Anda di halaman 1dari 47

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Dasar Gagal Jantung

1. Pengertian

Gagal jantung merupakan kondisi fisiologis ketika jantung tidak dapat

memompakan darah untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh (Black &

Hawks, 2014) pengertian lain menyebutkan gagal jantung merupakan sindrom

klinis, ditandai sesak napas dan fatigue saat istirahat atau saat aktivitas yang

disebabkan kelainan struktur atau fungsi jantung (Sudoyo, 2015). Le More,

(2016) menjelaskan gagal jantung merupakan sindrom yang kompleks ini terjadi

akibat gangguan jantung yang merusak kemampuan ventrikel untuk mengisi dan

memompa darah secara effektif, karena kegagalan jantung memompakan

darahnya mengakibatkan sindrom klinis yang ditandai dengan manifestasi klinis

kelebihan volume darah, perfusi jaringan yang tidak adekuat dan toleransi

aktivitas yang buruk.

Gagal jantung terjadi saat jantung tidak effektif mengisi atau berkontraksi cukup

untuk memompakan darah keseluruh tubuh, pada awalnya tubuh dapat

beradaptasi dengan menurunkan curah jantung, dengan mengaktifkan mekanisme

kompensasi, yang menyebabkan kongesti vascular, akhirnya terjadi gagal jantung.

Selain itu gagal jantung sering pula akibat kerusakan kontraksi miokardium, yang

disebabkan penyakit jantung koroner, iskemia atau infark miokardium.


2. Penyebab

Menurut Black (2014) melemahnya miokardium dapat menyebabkan terjadinya

gagal jantung, selain itu ada beberapa faktor yang dapat menyebabkan penyakit

gagal jantung baik yang berasal dari jantung itu sendiri (interinsik) atau faktor dari

luar jantung (eksternal).

a. Faktor intrinsik

Factor terumah sakitering terjadinya gagal jantung adalah penyakit

arterikoroner (penyakit jantung koroner), dimana penyakit ini dapat

mengakibatkan berkurangnya hantaran oksigen ke miokardium, dengan

berkurangnya oksigen sel otot tidak dapat berfungsi. Penyebab lain faktor

instrinsik infark miokardium, penyakit katup jantung, pericarditis, tamponade

jantung.

b. Factor ekstrinsik

Yaitu faktor yang meningkatkan afterload seperti hipertensi pulmonal atau

sistemik, stenosis pulmonal atau aorta, peningkatan volume sekuncup

jantung, preload yang diakibatkan regurgitasi katup mitral atau trikuspidalis,

hypervolemia, defek septum atau defek ventrikel.

3. Patofisiologi

Menurut Black (2014) Jantung yang sehat mencukupi kebutuhan oksigen melalui

cadangan jantung, dengan meningkatkan curah jantung sebagai respon terhadap

stress. Jantung normal dapat meningkatkan keluarannya sebanyak lima kali lipat

tingkat istirahat. Gagal jantung mengakibatkan keterbatasan terhadap pemenuhan


kebutuhan tubuh, mekanisme kompensasi diaktifkan termasuk respon

neurohormonal. Pengaktifan sistem saraf simpatis meningkatkan kontraktilitas

jantung hingga mengeluarkan neurotransmiter, meningkatkan permeabilitas

membran. Selain itu, stimulasi simpatis juga menyebabkan vasokontriksi perifer

yang bertujuan mencegah penurunan tekanan darah lebih lanjut. Penurunan curah

jantung juga menurunkan perfusi jaringan organ tubuh lainnya, termaksuk ginjal

menurunkan filtrasi dan meningkatkan reabsorbsi. Peningkatan reabsorbsi inilah

yang menyebabkan urine berkurang dan terjadi edema (Febrian, 2009).

Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung

akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel

yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah

sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel. Tekanan arteri paru-paru

dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru.

Hipertensi pulmonar meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan.

Serentetan kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada

jantung kanan, dimana akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema.

Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat

dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan trikuspidalis atau mitralis secara

bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus

katub atrioventrikularis atau perubahan pada orientasi otot papilaris dan

kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang. Sebagai respon


terhadap gagal jantung ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat;

meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal akibat

aktivasi rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini

mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung. Meknisme ini

mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat normal

atau hampir normal pada gagal jantung dini, dan dalam keadaan istirahat. Tetapi

kelainan pada kerja ventrikel serta menurunnya curah jantung tampak pada

keadaan beraktivitas. Berlanjutnya gagal jantung mengakibatkan kompensasi

menjadi kurang efektif.

Timbulnya gejala-gejala pada saat beraktivitas, terjadi pada gagal jantung

stadium II, dimana pada stadium ini pembatasan aktivitas fisik yang ketat

merupakan tindakan awal yang sederhana namun sangat tepat dalam penanganan

gagal jantung untuk menghindari kelemahan otot rangka yang menyebabkan

fatigue. Kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi fisik, tirah baring

dan aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis.

Penyebab lain kelainan fungsi otot jantung yang disebabkan oleh aterosklerosis

koroner, hipertensi arterial dan penyakit otot degeneratif atau inflamasi.

Aterosklerosis koroner mengakibatkan disfungsi miokardium karena

terganggunya aliran darah ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat

penumpukan asam laktat). Infark Miokardium biasanya mendahului terjadinya

gagal jantung dan hipertensi sistemik/pulmonal (peningkatan afterload)


meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan hipertrofi

serabut otot jantung. Efek tersebut (hipertrofi miokard) dapat dianggap sebagai

mekanisme kompensasi karena akan meningkatkan kontraktilitas jantung, tetapi

untuk alasan tidak jelas, hipertrofi otot jantung tadi tidak dapat berfungsi secara

normal, dan akhirnya terjadi gagal jantung

Peradangan dan penyakit miokarium degeneratif berhubungan dengan gagal

jantung karena kondisi ini secara langsung merusak serabut jantung,

menyebabkan kontraktilitas menurun.Ventrikel kanan dan kiri dapat mengalami

kegagalan secara terpisah. Gagal ventrikel kiri paling sering mendahului gagal

ventrikel kanan. Gagal ventrikel kiri murni sinonim dengan edema paru akut.

Karena curah ventrikel berpasangan/sinkron, maka kegagalan salah satu ventrikel

dapat mengakibatkan penurunan perfusi jaringan.

Gagal jantung dapat dimulai dari sisi kiri atau kanan jantung (Black,2014), tetapi

sebagian besar kondisi gagal jantung dimulai dari kegagalan ventrikel kiri, yang

berkembang menjadi kedua ventrikel (Ignatavisius&Workman, 2010), seperti

hipertensi sistemik akan menyebabkan ventrikel kiri mengalami hipertrofi dan

melemah. Letak suatu infark miokardium akan menentukan sisi jantung yang

pertama kali terkena setelah terjadi serangan jantung.

Karena ventrikel kiri yang melemah akan menyebabkan darah kembali ke atrium,

lalu ke sirkulasi paru, ventrikel kanan dan atrium kanan, maka jelaslah bahwa
gagal jantung kiri akhirnya akan menyebabkan gagal jantung kanan. Pada

kenyataanya, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri.

Karena tidak dipompa secara optimum keluar dari sisi kanan jantung, maka darah

terkumpul di vena perifer. Hasil akhirnya adalah semakin berkurangnya volume

darah dalam sirkulasi dan menurunnya tekanan darah serta perburukan siklus

gagal jantung.

4. Tanda dan gejala

Menurut Black (2014), tanda dan gejala yang terdapat pada pasien gagal jantung

tergantung dari ventrikel yang terlibat, penyebab pencencetus, derajat, laju

penyakit, dan kondisi pasien.

a. Gagal ventrikel kanan.

Akibat peningkatan tekanan vena, ditandai dengan peningkatan vena central

menybabkan edema perifer dan kongesti vena. Hepar membesar

(hepatomegaly) dan nyeri abdomen, fibrotic hepar dan seklerotik yang

menyebabkan serosis cardiac ditandai dengan acites dan icterus. Adanya

kongesti vena menyebabkan gangguan pada saluran gastrointestinal

dimanipestasikan dengan anoreksia, nausea, dan perut kembung, edema

pitting, edema ektermitas bahkan dapat terjadi edema anasarka.

b. Gagal ventrikel kiri

Akibat peningkatan tekanan ventrikel dan atrium kiri, ditandai dengan

tekanan arteri pulmonal meningkat, takikardi akan berlanjut bila gagal

ventrikel kiri berlanjut, terdengarnya bunyi gallop atau S3, dyspnea (sulit
bernafas), ortopnea terjadi saat posisi terlentang, sehingga pasien duduk

dengan kedua lengan dilutut dan condong kedepan, menyokong dada dan

kepala dengan bantal dan beristirahat dengan posisi duduk dikurumah sakiti,

batuk, pernafasan Chyne- Stokes.

Gagal ventrikel kiri dapat mengakibatkan edema paru, merupakan keadaan

darurat yang menyebabkan kesulitan bernafas membuat ketakutan pada

pasien , takut akibat sesak takut juga akan kematian. Paroxyismal Noktural

Dyspnea (PND), kesulitan bernafas dan terdengar wheezing, tiba-tiba

terbangun dari tidur dan akan berkurang dengan duduk tegak, pulsasi

melebar/bergeser kekiri. Fatigue otot akibat hypoxia jaringan dan

melambatnya pembuangan sampah metabolik.

Penurunan perfusi ginjal mengakibatkan peningkatan kadar urea tetapi

kreatinin tidak berpengaruh dan peningkatan urine pada malam hari (Black,

2014), selain itu ada beberapa kasus mengalami low output yang dapat

menimbulkan vasokontriksi, tetapi jarang mengalami high output

menyebabkan terjadinya vasodilatasi, mengakibatkan tidak adekuatnya

cardiac output (Crawford, 2009).

Mekanisme kompensasi untuk meningkatkan cardiac output menurut Lily

(2011), yaitu mekanisme Frank-Starling meningkatkan stroke volum dan

mempengaruhi kontraksi, membantu pengosongan ventrikel dan

mempertahankan Forward cardiac output. Perubahaan neurohormonal,


melibatkan adrenergik nervous sistem, renin angiotensin, dan peningkatan

produksi ADH (Lilly, 2011), bila hal ini tidak segera diatasi akan berdampak

perburukan (Kabo dan Karim, 2008). Selain itu ada juga mekanisme

Hipertrofi ventrikel dan remodeling, mekanisme remodeling terjadi sesaat

pada stadium satu NYHA (Silbernagl & Lang, 2007).

5. Derajat gagal jantung

Derajat gagal jantung dapat dijelaskan berdasarkan pada beratnya manifestasi

klinis, menurut kriteria New York Heart Association (NYHA).

Tabel. 2.1
Derajat dan manifestasi klinis gagal jantung berdasarkan
New York Heart Association (NYHA).

Klasifikasi Kriteria
Kelas I Tidak ada pembatasan aktivitas aktivitas latihan fisik sehari-hari
(ordinary phsysical exercise), tidak menimbulkan sesak napas atau
berdebar-debar.
Kelas II Ada pembatasan ringan aktivitas. Saat istirahat tidak ada keluhan,
akan tetapi aktivitas sehari-hari dapat menimbulkan rasa capek,
berdebar atau sesak.
Kelas III Pembatasan yang jelas dari aktivitas fisik. Saat istirahat tidak ada
keluhan, aktivitas sehari-hari yang ringan sekalipun sudah
menimbulkan keluhan.
Kelas IV Tidak sanggup melakukan aktifitas fisik tanpa perasaan tidak
nyaman, simptom gagal jantung sudah ada bahkan saat istirahat dan
akan meningkat setiap aktivitas yang ringan sekalipun.

Sumber: Ignativicius & Workman (2006), Medical Surgical Nurumah sakiting:


CriticalThinking for Colaborative Care.
Derajat dan manifestasi klinis gagal jantung berdasarkan New York Heart

Association (NYHA) ini membantu perawat didalam melakukan pengkajian

dan menentukan tingkat bantuan yang harus diberikan serta gangguan tidur

dan istirahat yang dialami.

6. Penatalaksanaan

Black, (2014),dan Smeltzer,(2013), penatalaksanaan gagal jantung dibagi dua

situasi: gagal jantung decompensasi dan gagal jantung kronis. Tujuan

mengurangi beban myocardium dengan istirahat, memperbaiki pompa

ventrikel, perfusi organ esensial dan mencegah gagal jantung lanjut:

a. Mengurangi beban myocardium

Organ target yang banyak berubah neurohormonal adalah ginjal, maka

terapi lini utamanya adalah diuretic loop seperti furosemide, yang

berfungsi mengurangi preload, mengurangi kongesti sistemik, dan

pulmonal. Pemberian terapi diuretic haruslah dipantau ketat karena

pengobatan ini dapat mengakibatkan ketidak seimbangan elektrolit dari

ringan sampai berat. Pemberian vasodilator seperti nitrogliserin yang

berfungsi mengurangi preload dan afterload. Antagonis adrenergik beta

(penyekat beta), berfungsi menghambat sistem saraf simpatis dan

mengurangi kebutuhan oksigen myocardium.

b. Meninggikan posisi kepala pasien


Pasien diberi posisi fowler tinggi, untuk mengurangi kongesti vena dan

mengurangi dyspnea, tungkai diposisikan sebebas mungkin dan jangan

ditinggikan karena dapat berakibat aliran balik vena lebih cepat.

c. Memperbaiki pompa ventrikel

Meningkatkan kontraktilitas myocardium dengan pemberian agonis

adenergig atau inotropic inhibitor ACE yang berfungsi juga sebagai

perbaikan hemodinamik. Inotropic utama antara lain dobutamin milrinon,

digoxin. Pasien dengan hipotensi dan gagal jantung sering diberikan

dobutamin atau dopamine karena obat tersebut berfungsi meningkatkan

kontraktilitas myocard dan meningkatkan volume sekuncup, serta

berdampak disritmia.

d. Pemberian oksigen

Hypoksia dan dyspnea yang merupakan gejala gagal jantung dapat

diperbaiki dengan pemberian kosentrasi oksigen yang tinggi dengan

masker atau kanula, untuk menentukan hal tersebut perlu adanya hasil

analisa gas darah. Bronkospasme atau bronkokonstriksi dapat diberikan

bronchodilator.

e. Mengendalikan disritmia

Fibrilasi atrial dapat menyebabkan stroke embolik diberi antikoagulan,

sedangkan isritmia dapat dikendalikan dengan amiodaron.

f. Mengurangi stress dan cedera

Pasien gagal jantung kesulitan mempertahankan oksigen yang adekuat,

menyebabkan kecemasan karena sulit bernafas, dan gejala ini cedrung


memburuk pada malam hari, untuk mengatasinya pertahankan lampu tetap

menyala dan tinggikan posis kepala. Mengurangi stress fisik dan

emosional dapat diberikan sedative ringan atau penenang, untuk

meningkatkan istirahat dan menanggulangi masalah kecemasan, insomnia

dan gelisah. Tirah baring atau bedres tergantung dengan gejala klinis yang

dialami pasien, dengan istirahat dapat mengurangi kerja jantung,

mengurangi sesak, dan meningkatkan diuresis.

g. Mengurangi retensi cairan

Parrinello,G; Torres,D; & Paterna, S. (2011), mengemukakan kelebihan

cairan akibat gagal jantung dapat diatasi dengan retensi natrium dan air.

Pembatasan natrium dengan tujuan mengendalikan atau mengurangi

edema, dapat diberikan natrium 2-4 gram per hari, serta pemberian

makanan yang mengandung suplemen kalium. Pembatasan cairan tidak

diperlukan untuk pasien gagal jantung ringan sampai sedang, bila gagal

jantung berat dapat diberikan 1000 ml perhari, karena bila asupan cairan

berlebih dapat menyebabkan pengenceran natrium berdampak hiponatremi

ditandai dengan letargi dan kelemahan ( fatigue ).

h. Reduksi volume darah sirkulasi

Plebotomi akan memindahkan volume darah dari sirkulasi sentral,

menurunkan aliran balik vena (Aspiani, 2015).

i. Pemberian penyuluhan
Penyuluhan diberikan dengan tujuan agar pasien mampu memperlambat

perkembangan penyakit, dan mampu hidup dengan reserve jantung

terbatas.

Hal-hal yang sebaiknya diperhatikan:

1) Istirahat yang cukup.

Istirahat yang cukup setiap hari, dengan memperpendek waktu kerja

bila mungkin, menghindari kemarahan emosi. Aktivitas yang sesuai

untuk kesetabilan jantung (Crawford, 2009; Gray et al, 2002)

2) Menerima harus mengkonsumsi obat setiap hari, seperti digitalis,

diuretic, vasodilator. Kontrol rutin ke pelayanan kesehatan (Black &

Hawk, 2014)

3) Cook, et al, 2007, menjelaskan kepatuhan terhadap diet, dengan

membatasi natrium berlebih, berdampak pada penurunan kerja

jantung, sedangkan menurut (Gray, et al, 2002), pasien gagal jantung

dengan keluhan mual, tidak nafsu makan, mual, malabsorbsi dan

peningkatan metabolisme beresiko malnutrisi.

4) Mematuhi program aktivitas.

Aktivitas secara bertahap mencegah terjadinya dyspnea dan fatigue,

serta mengumpulkan aktivitas untuk mendapatkan kembali tenaga (Le

Mone, P et.al, 2016)

5) Menghindari panas dan dingin yang berlebih.

Perubahan suhu yang ekstrim, mempercepat terjadinya vasokontriksi

atau vasodilatsi vaskular.


6) Siaga tanda-tanda adanya kekambuhan seperti: timbulnya gejala

penyakit seperti peningkatan berat badan, kehilangan selera makan,

nafas pendek setelah aktivitas, edema pada tumit, kaki atau perut,

batuk tidak sembuh-sembuh, dan sering berkemih pada malam hari.

B. Fatigue atau kelelahan pada pasien gagal jantung

1. Pengertian

Fatigue atau kelelahan merupakan salah satu hal yang paling parah dari gejala

gagal jantung, yang sering diabaikan oleh perawat dan dokter (Tsai, 2008),

sedangkan fatigue merupakan gejala yang menonjol dari gagal jantung, meskipun

korelasi patofisiologinya tetap tidak diketahui, kontrol pasien dengan gagal

jantung memiliki fatigue secara signifikan lebih besar (Fink, 2011).

Fatigue merupakan satu dari dua gejala paling umum bersamaan dengan dyspnea

yang dialami pasien gagal jantung, fatigue sering juga disebut intoleransi

aktivitas, pada pasien gagal jantung juga didefinisikan sebagai fatigue gigih dan

persepsi kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari, karena fatigue persisten.

Sepertiga pasien gagal jantung beranggapan fatigue merupakan gejala yang

penting, tetapi 50% mengalami kesulitan mengenali sebagai gejala yang

memperburuk gagal jantung (Lorraine, et.al, 2008)

Meskipun fatigue merupakan gejala umum dan menyusahkan penderita gagal

jantung, studi tentang gejala gagal jantung belum terfokus pada fatigue (Stephen,
2000). Setelah serangan jantung fungsi myocard menurun, yang mengurangi

aktivitas pasien yang berkonstribusi terhadap fatigue, hal ini disebabkan karena

jantung tidak mampu memompakan darah yang dibutuhkan untuk memenuhi

semua kebutuhan tubuh. Untuk mengimbanginya darah dialihkan memenuhi

kebutuhan tubuh yang penting seperti otak, ginjal, dan jantung sedangkan pada

bagian tangan dan kaki dikurangi. Akibat pengurangan daerah tersebut

mengakibatkan timbulnya kelemahan pada daerah tangan dan kaki, yang

dikeluhkan pasien mengalami kesulitan melakukan aktivitas seperti berjalan, naik

tangga, atau membawa beban.

2. Penyebab fatigue pada gagal jantung.

a. Curah jantung yang tidak adekuat

Akibat menurunnya curah jantung darah yang membawa oksigen dan nutrisi

tidak dapat mencapai jaringan dan organ target, karena rendahnya perfusi,

menyebabkan jaringan hypoxia, termasuk otot dan sekeletal, dan

memperlambat pembuangan sampah metabolic, yang dimanifestasikan dengan

ekstermitas dingin dan fatigue (Smeltzer,S.C, 2013).

b. Paroxismal Nocturnal Dyspnea (PND), terjadi kesulitan bernafas saat malam

hari, batuk dapat kering dan tidak produktif, batuk basah disertai sputum yang

berbusa dalam jumlah yang banyak terkadang ada bercak darah. Adanya sesak

dan batuk meningkatkan energi yang digunakan untuk bernafas menyebabkan

timbulnya rasa fatigue (Black & Hawk, 2014)


c. Perubahan kualitas tidur atau adanya insomnia yang terjadi akibat distress

pernafasan dan batuk, disertai adanya sesak menggangu pola tidur, tidur yang

kurang menyebabkan timbulnya fatigue (Black & Hawk, 2014).

d. Kelelahan mental ( mental fatigue )

Karena factor psikis atau kejiwaan yang belum terselesaikan, dimana tubuh

dan jiwa terasa letih, bukan hanya sekedar cape, tetapi lesu dan tidak

bergairah, menyebabkan mental dan fisik menjadi lemah, yang disertai

perasaan mengantuk, tidak mampu berkosentrasi. Fatigue sering diidentifikasi

dengan stress, walau tidak semua stress adalah fatigue.

3. Klasifikasi Fatique

Fatigue umum dapat diklasifikasikan berdasarkan tingkatnya (Priyanto, 2010),

diantaranya:

a. Physical fatique, dapat terjadi ketika seseorang mulai mengurangi

kemampuan fisik yang digunakan dari biasanya karena jenis pekerjaan yang

sangat banyak pada setiap jam kerjanya. Pada umumnya seseorang dapat

berkerja secara terus menerus dalam waktu 50 menit perjam atau 35% pada 8

jam kerja digunakan sebagai aktivitas fisik untuk menghindari adanya

fatigue.

b. Circadian fatique, ditandai dengan denyut nadi yang lemah, pelan atau cepat.

Sedangkan Acute fatique, terjadi pada aktivitas tubuh, terutama dikarenakan

banyak menggunakan otot, gangguan kebisingan. Hal ini disebabkan suatu

organ atau seluruh tubuh bekerja secara terus menerus dan melebihi kapasitas
tubuh. Fatigue akan hilang dengan istirahat cukup atau menghilangkan

gangguannya.

c. Commulative Fatique, adalah fatigue yang disebabkan fatigue fisik atau

mental yang terjadi pada periode waktu tertentu. Salah satu penyebab fatigue

ini adalah kurangnya waktu istirahat.

4. Pengukuran fatigue

Alat ukur yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat fatigue, menggunakan

alat ukur yang dinamakan Visual Analogue Scale for Fatigue (VAS - F), yaitu

jenis pengukuran untuk menentukan derajat atau tingkat fatigue dari seseorang,

(Stanford, 2012).

Gambar 2.2
Visual Analogue Scale for Fatigue (VAS - F)

Sumber:https://www.google.co.id/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source= images

Fatigue merupakan masalah keperawatan yang sering muncul pada pasien gagal

jantung stadium II, III dan IV. Perlunya pengkajian keperawatan untuk melakukan

implementasi keperawatan dalam upaya mengatasi atau mengurangi fatigue pada

pasien gagal jantung.

C. Kecemasan
1. Pengertian.

Kecemasan atau ansietas merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sehari-

hari, bukan milik masyarakat atau budaya tertentu. Merupakan kehawatiran yang

tidak jelas atau keadaan emosi tanpa objek, berkaitan perasaan tidak pasti, tidak

berdaya, isolasi, ketidak nyamanan, dialami secara subyektif, dikomunikasikan

secara interpersonal. Masyarakat banyak menggunakan pelayanan kesehatan

untuk mencari pengobatan atas gejala yang disebabkan ansietas seperti nyeri

dada, palpitasi, pusing dan sesak nafas (Stuart, 2009; Videback, 2008). Ansietas

adalah perasaan takut yang tidak jelas dan tidak didukung oleh situasi (Videbeck,

2008), Ansietas juga merupakan keadaan emosi dan pengalaman objektif

individu, keadaan emosi tanpa objek tertentu (Stuart, 2009).

Ketakutan memiliki sumber atau subjek tertentu, dimana seseorang dapat

mengidentifikasi dan menjelaskan. Takut melibatkan penilaian kognitif dari

stimulasi yang mengancam, sedangkan ansietas merupakan respon emosional

terhadap penilaian tersebut. Takut menghasilkan ansietas, jadi katakutan dan

ansietas berbeda. Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa

ansietas adalah respon emosi tanpa objek, berupa perasaan takut dan

kekhawatiran yang tidak jelas dan berlebihan disertai berbagai gejala sumatif

yang menyebabkan gangguan bermakna dalam fungsi sosial atau penderitaan

yang jelas bagi pasien.

2. Faktor predisposisi kecemasan.


a. Teori biologis

Disfungsi beberapa sistem dan perubahan neuro transmister dapat

mengganggu sistem Neurotransmiteer Gamma-Aminobutyric Acid (GABA).

Fungsi GABA mengatur aktivitas, atau tingkat pembakaran, dari neuron di

bagian otak yang bertanggung jawab menghasilkan kecemasan.

b. Keluarga

Gangguan kecemasan pada keluarga tiga kali lebih mungkin mengalami

chronic posstraumatic stress disorder setelah pristiwa traumatik. Meskipun

genetik membuktikan kerentanan yang kuat tetapi tidak teridentifikasi adanya

gen tunggal atau spesifik, tetapi lingkungan juga sangat berperan.

c. Psikologis

Psikologis seseorang yang telah terpapar dengan inten, cenderung mengalami

kecemasan dikemudian hari, sehingga pengaruh orang tua sangat penting

untuk mencegah hal ini terjadi. Orang tua yang merespon dengan khawatiran

terhadap stress ringan akan mengembangkan respon yang sama pada anaknya.

Respon emosional yang tepat dari orang tua sangat membantu koping anak

d. Perilaku

Akibat adanya konflik seperti akan memilih mana yang akan dilakukan, maka

akan terjadi hubungan timbal balik antara konflik dan khawatir. Konflik akan

menghasilkan kecemasan, sedangkan kekhawatiran meningkatkan persepsi

konflik, menghasilkan ketidak berdayaan, menimbulkan fatigue.

e. Imunitas
Berdasarkan konsep psikoneuroimunologi, sistem imunitas tubuh dapat

menurun karena adanya stressor kecemasan, yang terjadi melalui serangkaian

aksi dan diperantarai oleh HPA-axis (Hipotalamus, Pituitari dan Adrenal).

Stress dapat merangsang hipotalamus dan meningkatkan produksi CRF

(Cortictropin Releasing Factor). CRF selanjutnya akan merangsang kelenjar

pituitary anterior untuk meningkatkan produksi ACTH (Adreno Cortico

Tropin Hormon). Hormon ini yang akan merangsang kortek adrenal untuk

meningkatkan sekresi kortisol. Kortisol inilah yang selanjutnya akan menekan

system imun tubuh (Guyton & Hall, 2008). Kecemasan merupakan respon

emosional terhadap penilaian yang berkaitan dengan perasaan tidak pasti dan

tidak berdaya, yang ditandai dengan perasaan keprihatinan, rasa gelisah, atau

ketidaktentuan (Stuart and Sundeens, 2009). Terjadinya perubahan derajat

kesehatan pada seseorang dapat menjadi pemicu terjadinya kecemasan,

termasuk pada pasien gagal jantung.

3. Tingkat kecemasan

Stuart ,G.W (2016), menjelaskan empat tingkat kecemasan dan efeknya.

a. Kecemasan Ringan

Dapat terjadi saat ketegangan hidup sehari-hari, saat ini timbul kewaspadaan,

lapangan persepsi meningkat. Kemampuan melihat, mendengar, menangkap

lebih dari sebelumnya, memotivasi belajar dan meningkatkan kreativitas.

b. Kecemasan Sedang
Berfokus pada hal penting saja, lapangan persepsi menyempit, kemampuan

melihat, mendengar, menangkap berkurang, memblokir area tertentu, dan

masih mampu mengikuti perintah jika diarahkan.

c. Kecemasan Berat

Penurunan yang signifikan di lapang persepsi, memfokuskan hal yang detail

dan tidak berpikir hal yang lain, perilaku ditujukan untuk mengurangi

kecemasan, banyak arahan yang difokuskan untuk hal tersebut.

d. Panik

Dikaitkan dengan rasa takut dan terror, sebagian orang yang mengalami panik

tidak dapat melakukan hal-hal bahkan arahan. Gejala yang timbul peningkatan

aktivitas motorik, penurunan kemampuan untuk berhubungan dengan orang

lain, perilaku menyempit hilang fikiran yang rasional, tidak mampu

berkomunikasi secara efektif, kondisi panik yang berlangsung lama

menimbulkan fatigue.

Tingkat kecemasan ada dua tingkatan psikologis terwujut sebagai gejala

kejiwaan yang dapat dilihat seperti ketegangan, bingung, khawatir, perasaan

tidak menentu dan sukar kosentrasi. Tingkatan fisiologis dengan gejala

palpitasi, gemetar, mual, tidak dapat tidur.

4. Pengukuran kecemasan

a. Hamilton Anxiety Scale (HAS), atau Hamilton Anxiety Rating Scale (HRS)

Hamilton Anxiety Scale pertama kali dikembangkan Max Hamilton pada

tahun 1956, yang digunakan untuk mengukur tanda kecemasan psikis maupun
somatic, yang selanjutnya dikembangkan untuk mengukur tingkat depresi

dalam Hamilton Defression Scale (Fahmy, 2007).

Hamilton Anxiety Rating Scale terdiri dari 15 pertanyaan dengan 5 skala dari

0 sapai 4, nilai 0 tidak ada kecemasan, nilai 1 kecemasan ringan, nilai 2

kecemasan sedang, nilai 3 berarti kecemasan berat, dan nilai 4 berarti

kecemasan sangat berat. Hamilton Anxiety Rating Scale (HRS) memiliki nilai

total 0-56, jika nilai 17 dikatagorikan cemas ringan, total 18 -24 dikategorikan

cemas sedang, sedangkan rentang 25-30 dikategorikan cemas berat (Fahmy,

2007).

Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRS-A), untuk mengetahui sejauh mana

derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali

digunakan alat ukur yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale for

Anxiety (HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-

masing kelompok dirinci lagi dengan gejala - gejala yang lebih spesifik.

Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara:

Tidak ada kecemasan : 0

Kecemasan ringan (satu gejala dari pilihan yang ada) : 1

Kecemasan sedang (separuh dari gejala yang ada) : 2

Kecemasan berat (lebih dari separuh gejala yang ada) : 3

Kecemasan sangat berat (semua gejala yang ada) : 4


Masing-masing nilai angka (score) dari ke-14 kelompok gejala tersebut

dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat

kecemasan seseorang yaitu total nilai (score):

Tidak ada kecemasan < 14

Kecemasan ringan 14 - 20

Kecemasan sedang 21 – 27

Kecemasan berat > 27

b. Visual Analog Scale for Anxiety (VAS-A)

Menggunakaan garis horisontal yang berupa sekala, dengan rentang angka

dari 0 sampaai 100, dengan penilaiaan dari gaaris ujung sebelah kiri yang

mengindikasikan angka 0 tidak cemas sampai angka 100 yang

mengindikasikan sangat cemas, bahkan sampai panik. Penggunaannya dengan

cara responden menunjukan gambaran yang dirasakannya. Alat ukur ini

sangat realibel untuk mengukur kecemasan (Davey et al, 2007)

5. Faktor – faktor yang mempengaruhi kecemasan

Kecemasan tidak semuanya bersifat patologis, tetapi dapat pula normal. Dibawah

ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kecemasan ( Adikusumo,

2003) dari berbagai sumber:

a. Faktor internal

1) Usia
Usia berpengaruh terhadap kecemasan, prevalensi kecemasan pada pasien

penyakit jantung cukup tinggi (Fitriyanti, 2008). Menurut I Ketut

Mahendra (2014) usia juga berkaitan dengan kedewasaan berfikir, dengan

bertambahnya usia cenderung lebih dewasa, menghadapi masalah.

2) Pengalaman

Individu yang mempunyai pengalaman menghadapi stress, cenderung

lebih mudah untuk menganggap stres yang beratpun sebagai masalah yang

bisa diselesaikan. Setiap pengalaman merupakan sesuatu yang berharga

dan belajar dari pengalaman dapat meningkatkan ketrampilan menghadapi

stres.Menurut Kusharyadi (2005) bila pasien tidak mendapatkan informasi

yang adekuat cendrung akan gelisah dan cemas.

3) Fisik

Orang dengan aset fisik yang besar, kuat dan garang akan menggunakan

aset ini untuk menghalau stres yang datang mengganggu.

4) Stadium gagal jantung

Menurut NYHA, Gagal jantung dibagi berdasarkan 4 derajat kemampuan

fisik. Derajat I menunjukkan seseorang bisa beraktifitas secara normal,

pada derajat II pasien menunjukan gejala ringan saat melakukan aktivitas

sehingga pasien merasa lebih nyaman bila beristirahat, pada derajat III

pasien sudah mulai menunjukan adanya keterbatasan fisik, dan pada

derajat IV pasien sudah tidak bisa melakukan aktivitas apapun tanpa

keluhan, dalam hal ini bila pasien tidak mampu melaksanakan aktivitasnya

berdampak pada kecemasan yang dirasakannya. . (O’Connor et al. 2009)


b. Faktor eksternal

1) Pengetahuan

Seseorang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan kemampuan intelektual

akan dapat meningkatkan kemampuan dan rasa percaya diri dalam

menghadapi stres mengikuti berbagai kegiatan untuk meningkatkan

kemampuan diri akan banyak menolong individu tersebut.

2) Pendidikan

Pendidikan bagi setiap orang memiliki arti yang berbeda, pada umumnya

pendidikan berguna dalam merubah pola pikir seseorang, pola tingkah laku

dan pola pengambilan keputusan (Notoatmodjo, 2000). Tingkat pendidikan

tinggi lebih mudah mengidentifikasi stresor dalam diri sendiri maupun dari

luar dirinya. Tingkat pendidikan juga mempengaruhi kesadaran dan

pemahaman terhadap stimulus (Jatman, 2000). Semakin tinggi pendidikan

seseorang mudah dan semakin mampu menghadapi stress, tetapi tidak

semua peningkatan pendidikan dapat pula mengurangi rasa tidak mampu

untuk menghadapi stres..

3) Financial/ Material

Harta yang melimpah tidak akan menyebabkan individu tersebut

mengalami stres berupa kekacauan finansial, bila terjadi dibandingkan

orang yang aset finasialnya terbatas.

4) Keluarga

Lingkungan kecil dimulai dari lingkungan keluarga, peran pasangan dalam

hal ini sangat berarti dalam memberi dukungan. Istri dan anak yang penuh
pengertian serta dapat mengimbangi kesulitan yang dihadapi suami akan

dapat memberikan bumper kepada kondisi stres suaminya.

5) Obat

Obat-obatan tergolong dalam kelompok anti ansietas, Obat- obat ini

mempunyai kasiat mengatasi ansietas sehingga penderitanya tenang

6) Religiusitas

Jesse.N (2012), Religiusitas merupakan perawatan paliatif atau metode

alternatif, yang logis akan dicari pasien gagal jantung, untuk meningkatkan

kemampuan menghadapi kondisinya dengan dukungan spiritual.

Spiritualitas memiliki efek kualitas global hidup, depresi dan kepatuhan

medis dalam pengobatan pasien dengan gagal jantung. Hubungan antara

religiusitas dan takut akan kematian (istilah yang digunakan bergantian).

disamping itu ada hubungan yang signifikan antara skor PSQI pasien gagal

jantung. Menurut Hawari (2002) religiousitas dengan cara berzikir

merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah, media

bersyukur, karena berdizikir sebagai bentuk kepasrahan kepada Allah.

Apapun yang terjadi serahkan semua itu kepada Allah maka sikap berserah

diri kepada Allah membuat hati kita menjadi tenang dan menghilangkan

kecemasan. Sebagaimana Firman Allah, “Yaitu orang-orang yang beriman

dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya

dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS. ar-Raad : 28),

Sedangkan pendapat ulama kondang Ibnu Qayyim al-Jauziyah, Muhammad

Shalih bahwa zikir itu adalah makanan pokok bagi hati dan ruh. Apabila
hamba Allah gersang dari siraman zikir, maka jadilah ia bagai tubuh yang

terhalang untuk memperoleh makanan pokoknya. Pernyataan tersebut

mengindikasikan betapa perlunya seorang selalu berzikir kepada Allah

dalam kondisi apapun agar terpenuhi kebutuhan fundamentalnya sehingga

hati dan ruh menjadi segar, sehat dan perasaan cemas hilang. Pendapat

Benson sebagaimana dikutip Taufiq Pasiak, “Menunjukkan bahwa kata-

kata zikir itu dapat menjadi salah satu frasa fokus (kata-kata yang menjadi

titik fokus perhatian) dalam proses penyembuhan diri pasien dari

kecemasan, ketakutan.

7) Sosial Budaya

Suport dukungan sosial dan sumber- sumber masyarakat serta lingkungan

sekitar individu akan sangat membantu seseorang dalam menghadapi

stresor, pemecahan masalah berumah sakitama-sama dan tukar pendapat

dengan orang disekitarnya akan membuat situasi individu lebih siap

menghadapi stres yang akan datang.

6. Kecemasan pada pasien gagal jantung yang fatigue

Kecemasan pernah dirasakan oleh semua individu dalam siklus kehidupannya,

dengan reaksi yang berbeda untuk setiap individu baik yang bersifat ringan

sampai panik. Ketika timbul kecemasan individu akan menggunakan mekanisme

koping, bila hal tersebut tidak dapat diatasi akan timbul perilaku yang patologis,

sehingga dibutuhkan cara untuk mengatasi (Stuart,G.W, 2016 ).


Kecemasan yang dialami individu berperan terhadap kejadian gagal jantung dan

kejadian miokard infark (Stuart,G.W, 2016). Mekanisme kecemasan akan

mempengaruhi terjadinya perubahan tonus otomatik jantung, meningkatkan

stimulus system syraf simpatis. Sistem syaraf simpatis menyebabkan

vasokontriksi, penurunan fungsi endotel, aktivasi platelet, perubahan hemostatik,

hemokosentrasi, peningkatan denyut jantung, yang akhirnya mengakibatkan

kegagalan jantung.

7. Factor-factor yang mempengaruhi penurunan kecemasan pada pasien gagal

jantung yang mengalami fatigue.

Orem menggaris bawahi bagaimana kebutuhan self-care pasien dapat dipenuhi

oleh perawat, oleh pasien atau kedua-duanya. Sistem keperawatan dirancang

perawat berdasarkan kebutuhan self-care dan kemampuan pasien dalam

menampilkan aktivitas self-care. Apabila ada self-care deficit, yaitu defisit antara

apa yang bisa dilakukan (self-care agency) dan apa yang perlu dilakukan untuk

mempertahankan fungsi optimum (self-care demand), disinilah keperawatan

diperlukan. Jadi tujuan dari teori Orem membantu meningkatkan kemampuan

pasien memenuhi kebutuhannya secara mandiri (Potter, 2010).

Self care merupakan suatu aktivitas, inisiatif dari pasien dan dilaksanakan oleh

pasien sendiri dalam memenuhi serta mempertahankan kesehatannya. Self care

difisit menguraikan bagaimana kebutuhan perawatan pasien dipenuhi oleh

perawat atau pasien itu sendiri. Penurunan tingkat kecemasan pada pasien gagal
jantung sangat dibutuhkan pasien untuk itu perlu adanya implementasi

keperawatan dan upaya pasien.

a. Implementasi keperawatan dalam menurunkan kecemasan

Implementasi yang dilakukan oleh perawat saat pasien gagal jantung

mengalami kecemasan, dengan melakukan penyuluhan dan tindakan

keperawatan. Tindakan keperawatan yang dilakukan perawat untuk

mengurangi kecemasan dalam Nursing Interventions Clasification (NIC,

2010).

Tindakan keperawatan NIC untuk mengatasi kecemasan (anxiety Reduction)

1) Melakukan pendekatan, membina hubungan saling percaya.

2) Nyatakan dengan jelas apa yang diharapkan pasien.

3) Jelaskan prosedur, dan apa yang dirasakan selama prosedur

4) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut.

5) Berikan informasi faktual mengenai diagnosis, prognosis.

6) Dorong keluarga/orang terdekat untuk menemani pasien

7) Dengarkan dengan penuh perhatian apa keluhkan pasien

8) Identifikasi tingkat kecemasan pasien

9) Bantu pasien mengenal situasi penyebaba kecemasan

10) Dorong pasien mengungkapkan perasaan, ketakutan, dan persepsinya

11) Instruksikan pasien menggunakan teknik relaksasi

12) Kolaborasi pemberian obat untuk mengurangi kecemasan

Sedangkan (Potter, 2010)


13) Mobilisasi secara bertahap, dengan melakukan ROM atau aktivitas

bertahaf

14) Batasi konsumsi makanan yang mengandung tinggi lemak, kafein,

natrium, dan gula .

15) Jaga pola istirahat yang tetap, dan kebiasaan pasien menjelang tidur

16) Anjurkan pasien untuk melakukan meditasi, berdoa sesuai dengan

keyakinan.

b. Upaya pasien dalam menurunkan kecemasan.

Menurut Orem peran perawat sebagai pendidik, meningkatkan kemampuan

pasien sebagai self-care agent diharapkan kemandirian pasien berangsur-

angsur dapat terwujud. Perwujutan ini dilihat dengan apa yang telah dilakukan

untuk memenuhi penurunan tingkat kecemasan pasien gagal jantung yang

mengalami fatigue:

1) Didampingi keluarga untuk memberikan kenyamanan dan mengurangi

rasa takut

2) Mendapatkan informasi faktual mengenai diagnosis, prognosis.

3) Mendapatkan perhatian terhadap apa yang dikeluhkan

4) Tanggap terhadap tingkat kecemasan pasien

5) Tanggap terhadap situasi yang menimbulkan kecemasan

6) Mendengarkan keluhan pasien


7) Menggunakan teknik relaksasi

8) Memberikan pijatan.

9) Diberi obat untuk mengurangi kecemasan

10) Istirahat yang tetap, dan cukup tidur.

11) Melakukan meditasi, berdoa, atau berzikir.

Penelitian yang dilakukan Chen, et al (2013), menyatakan terapi pijat secara

signifikan mengurangi kecemasan pasien gagal jantung.

D. Konsep tidur

Beristirahat dan tidur dapat terasa rilek secara mental, bebas dari cemas, tenang secara

fisik. Istirahat sama pentingnya bagi kesehatan seperti halnya akan kebutuhan nutrisi.

Jumlah tidur yang kurang, kemampuan untuk berkonsentrasi, membuat keputusan dan

berpartisipasi dalam aktivitas harian akan menurun dan meningkatkan iritabilitas.

Penting tugas seorang perawat untuk mengidentifikasian dan memahami pentingnya

pemenuhan kebutuhan tidur, untuk memenuhi kebutuhan fisik dan psikologis, sesuai

kebiasaan tidur pasien, bila hal ini terganggu dapat menimbulkan kecemasan dan

ketakutan (Perry & Potter, 2010). Memperoleh kualitas tidur terbaik penting untuk

peningkatan kesehatan, pemulihan yang sakit. Sifat alamiah dari penyakit yang

mencegah pasien untuk mendapatkan istirahat dan tidur yang cukup.

Tidur merupakan suatu keadaan yang berulang-ulang, perubahan status kesadaran

yang terjadi selama periode tertentu. Saat pasien memperoleh tidur yang cukup,
tenaganya akan pulih kembali (Perry & Potter, 2010). Pola istirahat dan tidur yang

biasa dari pasien yang masuk rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan dengan

mudah dipengaruhi oleh penyakit atau rutinitas pelayanan kesehatan yang tidak

dikenal. Perawat harus selalu menyadari kebutuhan pasien untuk istirahat. Kurang

istirahat selama periode yang lama menyebabkan penyakit atau memperburuk penyakit

yang ada. Perubahan pola tidur merupakan suatu keadaan berubahnya jadwal atau

kebiasaan tidur sehari-hari, yang dialami pasien meliputi, jumlah waktu tidur, jam

tidur dan bangun, ritual menjelang waktu tidur, lingkungan tidur serta kesegaran waktu

bangun tidur.

Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan

yang merupakan urutan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan

fase kegiatan otak dan badaniah yang berbeda (Tarwoto & Wartonah, 2006). Tidur

juga merupakan suatu keadaan tidak sadar dimana persepsi dan reaksi individu

terhadap lingkungan menurun atau hilang, dan dapat dibangunkan kembali dengan

indra atau rangsangan yang cukup (Asmadi, 2008).

1. Tahapan Tidur

Tahapan tidur ditunjukan dengan perbedaan aktivitas dari otak, otot dan mata,

dengan siklus sebagai berikut: pergerakan mata yang tidak cepat, Nonrapid Eye

Movement (NREM) dan pergerakan mata yang cepat, Rapid Eye Movement

(NREM), yang mana selama tidur akan mengalami kemajuan melalui empat

tahapan yaitu:

a. Tahap 1 : Nonrapid Eye Movement (NREM)


1) Tahap paling dangkal dari tidur.

2) Tahap berakir beberapa menit.

3) Pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penurunan tanda-tanda vital

dan metabolism secara bertahap.

4) Mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara.

5) Ketika terbangun seseorang merasa seperti telah melamun.

b. Tahap 2: Nonrapid Eye Movement (NREM)

1) Periode tidur berumah sakituara.

2) Kemajuan relaksasi.

3) Terbangun masih relatif mudah.

4) Tahap berakhir 10 hingga 20 menit.

5) Kelanjutan fungsi tubuh menjadi lamban.

c. Tahap 3: Nonrapid Eye Movement (NREM)

1) Meliputi tahap awal dari tidur yang dalam.

2) Sulit dibangunkan dan jarang bergerak.

3) Otot-otot dalam keadaan santai penuh.

4) Tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur.

5) Berakhir 15 hingga 30 menit.

d. Tahap 4: Nonrapid Eye Movement ( NREM )

1) Merupakan tahap tidur terdalam.

2) Sangat sulit dibangunkannya.

3) Jika kurang tidur, menghabiskan porumah sakiti malam yang seimbang pada

tahap ini.
4) Tanda-tanda vital menurun dibanding selama jam terjaga.

5) Berakhir kurang lebih 15 hingga 30 menit.

6) Dapat terjadi tidur sambil berjalan dan eneuresis.

e. Tidur Rapid Eye Movement (REM).

1) Mimpi penuh warna dapat terjadi pada REM.

2) Mimpi yang kurang hidup dapat terjadi pada tahap yang lain

3) Dimulai sekitar 90 menit setelah mulai tidur.

4) Ditandai dengan respons otonom pergerakan mata yang cepat, fluktuasi

jantung, kecepatan respirasi dan peningkatan atau fluktuasi tekanan darah.

5) Terjadi penurunan tonus otot skeletal.

6) Peningkatan sekresi lambung.

7) Sangat sulit sekali dibangunkan.

8) Durasi tidur REM meningkat setiap siklus rata-rata 20 menit.

2. Fungsi tidur.

Kegunaan tidur masih tetapbelum jelas, tidur dipercaya mengkontribusi

pemulihan fisiologis dan psikologis. Menurut teori, tidur adalah waktu perbaikan

dan persiapan untuk periode terjaga berikutnya. Selama tidur NREM, fungsi

biologis menurun. Laju denyut jantung normal 70-80 denyut per menit, akan

tetapi selama tidur laju denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit atau

lebih rendah. Teori lain kegunaan tidur adalah tubuh menyimpan energi selama

tidur. Otot skelet berelaksasi secara progesif, tidak adanya kontraksi otot

menyimpan energi untuk proses seluler. Penurunan laju metabolik basal lebih
jauh menyimpan/persediaan energi tubuh (Potter & Perry, 2010 ). Tidur REM

penting dalam pemulihan kognitif, dihubungkan dengan perubahan dalam aliran

darah cerebral, peningkatan aktivitas kortikal, peningkatan konsumsi oksigen dan

pelepasan epineprin. Hubungan ini dapat membantu penyimpanan memori dan

pembelajaran. Selama tidur, otak menyaring informasi tentang aktivitas hari

tersebut.

3. Gangguan tidur.

Gangguan tidur jika tidak diobati, akan menyebabkan gangguan tidur malam yang

mengakibatkan munculnya salah satu dari ketiga masalah: insomnia, gerakan atau

sensasi abnormal di kala tidur atau terjaga di tengah malam, atau rasa mengantuk

di siang hari Gangguan tidur telah diklasifikasikan menjadi empat kategori utama

(Potter & Perry 2010).

4. Klasifikasi Gangguan Tidur.

Empat klasifikasi ganguan tidur diantaranya adalah:

a. Disomnia

Gangguan primer yang berasal dari system tubuh yang berbeda.

1) Gangguan tidur intrinsik.

Gangguan memulai dan mempertahankan tidur, misalnya insomnia,

narkolepsi (rasa kantuk yang berlebih) dan Sindrom apnea tidur obstruktif.

2) Gangguan tidur ekstrinsik


Penyebab hilangnya gangguan tidur karena hipnotik, tergantung alkohol,

gangguan tidur irama sirkandian, sindrom perubahan waktu tidur (Jet leg),

gangguan tidur karena jam kerja, karena berobat, fase tidur tertunda

b. Parasomnia

Gangguan terjaga: Berjalan dalam tidur, teror tidur.

1) Gangguan transisi tidur-bangun: Berbicara dalam tidur, kramtungkai

nocturnal.

2) Berkaitan dengan tidur REM: Mimpi buruk, gangguan prilaku tidur REM.

3) Parasomnia yang lain: Bruksisme tidur (menggeretakan gigi), Enuresis

tidur (ngompol). Sindrom kematian bayi mendadak.

c. Gangguan tidur berhubungan gangguan medis

1) Gangguan dalam perasaan, gangguan kecemasan

2) Berhubungan dengan gangguan neurologis: demensia, parkinsonisme.

3) Berhubungan dengan gangguan medis lainya: iskemia jantung nocturnal,

penyakit paru menahun.

d. Gaya tidur yang masih diusulkan.

Gangguan tidur yang berhubungan dengan menstruasi, sindrom terumah

sakitedia waktu tidur.

5. Kualitas tidur

Kualitas tidur merupakan kemampuan untuk mempertahankan, waktu tidur tanpa

adanya gangguan selama periode tidur, yang dialami seseorang, secara subyektif
yang diukur menggunakan kuisioner baik secara obyektif dengan polygraph atau

observasi (Cauter, 2007).

6. Pengukuran kualitas tidur

Kualitas tidur dapat diukur dengan alat ukur berupa kuisioner, The Pittsburgh

Sleep Quality Index (PSQI). PSQI merupakan suatu metode penilaian berbentuk

kuesioner yang digunakan untuk mengukur kualitas tidur serta gangguan tidur

pada orang dewasa dalam waktu satu bulan, yang akan diperoleh output berupa

Sleeping Index. Sleeping Index merupakan skor atau nilai dari pengukuran

kualitas tidur, pengukurannya dengan cara mengisi kuesioner PSQI dengan

pembobotan tertentu. Index atau nilai tersebut yang nantinya akan

menggambarkan seberapa baikkah kualitas dari tidur seseorang.

7. Kualitas tidur pada pasien gagal jantung yang mengalami fatigue.

Gagal jantung merupakan penyakit yang signifikan dan merupakan ancaman

terhadap integritas pribadi, baik fisik dan nonfisik. Pada gagal jantung, keluhan

fisik terjadi dengan gejala, sesak nafas, sulit tidur, sementara penderitaan nonfisik

dapat terjadi gangguan dalam domain sosial kualitas hidup (Dyo,M, 2011). Tidur

merupakan bagian dari penyembuhan dan perbaikan suatu penyakit, sehingga

pasien lebih banyak membutuhkan waktu tidur. Saat tidur jantung yang sehat akan

menurun detakannya sampai 60 kali permenit, dimana jantung sehat rata-rata 70-

80 denyut per menit, selain itu juga menurunkan fungsi biologis otot, pernafasan

dan tekanan darah. Akan tetapi beberapa penyakit justru membuat pasien sulit
untuk mencapai kualitas tidur yang baik, seperti halnya ketidak nyamanan fisik,

suasana hati, dan kecemasan.

Masalah-masalah pada pasien gagal jantung dapat mempengaruhi kualitas tidur

pasien diantaranya, sesak nafas, tekanan arteri dan vena yang meningkat akibat

turunnya curah jantung, akibat peningkatan tekanan vena pulmonalis

menyebabkan cairan mengalir dari kapiler paru kealveoli, menyebabkan

terjadinya edema paru dengan manifestasi klinis batuk dan sesak nafas yang

menyebabkan pasien tidurnya terganggu. Penelitian yang dilakukan (Wang,T.J,

2010), skor rata-rata kualitas tidur 10,78 (SD = 4.78), yang diukur dengan

Pittsburgh Indeks Kualitas Tidur. Secara keseluruhan, 81% dari peserta

melaporkan kualitas tidur yang buruk, dan 31% tidak puas dengan kualitas tidur

mereka dengan masalah umum gangguan tidur adalah bangun untuk buang air

kecil di malam hari.

Manifestasi lain Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND) adalah episode akut sesak

nafas dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan

pasien dari tidurnya, biasanya terjadi 1 hingga 3 jam setelah pasien tertidur.

Manisfestasi PND antara lain batuk atau mengi, umumnya diakibatkan oleh

meningkatnya tekanan pada arteri bronchialis yang mengakibatkan kompresi jalan

nafas, disertai edema pada interumah sakititial paru yang mengakibatkan

meningkatnya resistensi jalan nafas. Keluhan orthopnea dapat berkurang dengan

duduk tegak pada sisi tempat tidur dengan kaki menggantung, pada pasien dengan
keluhan PND, keluhan batuk dan mengi yang menyertai seringkali tidak

menghilang, walau sudah mengambil posisi tersebut. Gejala PND relatif spesifik

untuk gagal jantung Cardiac Asthma (asma cardiale) berhubungan erat dengan

timbulnya PND, yang ditandai dengan timbulnya wheezing sekunder akibat

bronchospasme, hal ini harus dibedakan dengan asma primer dan penyebab

pulmoner wheezing lainnya (Shah,R.V, 2007)

Pasien dengan gagal jantung juga dapat muncul dengan gejala gastrointestinal.

Anorexia, nausea, dan rasa cepat kenyang yang dihubungkan dengan nyeri

abdominal dan kembung adalah gejala yang sering ditemukan, dan bisa jadi

berhubungan dengan edema dari dinding usus dan/atau kongesti hati. Kongesti

dari hati dan pelebaran kapsula hati dapat mengakibatkan nyeri pada kuadran

kanan atas. Gejala serebral seperti kebingungan, disorientasi, gangguan tidur dan

emosi dapat diamati pada pasien dengan gagal jantung berat, terutama pada pasien

lanjut usia dengan arteriosklerosis serebral dan berkurangnya perfusi serebral.

Nocturia juga umum ditemukan dan dapat memperberat keluhan insomnia

(Shah,R.V, 2007).

Penelitian Fitriyani (2015) terkait kualitas tidur, dari 31 responden pasien gagal

jantung (80,7%) mengalami kecemasan, dan (77,4%), mempunyai kualitas tidur

yang buruk. Zambroski et.al ( 2005 ), gejala yang umum pada pasien gagal

jantung diantaranya Fatigue (84,9%), mengantuk sepanjang hari (67,9%) dan

kualitas tidur kurang baik (64,2 %). Fatigue pada pasien gagal jantung berkorelasi
baik, pada wanita yang lebih tua dengan gagal jantung (Friedman & Raja, 1995;

Stephen, 2000).

8. Faktor yang mempengaruhi tidur.

Sejumlah faktor mempengaruhi kuantitas dan kualitas tidur. Seringkali faktor

tunggal tidak hanya menjadi penyebab masalah tidur. Faktor fisiologis,

psikologis, dan lingkungan dapat mengubah kualitas dan kuantitas tidur. Faktor-

faktor tersebut diantaranya adalah:

a. Penyakit fisik

Penyakit yang menimbulkan nyeri, ketidak nyamanan seperti sesak nafas,

posisi saat tidur, masalah suasana hati seperti kecemasan atau depresi, dapat

menyebabkan masalah tidur. Penyakit seperti penyakit jantung dengan

karakteristik nyeri, palpitasi, nocturia, PND, pasien hipertensi yang sering

terbangun pada pagi hari dan menimbulkan kelemahan.

b. Obat-obatan.

Beberapa obat tertentu ada yang berpengaruh terhadap pola tidur pasien

seperti obat diuretik menyebabkan nokturia, obat penyekat beta menyebabkan

insomnia dan masih banyak obat-obat yang akan berpengaruh terhadap

kebutuhan tidur.

c. Usia

Kebutuhan tidur akan berubah dan berkurang sejalan dengan bertambahnya

usia, kebutuhan anak lebih banyak dari lansia.

d. Gaya hidup
Rutinitas harian seseorang mempengaruhi pola tidur. Individu yang bekerja

bergantian berputar misalnya dua minggu siang diikuti oleh satu minggu

malam seringkali mempunyai kesulitan menyesuaikan perubahan jadwal tidur.

e. Lingkungan.

Lingkungan fisik tempat seseorang tidur berpengaruh penting pada

kemampuan untuk tertidur dan tetap tertidur. Ventilasi yang baik, ukuran,

kekerasan dan posisi tidur, suara yang terlalu bising berpengaruh sekali pada

seseorang yang mau tidur.

f. Stress emosional .

Kecemasan dan situasi yang tidak menyenangkan menyebabkan kurangnya

kualitas tidur atau memperburuk kualitas tidur, karena sering terjaga dan

mimpi buruk.

g. Latihan fisik dan fatigue.

Fatigue yang berlebihan atau meletihkan saat pasien latihan akan membuat

pasien sulit tidur, individu yang mengalami fatigue menengah (moderate),

biasanya memperoleh tidur yang tenang, terutama setelah melakukan aktivitas

yang menyenangkan.

h. Asupan makanan dan kalori.

Orang tidur lebih baik ketika sehat sehingga mengikuti kebiasaan makan yang

lebih baik. Makanan besar, berat dan berbumbu pada malam dapat
menyebabkan tidak dapat dicerna yang mengganggu tidur. Kafein dan alkohol

yang dikonsumsi pada malam hari mempunyai efek produksi insomnia

sehingga mengurangi atau menghindari zat tersebut secara drastis adalah

strategi yang sangat penting.

i. Religiusitas.

Jesse.N (2012), Religiusitas merupakan perawatan paliatif atau metode

alternatif, yang logis akan dicari pasien gagal jantung, untuk meningkatkan

kemampuan menghadapi kondisinya dengan dukungan spiritual. Hubungan

antara religiusitas dan takut akan kematian menyebabkan pasien slit tidur.

Disamping itu Ada hubungan yang signifikan antara skor PSQI dan empat

variabel demografis usia (p <0,004), jenis kelamin (p <0,04), tingkat

pendidikan (p <0,001) dan status pekerjaan (p <0,03), dan antara skor PSQI

dan lima variabel klinis jumlah rawat inap (p <0,001), jenis rujukan (p

<0,001), penggunaan diuretik (p <0,02) dan LVEF (p <0,015). Untuk

mengidentifikasi prediktor kualitas tidur.

9. Factor-factor yang mempengaruhi peningkatan kualitas tidur pada pasien

gagal jantung yang mengalami fatigue.

Implementasi yang dilakukan oleh perawat saat pasien gagal jantung mengalami

kesulitan atau gangguan tidur, dengan melakukan penyuluhan dan implementasi

keperawatan.

a. Implementasi keperawatan untuk meningkatkan kualitas tidur.


Kualitas tidur dapat meningkat dalam Nurumah sakiting Interventions

Clasification (NIC, 2015 dan Potter, 2010) dengan melakukan implementasi

Environment management (Manajemen lingkungan):

1) Ciptakan lingkungan yang aman dan nyaman untuk pasien: Control

kebisingan, pencahayaan, dan batasi pengunjung

2) Berikan tempat dan lingkungan yang berumah sakitih dan nyaman.

3) Berikan posisi yang membuat pasien nyaman.

4) Monitor jumlah dan kualitas tidur pasien

5) Menginstruksikan pasien untuk tidur pada waktunya

6) Mengidentifikasi penyebab kekurangan tidur pasien.

7) Diskusi tekhnik meningkatkan dengan pasien dan keluarga .

8) Bantu menghilangkan faktor stress sebelum waktu tidur.

9) Menyediakan tempat atau waktu tidur yang nyaman

10) Latihan fisik ringan, melenturkan otot.

11) Minum hangat sebelum tidur

12) Identifikasi penyebab gangguan tidur dan mengatasinya

13) Ciptakan lingkungan yang tenang kurangi kebisingan

14) Batasi cairan dan anjurkan berkemih sebelum tidur.

b. Upaya pasien untuk meningkatkan kualitas tidur

Menurut Orem adanya peran perawat sebagai pendidik atau konsultan dalam

meningkatkan kemampuan pasien sebagai self-care agent sehingga

diharapkan kemandirian pasien berangsur-angsur dapat terwujud. Perwujutan

ini dapat dilihat dengan apa yang telah dilakukan pasien untuk memenuhi
kebutuhan peningkatan kualitas tidur pada pasien gagal jantung yang

mengalami fatigue:

1) Lingkungan yang aman dan nyaman; tidak bising, pencahayaan redup, dan

batasi pengunjung.

2) Posisi tidur yang membuat pasien nyaman.

3) Tidur tepat pada waktunya.

4) Menghilangkan atau mengurangi faktor stress sebelum tiba waktu tidur.

5) Minum hangat sebelum tidur.

6) Tidak banyak minum pada malam hari.

7) Melakukan relaksasi.

8) Melakukan pemijatan

9) Menggunakan obat tidur

E. Konsep self care model Orem

1. Pengertian

Keperawatan mandiri (self care) yang dikemukakan Orem’s merupakan

pelaksanaan kegiatan yang dilakukan individu sendiri untuk memenuhi

kebutuhan mempertahankan kehidupan, kesehatan dan kesejahteraannya sesuai

keadaan, baik sehat maupun sakit (Aligood Tomey, 2010). Didasarkan untuk

hidup sehat, dapat membantu diri sendiri dalam mengatasi masalah kesehatannya

dengan baik, selama masih memungkinkan kondisisnya dan menekankan supaya

individu menjadi agen self care bagi dirinya (Hidayati, 2013).


Definisi self-care menurut (Riegel et. al 2004) adalah sebuah proses pengambilan

keputusan secara naturalistic terhadap pemilihan tingkah laku untuk

mempertahankan stabilitas fisiologi (self-care maintenance) dan respon terhadap

gejala yang dialami (self-care management). Self care didefinisikan sebagai

aktivitas praktek seseorang untuk berinisiatif dan menunjukan dengan kesadaran

dirinya sendiri untuk memelihara kehidupan, fungsi kesehatan, melanjutkan

perkembangan dirinya, dan kesejahteraan dengan menemukan kebutuhan untuk

pengaturan fungsi dan perkembangan (Alligood & Tomey, 2010). Jika dilakukan

secara efektif, upaya perawatan diri dapat memberikan konstribusi bagi integritas

struktural fungsi dan perkembangan manusia.

Area keperawatan medikal bedah merupakan salah satu area praktik keperawatan

untuk mengaplikasikan teori self-care Orem ini dimana aplikasi ini akan sesuai

dan penting sekali untuk pasien untuk aktif terlibat dalam perawatan dirinya.

Tujuan utama praktek keperawatan membantu pasien menyiapkan diri untuk

berperan serta secara adekuat dalam perawatan dirinya dengan cara

meningkatkan, pemenuhan kebutuhan dirinya, terhadap penurunan kecemasan

dan peningkatan kualitas tidur. Sebagai perawat, dapat melakukan hal tersebut

dengan membentuk hubungan saling percaya .menyediakan dukungan dan

edukasi, memperbolehkan pasien mengontrol beberapa situasi dengan berparumah

sakititipasi dalam pengambilan keputusan, dan mendorong untuk aktif

berparumah sakititipasi dalam treatmen penyakit gagal jantungnya.


Diagnosa keperawatan menurut NANDA terkait dengan peningkatan kesehatan

manajemen diri salah satu diagnosa yang ada kaitannya dengan manajement self

care fatigue. Perawat dapat membuat implementasi berdasarkan Nurumah

sakiting Care Plan untuk mengatasi masalah tersebut dengan terpenuhinya

kebutuhan kenyamanan dan kualitas tidur, sehingga pasien mampu melakukan

perawatan secara mandiri

Sistem perawatan didasarkan pada sistem kebutuhan perawatan mandiri dan

kemampuan individu melakukan aktivitas secara mandiri. Bila individu tidak

mampu melakukan perawatan diri berarti terdapat kesenjangan antara yang dapat

dilakukan individu (self care agency) dan apa yang dibutuhkan individu (self care

demand), sehingga diperlukanlah peran perawat supaya dapat berfungsi secara

optimal (Alligood & Tommey, 2010).

2. Kategori Sistem keperawatan self care Orem

Tindakan dilakukan perawat untuk memenuhi self care agency terdapat tiga

tingkatan/kategori (Alligood & Tommey, 2010):

a. Wholly Compensatory system

Suatu keadaan dimana individu tidak mampu melakukan tindakan perawatan

secara mandiri dan mengontrol pergerakan dalam penatalaksanaan medis

supaya tidak melakukan aktifitas.

Kategori yang termasuk didalamnya:

1) Tidak dapat melakukan tindakan perawatan diri secara mendiri.

2) Bisa melakukan aktivitas, tetapi tidak boleh karena kondisinya


3) Tidak mampu memberikan alasan perawatan diri, tapi dapat dengan

bimbingan, seperti pada pasien gangguan kognitif.

b. Partially Compensatory System

Merupakan situasi dimana perawat dan pasien berumah sakitama melakukan

aktivitas sehari-hari, perawatan diri atau ambulasi. Perawat mengambil alih

beberapa aktivitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam pemenuhan

kebutuhan perawatan dirinya, misalnya tingkat kecemasan dan kualitas tidur.

c. Supportif Educatif System

Merupakan kondisi dimana pasien mampu dan dapat belajar untuk melakukan

perawatan diri yang dibutuhkan, tetapi memerlukan bantuan. Pada sistem ini

pasien melakukan semua kebutuhan perawatan dirinya, tetapi pasien

membutuhkan bantuan untuk pembuatan keputusan, mengendalikan

perilakunya dan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan.

Tujuan dari penerapan teori self care Orem pada pasien gagal jantung yang

mengalami fatigue terhadap penurunan kecemasan dan peningkatan kualitas tidur,

terhadap manajement self care. Diharapkan pasien mampu memenuhi semua

kebutuhan perawatan dirinya dalam mengatasi masalah keperawatan penurunan

kecemasan dan peningkatan kualitas tidur secara mandiri.


F. Kerangka teori

Skema 2.2

PJK, kelainan katup, hipertensi


Kerangka Teo

Peningkatan
afterload/ preload

Gagal Jantung

Kongesti vascular pulmonal (


penimbunan cairan di alveolal)
Mekanisme Kongesti vascular
kompensasi sistemik
Kongesti Pulmonal : dyspnea,
krakels, takhipnea, orthopnea,
PND.. penyakit kronis, peny Tidur sering Peningkatan atau
jantung, takut mati penurunan Tekanan
terbangun darah, edema, asites,
hepatomegali, distensi
vena jugularis
Penurunan cardio Kecemasan /
output : takikardia, Penurunan
palpitasi, ansietas Kelelahan /
kualitas tidur
fatigue

Kelelahan / Self care deficit: (Self care


fatigue Orem) - Penurunan
kualitas tidur, kecemasan
kecemasan

Upaya pasien Tindakan keperawatan

Penurunan kecemasan dan


Peningkatan kualitas tidur

Sumber modifikasi: ( Blaks,M.J & Hawks,H.J, 2014;Guyto&Hall 2008;Smeltzer,S.C,2010;


Tomey Alligood, 201

Anda mungkin juga menyukai