A. PENGERTIAN
COPD adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif non reversible atau revesibel parsial. COPD merupakan
gabungan dari bronkitis kronik, emfisema atau gabungan keduanya. (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003)
COPD adalah sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara ( Price, 2006)
B. ETIOLOGI
a. Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama, disertai resiko tambahan
akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien memiliki asma
kronis yang tidak terdiagnosisdan tidak diobati.
b. Genetik: defisiensi anitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya COPD. Di
Amerika Serikat, iritasi yang paling umum yang menyebabkan COPD adalah asap
rokok. Pipa, cerutu, dan jenis-jenis asap rokok juga dapat menyebabkan COPD, terutama
jika asap yang dihirup.(National Heart Lung and Blood.2010)
C. FAKTOR RESIKO
1. Jenis kelamin laki-laki berisiko 2x lebih banyak dari wanita
2. Kebiasaan merokok (laki-laki diatas 15 tahun 60-70% lebih berisiko). Kebiasaan
merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
• Perokok aktif
• Perokok pasif
• Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
ratarata batang rokokdihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
• Ringan : 0-200
• Sedang : 200-600
• Berat : >600
3. Riwayat terpajan polusi udara di tempat kerja atau lingkungan
4. Hipereaktiviti bronkus
5. Riwayat Infeksi saluran nafas bawah berulang
6. Defisiensi antitripsin alfa – 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
D. PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas. Fungsi
paruparu menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh
darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya
dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor-faktor risiko
tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan
kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi
bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak
terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang
menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada
awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase
ekspirasi. Fungsifungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).
E. TANDA DANGEJALA
Gejala COPD dapat berkisar dari ringan sampai berat, tergantung pada bagaimana
lanjutan penyakit. PPOK, atau penyakit paru obstruktif kronik, adalah penyakit paru-paru
ditandai oleh penyumbatan atau penyempitan saluran udara. Ini adalah proses ireversibel
yang biasanya disebabkan oleh iritasi saluran napas, seperti merokok, perokok pasif, polusi
udara atau pemaparan dalam pekerjaan.
1. Dispnea
Juga dikenal sebagai sesak napas, dyspnea adalah akibat kelaparan udara yang
menyebabkan sulit atau bekerja pernapasan. Hal ini terutama disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam aliran darah dan secara langsung berkaitan dengan gangguan
di paru-paru seperti COPD.
2. Batuk kronis
Jenis batuk jangka panjang dan tampaknya tidak pergi. Batuk adalah mekanisme
pertahanan yang dikembangkan oleh tubuh dalam upaya untuk membersihkan saluran
napas dari lendir, menghirup zat beracun, benda asing atau jenis lain dari iritasi. Batuk
produktif membersihkan lendir dari paru-paru, sedangkan batuk tidak produktif tidak
mudah menghasilkan lendir. Batuk adalah salah satu gejala paling umum dari COPD.
3. Peningkatan produksi sputum
Dahak, atau lendir, adalah zat yang diproduksi dari paru-paru yang biasanya dikeluarkan
melalui batuk atau membersihkan tenggorokan. Jumlah berlebihan dahak dapat dikaitkan
dengan peradangan atau infeksi saluran pernapasan dan mungkin menunjukkan PPOK.
Warna dan konsistensi sputum tubuh Anda memproduksi bisa berhubungan dengan jenis
COPD yang mungkin Anda miliki, dan biasanya dokter akan meminta Anda untuk
menggambarkannya. Tenaga kesehatan juga dapat meminta sampel dahak dari Anda
untuk membantu diagnosis.
4. Mengi
Sering digambarkan sebagai suara siulan terdengar selama inhalasi atau pernafasan,
mengi disebabkan oleh penyempitan atau penyumbatan saluran udara. Sering kali,
mengi dapat menjadi begitu umum bahwa Anda dapat mendengarnya tanpa bantuan
stetoskop.
5. Nyeri Dada
Sesak di dada dapat digambarkan sebagai perasaan tekanan di dalam dinding dada yang
membuat pernapasan otomatis sulit. Kadang-kadang, sesak ini membuat pernafasan
respirasi menyebabkan menyakitkan harus singkat dan dangkal. Sesak dada dapat
disebabkan oleh infeksi paru-paru dan seringkali dihubungkan dengan COPD.
6. Kelelahan
Berbeda dengan kelelahan biasa, kelelahan adalah gejala yang sering kurang dipahami
dan sering kali dilaporkan di PPOK sebagai fokus cenderung turun pada gejala dikenali
lebih seperti dispnea dan batuk kronis. Tapi, karena kelelahan hampir 3 kali lebih besar
pada mereka yang memiliki penyakit paru-paru dibandingkan pada orang sehat, itu
adalah penting untuk mengenali gejala.
7. Clubbing dari Fingers
Clubbing adalah tanda jangka panjang kekurangan oksigen dan berhubungan dengan
sejumlah macam penyakit, termasuk PPOK. Awalnya, ia mewujudkan dirinya sebagai
sponginess dari kuku bersama dengan hilangnya sudut kuku, menyebabkan kuku
melengkung ke bawah.
8. Hemoptisis
Gejala dari kedua paru-paru dan masalah jantung, hemoptysis didefinisikan sebagai batuk
sampai darah dari paru-paru yang berbusa dan dicampur dengan lendir. Pada PPOK,
penyebab paling umum adalah infeksi pada paru-paru. Penting untuk dicatat bahwa
jumlah darah yang batuk tidak selalu mencerminkan keseriusan penyebabnya.
9. Sianosis
Sianosis digambarkan sebagai perubahan warna kebiruan pada kulit dan merupakan
tanda akhir dari kekurangan oksigen kronis dalam darah. Tempat umum untuk sianosis
muncul adalah bibir, lidah, nailbeds dan telinga.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rutin
a) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
• Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
• VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
• Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
• Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
• Uji bronkodilator dilakukan pada COPD stabil
b) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
f) Radiologi
- CT Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
g) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
h) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut
pada penderita PPOK di Indonesia.
j) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
1) Fisioterapi
2) Rehabilitasi psikis
H. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan fungsi paru
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
4. Gangguan pola tidur berhubungan ketidaknyamanan karena batuk terus menerus
I. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam
hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae
dan streptococcus pneumoniae.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan fungsi paru Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas Intervensi keperawatan:
a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c. Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada
kemungkinan efek sampingnya.
d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e. Pantau pemberian oksigen.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
Tujuan: Kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
b. Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering
d. Berikan porsi makan kecil tapi sering
e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
f. Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
g. Timbang BB
h. Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
i. Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
j. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
k. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi
KONSEP MEDIS
A. DEFENISI
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome - ARDS)
merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi
paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru
yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada (Udobi et al, 2003).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang
alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal,
tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau
tidak sama sekali (Farid, 2006).
B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah
• Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
• Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
• Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
• Koagulasi intravaskuler diseminata
• Emboli lemak
• Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
• Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
• Pankreatitis
• Toksisitas oksigen
• Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara
keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko
independen faktor. Usia lanjut dan rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS,
sementara konsumsi alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi
menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS pertahun mengalami penurunan, tetapi pria dan
orang kulit hitam memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan
dan groups. ras lainnya (Udobi et al, 2003).
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
Pneumonia Sepsis
Aspirasi gaster Trauma berat
Trauma inhalasi Pankreatitis Akut
Tenggelam Bypass kardiopulmonal
Kontusi paru Tranfusi massif
Emboli lemak Overdosis obat
Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru
C. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas akut
yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema ini
disebabkan oleh karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler sebagai
akibat dari kerusakan alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma diikuti dengan
makrofag, neutrofil, dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan terakumulasi dalam
alveolus, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses
inflamasi, yang pada akhirnya dapat memperburuk fungsi pertukaran gas yang ada. Pada
keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga terbentuk dalam alveoli (Amin &
Purwoto,2007)
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu fase
eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.
1. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien ARDS,
muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak paparan pertama
pasien dengan factor risiko. Pada fase ini terjadi kerusakan dari sel endothelial kapiler
alveolar dan pneumosit tipe I, mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar
untuk menahan cairan dan makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik
padat membrane hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan
interselular melebar dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane
kapiler terganggu dan mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga
membesar dengan vacuola sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih
lanjut lagi kelainan ini akan mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang
disebabkan oleh akumulasi sel-sel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan
alveolar yang rusak, menimbulkan penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan
tersebut kemudian akan diperburuk dengan adanya oklusi mikrovascula dan
menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi darah menuju ke daerah ventilasi
(Lorrain et al, 2010)
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia, disertai
dengan peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau
gagal nafas pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat
dijumpai pada fase awal perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan
interstisial yang melibatkan setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru
(Udobi et al, 2003).
2. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative yang
terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala. Fase proliferatif ditandai dengan
organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap berat dan solid, dan secara
mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku, kapiler jaringan rusak
dan ada progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas
dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang
interstisial menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar dengan
leukosit, sel darah merah, fibrin, dan puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang
dalam upaya untuk menutupi epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi
menjadi sel tipe I. Fibroblas menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di
alveolar lumen. Hasil dari proses ini adalah penyempitan ekstrem atau bahkan
kolapnya ruang udara. Fibrin dan puing-puing sel digantikan oleh fibril kolagen.
Tempat utama fibrosis adalah ruang intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam
interstitium (Levy et al, 2007).
3. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang hanya akan
dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu ke-3 atau ke-4 penyakit.
Pada fase ini, edema alveolar dan eksudat inflamasi yang terlihat pada fase awal
penyakit akan mengalami perubahan menuju fibrosis duktal dan interstisial yang
intensif. Struktural asiner akan mengalami kerusakan yang berat, mengakibatkan
terjadinya perubahan mirip emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar.
Fibroproliferasi intimal juga akan terjadi pada jaringan mikrosirkulasi pulmoner yang
pada akhirnya akan menyababkan terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan
hipertensi pulmoner. Pada akhirnya konsekuensi fisiologis yang muncul dari
perubahan perubahan yang terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari
pneumothoraks, reduksi dari komplians paru, dan peningkatan dari ruang mati (dead
space) pulmoner (Price & Wilson, 2002).
D. MANIFESTASI KLINIS
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas.
Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan
yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas
pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen.
Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing
(Farid, 2006).
Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO 2 sangat
rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau
batasbatas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware et al,2000).
E. KOMPLIKASI
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik yang
dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan
parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik
untuk ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk
mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-
paru terkait ventilator (Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut
(Harman, 2011).
a. Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat
pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
b. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan
ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
c. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler
atau kolestasis.
d. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang
meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak
dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf
awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi
ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
difus menjadi jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum
mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada radiografi portabel dan dalam
menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel
dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya
kembali normal (udobi et al, 2003)
ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
3. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan
infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat diperoleh
dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang
dihisap setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage;
UUPA). Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain
dan pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).
G. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi
1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat
A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Airway :
DS : Pasien mengeluh sesak nafas
DO: Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi, dan suara
nafas bronkhial.
2. Breathing:
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO: pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu
pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun
kadar oksigen tinggi. Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi
crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area
konsolidasi. Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan
fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.
Sputum encer, berbusa.
3. Circulation :
DS: pasien mengeluh sesak nafas
DO:Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock). Heart rate : takikardi biasa terjadi. Bunyi
jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi.
Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal. Kulit dan
membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium
lanjut)
4. Blood
DS : -
DO: Kulit terlihat sianosis, hipotensi, Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ), Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena
hiperventilasi, Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi,
Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini, Asidosis respiratori /
metabolik terjadi pada tahap lanjut
5. Brain
DS : pasien mengeluh kepala terasa sakit DO : terjadi penurunan kesadaran mental.
6. Bladder
DS : -
DO : -
7. BOWEL
DS : pasien mengeluh mual, dan kehilangan nafsu makan.
DO : hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan berat badan.
8. Bone
DS : -
DO : terdapat sianosis pada kulit dan kuku.
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan Kehilangan surfaktan menyebabkan
kolaps alveoli
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung.
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.
1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).
26
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.
27
anti cemas:........
28
DAFTAR PUSTAKA
Amin Zulkifli, Purwoto J. (2007). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)’ Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI
Farid (2006). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12).
<http://content.ebscohost.com/pdf
1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.pdf> diakses pada 01 april 2013
Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI
Udobi KF, Touijer K. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician.
Vol. 67 (2) :315-322. http://www.biomedcentral.com/1471-230X/11/35 diakses pada
01 april 2013
Ware LB, Matthay MA.(2000) The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med vol
(342) 1334-1349. www.nejm.org
Wilkinson,J & Ahern, N (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda, Intervensi Nic,
Kriteria Hasil Noc. Jakarta : Prima Medika.
29
BAB II
PEMBAHASAN
b. Faring
c. Laring
Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara,pada bagian pangkal
ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup
laring.
d. Trakea
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira10cm dengan lebar
2,5cm.trachea berjalan dari cartilage cricoidea kebawah pada bagian depan leher
dan dibelakang manubrium sterni,berakhir setinggi angulus sternalis (taut
manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira – kira ketinggian vertebrata
torakalis kelima dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronkus.
e. Bronkus
Bronkus yang berbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira – kira
vertebrata torakalis ke lima mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi
oleh jenis sel yang sama
f. Paru-paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas gelembung -
gelembung kecil ( alveoli ). Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri
dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil
atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis
dan sakus alveolaristerminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang
30
disebut lobulus primer memiliki kanan kira-kira 0,5 s/d 1,0cm. Terdapat sekitar 20
kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus alveolaris.
Emboli paru adalah obstruksi salah satu atau lebih arteri pulmonalis oleh
trombus yang berasal dari suatu tempat. (brunner dan suddarth,2001.621)
Emboli Paru adalah sumbatan arteri pulmonalis yang disebabkan oleh trombus
pada trombosis vena dalam di tungkai bawah yang terlepas dan mengikuti sirkulasi
menuju arteri di paru. Setelah sampai diparu, trombus yang besar tersangkut di
bifurkasio arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan menimbulkan gangguan
hemodinamik, sedangkan trombus yang kecil terus berjalan sampai ke bagian distal,
menyumbat pembuluh darah kecil di perifer paru ( Goldhaber, 1998; Sharma, 2005 ).
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang
memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa
dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang sangat besar atau orang
tersebut memiliki kelainan paru-paru sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak
mencukupi untuk mencegah kematian paru – paru. Sekitar 10 persen penderita emboli
paru mengalami kematian jaringan paru – paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh
bisa memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat diminimalkan. Gumpalan yang
31
besar membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan
yang ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak.
Kebanyakan kasus disebabkan oleh bekuan darah dari vena, terutama vena di
tungkai atau panggul. Penyebab yang lebih jarang adalah gelembung udara, lemak,
cairan ketuban atau gumpalan parasit maupun sel tumor. Penyebab yang paling sering
adalah bekuan darah dari vena tungkai, yang disebut trombosis vena dalam.
Gumpalan darah cenderung terbentuk jika darah mengalir lambat atau tidak mengalir
sama sekali, yang dapat terjadi di vena kaki jika seseorang berada dalam satu posisi
tertentu dalam waktu yang cukup lama. Jika orang tersebut bergerak kembali,
gumpalan tersebut dapat hancur, tetapi ada juga gumpalan darah yang menyebabkan
penyakit berat bahkan kematian.
32
Menurut Sylvia A. Price, 2005, ada tiga faktor utama yang menyebabkan
timbulnya trombosis vena dan kemudian menjadi emboli paru yaitu sebagai berikut :
a. Stasis atau melambatnya aliran darah
b. Luka dan peradangan pada dinding vena
c. Hiperkoagulasibilitas
Trias klinis klasik yang merupakan predisposi trombo emboli paru
dideskripsikan oleh Rudolph Virchow tahun 1856, yaitu a. Trauma lokal pada dinding
pembuluh darah
Kedaan ini dapat terjadi karena adanya cedera pada dinding pembuluh darah,
kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya.
b. Hiperkoagulabilitas darah
Dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone
replacement therapy dan steroid.
c. Stasis darah
Dapat disebabkan oleh immobilsasi yang berkepanjangan atau katup vena yang
inkompeten dan terjadi oleh karena proses tromboemboli sebelumnya.
Sebagian besar pasien dengan emboli paru memiliki kondisi klinis yang
berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi ini, seperti trauma mayor, pembedahan
dalam waktu dekat sebelumnya, obesitas dan imobilitas, merokok, peningkatan usia,
penyakit keganasan, pil kontrasepsi oral, kehamilan, terapi insulin hormon, dan
keadaan lain yang lebih jarang (misalnya sindrom nefrotik) (Huon H. Gray, 2003).
Tanda dan gejala emboli paru sangat berfariasi bergantung pada besar bekuan.
Gambaran klinis dapat berkisar dari keadaan tanpa tanda sama sekali sampai
kematian mendadak akibat embolus pelana yang masif pada percabangan ateri
pulmonalis utama yang mengakibatkan sumbatan pada saluruh aliran darah ventrikel
kanan. Emboli ukuran sedang berupa awitan mendadak dipsnoe yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, takepnue, takikardia, dan gelisah.nyeri pleuritik, suara
33
gesekan pleura, hemoptisis dan demam jarang ditemukan kecuali bila terjadi infark
(Sylvia A. Price,
2005).
Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test diagnostik.
Dipsnoe gejala paling sering muncul dan takipnoe adalah tanda emboli paru yang
paling khas. Pada umumnya dipsnoe berat, sinkop dan sianosis merupakan tanda
emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli
paru yang paling kecil dan terletak diarteri pulmonal distal berdekatan dengan garis
pleura (Goldhaber,1998; Sharma,2005).
34
peningkatan tahanan vaskuler paru akibat penurunan jaringan-jaringan vaskuler
pulmonal, mengakibatkan peningkatan tekanan arteri pulmonal dan pada akirnya
meningkatkan kerja ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah pulmonal.
Efek klinis Emboli Paru tergantung pada derajat obtruksi vaskuler paru,
pelepasan agen humoral vasoaktif dan bronkokonstriksi dari pratelet teraktivasi
(misalnya serotonin, tromboksan A2), penyakit kardiopulmonal sebelumnya, usia dan
kesehataan umum pasien.
Afterload RV meningkat secara bermakna bila lebih dari 25% sirkulasi paru
mengalami obstruksi. Awalnya hal ini mengakibatkan peningkataan tekanan RV,
kemudiaan diikuti oleh dilatasi RV dan regurgitasi trikuspid, dan dengan mulai
gagalnya ventrikel kanan, terjadi penurunan tekanan RV. Ventrikel kanan yang
normal tidak mampu meningkatkan tekanan ateri pulmonalis lebih banyak di atas 50 –
60 mmHg sebagai respons terhadap obstruksi mayor mendadak pada sirkulasi paru,
sementara pada trombus emboli kronis atau PH primer tekanan RV dapat meningkat
secara bertahap hingga tingkat suprasistemik ( >100 mmHg ). Kombinasi dari
penurunan aliran darah paru dan pergeseran septum interventrikel keruangan ventrikel
kiri akibat ventrikel kanan yang mengalami dilatasi, menurunya pengisian ventrikel
kiri. Maka dispnoe pada pasien dengan obstruksi berat akut sirkulasi paru dapat
dikurangi manuver yang meningkatkan aliran balik vena sistemik dan preload
ventrikel kiri, seperti berbaring datar, mendongak dengan kepala kebawah, dan infus
koloid intravena. Hal ini berlawanan dengan dispnue pada pasien dengan gagal
ventrikel kiri, yang gejalanya berkurang dengan manuver yang menurunkan preload
ventrikel kiri, seperti duduk tegak dan terapi duduk ( Huon H. Gray, 2003 ).
Menurut ( Goldhaber, 2005 dan Sunu, 2006 ), secara garis besar emboli paru
akan membentuk efek patofisiologi sebagai berikut:
36
G. Pathway Emboli Paru
Trombus Emboli
Intoleransi aktivitas
37
I. Pemeriksaan Penunjang Emboli Paru
Menurut Huon H, Gray (2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada elektrokardiografi juga tidak spesifik untuk
emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai pertanda pertama dugaan
adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran
klinis lainnya.
2. Ekokardiografi
Bisa terlihat dilatasi jantung kanan dan perkiraan tekan RV mungkin
dilakukan bila dideteksi regusitasi trikuspid. Kadang trombus bisa dilihat jantung
kanan.
3. Radiografi Toraks
Dilatasi arteri pulmonal proksimal mayor, dan area oligemia paru dapat
menandakan adanya obstruksi arteri mayor.
4. Pemindaian Paru
Biasanya dilaporkan sebagai kemungkinan Emboli Paru rendah, sedang, atau
tinggi. Bila sugestif Emboli Paru, pemindaian cenderung untuk menilai rendah
derajat keparahan angiografi dan gangguan hemodinamik Emboli Paru.
38
7. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh
fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. D-dimer
secara ELISA dapat memprediksi emboli paru bila ratio D-dimer/fibrinogen >
1000.
8. Scanning ventilasi-perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non-invaisif suspect emboli paru.
Keterbatasan alat ini adalah adanya alergi kontras, insufisiensi ginjal atau
kehamilan.
39
J. Penatalaksanaan Emboli Paru
1. Penatalaksanaan umum
Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Kebanyakan pasien emboli
paru merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada pasien ini adalah
memperbaiki keadaan umum pasien untuk mempertahankan fungsi – fungsi vital
tubuh:
2. Penatalaksanaan medis
Pengobatan utama terhadap emboli paru
a. Pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin.
b. Pengobatan trombolitik.
H. Gray, 2003).
Pengobatan utama untuk emboli paru terdiri dari terapi dengan terapi
fibronolitik untuk pasien emboli paru masif atau tidak menetap. Regimen
40
fibronolitik biasa digunakan untuk emboli paru, termasuk juga dua bentuk
aktifaktor plasminogen jaringan rekombinan t-PA (altelpalse) dan r-PA
(retelplase) yang digunakan dengan urokinase dan setretokinase. Bedah
embolektomi dilakukan bila terapi dengan fibronolitik merupakan kontraindikasi.
Tindakan tambahan yang penting juga penting adalah menghilangkan nyeri
dengan agen antiinflamasi nonsteroid, suplemen oksigen, pemantauan perawatan
intensif, dan stock-stacking penekanan sebesar 30 hingga 40 mmhg, dobutamin
digunakan untuk mengobati gagal jantung karena dan syok kardiogenik.
Pencegahan sekunder emboli paru dengan menggunakan heparin,. Heparin adalah
antikoagulan yang penting karena menghambat pembesaran bekuan tapi tidak
mampu menghancurkan bekuan yang sudah ada (Sylvia A. Price, 2005).
41
Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan ( terutama orang tua ),
disarankan untuk:
Heparin tidak digunakan pada operasi tulang belakang atau otak karena
bahaya perdarahan pada daerah ini lebih besar. Kepada pasien rawat inap yang
mempunyai resiko tinggi menderita emboli paru bisa diberikan heparin dosis kecil
meskipun tidak akan menjalani pembedahan. Dekstran yang harus diberikan melalui
infus, juga membantu mencegah pembentukan gumpalan. Seperti halnya heparin,
dekstran juga bisa menyebabkan perdarahan. Pada pembedahan tertentu yang dapat
menyebabkan terbentuknya gumpalan, ( misalnya pembedahan patah tulang panggul
atau pembedahan untuk memperbaiki posisi sendi ), bisa diberikan warfarin per-oral.
Terapi ini bisa dilanjutkan untuk beberapa minggu atau bulan setelah pembedahan
( Winoviyanto, 2011 ).
42
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLI PARU
1. Analisa Data
43
2. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa NANDA NOC NIC
1. Pola nafas tidak efektif b.d Domain II : Domain II :
dyspnea penurunan fungsi Physiological Health Physiological
paru. Class E : complex cont’d
Domain IV : activity/rest cardiopilmonary Class K : Respiratory
Class 4 0415 : Respiratory Management
:Cardiopulmonary/pulm status 3302 : Oxygen
o responses Setelah dilakukan therapy
00032 : Ineffective breathing tindakan keperawatan Aktivitas :
pattern selama Kriteria hasil - Bersihkan mulut,
Gangguan pertukaran gas b.d yang diharapkan : hidung dan trakea
emboli parutrombus. - 041501 : Nilai dari sekresi, senyawa
Domain 3 : elimintion Respirasi (2-3) - Pertahankan
exchange - 041502 : Ritme kepatenan jalan nafas
Class 4 : fungsi respirasi (2-3) - Mengatur &
respiratory - 041503 : mengelola O2,
00030 : impaired gas Kedalaman lembutkan
exchange respirasi (2-3) kelembaban sistem
- Auskultasi suara - Perhatikn flow meter
nafas (2-3) O2
- Dyspnea saat Domain II :
istirahat (1-3) Physiological
- Dyspnea saat complex cont’d
aktivitas (2-3) Class K :
Domain II : Respiratory
Physiologic Health Management
Class E : 4106 : Embolus
Cardiopulmonary Care : Pulmonary
0402 : Respiratory Aktivitas :
Status : Gas o Persiapkan terapi
Exchange trombolitik, sesuai
Setelah dilakukan indikasi ( seperti :
tindaan keperawatan streptokinase,
selama Kriteria hasil urokinase, aktivase
yang diharapkan : )
- 040208 : tekanan o Peroleh riwayat
parsial oxygen di kesehatan pasien
arteri ( PaO2 ) ( 2 – untuk melakukan
3) pencegahan saat ini
- 040209 : PCO2 ( 1 – dan selanjutnya
3) o Evaluasi perubahan
- 040210 : pH arteri ( pada status respirasi
1–3) dan jantung ( seperti
- 040211 : saturasi : skala, whezing
44
oxygen ( 1 – 3 ) baru, hemoptisis,
- 040203 : dyspnea at dyspnea, takipnea,
rest ( 2 – 3 ) takikardia, sinkop )
- 040204 : dyspnea o Membantu dengan
with miltexertion ( 2 tes diagnostik dan
–3) ketetapan untuk
menunjang dan
menyingkirkan
kondisi dengan
tanda serupa (
seperti : infark
miokrd, perikarditis,
pneumonia,
pneumotorax )
o Instruksikan pasien
atau keluarga
mengenai prosedur
diagnostik ( v/q
scan, CT – Scan,
USG )
o Auskultasi bunyi
paru
Nyeri Domain IV : Health Domain 1 :
Domain 12 : comfort knowledge & Physiological Basic
Class 1 : physicalcomfort Behavior Class E : Physical
00132 : acute pain Class Q : Health comfort promotion
Behavior 1400 : pain
1605 : Pain control management
Setelah dilakukan Aktivitas :
tindakan keperawatan - Lakukan penilaian
selama Kriteria hasil komprehensif
yang diharapkan : terhadap nyeri
160501 : - Observasi tanda –
mendeskripsikan tanda non verbal
faktor penyebab (2 – dari
4) ketidaknyamanan,
160502 : mengetahui terutama pada klien
onset / skala nyeri ( 2 yang bisa
–3) berkomunikasi
160504 : gunakan surefektif
prosedur non - Perhatikan penuh
analgesik ( 2 – 3 ) perawatan analgesik
160505 : gunakan pasien
analgesik jika perlu ( - Gunakan
2–3) komunikasi
160510 : membuat terapeutik, untuk
45
catatan atau memberitahu sakit
monitoring ( 1 – 3 ) dan menyampaikan
160513 : laporkan penerimaan respon
perubahan gejala pasien terhada nyeri
nyeri hingga ke - Batasi faktor
tenaga medis lain ( lingkungan yang
dokter ) ( 1 –3) dapat
mempengaruhi
pasien ( seperti suhu
ruangan,
penerangan dan
kebisingan
46
dengan tanda serupa (
seperti : infark miokrd,
perikarditis, pneumonia,
pneumotorax )
- Menginstruksikan pasien
atau keluarga mengenai
prosedur diagnostik ( v/q
scan, CT – Scan, USG )
- Mengauskultasi bunyi
paru
2. - Melakukan penilaian S:
komprehensif terhadap Nyeri dada pasien berkurang
nyeri O:
- Mengobservasi tanda – - Pasien tampak membaik
tanda non verbal dari - Pasien terlihat tenang
ketidaknyamanan, A : Masalah teratasi
terutama pada klien yang P : Intervensi dihentikan
bisa berkomunikasi
surefektif
- Memperhatikan penuh
perawatan analgesik
pasien
- Menggunakan komunikasi
terapeutik, untuk
memberitahu sakit dan
menyampaikan
penerimaan respon pasien
terhada nyeri
- Mematasi faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi pasien (
seperti suhu ruangan,
penerangan dan
kebisingan
47