhan
keperawatan kepada seorang klien secara total dalam satu periode dinas. Jumlah klien yang
dirawat oleh satu perawat bergantung pada kemampuan perawat tersebut dan kompleksnya
kebutuhan klien. (Sitorus, 2006).

Setelah perang dunia II, jumlah pendidikan keperawatan dari berbagai jenis program
meningkat dan banyak lulusan bekerja di rumah sakit. Agar pemanfaatan tenaga yang
bervariasi tersebut dapat maksimal dan juga tuntutan peran yang diharapkan dari perawat
sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran, kemudian dikembangkan metode fungsional.
(Sitorus, 2006).

2. Metode Fungsional

Pada metode fungsional, pemberian asuhan keperawatan ditekankan pada penyelesaian tugas
atau prosedur. Setiap perawat diberi satu atau beberapa tugas untuk dilaksanakan kepada
semua klien di satu ruangan. (Sitorus, 2006).
Pada metode ini, kepala ruang menentukan tugas setiap perawat dalam satu ruangan. Perawat
akan melaporkan tugas yang dikerjakannya kepada kepala ruangan dan kepala ruangan
tersebut bertanggung jawab dalam pembuatan laporan klien. Metode fungsional mungkin
efisien dalam menyelesaikan tugas-tugas apabila jumlah perawat sedikit, tetapi klien tidak
mendapatkan kepuasan asuhan yang diterimanya. (Sitorus, 2006).

Metode ini kurang efektif karena (Sitorus, 2006) :

a. Proritas utama yang dikerjakan adalah kebutuhan fisik dan kurang menekankan pada
pemenuhan kebutuhan holistik

b. Mutu asuhan keperawatan sering terabaikan karena pemberian asuhan keperawatan


terfragmentasi

c. Komunikasi antar perawat sangat terbatas sehingga tidak ada satu perawat yang
mengetahui tentang satu klien secara komprehensif, kecuali mungkin kepala ruangan.

d. Keterbatasan itu sering menyebabkan klien merasa kurang puas terhadap pelayanan atau
asuhan yang diberikan karena seringkali klien tidak mendapat jawaban yang tepat tentang
hal-hal yang ditanyakan.

e. Klien kurang merasakan adanya hubungan saling percaya dengan perawat.

Selama beberapa tahun menggunakan metode fungsional beberapa perawat pemimpin (nurse
leader) mulai mempertanyakan keefektifan metode tersebut dalam memberikan asuhan
keperawatan profesional kemudian pada tahun 1950 metode tim digunakan untuk menjawab
hal tersebut. (Sitorus, 2006).

3. Metode tim

Metode tim merupakan metode pemberian asuhan keperawatan, yaitu seorang perawat
profesional memimpin sekelompok tenaga keperawatan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada sekelompok klien melalui upaya kooperatif dan kolaboratif (Douglas,
1992). Metode tim didasarkan pada keyakinan bahwa setiap anggota kelompok mempunyai
kontribusi dalam merencanakan dan memberikan asuhan keperawatan sehingga menimbulkan
rasa tanggung jawab yang tinggi. (Sitorus, 2006).
Pelaksanaan metode tim berlandaskan konsep berikut (Sitorus, 2006) :

a. Ketua tim, sebagai perawat profesional harus mampu menggunakan berbagai teknik
kepemimpinan. Ketua tim harus dapat membuat keputusan tentang prioritas perencanaan,
supervisi, dan evaluasi asuhan keperawatan. Tanggung jawab ketua tim adalah :

1) Mengkaji setiap klien dan menetapkan renpra

2) Mengkoordinasikan renpra dengan tindakan medis

3) Membagi tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap anggota kelompok dan memberikan
bimbingan melalui konferensi

4) Mengevaluasi pemberian askep dan hasil yang dicapai serta mendokumentasikannya

b. Komunikasi yang efektif penting agar kontinuitas renpra terjamin. Komunikasi yang
terbuka dapat dilakukan melalui berbagai cara, terutama melalui renpra tertulis yang
merupakan pedoman pelaksanaan asuhan, supervisi, dan evaluasi.

c. Anggota tim harus menghargai kepemimpinan ketua tim.

d. Peran kepala ruangan penting dalam metode tim. Metode tim akan berhasil baik apabila
didukung oleh kepala ruang untuk itu kepala ruang diharapkan telah :

1) Menetapkan standar kinerja yang diharapkan dari staf

2) Membantu staf menetapkan sasaran dari unit/ruangan

3) Memberi kesempatan pada ketua tim untuk pengembangan kepemimpinan

4) Mengorientasikan tenaga yang baru tentang fungsi metode tim keperawatan

5) Menjadi narasumber bagi ketua tim

6) Mendorong staf untuk meningkatkan kemampuan melalui riset keperawatan

7) Menciptakan iklim komunikasi yang terbuka


Hasil penelitian Lambertson dalam Douglas (1992) menunjukkan bahwa metode tim jika
dilakukan dengan benar adalah metode pemberian asuhan yang tepat untuk meningkatkan
kemanfaatan tenaga keperawatan yang bervariasi kemampuannya. (Sitorus, 2006).

Kekurangan metode ini, kesinambungan asuhan keperawatan belum optimal sehingga pakar
menge mbangkan metode keperawatan primer. (Sitorus, 2006).

4. Metode perawatan primer

Menurrut Gillies (1989) “Keperawatan primer merupakan suatu metode pemberian asuhan
keperawatan, dimana terdapat hubungan yang dekat dan berkesinambungan antara klien dan
seorang perawat tertentu yang bertanggungjawab dalam perencanaan, pemberian, dan
koordinasi asuha keperawatan klien, selama klien dirawat.” (Sitorus, 2006).

Pada metode keperawatan primer perawat yang bertanggung jawab terhadap pemberian
asuhan keperawatan disebut perawat primer (primary nurse) disingkat dengan PP. (Sitorus,
2006).

Metode keperawatan primer dikenal dengan ciri yaitu akuntabilitas, otonomi, otoritas,
advokasi, ketegasan, dan 5K yaitu kontinuitas, komunikasi, kolaborasi, koordinasi, dan
komitmen. (Sitorus, 2006).

Setiap PP biasanya merawat 4 sampai 6 klien dan bertanggungjawab selama 24 jam selama
klien tersebut dirawat dirumah sakit atau di suatu unit. Perawat akan melakukan wawancara
mengkaji secara komprehensif, dan merencanakan asuhan keperawatan. Perawat yang peling
mengetahui keadaaan klien. Jika PP tidak sedang bertugas, kelanjutan asuhan akan di
delegasikan kepada perawat lain (associated nurse). PP bertanggungjawab terhadap asuhan
keperawatan klien dan menginformasikan keadaan klien kepada kepala ruangan, dokter, dan
staff keperawatan. (Sitorus, 2006).
Seorang PP bukan hanya mempunyai kewenangan untuk memberikan asuhan keperawatan,
tetapi juga mempunyai kewengangan untuk melakukan rujukan kepada pekerja sosial,
kontrak dengan lembaga sosial di masyarakat, membuat jadwal perjanjian klinik,
mengadakan kunjungan rumah dan lain lain. Dengan diberikannya kewenangan, dituntut
akuntabilitas perawat yang tinggi terhadap hasil pelayanan yang diberikan. Metode
keperawatan primer memberikan beberapa keuntungan terhadap klien, perawat, dokter, dan
rumah sakit (Gillies, 1989). (Sitorus, 2006).

Keuntungan yang dirasakan klien ialah mereka merasa lebih dihargai sebagai manusia karena
terpenuhi kebutuhannya secara individu, asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dan
tercapainya layanan yang efektif terhadap pengobatan, dukungan,

proteksi, informasi, dan advokasi. Metode itu dapat meningkatkan mutu asuhan keperawatan
karena (Sitorus, 2006) :

a. Hanya ada 1 perawat yang bertanggung jawab dalam perencanaan dan koordinasi asuhan
keperawatan

b. Jangkauan observasi setiap perawat hanya 4-6 klien

c. PP bertanggung jawab selama 24 jam

d. Rencana pulang klien dapat diberikan lebih awal

e. Rencana asuhan keperawatan dan rencana medik dapat berjalan paralel.

Keuntungan yang dirasakan oleh PP adalah memungkinkan bagi PP untuk pengembangan


diri melalui implementasi ilmu pengetahuan. Hal ini dimungkinkan karena adanya otonomi
dalam membuat keputusan tentang asuhan keperawatan klien. Staf medis juga merasakan
kepuasannya dengan metode ini karena senantiasa mendapat informasi tentang kondisi klien
yang mutakhir dan komprehensif. (Sitorus, 2006).

Informasi dapat diperoleh dari satu perawat yang benar-benar mengetahui keadaan klien.
Keuntungan yang diperoleh oleh rumah sakit adalah rumah sakit tidak harus memperkerjakan
terlalu banyak tenaga keperawatan, tetapi harus merupakan perawat yang bermutu tinggi.
(Sitorus, 2006).
Huber (1996) menjelaskan bahwa pada keperawatan primer dengan asuhan berfoukus pada
kebutuhan klien, terdapat otonomi perawat dan kesinambungan asuhan yang tinggi. Hasil
penelitian Gardner (1991) dan Lee (1993) dalam Huber (1996) mengatakan bahwa mutu
asuhan keperawatan lebih tinggi dengan keperawatan primer daripada dengan metode tim.
Dalam menetapkan seseorang menjadi PP perlu berhati-hati karena memerlukan beberapa
kriteria, yaitu perawat yang menunjukkan kemampuan asertif, perawat yang mandiri,
kemampuan menmgambil keputusan yang tepat, menguasai keperawatan klini, akuntabel,
bertanggung jawab serta mampu berkolaborasi dengan baik dengan berbagai disiplin. Di
negara maju pada umumnya perawat yang ditunjuk sebagai PP adalah seorang spesialis
perawat klinis (clinical nurse specialist) dengan kualifikasi master keperawatan. Menurut
Ellis dan Hartley (1995), Kozier et al (1997) seorang PP bertanggung jawab untuk membuat
keputusan yang terkait dengan asuhan keperawatan klien oleh karena itu kualifikasi
kemampuan PP minimal adalah sarjana keperawatan/Ners. (Sitorus, 2006).

5. Differentiated practice

National League for Nursing (NLN) dalam kozier et al (1995) menjelaskan baha
differentiated practice adalah suatu pendekatan yang bertujuan menjamin mutu asuhan
melalui pemanfaatan sumber-sumber keperawatan yang tepat. Terdapat dua model yaitu
model kompetensi dan model pendidikan. Pada model kompetensi, perawat terdaftar
(registered nurse) diberi tugas berdasarkan tanggung jawab dan struktur peran yang sesuai
dengan kemampuannya. Pada model pendidikan, penetapan tugas keperawatan didasarkan
pada tingkat pendidikan. Bedasarkan pendidikan, perawat akan ditetapkan apa yang menjadi
tnggung jawab setiap perawat dan bagaimana hubungan antar tenaga tersebut diatur (Sitorus,
2006).

6. Manajemen kasus

Manajemen kasus merupakan system pemberian asuhan kesehatan secara multi disiplin yang
bertujuan meningkatkan pemanfaatan fungsi berbagai anggota tim kesehatan dan sumber-
sumber yang ada sehingga dapat dicapai hasil akhir asuhan kesehatan yang optimal. ANA
dalam Marquis dan Hutson (2000) mengatakan bahwa manajemen kasus merupakan proses
pemberian asuhan kesehatan yang bertujuan mengurangi fragmentasi, meningkatkan kualitas
hidup, dan efisiensi pembiayaan. Focus pertama manajemen kasus adalah integrasi,
koordinasi dan advokasi klien, keluarga serta masyarakat yang memerlukan pelayanan yang
ektensif. Metode manajemen kasus meliputi beberapa elemen utama yaitu, pendekatan
berfokus pada klien, koordinasi asuhan dan pelayanan antar institusi, berorientasi pada hasil,
efisiensi sumber dan kolaborasi (Sitorus, 2006).

C. Komponen dari MPKP

Berdasarkan MPKP ysng sudah dikembangkan diberbagai rumah sakit Hoffart dan Woods
menyimpulkan bahwa MPKP terdiri dari lima komponen, yakni:

a. Nilai-nilai profesional

Nilai-nilai profesional menjadi komponen utama pada suatu praktik keperawatan profesional.
Nilai-nilai profesional ini merupakan inti dari MPKP. Nilai-nilai seperti penghargaan atas
otonomi klien, menghargai klien, dan melakukan yang terbaik untuk klien harus tetap
ditingkatkan dalam suatu proses keperawatan.

b. Pendekatan manajemen

Dalam melakukan asuhan keperawatan adalah untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia,
yang bilamana ingin memenuhi kebutuhan dasar tersebut seorang

perawat harus melakukan pendekatan penyelesaian masalah, sehingga dapat diidentifikasi


masalah klien, dan nantinya dapat diterapkan terapi keperawatan yang tepat untuk masalah
klien.

c. Metode pemberian asuhan keperawatan

Dalam perkembangan keperawatan menuju layanan yang profesional, digunakan beberapa


metode pemberian asuhan keperawatan, misalnya metode kasus, fungsional, tim, dan
keperawatan primer, serta manajemen kasus. Dalam praktik keperawatan profesional, metode
yang paling memungkinkan pemberian asuhan keperawatan profesional adalah metode yang
menggunakan the breath of keperawatan primer.
d. Hubungan profesional

Pemberian asuhan kesehatan kepada klien diberikan oleh beberapa anggota tim kesehatan.
Namun, fokus pemberian asuhan kesehatan adalah klien. Karena banyaknya anggota tim
kesehatan yang terlibat, maka dari itu perlu kesepakatan tentang cara melakukan hubungan
kolaborasi tersebut.

e. Sistem kompensasi dan penghargaan

Pada suatu layanan profesional, seorang profesional mempunyai hak atas kompensasi dan
penghargaan. Pada suatu profesi, kompensasi yang didapat merupakan imbalan dan
kewajiban profesi yang terlebih dahulu dipenuhi. Kompensasi dan penghargaan yang
diberikan pada MPKP dapat disepakati di setiap institusi dengan mengacu pada kesepakatan
bahwa layanan keperawatan adalah pelayanan profesional.

E. Karakteristik MPKP

1. Penetapan jumlah tenaga keperawatan. Penetapan jumlah tenaga keperawatan berdasarkan


jumlah klien sesuai dengan derajat ketergantungan klien.

2. Penetapan jenis tenaga keperawatan. Pada suatu ruang rawat MPKP, terdapat beberapa
jenis tenaga yang memberikan asuhan keperawatan yaitu Clinical Care Manager (CCM),
Perawat Primer (PP), dan Perawat Asosiet (PA). Selain jenis tenaga tersebut terdapat juga
seorang kepala ruang rawat yang bertanggung jawab terhadap manajemen pelayanan
keperawatan di ruang rawat tersebut. Peran dan fungsi masing-masing tenaga sesuai dengan
kemampuannya dan terdapat tanggungjawab yang jelas dalam sistem pemberian asuhan
keperawatan.

3. Penetapan standar rencana asuhan keperawatan (renpra). Standar renpra perlu ditetapkan,
karena berdasarkan hasil obsevasi, penulisan renpra sangat menyita waktu karena fenomena
keperawatan mencakup 14 kebutuhan dasar manusia (Potter & Perry, 1997).

4. Penggunaan metode modifikasi keperwatan primer. Pada MPKP digunakan metode


modifikasi keperawatn primer, sehingga terdapat satu orang perawat profesional yang disebut
perawat primer yang bertanggung jawab dan bertanggung gugat atas asuhan keperawatan
yang diberikan.
F. Langkah-langkah dalam MPKP

1. Tahap Persiapan

Pada tahap persiapan penerapan MPKP ini ada beberapa hal yang harus dilakukan, yaitu
(Sitorus, 2006).:

a. Pembentukan Tim

Jika MPKP akan diimplementasikan di rumah sakit yang digunakan sebagai tempat proses
belajar bagi mahasiswa keperawatan, sebaiknya kelompok kerja ini melibatkan staf dari
institusi yang berkaitan. Sehingga kegiatan ini merupakan kegiatan kolaborasi antara
pelayanan/rumah saklit dan institusi pendidikan. Tim ini bisa terdiri dari seorang koordinator
departemen, seorang penyelia, dan kepala ruang rawat serta tenaga dari institusi pendidikan.
(Sitorus, 2006).

b. Rancangan Penilaian Mutu

Penilaian mutu asuhan keperawatan meliputi kepuasan klien/keluarga kepatuhan perawat


terhadap standar yang diniali dari dokumentasi keperawatan, lama hari rawat dan angka
infeksi noksomial. (Sitorus, 2006).

c. Presentasi MPKP

Selanjutnya dilakukan presentasi tentang MPKP dan hasil penilaian mutu asuhan kepada
pimpinan rumah sakit, departemen,staf keperawtan, dan staf lain yang terlibat. Pada
presentasi ini juga, sudah dapat ditetapkan ruang rawat tempat implementasi MPKP akan
dilaksanakan. (Sitorus, 2006).

d. Penempatan Tempat Implementasi MPKP

Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penempatan tempat implementasi MPKP,
antara lain (Sitorus, 2006) :

1) Mayoritas tenaga perawat merupakan staf baru di ruang tersebut. Hal ini diperlukan
sehingga dari awal tenaga perawat tersebut akan mendapat pembinaan tentang kerangka kerja
MPKP
2) Bila terdapat ruang rawat, sebaiknya ruang rawat tersebut terdiri dari 1 swasta dan 1 ruang
rawat yang nantinya akan dikembangkan sebagai pusat pelatihan bagi perawat dari ruang
rawat lain.

e. Penetapan Tenaga Keperawatan

Pada MPKP, jumlah tenaga keperawatan di suatu ruang rawat ditetapkan dari klasifikasi klien
berdasarkan derajat ketergantungan. Untuk menetapkan jumlah tenaga keperawtan di suatu
ruangrawat didahului dengan menghitung jumlah klien derdasarkan derajat ketergantungan
dalam waktu tertentu, minimal selama 7 hari berturut-turut. (Sitorus, 2006).

f. Penetapan Jenis Tenaga

Pada MPKP metode pemberian asuhan keperawatan yang digunakan adalah metode
modifikasi keperawatan primer. Dengan demikian, dalam suatu ruang rawat terdapat
beberapa jenis tenaga, meliputi (Sitorus, 2006).:

1) Kepala ruang rawat

2) Clinical care manager

3) Perawat primer

4) Perawat asosiet

g. Pengembangan Standar rencana asuhan Keperawatan

Pengembangan standar renpra bertujuan untuk mengurangi waktu perawat menulis, sehingga
waktu yang tersedia lebih banyak dilakukan untuk melakukan tindakan sesuai kebutuhan
klien. Adanya standar renpra menunjukan asuhan keperawtan yang diberikan berdasarkan
konsep dan teori keperwatan yang kukuh, yang merupakan salah satu karakteristik pelayanan
professional. Format standar renpra yang digunakan biasanya terdiri dari bagian-bagian
tindakan keperawatan: diagnose keperawatan dan data penunjang, tujuan, tindakan
keperawatan dan kolom keterangan. (Sitorus, 2006).
h. Penetapan Format Dokumentasi Keperawatan

Selain standar renpra, format dokumentasi keperawatan lain yang diperlukan adalah (Sitorus,
2006) :

1) Format pengkajian awal keperawatan

2) Format implementasi tindakan keperawatan

3) Format kardex

4) Format catatan perkembangan

5) Format daftar infuse termasuk instruksi atau pesanan dokter

6) Format laporan pergantian shif

7) Resume perawatan

i. Identifikasi Fasilitas

Fasilitas minimal yang dibutuhkan pada suatu ruang MPKP sama dengan fasilitas yang
dibutuhkan pada suatu ruang rawat. Adapun fasilitas tambahan yang di perlukan adalah
(Sitorus, 2006) :

1) Badge atau kartu nama tim

Badge atau kartu nama tim merupakan kartu identitas tim yang berisi nama PP dan PA dalam
tim tersebut. Kartu ini digunakan pertama kali sat melakukan kontrak dengan klien/keluarga.

2) Papan MPKP

Papan MPKP berisi darfat nama-nama klien, PP, PA, dan timnya serta dokter yang merawat
klien.
2. Tahap Pelaksanaan

Pada tahap pelaksanaan MPKP dilakukan langkah-langkah berikut ini (Sitorus, 2006) :

a. Pelatihan tentang MPKP

Pelatihan MPKP diberikan kepada semua perawat yang terlibat di ruang yang sudah
ditentukan.

b. Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan konferensi.

Konferensi merupakan pertemuan tim yang dilakukan setiap hari. Konferensi dilakukan
setelah melaukan operan dinas, sore atau malam sesuai dengan jadwal dinas PP. Konferensi
sebaiknya dilakukan di tempat tersendiri sehingga dapat mengurangi gangguan dari luar.
(Sitorus, 2006).

c. Memberi bimbingan kepada perawat primer (PP) dalam melakukan ronde dengan porawat
asosiet (PA).

Ronde keperawatan bersama dengan PA sebaiknya juga dilakukan setiap hari. Ronde ini
penting selain untuk supervisi kegiatan PA, juga sarana bagi PP untuk memperoleh tambahan
data tentang kondisi klien. (Sitorus, 2006).

d. Memberi bimbingan kepada PP dalam memanfaatkan standar renpra.

Standar renpra merupakan acuan bagi tim dalam melaksanakan asuhan keperawatan. Semua
masalah dan tindakan yang direncenakan mengacu pada standar tersebut. (Sitorus, 2006).

e. Memberi bimbingan kepada PP dalam membuat kontrak/orientasi dengan klien/keluarga.

Kontrak antara perawat dan klien/keuarga merupakan kesepakatan antara perawat dan
klien/keluarganya dalam pemberian asuhan keperawatan. Kontrak ini diperlukan agar
hubungan saling percaya antara perawat dan klien dapat terbina. Kontrak diawali dengan
pemberian orientasibagi klien dan keluarganya. (Sitorus, 2006).
f. Memberi bimbingan kepada PP dalam melakukan presentasi kasus dalam tim.

PP secara teratur diharapkan dapat mempresentasikan kasus-kasus klien yang dirawatnya.


Melalui kasus ini PP dan PA dapat lebih mempelajari kasus yang ditanganinya secara
mendalam. (Sitorus, 2006).

g. Memberi bimbingan kepada Critical Care Manager (CCM) dalam membimbing PP dan
PA.

Bimbingan CCM terhadap PP dan PA dalam melakukan implementasi MPKP dilakukan


melalui supervisi secara berkala. Agar terdapat kesinambungan bimbingan, diperlukan buku
komunikasi CCM. Buku ini menjadi sangat diperlukan karena CCM terdiri dari beberapa
orang yaitu anggota tim/panitia yang diatur gilirannya untuk memberikan bimbingan kepada
PP dan PA. Bila sudah ada CCM tertentu untuk setiap ruangan, buku komunikasi CCM tidak
diperlukan lagi. (Sitorus, 2006).

h. Memberi bimbingan kepada tim tentang dokumentasi keperawatan.

Dokumentasi keperawatan menjadi bukti tanggung jawab perawat kepada klien. Oleh karena
itu, pengisisan dokumentasi secara tepat menjadi penting.

3. Tahap Evaluasi

Evaluasi proses dapat dilakukan dengan menggunakan instrumen evsluasi MPKP oleh CCM.
Evaluasi prses dilakukan oleh CCM dua kali dalam seminggu. Evaluasi ini bertujuan untuk
mengidentifikasi secara dini maslah-masalah yang ditemukan dan dapat segera diberi umpan
balik atau bimbingan. Evluasi hasil (outcome) dapat dilakukan dengan (Sitorus, 2006) :

a. Memberika instrumen evaluasi kepuasan klien/keluarga untuk setiap klien pulang.

b. Mengevaluasi kepatuhan perawat terhadap standar yang dinilai berdasarkan dokumentasi.

c. Penilaian infeksi nosokomial (biasanya ditetapkan per ruang rawat).

d. Penilaian rata-rata lama hari rawat.


4. Tahap Lanjut

MPKP merupakan penataan struktur dan proses (sistem) pemberian asuhan keperawatan.
Agar implementasi MPKP memberikan dampak yang lebih optimal, perlu disertai dengan
implementasi substansi keilmuan keperawatan. Pada ruang MPKP diuji coba ilmu dan
teknologi keperawatan karena sudah ada sistem yang tepat untuk menerapkannya. (Sitorus,
2006).

a. MPKP pemula ditingkatkan menjadi MPKP tingkat I. Pada tingkat ini, PP pemula diberi
kesempatan meningkatkan pendidikan sehingga mempunyai kemampuan sebagai SKp/Ners.
Setelah mendapatkan pendidikan tambahan tersebut berperan sebagai PP (bukan PP pemula).
(Sitorus, 2006).

b. MPKP tingkat I ditingkatkan menjadi MPKP tingkat II. Pada MPKP tingkat I, PP adalah
SKp/Ners. Agar PP dapat memberikan asuhan keperawatan berdasarkan ilmu dan teknologi
mutakhir, diperlukan kemampuan seorang Ners sepeialis yang akan berperan sebagai CCM.
Oleh karena itu, kemampuan perawat SKp/ Ners ditingkatkan menjadi ners spesialis. (Sitorus,
2006).

c. MPKP tingkat II ditingkatkan menjadi MPKP tingkat III. Pada tingkat ini perawat denga
kemampuan sebagai ners spesialis ditingkatkan menjadi doktor keperawatan. Perawat
diharapkan lebih banyak melakukan penelitian keperawatan eksperimen yang dapat
meningkatkan asuhan keperwatan sekaligus mengembangkan ilmu keperawatan. (Sitorus,
2006).

G. Tingkatan MPKP Menurut Sudarsono (2000), berdasarkan pengalaman mengembangkan


model PKP dan masukan dari berbagai pihak perlu dipikirkan untuk mengembangkan suatu
model PKP yang disebut Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula (PKPP). Ada
beberapa jenis model PKP yaitu: a. Model Praktek Keperawatan Profesional III Melalui
pengembangan model PKP III dapat berikan asuhan keperawatan profesional tingkat III. Pada
ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan doktor dalam keperawatan klinik
yang berfungsi untuk melakukan riset dan membimbing para perawat melakukan riset sera
memanfaatkan hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. b. Model Praktek
Keperawatan Profesional II Pada model ini akan mampu memberikan asuhan keperawatan
profesional tingkat II. Pada ketenagaan terdapat tenaga perawat dengan kemampuan spesialis
keperawatan yang spesifik untuk cabang ilmu tertentu. Perawat spesialis berfungsi untuk
memberikan konsultasi tentang asuhan keperawatan kepada perawat primer pada area
spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan hasil-hasil riset dalam
memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis direncanakan satu orang untuk 10
perawat primer pada area spesialisnya. Disamping itu melakukan riset dan memanfaatkan
hasil-hasil riset dalam memberikan asuhan keperawatan. Jumlah perawat spesialis
direncanakan satu orang untuk 10 perawat primer (1:10).

c. Model Praktek Keperawatan Profesional I. Pada model ini perawat mampu memberikan
asuhan keperawatan profesional tingkat I dan untuk itu diperlukan penataan 3 komponen
utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian asuhan keperawatan yang
digunakan pada model ini adalah kombinasi metode keperawatan primer dan metode tim
disebut tim primer. d. Model Praktek Keperawatan Profesional Pemula Model Praktek
Keperawatan Profesional Pemula (MPKPP) merupakan tahap awal untuk menuju model
PKP. Model ini mampu memberikan asuhan keperawatan profesional tingkat pemula. Pada
model ini terdapat 3 komponen utama yaitu: ketenagaan keperawatan, metode pemberian
asuhan keperawatan dan dokumentasi asuhan keperawatan.

H. Pilar-pilar MPKP

a) Pilar 1: Pendekatan manajemen keperawatan

Terdiri dari :

(1) Perencanaan dengan kegiatan perencanaan yang dipakai di ruang MPKP meliputi
( perumusan visi, misi, filosofi, kebijakan dan rencana jangka pendek, harian, bulanan dan
tahunan).

(2) Pengorganisasian dengan menyusun struktur organisasi, jadwal dinas, dan daftar alokasi
pasien.

(3) Pengarahan

Terdapat kegiatan delegasi, supervisi, menciptakan iklim motivasi, manajemen waktu,


komunikasi efektif yang mencakup pre dan post conference, dan manajemen konflik.
b) Pilar 2: Sistem penghargaan

Manajemen sumber daya manusia diruang MPKP berfokus pada proses rekruitmen, seleksi
kerja orientasi, penilaian kerja, staf perawat. Proses ini selalu dilakukan sebelum membuka
ruang MPKP dan setiap ada penambahan perawatan baru.

c) Pilar 3: Hubungan profesional

Hubungan profesional dalam pemberian pelayanan keperawatan (tim kesehatan) dalam


penerimaan pelayanan keperawatan (klien dan keluarga). Pada pelaksanaannya hubungan
profesional secara internal artinya hubungan yang terjadi antara pembentuk pelayanan
kesehatan misalnya perawat dengan perawat, perawat dengan tim kesehatan lain, sedangkan
hubungan profesional secara eksternal adalah hubungan antara pemberi dan penerima
pelayanan kesehatan.

d) Pilar 4: Manajemen asuhan keperawatan

Manajemen asuhan keperawatan yang diterapkan di MPKP adalah asuhan keperawatan


dengan menerapkan proses keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sitorus, Ratna.2006.Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit:Penataan


Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat.Jakarta:EGC.

2. Sitorus, Ratna.2006.Model Praktik Keperawatan Profesional di Rumah Sakit:Penataan


Struktur dan Proses (Sistem) Pemberian Asuhan Keperawatan di Ruang
Rawat:Implementasi.Jakarta:EGC.

3. Swanburg, Russel C.2000. Pengantar Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan


Perawatan Klinis.Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai