Aging
Aging
Aging atau penuaan bukan hanya proses menjadi tua. Penuaan adalah apa yang membuat “tua
tidak sebaik baru” dan ketika laju kegagalan meningkat bersamaan dengan peningkatan usia,
orang menjadi sakit, lemah, dan kadang sekarat (Gavrilov, 2004). Aging atau penuaan secara
praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak
dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik
seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat
tergantung kesehatan masing-masing individu (Fowler, 2003).
Aging : menunjukan efek waktu, suatu prosesperubahan, biasanya bertahap dan spontan
Senescence : hilangnya kemampuan sel untukmembelah dan berkembang seiring waktuakan
menyebabkan kematian
Homeostenosis : penyempitan/berkurangnyacadangan homeostasis yang terjadi
selamapenuaan pada setiap sistem organ
Definisi aging
Definisi aging menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine) adalah kelemahan dan
kegagalan fisik-mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi
fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz,
2003). Webster’s New World Dictionary mendefinisikan aging sebagai proses menjadi tua atau
menunjukkan tanda-tanda menjadi tua. Kenyataannya aging dapat dibagi menjadi dua konsep
yang berbeda, yaitu: usia kronologis dan usia biologis.
Pada saat merayakan hari ulang tahun (merayakan usia kronologis), kadang benar bahwa
penampilan sistem tubuh seseorang, dari fungsi mental hingga penampilan seksual sampai
kekuatan fisik, lebih baik atau lebih buruk dari yang diperkirakan jika dibandingkan dengan
orang yang seusianya (ini adalah contoh usia biologis) (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila,
2007).
1. TEORI PENUAAN
1.1.9. Teori Umur Panjang dan Penuaan (Longevity and Senescence Theories)
Palmore (1987) mengemukakan dari beberapa hasil studi, terdapat faktor-faktor tambahan
berikut yang dianggap berkontribusi untuk umur panjang: tertawa; ambisi rendah, rutin setiap
hari, percaya pada Tuhan; hubungan keluarga baik, kebebasan dan kemerdekaan; terorganisir,
perilaku yang memiliki tujuan, dan pandangan hidup positif. Wacana yang timbul dari teori ini
adalah sindrom penuaan merupakan sesuatu yang universal, progresif, dan berakhir dengan
kematian.5
1.1.10. Teori Harapan Hidup Aktif dan Kesehatan Fungsional
Penyedia layanan kesehatan juga tertarik dalam masalah ini karena kualitas hidup tergantung
secara signifikan berkaitan dengan tingkat fungsi. pendekatan fungsional perawatan pada lansis
menekankan pada hubungan yang kompleks antara biologis, sosial, dan psikologis yang
mempengaruhi kemampuan fungsional seseorang dan kesejahteraannya.
2.1.1.1. Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi. Kerusakan ini
terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami
sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak
dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf-huruf yang kecil dan
kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
2.1.1.2. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil mengalami
sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi
penglihatan perifer pada tingkat tertentu.
2.1.1.3. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat
menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah penglihatan menjadi kabur yang
mengakibatkan kesukaran dalam membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan
sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam
persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan dalam
persepsi warna.
2.1.1.4. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata berpotensi terjadi
sindrom mata kering.
2.1.2. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat mempengaruhi kualitas
hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua:
2.1.2.1. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena
telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi
perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap.
Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara
dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).
2.1.2.2. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani,
pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari
hal ini adalah gangguan konduksi suara.
2.1.2.3. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis
dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen
sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.
2.1.3. Perabaan
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional apabila terdapat
gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi
taktil karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik
sewaktu muda dan tidak mrngundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum
terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.
2.1.4. Pengecapan
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah tua
mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang
terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau
kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis,
asam, asin, dan pahit) berkurang.
2.1.5. Penciuman
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang mudah
menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau
kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap
sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok,
obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas
terhadap bau.
2.2.2. Epidermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada epidermis akibat proses menua:
2.2.2.1. Jumlah sel basal menjadi lebih sedikit , perlambatan dalam proses perbaikan sel, dan
penurunan jumlah kedalaman rete ridge. Implikasi dari hal ini adalah pengurangan kontak antara
epidermis dan dermis sehingga mudah terjadi pemisahan antar lapisan kulit, menyebabkan
kerusakan dan merupakan faktor predisposisi terjadinya infeksi.
2.2.2.2. Terjadi penurunan jumlah melanosit. Implikasi dari hal ini adalah perlindungan terhadap
sinar ultraviolet berkurang dan terjadinya pigmentasi yang tidal merata pada kulit.
2.2.2.3. Penurunan jumlah sel langerhans sehingga menyebabkan penurunan konpetensi imun.
Implikasi dari hal ini adalah respon terhadap pemeriksaan kulit terhadap alergen berkurang.
2.2.2.4. Kerusakan struktur nukleus keratinosit. Implikasi dari hal ini adalah perubahan
kecepatan poliferasi sel yang menyebabkan pertumbuhan yang abnormal seperti keratosis
seboroik dan lesi kulit papilomatosa.
2.2.3. Dermis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada dermis akibat proses menua:
2.2.3.1. Volume dermal mengalami penurunan yang menyebabkan penipisan dermal dan jumlah
sel berkurang. Implikasi dari hal ini adalah lansia rentan terhadap penurunan termoregulasi,
penutupan dan penyembuhan luka lambat, penurunan respon inflamasi, dan penurunan absorbsi
kulit terhadap zat-zat topikal.
2.2.3.2. Penghancuran serabut elastis dan jaringan kolagen oleh enzim-enzim. Implikasi dari hal
ini adalah perubahan dalam penglihatan karena adanya kantung dan pengeriputan disekitar mata,
turgor kulit menghilang.
2.2.3.3. Vaskularisasi menurun dengan sedikit pembuluh darah kecil. Implikasi dari hal ini
adalah kulit tampak lebih pucat dan kurang mampu malakukan termoregulasi.
2.2.4. Subkutis
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada subkutis akibat proses menua:
2.2.4.1. Lapisan jaringan subkutan mengalami penipisan. Implikasi dari hal ini adalah
penampilan kulit yang kendur/ menggantung di atas tulang rangka.
2.2.4.2. Distribusi kembali dan penurunan lemak tubuh. Implikasi dari hal ini adalah gangguan
fungsi perlindungan dari kulit.1
2.3.3. Sendi
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua:
2.3.3.1. Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri,
inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas.
2.3.3.2. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera.
2.10.2. Wanita
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses
menua:
2.10.2.1. Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan
payudara dan genital.
2.10.2.2. Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa
tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis.
Batas-Batas Lanjut Usia.
Batasan usia menurut WHO meliputi :
usia pertengahan (middle age), yaitu kelompok usia 45 sampai 59 tahun
lanjut usia (elderly), antara 60 sampai 74 tahun
lanjut usia tua (old), antara 75 sampai 90 tahun
usia sangat tua (very old), diatas 90 tahun
Karakteristik Pasien Geriatri dan Sindrom Geriatri
Pasien geriatri adalah pasien usia lanjut yang memiliki karakteristik khusus yang
membedakannya dari pasien usia lanjut pada umumnya. Karakteristik pasien geriatri yang
pertama adalah multipatologi, yaitu adanya lebih dari satu penyakit kronis degeneratif.
Karakteristik kedua adalah daya cadangan faali menurun karena menurunnya fungsi organ
akibat proses menua. Karakteristik yang ketiga adalah gejala dan tanda penyakit yang tidak
khas. Tampilan gejala yang tidak khas seringkali mengaburkan penyakit yang diderita pasien.
Karakteristik berikutnya adalah penurunan status fungsional yang merupakan kemampuan
seseorang untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Penurunan status fungsional menyebabkan
pasien geriatri berada pada kondisi imobilisasi yang berakibat ketergantungan pada orang lain.
Karakteristik khusus pasien geriatri yang sering dijumpai di Indonesia ialah malnutrisi. Setiati et
al12 melaporkan malnutrisi merupakan sindrom geriatri terbanyak pada pasien usia lanjut yang
dirawat (42,6%) di 14 rumah sakit.
Sindrom Geriatri
Masalah yang sering dijumpai pada pasien geriatri adalah sindrom geriatri yang meliputi: imobilisasi,
instabilitas, inkontinensia, insomnia, depresi, infeksi, defisiensi imun, gangguan pendengaran dan
penglihatan, gangguan intelektual, kolon irritable, impecunity, dan impotensi.
Imobilisasi adalah keadaan tidak bergerak/ tirah baring selama 3 hari atau lebih, diiringi gerak
anatomis tubuh yang menghilang akibat perubahan fungsi fisiologis. Imobilisasi menyebabkan
komplikasi lain yang lebih besar pada pasien usia lanjut bila tidak ditangani dengan baik. Gangguan
keseimbangan (instabilitas) akan memudahkan pasien geriatri terjatuh dan dapat mengalami patah
tulang.
Inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada waktu yang tidak
dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, sehingga mengakibatkan masalah sosial dan
higienis. Inkontinensia urin seringkali tidak dilaporkan oleh pasien atau keluarganya karena malu atau tabu
untuk diceritakan, ketidaktahuan dan menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar pada orang usia lanjut
serta tidak perlu diobati. Prevalensi inkontinensia urin di Indonesia pada pasien geriatri yang dirawat mencapai
28,3%. Biaya yang dikeluarkan terkait masalah inkontinensia urin di poli rawat jalan Rp 2.850.000,- per tahun
per pasien.13 Masalah inkontinensia urin umumnya dapat diatasi dengan baik jika dipahami pendekatan klinis
dan pengelolaannya.
Insomnia merupakan gangguan tidur yang sering dijumpai pada pasien geriatri. Umumnya mereka
mengeluh bahwa tidurnya tidak memuaskan dan sulit memertahankan kondisi tidur. Sekitar 57% orang
usia lanjut di komunitas mengalami insomnia kronis, 30% pasien usia lanjut mengeluh tetap terjaga
sepanjang malam, 19% mengeluh bangun terlalu pagi, dan 19% mengalami kesulitan untuk tertidur.
Gangguan depresi pada usia lanjut kurang dipahami sehingga banyak kasus tidak dikenali. Gejala
depresi pada usia lanjut seringkali dianggap sebagai bagian dari proses menua. Prevalensi depresi pada
pasien geriatri yang dirawat mencapai 17,5%. 12 Deteksi dini depresi dan penanganan segera sangat penting
untuk mencegah disabilitas yang dapat menyebabkan komplikasi lain yang lebih berat.
Infeksi sangat erat kaitannya dengan penurunan fungsi sistem imun pada usia lanjut. Infeksi
yang sering dijumpai adalah infeksi saluran kemih, pneumonia, sepsis, dan meningitis. Kondisi lain
seperti kurang gizi, multipatologi, dan faktor lingkungan memudahkan usia lanjut terkena infeksi.
Gangguan penglihatan dan pendengaran juga sering dianggap sebagai hal yang biasa akibat
proses menua. Prevalensi gangguan penglihatan pada pasien geriatri yang dirawat di Indonesia
mencapai 24,8%.12 Gangguan penglihatan berhubungan dengan penurunan kegiatan waktu
senggang, status fungsional, fungsi sosial, dan mobilitas. Gangguan penglihatan dan pendengaran
berhubungan dengan kualitas hidup, meningkatkan disabilitas fisik, ketidakseimbangan, jatuh,
fraktur panggul, dan mortalitas.
Pasien geriatri sering disertai penyakit kronis degeneratif. Masalah yang muncul sering tumpang
tindih dengan gejala yang sudah lama diderita sehingga tampilan gejala menjadi tidak jelas. Penyakit
degeneratif yang banyak dijumpai pada pasien geriatri adalah hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia,
osteoartritis, dan penyakit kardiovaskular. Penelitian multisenter di Indonesia terhadap 544 pasien geriatri yang
dirawat inap mendapatkan prevalensi hipertensi dan diabetes melitus sebesar 50,2% dan 27,2%. 12
Kondisi multipatologi mengakibatkan seorang usia lanjut mendapatkan berbagai jenis obat dalam jumlah
banyak. Terapi non-farmakologi dapat menjadi pilihan untuk mengatasi masalah pada pasien usia lanjut,
namun obat tetap menjadi pilihan utama sehingga polifarmasi sangat sulit dihindari. Prinsip penggunaan
obat yang benar dan tepat pada usia lanjut harus menjadi kajian multi/interdisiplin yang mengedepankan
pendekatan secara holistik.
Peran pemenuhan kebutuhan gizi untuk mempertahankan kkesehatan dan kebugaran
sertamemperlambat timbulnya penyakit degenaratif sehingga menjamin hari tua tetap sehat dan
aktif.
Masalah yang sering dihadapi : penurunan alat penciuman dan pengecapan, pengunyahankurang
sempurna, rasa kurang nyaman saat makan karena gigi tidak lengkap, rasa penuhdiperut dan
kesukaran BAB karena melemahnya otot lambung dan peristaltik usus sehingganafsu makan
berkurang.
Menolak makan/makan berlebihan akibat kecemasan dan putus asa akibat gangguan
tugasperkembangan
Intervensi :
Berikan makanan porsi kecil tapi sering.
Berikan banyak minum dan kurangi makan.
Usahakan makanan banyak mengandung serat.
Batasai makanan yang mengandung kalori (gula, makanan manis, minyak, makanan
berlemak).
Kebutuhan kalori laki-laki 2100 kalori, wanita 1700 kalori
KH 60% dari jumlah kalori
Lemak 15 – 20%
Protein 20 – 25%
Vitamin dan mineral > kebutuhan usia muda.
Air 6 – 8 gelang/hari.
Membatasi minum kopi dan teh
Interpretasi hasil :
20 : Mandiri
12-19 : Ketergantungan Ringan
9-11 : Ketergantungan Sedang
5-8 : Ketergantungan Berat
0-4 : Ketergantungan Tota
1) Brokoli
Brokoli dapat meningkatkan imunitas serta pembentukan sel dalam tubuh melalui
kandungan asam foliknya terkenal berkhasiat melawan kanker terutama kanker payudara,
cervix (kanker mulut rahim) colon dan paru paru. Brokoli juga kaya akan chromium yang
bermanfaat membantu mengatur insulin dan gula darah dalam tubuh. Selain itu, brokoli juga
dapat mencegah penyakit jantung dan osteoporosis serta mampu memperlambat penuaan
dini.
2) Pepaya
Dengan kandungan Vitamin C dan karotenoid, pepaya dapat mempertahankan tekanan darah
anda dalam kondisi yang normal. Di dalam buah pepaya segar terdapat sebuah enzim yang
menjadi katalisator penambah kecepatan reaksi dalam tubuh. Pepaya juga membantu
mencerna daging dan tepung sehingga memperlancar pencernaan, juga membantu menjaga
daya tahan tubuh dan mencegah memar.
3) Bawang Putih
Bawang putih dipercaya dapat membunuh parasit, bakteri dan virus melalui kandungan
Alicin dan Selenium. Mengkonsumsi bawang putih secara teratur dapat menghalangi
terjadinya penyumbatan pada arteri, meningkatkan sistem imunitas tubuh serta mengontrol
tekanan darah. Selain dapat menurunkan kadar kolesterol, bawang putih juga memiliki zat
anti kanker, dapat menyembuhkan radang otak, mengurangi sakit pada persendian,
menambah energi, meningkatkan nafsu makan dan libido.
4) Kacang Kedelai
Mutu protein kacang kedelai hampir setara dengan mutu protein pada daging. Kedelai ini
kaya akan isoflavonoids yang berguna untuk mencegah kanker, dapat meningkatkan kadar
estrogen pada wanita, mencegah kanker, memperkuat tulang, menurunkan kadar kolesterol.
5) Tomat
Kandungan lycopene dan vitamin C sebagai antioksidan dalam tomat dapat meminimalkan
resiko kanker (terutama kanker pankreas) serta mencegah peradangan usus buntu. Lycopene
pada tomat merupakan antioksidan yang dahsyat dalam menetralisir radikal bebas perusak
sel-sel kulit, tomat juga mengandung chlorine yang berfungsi untuk merangsang hati untuk
menyaring sisa bahan beracun dan menjaga hati dari peradangan. Tomat juga mencegah
penyakit jantung dan menjaga tekanan darah.
6) Semangka
Kandungan airnya yang mencapai 90% sangat baik untuk mengganti cairan tubuh yang
hilang. Vitamin A dan C yang terkandung di dalamnya juga mempercepat penyembuhan
luka, menjaga gusi tetap sehat, mencegah memar, dan meningkatkan imunitas.
7) Bayam
Bayam penuh kandungan lutein dan zeaxanthin, antioksidan yang melindungi retina dari
degenerasi makular yang datang dengan bertambahnya usia.
8) Alpukat
Peneliti dari University of Ohio mengatakan lemak baik dalam alpukat bisa meningkatkan
kemampuan tubuh dalam menyerap zat karotenoid. Sebaiknya, Anda mengonsumsi 43 gram
alpukat saja, agar terhindar dari kelebihan kalori. Jika memungkinkan, pilihlah alpukat
mentega, karena mengandung lebih banyak lemak tak jenuh tunggal.
9) Wortel
Kandungan beta-karoten atau pro-vitamin A pada wortel berperan sebagai antioksidan yang
melindungi tubuh dari berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung dan kanker. Selain
itu vitamin A yang terkandung dalam wortel ini juga dapat melindungi mata dari kerusakan
akibat proses penuaaan.
Beberapa faktor dan obat-obat yang dapat digunakan sebagai antiaging, antara lain:
1) Restriksi kalori
Diit adalah faktor lingkungan yang berperan penting untuk mencegah proses penuaan.
Pembatasan asupan kalori akan mengakibatkan enersi dialihkan untuk mempertahankan
fungsi sel dan memperbaiki kerusakan sel serta mengurangi produksi radikal bebas (Merry.,
2002, Martin et al., 2006). Menurut penelitian Bishop et al (2007) pada C.elegans, kalori
restriksi dapat meningkatkan respirasi dan metabolisme pada jaringan perifer sehingga dapat
meningkatkan kemampuan hidupnya (Bishop et al., 2007). Efek dari kalori restriksi adalah:
mengurangi produksi radikal bebas, memperbaiki kerusakan sel, meningkatkan kadar BDNF
dan menekan expresi gen penuaan (Prolla et al ., 2001)
2) Olah raga, exercise yang teratur dapat menghambat pemendekan telomer (Cotman., 2002)
3) Pendidikan yang berkelanjutan (Shenkin., 2003, Staff., 2004)
4) Rangsangan kognisi (Lazarov., 2005)
5) Peningkatan asupan polyunsaturated fatty acids, seperti Omega 3 (Kyle., 2002)
6) Vitamin B6, B12 dan asam folat (Elias., 2006).
7) Meditasi (Khalsa., 1998)
8) Cukup tidur
Kurang tidur akan meningkatkan radikal bebas dan juga mengakibatkan menurunnya
produksi growth hormon. Pada usai tua terjadi penurunan produksi melatonin yang
mengakibatkan proses tidur kurang berkualitas, hal ini akan mengakibatkan gangguan
konsentrasi dan penurunan fungsi memori (Karasek., 2004).
9) Statin
Statin dapat meningkatkan eNOS, menghambat respon inflamasi, mempunyai efek
antioksidan, memperbaiki fungsi endotel, dan menurunkan aktivasi platelet. Pada
Alzheimer, terjadinya komplex beta amyloid dan Cu2+ merupakan katalisator dari H2O2 yang
merupakan hasil dari oksidasi cholesterol. Baik H2O2 dan kompleks A-Cu sangat berperan
terjadinya degenerasi sel (Puglielli et al., 2005, DeKosky., 2005). Penelitian secara klinis
menunjukkan bahwa atorvastatin bermakna untuk penderita Alzheimer serta dapat
memperbaiki fungsi kognisi (Spark et al., 2006, Parale et al., 2005).
10) Mengkonsumsi wine, karena kulit dan biji anggur mengandung resveratrol (3,5,4-
trihydroxystilbene) yang dapat meningkatkan sensitivitas dari insulin, menurunkan insulin-
like growth factor-1 (IGF-1), meningkatkan AMP-activated protein kinase (AMPK) dan
peroxisome proliferator-activated receptor-coactivator1 (PGC-1), serta meningkatkan
aktivitas mitokhondria (Baur etal., 2007).
11) Sildenafil, suatu PDE-5-inhibitor dapat meningkatkan plasma nitrik oksida (NO), cAMP,
menghambat hidrolisis cGMP, merangsang forforilai Akt (Li et al., 2007).
http://indoneuroscience.blogspot.com/2008/08/anti-aging-by-fenny-l-yudairto-md-phd.html
Anti aging by Fenny L. Yudairto MD., PhD
FARMAKOKINETIK
Pada usia lanjut perubahan terjadi pada saluran cerna yang diduga mengubah absorbsi
obat, misalnya meningkatnya pH lambung, menurunnya aliran darah ke usus akibat
penurunan curah jantung dan perubahan waktu pengosongan lambung dan gerak saluran
cerna. Oleh karena itu, kecepatan dan tingkat absorbsi obat tidak berubah pada usia lanjut,
kecuali pada beberapa obat seperti fenotain, barbiturat, dan prozasin (Bustami, 2001).
Pada distribusi obat terdapat hubungan antara penyebaran obat dalam cairan tubuh dan
ikatannya dengan protein plasma (biasanya dengan albumin, tetapi pada beberapa obat dengan
protein lain seperti asam alfa 1 protein), dengan sel darah merah dan jaringan tubuh termasuk
organ target. Pada usia lanjut terdapat penurunan yang berarti pada massa tubuh tanpa lemak
dan cairan tubuh total, penambahan lemak tubuh dan penurunan albumin plasma. Penurunan
albumin sedikit sekali terjadi pada lansia yang sehat dapat lebih menjadi berarti bila terjadi
pada lansia yang sakit, bergizi buruk atau sangat lemah. Selain itu juga dapat menyebabkan
meningkatnya fraksi obat bebas dan aktif pada beberapa obat dan kadang-kadang membuat
efek obat lebih nyata tetapi eliminasi lebih cepat.
Munculnya efek obat sangat ditentukan oleh kecapatan penyerapan dan cara
penyebarannya. Durasi (lama berlangsungnya efek) lebih banyak dipengaruhi oleh kecepatan
ekskresi obat terutama oleh penguraian di hati yang biasanya membuat obat menjadi lebih
larut dalam air dan menjadi metabolit yang kurang aktif atau dengan ekskresi metabolitnya
oleh ginjal. Sejumlah obat sangat mudah diekskresi oleh hati, antara lain melalui ambilan
(uptake) oleh reseptor dihati dan melalui metabolisme sehingga bersihannya tergantung pada
kecepatan pengiriman ke hati oleh darah. Pada usia lanjut, penurunan aliran darah ke hati dan
juga kemungkinan pengurangan ekskresi obat yang tinggi terjadi pada labetolol, lidokain,
dan propanolol.
Efek usia pada ginjal berpengaruh besar pada ekskresi beberapa obat. Umumnya obat
diekskresi melalui filtrasi glomerolus yang sederhana dan kecepatan ekskresinya berkaitan
dengan kecepatan filtrasi glomerolus (oleh karena itu berhubungan juga dengan bersihan
kreatinin). Misalnya digoksin dan antibiotik golongan aminoglikosida. Pada usia lanjut,
fungsi ginjal berkurang, begitu juga dengan aliran darah ke ginjal sehingga kecepatan filtrasi
glomerolus berkurang sekitar 30 % dibandingkan pada orang yang lebih muda. Akan tetapi,
kisarannya cukup lebar dan banyak lansia yang fungsi glomerolusnya tetap normal. Fungsi
tubulus juga memburuk akibat bertambahnya usia dan obat semacam penicilin dan litium,
yang secara aktif disekresi oleh tubulus ginjal, mengalami penurunan faali glomerolus dan
tubulus (Bustami, 2001).
INTERAKSI FARMAKOKINETIK
1. Fungsi Ginjal
Perubahan paling berarti saat memasuki usia lanjut ialah berkurangnya fungsi ginjal dan
menurunnya creatinine clearance, walaupun tidak terdapat penyakit ginjal atau kadar
kreatininnya normal. Hal ini menyebabkan ekskresi obat sering berkurang, sehingga
memperpanjang intensitas kerjanya. Obat yang mempunyai half-life panjang perlu diberi
dalam dosis lebih kecil bila efek sampingnya berbahaya. Dua obat yang sering diberikan
kepada lansia ialah glibenklamid dan digoksin. Glibenklamid, obat diabetes dengan masa
kerja panjang (tergantung besarnya dosis) misalnya, perlu diberikan dengan dosis terbagi
yang lebih kecil ketimbang dosis tunggal besar yang dianjurkan produsen. Digoksin juga
mempunyai waktu-paruh panjang dan merupakan obat lansia yang menimbulkan efek
samping terbanyak di Jerman karena dokter Jerman memakainya berlebihan, walaupun
sekarang digoksin sudah digantikan dengan furosemid untuk mengobati payah jantung
sebagai first-line drug (Darmansjah, 1994).
Karena kreatinin tidak bisa dipakai sebagai kriteria fungsi ginjal, maka harus
digunakan nilai creatinine-clearance untuk memperkirakan dosis obat yang renal-toxic,
misalnya aminoglikoside seperti gentamisin. Penyakit akut seperti infark miokard dan
pielonefritis akut juga sering menyebabkan penurunan fungsi ginjal dan ekskresi obat.
Dosis yang lebih kecil diberikan bila terjadi penurunan fungsi ginjal, khususnya bila
memberi obat yang mempunyai batas keamanan yang sempit. Alopurinol dan petidin, dua
obat yang sering digunakan pada lansia dapat memproduksi metabolit aktif, sehingga
kedua obat ini juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil pada lansia.
2. Fungsi Hati
Hati memiliki kapasitas yang lebih besar daripada ginjal, sehingga penurunan fungsinya
tidak begitu berpengaruh. Ini tentu terjadi hingga suatu batas. Batas ini lebih sulit
ditentukan karena peninggian nilai ALT tidak seperti penurunan creatinine-clearance.
ALT tidak mencerminkan fungsi tetapi lebih merupakan marker kerusakan sel hati dan
karena kapasitas hati sangat besar, kerusakan sebagian sel dapat diambil alih oleh sel-sel
hati yang sehat. ALT juga tidak bisa dipakai sebagai parameter kapan perlu membatasi
obat tertentu. Hanya anjuran umum bisa diberlakukan bila ALT melebihi 2-3 kali nilai
normal sebaiknya mengganti obat dengan yang tidak dimetabolisme oleh hati. Misalnya
pemakaian methylprednisolon, prednison dimetabolisme menjadi prednisolon oleh hati.
Hal ini tidak begitu perlu untuk dilakukan bila dosis prednison normal atau bila hati
berfungsi normal. Kejenuhan metabolisme oleh hati bisa terjadi bila diperlukan bantuan
hati untuk metabolisme dengan obat-obat tertentu.
First-pass effect dan pengikatan obat oleh protein (protein-binding) berpengaruh
penting secara farmakokinetik. Obat yang diberikan oral diserap oleh usus dan sebagian
terbesar akan melalui Vena porta dan langsung masuk ke hati sebelum memasuki
sirkulasi umum. Hati akan melakukan metabolisme obat yang disebut first-pass effect dan
mekanisme ini dapat mengurangi kadar plasma hingga 30% atau lebih. Kadar yang
kemudian ditemukan dalam plasma merupakan bioavailability suatu produk yang
dinyatakan dalam prosentase dari dosis yang ditelan. Obat yang diberikan secara intra-
vena tidak akan melalui hati dahulu tapi langsung masuk dalam sirkulasi umum. Karena
itu untuk obat-obat tertentu yang mengalami first-pass effect dosis IV sering jauh lebih
kecil daripada dosis oral.
Protein-binding juga dapat menimbulkan efek samping serius. Obat yang diikat
banyak oleh protein dapat digeser oleh obat lain yang berkompetisi untuk ikatan dengan
protein seperti aspirin, sehingga kadar aktif obat pertama meninggi sekali dalam darah
dan menimbulkan efek samping. Warfarin, misalnya, diikat oleh protein (albumin)
sebanyak 99% dan hanya 1% merupakan bagian yang bebas dan aktif. Proses redistribusi
menyebabkan 1% ini dipertahankan selama obat bekerja. Bila kemudian diberi aspirin
yang 80-90% diikat oleh protein, aspirin menggeser ikatan warfarin kepada protein
sehingga kadar warfarin-bebas naik mendadak, yang akhirnya menimbulkan efek
samping perdarahan spontan. Aspirin sebagai antiplatelet juga akan menambah intensitas
perdarahan. Hal ini juga dapat terjadi pada aspirin yang mempunyai waktu-paruh plasma
hanya 15 menit. Sebagian besar mungkin tidak berpengaruh secara klinis, tetapi untuk
obat yang batas keamanannya sempit dapat membahayakan penderita (Boestami, 2001)
FARMAKODINAMIK
Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh. Respon seluler pada lansia secara
keseluruhan akan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada respon homeostatik yang
berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang proses
biokimia selular, intensitas pengaruhnya akan menurun misalnya agonis untuk terapi asma
bronkial diperlukan dosis yang lebih besar, padahal jika dosisnya besar maka efek sampingnya
akan besar juga sehingga index terapi obat menurun. Sedangkan obat-obat yang kerjanya
menghambat proses biokimia seluler, pengaruhnya akan terlihat bila mekanisme regulasi
homeostatis melemah (Boedi, 2006)
INTERAKSI FARMAKODINAMIK
Interkasi farmakodinamik pada usia lanjut dapat menyebabkan respons reseptor obat dan
target organ berubah, sehingga sensitivitas terhadap efek obat menjadi lain. Ini menyebabkan
kadang dosis harus disesuaikan dan sering harus dikurangi. Misalnya opiod dan benzodiazepin
menimbulkan efek yang sangat nyata terhadap susunan saraf pusat. Benzodiazepin dalam dosis
“normal” dapat menimbulkan rasa ngantuk dan tidur berkepanjangan. Antihistamin sedatif
seperti klorfeniramin (CTM) juga perlu diberi dalam dosis lebih kecil (tablet 4 mg memang
terlalu besar) pada lansia.
Mekanisme terhadap baroreseptor biasanya kurang sempurna pada usia lanjut, sehingga
obat antihipertensi seperti prazosin, suatu α1 adrenergic blocker, dapat menimbulkan hipotensi
ortostatik; antihipertensi lain, diuretik furosemide dan antidepresan trisiklik dapat juga
menyebabkannya (Darmansjah, 1994)