Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PENDAHULUAN

CHRONIC OBSTRUKSI PULMO DISEASE (COPD)

A. PENGERTIAN
COPD adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran nafas yang bersifat progresif non reversible atau revesibel parsial. COPD merupakan
gabungan dari bronkitis kronik, emfisema atau gabungan keduanya. (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003)
COPD adalah sekelompok penyakit paru yang berlangsung lama ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara ( Price, 2006)

B. ETIOLOGI
a. Faktor lingkungan: merokok merupakan penyebab utama, disertai resiko tambahan
akibat polutan udara di tempat kerja atau di dalam kota. Sebagian pasien memiliki asma
kronis yang tidak terdiagnosisdan tidak diobati.
b. Genetik: defisiensi anitripsin merupakan predisposisi untuk berkembangnya COPD. Di
Amerika Serikat, iritasi yang paling umum yang menyebabkan COPD adalah asap
rokok. Pipa, cerutu, dan jenis-jenis asap rokok juga dapat menyebabkan COPD, terutama
jika asap yang dihirup.(National Heart Lung and Blood.2010)

C. FAKTOR RESIKO
1. Jenis kelamin laki-laki berisiko 2x lebih banyak dari wanita
2. Kebiasaan merokok (laki-laki diatas 15 tahun 60-70% lebih berisiko). Kebiasaan
merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
• Perokok aktif
• Perokok pasif
• Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
ratarata batang rokokdihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
• Ringan : 0-200
• Sedang : 200-600
• Berat : >600
3. Riwayat terpajan polusi udara di tempat kerja atau lingkungan
4. Hipereaktiviti bronkus
5. Riwayat Infeksi saluran nafas bawah berulang
6. Defisiensi antitripsin alfa – 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia

D. PATOFISIOLOGI / PATHWAY
Fungsi paru mengalami kemunduran dengan datangnya usia tua yang disebabkan
elastisitas jaringan paru dan dinding dada makin berkurang. Dalam usia yang lebih lanjut,
kekuatan kontraksi otot pernapasan dapat berkurang sehingga sulit bernapas. Fungsi
paruparu menentukan konsumsi oksigen seseorang, yakni jumlah oksigen yang diikat oleh
darah dalam paru-paru untuk digunakan tubuh. Konsumsi oksigen sangat erat hubungannya
dengan arus darah ke paru-paru. Berkurangnya fungsi paru-paru juga disebabkan oleh
berkurangnya fungsi sistem respirasi seperti fungsi ventilasi paru. Faktor-faktor risiko
tersebut diatas akan mendatangkan proses inflamasi bronkus dan juga menimbulkan
kerusakan apda dinding bronkiolus terminalis. Akibat dari kerusakan akan terjadi obstruksi
bronkus kecil (bronkiolus terminalis), yang mengalami penutupan atau obstruksi awal fase
ekspirasi. Udara yang mudah masuk ke alveoli pada saat inspirasi, pada saat ekspirasi banyak
terjebak dalam alveolus dan terjadilah penumpukan udara (air trapping). Hal inilah yang
menyebabkan adanya keluhan sesak napas dengan segala akibatnya. Adanya obstruksi pada
awal ekspirasi akan menimbulkan kesulitan ekspirasi dan menimbulkan pemanjangan fase
ekspirasi. Fungsifungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi darah akan
mengalami gangguan (Brannon, et al, 1993).

E. TANDA DANGEJALA
Gejala COPD dapat berkisar dari ringan sampai berat, tergantung pada bagaimana
lanjutan penyakit. PPOK, atau penyakit paru obstruktif kronik, adalah penyakit paru-paru
ditandai oleh penyumbatan atau penyempitan saluran udara. Ini adalah proses ireversibel
yang biasanya disebabkan oleh iritasi saluran napas, seperti merokok, perokok pasif, polusi
udara atau pemaparan dalam pekerjaan.
1. Dispnea
Juga dikenal sebagai sesak napas, dyspnea adalah akibat kelaparan udara yang
menyebabkan sulit atau bekerja pernapasan. Hal ini terutama disebabkan oleh
kekurangan oksigen dalam aliran darah dan secara langsung berkaitan dengan gangguan
di paru-paru seperti COPD.
2. Batuk kronis
Jenis batuk jangka panjang dan tampaknya tidak pergi. Batuk adalah mekanisme
pertahanan yang dikembangkan oleh tubuh dalam upaya untuk membersihkan saluran
napas dari lendir, menghirup zat beracun, benda asing atau jenis lain dari iritasi. Batuk
produktif membersihkan lendir dari paru-paru, sedangkan batuk tidak produktif tidak
mudah menghasilkan lendir. Batuk adalah salah satu gejala paling umum dari COPD.
3. Peningkatan produksi sputum
Dahak, atau lendir, adalah zat yang diproduksi dari paru-paru yang biasanya dikeluarkan
melalui batuk atau membersihkan tenggorokan. Jumlah berlebihan dahak dapat dikaitkan
dengan peradangan atau infeksi saluran pernapasan dan mungkin menunjukkan PPOK.
Warna dan konsistensi sputum tubuh Anda memproduksi bisa berhubungan dengan jenis
COPD yang mungkin Anda miliki, dan biasanya dokter akan meminta Anda untuk
menggambarkannya. Tenaga kesehatan juga dapat meminta sampel dahak dari Anda
untuk membantu diagnosis.
4. Mengi
Sering digambarkan sebagai suara siulan terdengar selama inhalasi atau pernafasan,
mengi disebabkan oleh penyempitan atau penyumbatan saluran udara. Sering kali,
mengi dapat menjadi begitu umum bahwa Anda dapat mendengarnya tanpa bantuan
stetoskop.
5. Nyeri Dada
Sesak di dada dapat digambarkan sebagai perasaan tekanan di dalam dinding dada yang
membuat pernapasan otomatis sulit. Kadang-kadang, sesak ini membuat pernafasan
respirasi menyebabkan menyakitkan harus singkat dan dangkal. Sesak dada dapat
disebabkan oleh infeksi paru-paru dan seringkali dihubungkan dengan COPD.
6. Kelelahan
Berbeda dengan kelelahan biasa, kelelahan adalah gejala yang sering kurang dipahami
dan sering kali dilaporkan di PPOK sebagai fokus cenderung turun pada gejala dikenali
lebih seperti dispnea dan batuk kronis. Tapi, karena kelelahan hampir 3 kali lebih besar
pada mereka yang memiliki penyakit paru-paru dibandingkan pada orang sehat, itu
adalah penting untuk mengenali gejala.
7. Clubbing dari Fingers
Clubbing adalah tanda jangka panjang kekurangan oksigen dan berhubungan dengan
sejumlah macam penyakit, termasuk PPOK. Awalnya, ia mewujudkan dirinya sebagai
sponginess dari kuku bersama dengan hilangnya sudut kuku, menyebabkan kuku
melengkung ke bawah.
8. Hemoptisis
Gejala dari kedua paru-paru dan masalah jantung, hemoptysis didefinisikan sebagai batuk
sampai darah dari paru-paru yang berbusa dan dicampur dengan lendir. Pada PPOK,
penyebab paling umum adalah infeksi pada paru-paru. Penting untuk dicatat bahwa
jumlah darah yang batuk tidak selalu mencerminkan keseriusan penyebabnya.
9. Sianosis
Sianosis digambarkan sebagai perubahan warna kebiruan pada kulit dan merupakan
tanda akhir dari kekurangan oksigen kronis dalam darah. Tempat umum untuk sianosis
muncul adalah bibir, lidah, nailbeds dan telinga.

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan rutin
a) Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
• Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi (%) dan atau VEP1/KVP (%).
• Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
• VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya
PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
• Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter
walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau
variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
• Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
• Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit
kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE
< 20% nilai awal dan < 200 ml
• Uji bronkodilator dilakukan pada COPD stabil
b) Darah rutin
Hb, Ht, leukosit
c) Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus
2. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)
a) Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total
(KPT), VR/KRF, VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
b) Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
c) Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat
hipereaktiviti bronkus derajat ringan
d) Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu
peningkatan VEP1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK
umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid
e) Analisis gas darah
Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

f) Radiologi
- CT Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau
bula yang tidak terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
g) Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi
ventrikel kanan.
h) Ekokardiografi
Menilai funfsi jantung kanan
i) Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi
diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang
tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut
pada penderita PPOK di Indonesia.
j) Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia
muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah:
1. Memeperbaiki kemampuan penderita mengatasiu gejala tidak hanya pada fase akut,
tetapi juga fase kronik.
2. Memperbaiki kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas harian.
3. Mengurangi laju progresivitas penyakit apabila penyakitnya dapat dideteksi lebih awal.
Penatalaksanaan PPOK pada usia lanjut adalah sebagai berikut:
1. Meniadakan faktor etiologi/presipitasi, misalnya segera menghentikan merokok,
menghindari polusi udara.
2. Membersihkan sekresi bronkus dengan pertolongan berbagai cara.
3. Memberantas infeksi dengan antimikroba. Apabila tidak ada infeksi antimikroba tidak
perlu diberikan. Pemberian antimikroba harus tepat sesuai dengan kuman penyebab
infeksi yaitu sesuai hasil uji sensitivitas atau pengobatan empirik.
4. Mengatasi bronkospasme dengan obat-obat bronkodilator. Penggunaan kortikosteroid
untuk mengatasi proses inflamasi (bronkospasme) masih controversial.
5. Pengobatan simtomatik.
6. Penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang timbul.
7. Pengobatan oksigen, bagi yang memerlukan. Oksigen harus diberikan dengan aliran
lambat 1 – 2 liter/menit.

8. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


a. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
b. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
paling efektif.
c. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan kesegaran
jasmani.
d. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita dapat kembali
mengerjakan pekerjaan semula.

Pathogenesis Penatalaksanaan (Medis)


1. Pencegahan : Mencegah kebiasaan merokok, infeksi, dan polusi udara
2. Terapi eksaserbasi akut di lakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksaserbasi akut biasanya disertai infeksi Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenza dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisilin 4 x 0.25-
0.56/hari atau eritromisin 4x0.56/hari Augmentin (amoksilin dan asam klavulanat) dapat
diberikan jika kuman penyebab infeksinya adalah H. Influenza dan B. Cacarhalis yang
memproduksi B. Laktamase Pemberiam antibiotik seperti kotrimaksasol, amoksisilin,
atau doksisiklin pada pasien yang mengalami eksaserbasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dan membantu mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya
dalam 7-10 hari selama periode eksaserbasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-
tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotik yang kuat.
b. Terapi oksigen diberikan jika terdapata kegagalan pernapasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2
c. Fisioterapi membantu pasien untuk mengelurakan sputum dengan baik.
d. Bronkodilator, untuk mengatasi obstruksi jalan napas, termasuk di dalamnya golongan
adrenergik b dan anti kolinergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratopium bromida 250 mg diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25 -
0,56 IV secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang di lakukan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisilin 4x0,25-0,5/hari dapat
menurunkan kejadian eksaserbasi akut.

b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran napas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik
e. Mukolitik dan ekspektoran
f. Terapi oksigen jangka panjang bagi pasien yang mengalami gagal napas tipe II dengan
PaO2 (7,3 Pa (55 MMHg)
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan terisolasi,
untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi.
Rehabilitasi untuk pasien PPOK adalah :
1) Fisioterapi

2) Rehabilitasi psikis

Rehabilitasi pekerjaan (Mansjoer 2001 : 481-482)

H. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan bronkokonstriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan fungsi paru
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
4. Gangguan pola tidur berhubungan ketidaknyamanan karena batuk terus menerus

I. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan bronkokontriksi,
peningkatan pembentukan mukus, batuk tidak efektif, infeksi bronkopulmonal.
Tujuan: Pencapaian bersihan jalan napas klien
Intervensi keperawatan:
a. Beri pasien 6 sampai 8 gelas cairan/hari kecuali terdapat kor pulmonal.
b. Ajarkan dan berikan dorongan penggunaan teknik pernapasan diafragmatik dan
batuk.
c. Bantu dalam pemberian tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB
d. Lakukan drainage postural dengan perkusi dan vibrasi pada pagi hari dan malam
hari sesuai yang diharuskan.
e. Instruksikan pasien untuk menghindari iritan seperti asap rokok, aerosol, suhu
yang ekstrim, dan asap.
f. Ajarkan tentang tanda-tanda dini infeksi yang harus dilaporkan pada dokter
dengan segera: peningkatan sputum, perubahan warna sputum, kekentalan
sputum, peningkatan napas pendek, rasa sesak didada, keletihan.
g. Beriakn antibiotik sesuai yang diharuskan.
h. Berikan dorongan pada pasien untuk melakukan imunisasi terhadap influenzae
dan streptococcus pneumoniae.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan gangguan fungsi paru Tujuan:
Perbaikan dalam pertukaran gas Intervensi keperawatan:
a. Deteksi bronkospasme saat auskultasi .
b. Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
c. Beriakn obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan waspada
kemungkinan efek sampingnya.
d. Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu mengencerkan
sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
e. Pantau pemberian oksigen.
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia,
produksi sputum, efek samping obat, kelemahan, dispnea
Tujuan: Kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi
Intervensi keperawatan:
a. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Evalusi berat badan
b. Auskultasi bunyi usus
c. Berikan perawatan oral sering
d. Berikan porsi makan kecil tapi sering
e. Hindari makanan penghasil gas dan minuman berkarbonat
f. Hindari makanan yang sangat panas dan sangat dingin
g. Timbang BB
h. Konsul ahli gizi untuk memberikan makanan yang mudah dicerna
i. Kaji pemeriksaan laboratorium seperti albumin serum
j. Berikan vitamin/mineral/elektrolit sesuai indikasi
k. Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi

4. Gangguan pola tidur berhubungan dengan ketidaknyamanan karena batuk terus


menerus
Tujuan : Kebutuhan istirahat tidur terpenuhi
Interversi keperawatan :
a. Bantu klien latihan relaksasi ditempat tidur.
b. Lakukan pengusapan punggung saat hendak tidur dan anjurkan keluarga untuk
melakukan tindakan tersebut.
c. Atur posisi yang nyaman menjelang tidur, biasanya posisi high fowler.
d. Lakukan penjadwalan waktu tidur yang sesuai dengan kebiasaan pasien.
e. Berikan makanan ringan menjelang tidur jika klien bersedia.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia.,& Wilson, Lorraine. 2001. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Pedoman
Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. (Online)
http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok/ppok.pdf Diakses pada tanggal
06 April 2013 jam 22.05 WIB
Smeltzer, Suzanne C., et all. 2008. Brunner Suddarth’s Textbook of Medical-Surgical
Nursing. 11th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
BAB I

KONSEP MEDIS

A. DEFENISI
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome - ARDS)
merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis, trauma, dan infeksi
paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea, hipoksemia, fungsi paru-paru
yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada radiografi dada (Udobi et al, 2003).
Sindrom distres respiratorik akut merupakan bentuk edema pulmoner yang
menyebabkan gagal respiratorik akut dan disebabkan oleh meningkatnya permeabilitas
membran alveolokapiler. Cairan terakumulasi dalam interstisium paru-paru dan ruang
alveolar. ARDS parah bisa menyebabkan hipoksemia yang sulit disembuhkan dan fatal,
tetapi pasien yang sembuh mungkin hanya mengalami sedikit kerusakan paru-paru atau
tidak sama sekali (Farid, 2006).

B. ETIOLOGI
Beberapa penyebab terjadinya akut respiratori distres sindrom ialah
• Syok sepsis , hemoragis, kardiogenik dan analfilatik
• Trauma ; kontusio pulmonal dan non pulmonal
• Infeksi : pneumonia dan tuberculosis
• Koagulasi intravaskuler diseminata
• Emboli lemak
• Aspirasi kandungan lambung yang sangat asam
• Menghirup agen beracun, asap dan nitrogen oksida dan atau bahan korosif
• Pankreatitis
• Toksisitas oksigen
• Penyalahgunaan obat-obatan dan narkotika
Sindrom sepsis tampaknya menjadi faktor resiko paling umum, tetapi secara
keseluruhan risiko akan meningkat secara multifaktor. Transfusi darah merupakan risiko
independen faktor. Usia lanjut dan rokok berhubungan dengan peningkatan risiko ARDS,
sementara konsumsi alkohol tampaknya tidak memiliki pengaruh. Sebuah studi
menunjukkan bahwa kematian akibat ARDS pertahun mengalami penurunan, tetapi pria dan
orang kulit hitam memiliki angka kematian lebih tinggi dibandingkan dengan perempuan
dan groups. ras lainnya (Udobi et al, 2003).
Tabel 1 Kondisi Klinis yang berkaitan dengan kejadian ARDS
Cedera paru-paru langsung Cedera paru-paru tidak langsung
 Pneumonia  Sepsis
 Aspirasi gaster  Trauma berat
 Trauma inhalasi  Pankreatitis Akut
 Tenggelam  Bypass kardiopulmonal
 Kontusi paru  Tranfusi massif
 Emboli lemak  Overdosis obat
 Reperfusi edema paru pasca
transplantasi paru-paru atau
embolectomy paru

C. PATOFISIOLOGI
Berdasarkan patofisiologinya, ARDS dideskripsikan sebagai gagal nafas akut
yang merupakan akibat dari edema pulmoner oleh sebab non kardiak. Edema ini
disebabkan oleh karena adanya peningkatan permeabilitas membrane kapiler sebagai
akibat dari kerusakan alveolar yang difus. Selain itu, protein plasma diikuti dengan
makrofag, neutrofil, dan beberapa sitokin akan dilepaskan dan terakumulasi dalam
alveolus, yang kemudian akan menyebabkan terjadinya dan berlangsungnya proses
inflamasi, yang pada akhirnya dapat memperburuk fungsi pertukaran gas yang ada. Pada
keadaan ini membrane hialin (hialinisasi) juga terbentuk dalam alveoli (Amin &
Purwoto,2007)
Secara lebih terperinci patofisiologi ARDS berjalan melalui 3 fase, yaitu fase
eksudatif, fase proliteratif, fase fibrinolitik.

Fase-fase patologi ARDS

1. Fase eksudatif
Fase eksudatif merupakan fase pertama yang timbul pada pasien ARDS,
muncul lebih kurang 12 hingga 36 jam, atau hingga 7 hari sejak paparan pertama
pasien dengan factor risiko. Pada fase ini terjadi kerusakan dari sel endothelial kapiler
alveolar dan pneumosit tipe I, mengakibatkan penurunan kemampuan sawar alveolar
untuk menahan cairan dan makromolekul. Gambaran histologis berupa eosinofilik
padat membrane hialin dan kolaps alveoli. Sel endotel membesar, sambungan
interselular melebar dan vesikel pinocytic meningkat, menyebabkan membrane
kapiler terganggu dan mengakibatkan kebocoran kapiler. Pneumosit tipe I juga
membesar dengan vacuola sitoplasmik, yang sering terlihat di membrane basal. Lebih
lanjut lagi kelainan ini akan mengakibatkan terjadinya edema alveolar yang
disebabkan oleh akumulasi sel-sel radang, debris selular, protein plasma, surfaktan
alveolar yang rusak, menimbulkan penurunan aerasi dan atelektaksis. Keadaan
tersebut kemudian akan diperburuk dengan adanya oklusi mikrovascula dan
menyebabkan penurunan dari kemampuan perfusi darah menuju ke daerah ventilasi
(Lorrain et al, 2010)
Kondisi tersebut di atas akan menyebabkan terjadinya sintas (shunting)
interpulmonal dan hipoksemia ataupun pada keadaan lanjut hiperkarbia, disertai
dengan peningkatan kerja nafas yang ditandai dengan gejala dispnea, takipnea, atau
gagal nafas pada pasien. Secara radiologis, kalainan ronsen thorax yang dapat
dijumpai pada fase awal perkembangan ARDS ini, dapat berupa opasitas alveolar dan
interstisial yang melibatkan setidaknya dua per tiga dari keseluruhan lapangan paru
(Udobi et al, 2003).
2. Fase Proliferatif
Fase perkembangan selanjutnya dari ARDS adalah fase proliferative yang
terjadi pada hari ke-7 hingga ke-21 dari awal gejala. Fase proliferatif ditandai dengan
organisasi eksudat dan fibrosis. Paru-paru yang tetap berat dan solid, dan secara
mikroskopik integritas arsitektur paru-paru menjadi lebih kaku, kapiler jaringan rusak
dan ada progresifitas penurunan profil kapiler di jaringan. Proliferasi intimal jelas
dalam pembuluh darah kecil lebih lanjut mengurangi daerah luminal. Ruang
interstisial menjadi nekrosis yang melebar, dan mengisi lumen alveolar dengan
leukosit, sel darah merah, fibrin, dan puing-puing sel. Sel alveolus tipe II berkembang
dalam upaya untuk menutupi epitel permukaan yang gundul dan berdiferensiasi
menjadi sel tipe I. Fibroblas menjadi jelas dalam ruang interstisial dan kemudian di
alveolar lumen. Hasil dari proses ini adalah penyempitan ekstrem atau bahkan
kolapnya ruang udara. Fibrin dan puing-puing sel digantikan oleh fibril kolagen.
Tempat utama fibrosis adalah ruang intra-alveolar, tetapi juga terjadi di dalam
interstitium (Levy et al, 2007).
3. Fase Fibrotik (Fibrosis Alveolitis)
Fase terakhir dari perkembangan ARDS adalah fase fibrotic yang hanya akan
dialami oleh sebagian kecil dari pasien, yakni pada minggu ke-3 atau ke-4 penyakit.
Pada fase ini, edema alveolar dan eksudat inflamasi yang terlihat pada fase awal
penyakit akan mengalami perubahan menuju fibrosis duktal dan interstisial yang
intensif. Struktural asiner akan mengalami kerusakan yang berat, mengakibatkan
terjadinya perubahan mirip emfisema dengan munculnya bula-bula yang besar.
Fibroproliferasi intimal juga akan terjadi pada jaringan mikrosirkulasi pulmoner yang
pada akhirnya akan menyababkan terjadinya oklusi vaskular yang progresif dan
hipertensi pulmoner. Pada akhirnya konsekuensi fisiologis yang muncul dari
perubahan perubahan yang terjadi ini adalah adanya peningkatan resiko dari
pneumothoraks, reduksi dari komplians paru, dan peningkatan dari ruang mati (dead
space) pulmoner (Price & Wilson, 2002).

D. MANIFESTASI KLINIS
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal
pada paru. Setelah 72 jam 80% pasien menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas.
Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan pernapasan
yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan tanda yang khas
pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah diberi oksigen.
Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta kadang wheezing
(Farid, 2006).

Analisa gas darah pada awalnya menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO 2 sangat
rendah, PaCO2 normal atau rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya
memperlihatkan infiltrat alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau
batasbatas jantung, namun siluet jantung biasanya normal (Ware et al,2000).

PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun konsentrasi


oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan indikasi adanya
pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit paru yang tidak terjadi
ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru pasien sudah mengalami bocor
di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat
(Farid, 2006)

E. KOMPLIKASI

Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella, Pseudomonas,


dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus yang resisten
merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan morbiditas akibat ARDS.
Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan
positive pressure ventilation (PPV) serta positive end-expiratory pressure (PEEP).
Pasien ARDS yang dirawat dengan bantuan ventilasi mekanis akan mengalami
penurunan volume intravaskular serta penekanan curah jantung hingga berakibat
penurunan transpor O2 dan kegagalan organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di
ambang kematian, merupakan gejala umum yang dirasakan pasien ARDS (Farid, 2006).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan alkalosis
pernapasan. Namun, jika ARDS terjadi dalam konteks sepsis, asidosis metabolik yang
dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat terjadi (Harman, 2011).
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan meningkat, tekanan
parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat. Pasien dengan ventilasi mekanik
untuk ARDS dapat dikondisikan untuk tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk
mencapai tujuan volume tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-
paru terkait ventilator (Harman, 2011).
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab yang
mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk yang berikut
(Harman, 2011).
a. Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat dicatat.
Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan adanya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC). Faktor von Willebrand (vWF) dapat meningkat
pada pasien beresiko untuk ARDS dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
b. Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam perjalanan
ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus diawasi secara ketat.
c. Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera hepatoseluler
atau kolestasis.
d. Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8, yang
meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal dapat terlihat sejak
dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak langsung pada paru, radiograf
awal mungkin tidak spesifik atau mirip dengan gagal jantung kongestif dengan efusi
ringan. Setelah itu, edema paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus. Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler bilateral
difus menjadi jelas.Komplikasi seperti pneumotoraks dan pneumomediastinum
mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn, terutama pada radiografi portabel dan dalam
menghadapi kalsifikasi paru difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel
dengan temuan radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya
kembali normal (udobi et al, 2003)
ARDS menunjukkan perubahan interstisial dan bercak infiltrat
3. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi kemungkinan
infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral. sampel dapat diperoleh
dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam dan mengumpulkan cairan yang
dihisap setelah meberikan cairan garam nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage;
UUPA). Cairan dianalisis untuk diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain
dan pemeriksaan kuantitatif (Harman, 2011).

G. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi
1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif
2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat

3. Mencegah komplikasi nosokomial (kaitannya dengan infeksi)


Farmakologi
1. Inhalasi NO2 (nitric oxide) memberi efek vasodilatasi selektif pada area paru yan
terdistribusi, sehingga menurunkan pirau intrapulmoner dan tekanan arteri pulmoner,
memperbaiki V/Q matching dan oksigenasi arterial. Diberikan hanya pada pasien
dengan hipoksia berat yang refrakter
2. Kortikosteroid pada pasien dengan usia lanjut ARDS / ALI atau fase fibroproliferatif,
yaitu pasien dengan hipoksemia berat yang persisten, pada atau sekitar hari ke 7
ARDS. Rekomendasi mengenai hal ini masih menunggu hasil studi multi senter RCT
besar yang sedang berlangsung.
3. Ketoconazole: inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambat
biosintesisleukotrienes mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS
Non-farmakologi
1. Ventilasi mekanis dgn berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator, mengatur
PEEP (positive-end expiratory pressure)
2. Pembatasan cairan. pemberian cairan harus menghitung keseimbangan antara :
Kebutuhan perfusi organ yang optimal
Masalah ekstra vasasi cairan ke paru dan jaringan : peningkatan tekanan
hidrostatik intravascular mendorong akumulasi cairan di alveolus.
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
1. Airway :
DS : Pasien mengeluh sesak nafas
DO: Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi, dan suara
nafas bronkhial.
2. Breathing:
DS : pasien mengeluh sesak nafas
DO: pernafasan cepat dan dangkal, Peningkatan kerja nafas ; penggunaan otot bantu
pernafasan seperti retraksi intercostal atau substernal, nasal flaring, meskipun
kadar oksigen tinggi. Suara nafas : biasanya normal, mungkin pula terjadi
crakles, ronchi, dan suara nafas bronkhial. Perkusi dada : Dull diatas area
konsolidasi. Penurunan dan tidak seimbangnya ekpansi dada. Peningkatan
fremitus (tremor vibrator pada dada yang ditemukan dengan cara palpasi.
Sputum encer, berbusa.
3. Circulation :
DS: pasien mengeluh sesak nafas
DO:Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock). Heart rate : takikardi biasa terjadi. Bunyi
jantung : normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi.
Disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan normal. Kulit dan
membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium
lanjut)
4. Blood
DS : -
DO: Kulit terlihat sianosis, hipotensi, Pemeriksaan hasil Analisa Gas Darah:
Hipoksemia ( pe ↓ PaO2 ), Hipokapnia ( pe ↓ PCO2 ) pada tahap awal karena
hiperventilasi, Hiperkapnia ( pe ↑ PCO2 ) menunjukkan gagal ventilasi,
Alkalosis respiratori ( pH > 7,45 ) pada tahap dini, Asidosis respiratori /
metabolik terjadi pada tahap lanjut
5. Brain
DS : pasien mengeluh kepala terasa sakit DO : terjadi penurunan kesadaran mental.

6. Bladder
DS : -
DO : -
7. BOWEL
DS : pasien mengeluh mual, dan kehilangan nafsu makan.
DO : hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan berat badan.
8. Bone
DS : -
DO : terdapat sianosis pada kulit dan kuku.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).
2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan Kehilangan surfaktan menyebabkan
kolaps alveoli
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung.
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.

C. RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Bersihan Jalan Nafas Tak Efektif berhubungan dengan Meningkatnya tahanan jalan
nafas (edema interstisisial).

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Bersihan Jalan Nafas tidak NOC:  Pastikan kebutuhan oral
efektif berhubungan o Respiratory status : / tracheal suctioning.
dengan: Ventilation  Berikan O2 ……l/mnt,
o Respiratory status : metode………
▪ Infeksi, disfungsi
Airway patency  Anjurkan pasien untuk
neuromuskular,
o Aspiration Control istirahat dan napas
hiperplasia dinding
Setelah dilakukan dalam
bronkus, alergi jalan
tindakan  Posisikan pasien untuk
nafas, asma, trauma
keperawatan selama memaksimalkan
▪ Obstruksi jalan nafas :
…………..pasien ventilasi
spasme jalan nafas,
menunjukkan  Lakukan fisioterapi
sekresi tertahan,
keefektifan jalan dada jika perlu
banyaknya mukus,
nafas dibuktikan  Keluarkan sekret
adanya jalan nafas
dengan kriteria hasil : dengan batuk atau
buatan, sekresi
bronkus, adanya o Mendemonstrasikan suction
eksudat di alveolus, batuk efektif dan  Auskultasi suara nafas,
suara nafas yang catat adanya suara
adanya benda asing di bersih, tidak ada tambahan
jalan nafas. sianosis dan dyspneu  Berikan bronkodilator :
DS: (mampu ………………………
mengeluarkan ……………………….
- Dispneu
sputum, bernafas ………………………
DO: dengan mudah, tidak  Monitor status
- Penurunan suara nafas ada pursed lips) hemodinamik
- Orthopneu o Menunjukkan jalan  Berikan pelembab
- Cyanosis nafas yang paten udara Kassa basah
- Kelainan suara nafas (klien tidak merasa NaCl Lembab
(rales, wheezing) tercekik, irama nafas,  Berikan antibiotik :
- Kesulitan berbicara frekuensi pernafasan …………………….
- Batuk, tidak efekotif dalam rentang …………………….
atau tidak ada normal, tidak ada  Atur intake untuk
- Produksi sputum suara nafas cairan mengoptimalkan
- Gelisah abnormal) keseimbangan.
- - Perubahan freku o Mampu  Monitor respirasi dan
mengidentifikasikan status O2
dan mencegah faktor  Pertahankan hidrasi
yang penyebab.
yang adekuat untuk
o Saturasi O2 dalam
mengencerkan sekret
batas normal
 Jelaskan pada pasien
o Foto thorak dalam
dan keluarga tentang
batas normal
penggunaan peralatan :
O2, Suction, Inhalasi.

2. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan Kehilangan surfaktan menyebabkan


kolaps alveoli

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi

Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Gangguan Pertukaran gas NOC: NIC :
Berhubungan dengan :
o Respiratory Status :  Posisikan pasien
▪ ketidakseimbangan Gas exchange untuk
perfusi ventilasi o Keseimbangan asam memaksimalkan
▪ perubahan membran Basa, Elektrolit ventilasi
kapileralveolar o Respiratory Status :  Pasang mayo bila
DS: ventilation perlu
o Vital Sign Status  Lakukan fisioterapi
▪ sakit kepala ketika
Setelah dilakukan dada jika perlu
bangun tindakan  Keluarkan sekret
▪ Dyspnoe keperawatan selama dengan batuk atau
▪ Gangguan penglihatan …. Gangguan suction
DO: pertukaran pasien  Auskultasi suara
teratasi dengan nafas, catat adanya
▪ Penurunan CO2 kriteria hasi: suara tambahan
▪ Takikardi o Mendemonstrasikan  Berikan bronkodilator
▪ Hiperkapnia peningkatan ;
▪ Keletihan ventilasi dan -………………….
▪ Iritabilitas oksigenasi yang -………………….
▪ Hypoxia adekuat  Barikan pelembab
▪ kebingungan o Memelihara udara
▪ sianosis kebersihan paru paru  Atur intake untuk
▪ warna kulit abnormal dan bebas dari tanda cairan
(pucat, kehitaman) tanda distress mengoptimalkan
▪ Hipoksemia pernafasan keseimbangan.
o Mendemonstrasikan  Monitor respirasi dan
▪ hiperkarbia
batuk efektif dan
▪ AGD abnormal status O2
suara nafas yang  Catat pergerakan
▪ pH arteri abnormal bersih, tidak ada
▪ frekuensi dan sianosis dan dyspneu
dada,amati
kedalaman nafas kesimetrisan,
(mampu
abnormal penggunaan otot
mengeluarkan tambahan, retraksi
sputum, mampu otot supraclavicular
bernafas dengan dan intercostal
mudah, tidak ada
 Monitor suara nafas,
pursed lips)
seperti dengkur
o Tanda tanda vital
 Monitor pola nafas :
dalam rentang
bradipena, takipenia,
normal
kussmaul,
o AGD dalam batas
hiperventilasi, cheyne
normal
stokes, biot
o Status neurolog
 Auskultasi suara
nafas, catat area
penurunan / tidak
adanya ventilasi dan
suara tambahan
 Monitor TTV, AGD,
elektrolit dan ststus
mental
 Observasi sianosis
khususnya membran
mukosa
 Jelaskan pada pasien
dan keluarga tentang
persiapan tindakan
dan tujuan
penggunaan alat
tambahan (O2,
Suction, Inhalasi)
 Auskultasi bunyi
jantung, jumlah,
irama dan denyut
jantung
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan aliran balik vena, dan
penurunan curah jantung.

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi

Tujuan dan Kriteria Intervensi


Hasil
Perfusi jaringan NOC : NIC :
kardiopulmonal tidak
- Cardiac pump - Monitor nyeri dada
efektif b/d gangguan afinitas
Effectiveness (durasi, intensitas dan
Hb oksigen, penurunan
- Circulation status faktor-faktor presipitasi)
konsentrasi Hb,
- Tissue Prefusion : - Observasi perubahan
Hipervolemia, Hipoventilasi,
cardiac, peripheral ECG
gangguan transport O2, - Vital Sign Statusl - Auskultasi suara jantung
gangguan aliran arteri dan dan paru
vena Setelah dilakukan asuhan
- Monitor irama dan
selama………ketidakefe
DS: jumlah denyut jantung
ktifan perfusi jaringan
- Monitor angka PT, PTT
- Nyeri dada kardiopulmonal teratasi
- Sesak nafas dan AT
dengan kriteria hasil:
- Monitor elektrolit
DO:
- Tekanan systole dan (potassium dan
- AGD abnormal diastole dalam magnesium)
- Aritmia rentang yang - Monitor status cairan
- Bronko spasme diharapkan - Evaluasi oedem perifer
- Kapilare refill > 3 dtk - CVP dalam batas dan denyut nadi
- Retraksi dada - Monitor peningkatan
normal
- Penggunaan otot-otot kelelahan dan kecemasan
- Nadi perifer kuat dan
tambahan
simetris - Instruksikan pada pasien
- Tidak ada oedem untuk tidak mengejan
perifer dan asites selama BAB
- Denyut jantung, - Jelaskan pembatasan
AGD, ejeksi fraksi intake kafein, sodium,
dalam batas normal kolesterol dan lemak
- Bunyi jantung - Kelola pemberian
abnormal tidak ada obatobat: analgesik, anti
- Nyeri dada tidak ada koagulan, nitrogliserin,
- Kelelahan yang vasodilator dan diuretik.
ekstrim tidak ada - Tingkatkan istirahat
- Tidak ada (batasi pengunjung,
ortostatikhipertensi kontrol stimulasi
lingkungan)

26
4. Ansietas berhubungan dengan penyakit kritis, takut kematian, atau kecatatan,
perubahan peran dalam sosial, atau kecatatan permanen.

Diagnosa Keperawatan/ Rencana keperawatan


Masalah Kolaborasi
Tujuan dan Kriteria Intervensi
Hasil
Kecemasan berhubungan NOC : NIC :
dengan Krisis situasional, - Kontrol kecemasan Anxiety Reduction
perubahan status kesehatan, - Koping (penurunan kecemasan)
perubahan konsep diri. Setelah dilakukan asuhan  Gunakan pendekatan
DO/DS: selama ……………klien yang menenangkan
- Insomnia kecemasan teratasi dgn  Nyatakan dengan jelas
- Kontak mata kurang kriteria hasil: harapan terhadap pelaku
- Kurang istirahat - Klien mampu pasien
- Berfokus pada diri sendiri - mengidentifikasi dan  Jelaskan semua prosedur
Iritabilitas mengungkapkan gejala dan apa yang dirasakan
- Takut cemas selama prosedur
- Nyeri perut - Mengidentifikasi,  Temani pasien untuk
- Penurunan TD dan denyut mengungkapkan dan memberikan keamanan
nadi menunjukkan tehnik dan mengurangi takut
- Diare, mual, kelelahan untuk mengontol cemas  Berikan informasi
- Gangguan tidur - Vital sign dalam batas faktual mengenai
- Gemetar normal diagnosis, tindakan
- Anoreksia, mulut kering - Postur tubuh, ekspresi prognosis
- Peningkatan TD, denyut wajah, bahasa tubuh  Libatkan keluarga untuk
nadi, RR dan tingkat aktivitas mendampingi klien
- Kesulitan bernafas menunjukkan  Instruksikan pada pasien
- Bingung - Bloking dalam berkurangnya untuk menggunakan
pembicaraan kecemasan tehnik relaksasi
- Sulit berkonsentrasi
 Dengarkan dengan
penuh perhatian
 Identifikasi tingkat
kecemasan
 Bantu pasien mengenal
situasi yang
menimbulkan
kecemasan
 Dorong pasien untuk
mengungkapkan
perasaan, ketakutan,
persepsi
 Kelola pemberian obat

27
anti cemas:........

28
DAFTAR PUSTAKA

Amin Zulkifli, Purwoto J. (2007). ‘Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)’ Dalam :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI

Farid (2006). Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm vol 4 (12).
<http://content.ebscohost.com/pdf
1821/pdf/2010/IJM/01Feb06/4949718.pdf> diakses pada 01 april 2013
Guntur AH. (2007). ‘Sepsis’ Dalam : buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II; Edisi IV.
Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam : FKUI

Harman EM. (2011). Acute Respiratory Distress Syndrome Overview.


http://emedicine.medscape.com/article/165139-overview diakses pada 01 april 2013

Udobi KF, Touijer K. (2003). Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician.
Vol. 67 (2) :315-322. http://www.biomedcentral.com/1471-230X/11/35 diakses pada
01 april 2013

Ware LB, Matthay MA.(2000) The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med vol
(342) 1334-1349. www.nejm.org

Wilkinson,J & Ahern, N (2012). Buku Saku Diagnosa Keperawatan Nanda, Intervensi Nic,
Kriteria Hasil Noc. Jakarta : Prima Medika.

29
BAB II
PEMBAHASAN

A. Anatomi dan Fisiologi


a. Hidung
Hidung atau nasal adalah saluran pernafasan yang pertama ketika proses
pernafasan berlangsung, udara yang diinspirasi melalui rongga hidung akan
menjalani tiga proses yaitu penyaringan ( filtrasi ), penghangatan,dan
pelembaban.

b. Faring

Merupakan pipa berotot yang berjalan dari dasar tengkorak sampai


persambunganya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikoid.

c. Laring
Saluran udara dan bertindak sebagai pembentuk suara,pada bagian pangkal
ditutup oleh sebuah empang tenggorok yang disebut epiglottis, yang terdiri dari
tulang-tulang rawan yang berfungsi ketika menelan makanan dengan menutup
laring.

d. Trakea
Merupakan tabung fleksibel dengan panjang kira-kira10cm dengan lebar
2,5cm.trachea berjalan dari cartilage cricoidea kebawah pada bagian depan leher
dan dibelakang manubrium sterni,berakhir setinggi angulus sternalis (taut
manubrium dengan corpus sterni) atau sampai kira – kira ketinggian vertebrata
torakalis kelima dan ditempat ini bercabang menjadi dua bronkus.

e. Bronkus
Bronkus yang berbentuk dari belahan dua trakea pada ketinggian kira – kira
vertebrata torakalis ke lima mempunyai struktur serupa dengan trakea dan dilapisi
oleh jenis sel yang sama

f. Paru-paru
Merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar terdiri atas gelembung -
gelembung kecil ( alveoli ). Alveolus yaitu tempat pertukaran gas assinus terdiri
dari bronkhiolus dan respiratorius yang terkadang memiliki kantong udara kecil
atau alveoli pada dindingnya. Ductus alveolaris seluruhnya dibatasi oleh alveolis
dan sakus alveolaristerminalis merupakan akhir paru-paru, asinus atau kadang

30
disebut lobulus primer memiliki kanan kira-kira 0,5 s/d 1,0cm. Terdapat sekitar 20
kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus alveolaris.

B. Definisi Emboli Paru


Tromboemboli berasal dari kata thrombus dan emboli. Trombus adalah
kumpulan factor darah terutama trombosit dan fibrin dengan terperangkapnya unsure
seluler yang sering menyebabkan obstruksi vaskuler pada akhir pembentukannya.

Emboli paru adalah penyumbatan arteri pulmonalis (arteri paru-paru) oleh


suatu embolus secara tiba-tiba terjadi. (Perisai Husada-klinik specialis penyakit dalam
dan syaraf).

Emboli paru adalah obstruksi salah satu atau lebih arteri pulmonalis oleh
trombus yang berasal dari suatu tempat. (brunner dan suddarth,2001.621)

Emboli Paru (Pulmonary Embolism) adalah penyumbatan arteri pulmonalis (


arteri paru – paru ) oleh suatu embolus, yang terjadi secara tiba – tiba. Kelainan ini
ditandai dengan adanya pembendungan pada ateri pulmonalis ( atau salah satu
cabangnya ) oleh bekuan darah, lemak, udara atau sel tumor, emboli yang sering
terjadi adalah trombo emboli, yang terjadi ketika bekuan darah ( trombosis vena )
menjadi berpindah dari tempat pembentukan dan menyumbat suplai darah arteri
pada salah satu (Saryono, 2009).

Emboli Paru adalah sumbatan arteri pulmonalis yang disebabkan oleh trombus
pada trombosis vena dalam di tungkai bawah yang terlepas dan mengikuti sirkulasi
menuju arteri di paru. Setelah sampai diparu, trombus yang besar tersangkut di
bifurkasio arteri pulmonalis atau bronkus lobaris dan menimbulkan gangguan
hemodinamik, sedangkan trombus yang kecil terus berjalan sampai ke bagian distal,
menyumbat pembuluh darah kecil di perifer paru ( Goldhaber, 1998; Sharma, 2005 ).
Biasanya arteri yang tidak tersumbat dapat memberikan darah dalam jumlah yang
memadai ke jaringan paru-paru yang terkena sehingga kematian jaringan bisa
dihindari. Tetapi bila yang tersumbat adalah pembuluh yang sangat besar atau orang
tersebut memiliki kelainan paru-paru sebelumnya, maka jumlah darah mungkin tidak
mencukupi untuk mencegah kematian paru – paru. Sekitar 10 persen penderita emboli
paru mengalami kematian jaringan paru – paru, yang disebut infark paru. Jika tubuh
bisa memecah gumpalan tersebut, kerusakan dapat diminimalkan. Gumpalan yang

31
besar membutuhkan waktu lebih lama untuk hancur sehingga lebih besar kerusakan
yang ditimbulkan. Gumpalan yang besar bisa menyebabkan kematian mendadak.

C. Etiologi Emboli Paru


Berdasarkan hasil – hasil penelitian dari autopsy paru pasien yang meninggal
karena penyakit ini menunjukkan dengan jelas disebabkan oleh trombos pada
pembuluh darah, terutama vena ditungkai bawah atau dari jantung kanan. Sumber
Emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi sirkulasi vena ( Emboli
tumor ), udara, lemak, sumsum tulang dan lain-lain. Kemudian material Emboli
beredar dalam peredaran darah sampai disirkulasi pulmonal dan tersangkut pada
cabang – cabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis.

Faktor-faktor predisposisi terjadinya emboli paru menurut virchow 1856 atau


sering disebut sebagai physiological risk factors meliputi :

1. Adanya aliran darah lambat (statis).


2. Kerusakan dinding pembuluh darah vena.
3. Keadaan darah mudah membeku (hiperkoagulasi).
Kebanyakan kasus emboli paru menurut brunner & suddarth (1996) disebabkan oleh :
1. Bekuan darah.
2. Gelembung udara.
3. Lemak.
4. Gumpalan parasit.
5. Sel tumor.
Sumber Emboli paru yang lain misalnya tumor yang telah menginvasi
sirkulasi vena (Emboli tumor), dan lain-lain. Kemudian material Emboli beredar
dalam peredaran darah sampai disirkulasi pulmonal dan tersangkut pada
cabangcabang arteri pulmonal, memberi akibat timbulnya gejala klinis

Kebanyakan kasus disebabkan oleh bekuan darah dari vena, terutama vena di
tungkai atau panggul. Penyebab yang lebih jarang adalah gelembung udara, lemak,
cairan ketuban atau gumpalan parasit maupun sel tumor. Penyebab yang paling sering
adalah bekuan darah dari vena tungkai, yang disebut trombosis vena dalam.
Gumpalan darah cenderung terbentuk jika darah mengalir lambat atau tidak mengalir
sama sekali, yang dapat terjadi di vena kaki jika seseorang berada dalam satu posisi
tertentu dalam waktu yang cukup lama. Jika orang tersebut bergerak kembali,
gumpalan tersebut dapat hancur, tetapi ada juga gumpalan darah yang menyebabkan
penyakit berat bahkan kematian.

32
Menurut Sylvia A. Price, 2005, ada tiga faktor utama yang menyebabkan
timbulnya trombosis vena dan kemudian menjadi emboli paru yaitu sebagai berikut :
a. Stasis atau melambatnya aliran darah
b. Luka dan peradangan pada dinding vena
c. Hiperkoagulasibilitas
Trias klinis klasik yang merupakan predisposi trombo emboli paru
dideskripsikan oleh Rudolph Virchow tahun 1856, yaitu a. Trauma lokal pada dinding
pembuluh darah

Kedaan ini dapat terjadi karena adanya cedera pada dinding pembuluh darah,
kerusakan endotel vaskuler khususnya dikarenakan tromboflebitis sebelumnya.

b. Hiperkoagulabilitas darah
Dapat disebabkan oleh obat-obatan tertentu termasuk kontrasepsi oral, hormone
replacement therapy dan steroid.

c. Stasis darah
Dapat disebabkan oleh immobilsasi yang berkepanjangan atau katup vena yang
inkompeten dan terjadi oleh karena proses tromboemboli sebelumnya.

Sebagian besar pasien dengan emboli paru memiliki kondisi klinis yang
berkaitan dengan faktor-faktor predisposisi ini, seperti trauma mayor, pembedahan
dalam waktu dekat sebelumnya, obesitas dan imobilitas, merokok, peningkatan usia,
penyakit keganasan, pil kontrasepsi oral, kehamilan, terapi insulin hormon, dan
keadaan lain yang lebih jarang (misalnya sindrom nefrotik) (Huon H. Gray, 2003).

D. Manifestasi klinis Emboli Paru


Gambaran klinis emboli paru bervariasi tergantung pada beratnya obstruksi
pembuluh darah, jumlah emboli paru, ukurannya, lokasi emboli, umur pasien dan
penyakit kordiopulmonal yang ada. Emboli yang kecil mungkin tidak menimbulkan
gejala, tetapi sering menyebabkan sesak napas.

Tanda dan gejala emboli paru sangat berfariasi bergantung pada besar bekuan.
Gambaran klinis dapat berkisar dari keadaan tanpa tanda sama sekali sampai
kematian mendadak akibat embolus pelana yang masif pada percabangan ateri
pulmonalis utama yang mengakibatkan sumbatan pada saluruh aliran darah ventrikel
kanan. Emboli ukuran sedang berupa awitan mendadak dipsnoe yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, takepnue, takikardia, dan gelisah.nyeri pleuritik, suara

33
gesekan pleura, hemoptisis dan demam jarang ditemukan kecuali bila terjadi infark
(Sylvia A. Price,

2005).
Kecurigaan emboli paru merupakan dasar dalam menentukan test diagnostik.
Dipsnoe gejala paling sering muncul dan takipnoe adalah tanda emboli paru yang
paling khas. Pada umumnya dipsnoe berat, sinkop dan sianosis merupakan tanda
emboli paru yang mengancam nyawa. Nyeri pleuritik menunjukkan bahwa emboli
paru yang paling kecil dan terletak diarteri pulmonal distal berdekatan dengan garis
pleura (Goldhaber,1998; Sharma,2005).

E. Klasifikasi Emboli Paru 1.


Embolus besar
a. Tersangkut di arteri pulmonalis besar atau dari percabangan arteri pulmonali.
b. Dapat menyebabkan kematian seketika
c. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskuler dan gangguan hemodinamik.
2. Embolus Kecil
a. Tidak menimbulkan gejala klinis pada penderita tanpa kelemahan
kardiovaskuler.
b. Dapat menyebabkan nyeri dadasepintas dankadang-kadang hemoptisi karena
pendarahan paru
c. Pada penderita dengan kelemahan sirkulasi pulmoner (payah jantung) dapat
menyebabkan infark.

F. Patofisiologi Emboli Paru


Thrombus dapat terbentuk dari bekuan darah, lemak, udara atau sel tumor,
emboli. Bila thrombus lepas dari tempatnya, emboli ini akan mengikuti aliran sistem
vena yang seterusnya akan memasuki sirkulasi pulmonal. Ketika trombus
menghambat sebagian atau seluruh arteri pulmonal, ruang mati alveolar membesar.
Selain itu, keadaan ini akan menyebabkan peningkatan tekanan arteri pulmonalis
yang akan melepaskan sejumlah substansi vasokonstriktor seperti serotonin, reflex
vasokonstriksi arteri pulmonalis dan hipoksemia yang pada akhirnya menimbulkan
hipertensi pulmonal. Hal ini juga menyebabkan bronkhiolus berkonstriksi. Reaksi ini
dibarengi dengan ketidak seimbangan ventilasi – perfusi menyebabkan sebagian
darah terpirau ( tidak ada pertukaran gas yang terjadi ) yang mengakibatkan
penurunan kadar O2 dan peningkatan CO2. Konsekuensi hemodinamik adalah

34
peningkatan tahanan vaskuler paru akibat penurunan jaringan-jaringan vaskuler
pulmonal, mengakibatkan peningkatan tekanan arteri pulmonal dan pada akirnya
meningkatkan kerja ventrikel kanan untuk mempertahankan aliran darah pulmonal.

Efek klinis Emboli Paru tergantung pada derajat obtruksi vaskuler paru,
pelepasan agen humoral vasoaktif dan bronkokonstriksi dari pratelet teraktivasi
(misalnya serotonin, tromboksan A2), penyakit kardiopulmonal sebelumnya, usia dan
kesehataan umum pasien.

Afterload RV meningkat secara bermakna bila lebih dari 25% sirkulasi paru
mengalami obstruksi. Awalnya hal ini mengakibatkan peningkataan tekanan RV,
kemudiaan diikuti oleh dilatasi RV dan regurgitasi trikuspid, dan dengan mulai
gagalnya ventrikel kanan, terjadi penurunan tekanan RV. Ventrikel kanan yang
normal tidak mampu meningkatkan tekanan ateri pulmonalis lebih banyak di atas 50 –
60 mmHg sebagai respons terhadap obstruksi mayor mendadak pada sirkulasi paru,
sementara pada trombus emboli kronis atau PH primer tekanan RV dapat meningkat
secara bertahap hingga tingkat suprasistemik ( >100 mmHg ). Kombinasi dari
penurunan aliran darah paru dan pergeseran septum interventrikel keruangan ventrikel
kiri akibat ventrikel kanan yang mengalami dilatasi, menurunya pengisian ventrikel
kiri. Maka dispnoe pada pasien dengan obstruksi berat akut sirkulasi paru dapat
dikurangi manuver yang meningkatkan aliran balik vena sistemik dan preload
ventrikel kiri, seperti berbaring datar, mendongak dengan kepala kebawah, dan infus
koloid intravena. Hal ini berlawanan dengan dispnue pada pasien dengan gagal
ventrikel kiri, yang gejalanya berkurang dengan manuver yang menurunkan preload
ventrikel kiri, seperti duduk tegak dan terapi duduk ( Huon H. Gray, 2003 ).

Menurut ( Goldhaber, 2005 dan Sunu, 2006 ), secara garis besar emboli paru
akan membentuk efek patofisiologi sebagai berikut:

a. Peningkatan resistensi vaskuler paru yang disebabkan obstruksi, neurohormonal,


atau baroreseptor arteri pulmonal atau peningkatan tekanan arteri pulmonalis
b. Pertukaran gas terganggu dikarenakan peningkatan ruang mati alveolar dari
dampak obstruksi vaskuler dan hipoksemia karena hipoventilasi alveolar,
rendahnya unit ventilasi – perfusi dan shunt dari kanan ke kiri dan juga
gangguan transfer karbonmonoksida
c. Hiperventilasi alveolar dikarenakan stimulasi reflex oleh iritasi resptor
d. Peningkatan resistensi jalan napas oleh karena bronkokonstriksi
35
e. Berkurangnya compliance paru disebabkan oleh edema paru, perdarahan dan
hilangnya surfaktan

36
G. Pathway Emboli Paru

Trombus Emboli

Penyumbatan aliran darah

Penurunan aliran darah ke paru-paru Penurunan aliran darah ke jantung

Oksigen ke jaringan tubuh menurun Hipoksia jaringan tubuh

Hipoksia jaringan paru-paru Gangguan pertukaran gas,kerusakan

Gangguan pertukaran gas,kerusakan


Sianosis
Infark jaringan paru2 tempat emboli paru
Penurunan Oksigen

Intoleransi aktivitas

Pola Nafas Tidak Efektif

H. Komplikasi Emboli Paru


Komplikasi meliputi disfungsi ventrikel, gagal nafas, kegagalan multi organ,
dan kematian (Greenberg, 2005).

Nekrosis iskemik lokal (infark) merupakan komplikasi emboli paru yang


jarang terjadi karena paru memiliki suplai darah ganda. Infark paru biasanya dikaitkan
dengan penyumbatan ateria lobaris atau lobularis ukuran sedang dan isufisiensi aliran
kolateral dari sirkulasi bronkus. Suara gesekan pleura dan sidikit efusi pleura
merupakan tanda yang sering ditemukan (Sylvia A. Price, 2005).

37
I. Pemeriksaan Penunjang Emboli Paru
Menurut Huon H, Gray (2003) pemeriksaan yang dapat dilakukan meliputi:
1. Elektrokardiografi
Kelainan yang ditemukan pada elektrokardiografi juga tidak spesifik untuk
emboli paru, tetapi paling tidak dapat dipakai sebagai pertanda pertama dugaan
adanya emboli paru, terlebih kalau digabungkan dengan keluhan dan gambaran
klinis lainnya.

Mungkin memperlihatkan sinus takikardia dan normal pada emboli paru


minor, namun memperlihatkan abnormalitas khas pada sekitar 30% pasien
dengan Emboli Paru masif.

2. Ekokardiografi
Bisa terlihat dilatasi jantung kanan dan perkiraan tekan RV mungkin
dilakukan bila dideteksi regusitasi trikuspid. Kadang trombus bisa dilihat jantung
kanan.

3. Radiografi Toraks
Dilatasi arteri pulmonal proksimal mayor, dan area oligemia paru dapat
menandakan adanya obstruksi arteri mayor.

4. Pemindaian Paru
Biasanya dilaporkan sebagai kemungkinan Emboli Paru rendah, sedang, atau
tinggi. Bila sugestif Emboli Paru, pemindaian cenderung untuk menilai rendah
derajat keparahan angiografi dan gangguan hemodinamik Emboli Paru.

5. MRI dan pemindaian CT


Terutama CT spiral diperkuat kontras, semakin banyak digunakan dan dapat
mendeteksi emboli paru yang tidak diduga secara klinis. Pemidain CT merupakan
pemeriksaan pilihan pasien dengan dugaan emboli Paru yang juga memiliki
penyakit paru sebelumnya.

6. Analisa Gas Darah


Gambaran khas berupa menurunnya kadar pO2 akibat ventilasi yang
berkurang. Secara simultan pCO2 dapat normal atau sedikit menurun disebabkan
hiperventilasi. PO2 rendah (Hipoksemia), menurunnya PCo2 atau dibawah 40
mmHg. Gas darah arteri (GDA)menunjukkan hipoksemia (PaO2 kurang dari
80MmHg)dan alkalosis respiratori (PaCO2 kurang dari 35MmHg dan pH lebih
tinggi dari 7,45).Alkalosis respiratori dapat di sebabkan oleh hiperventilasi.

38
7. D-dimer
Plasma D-dimer merupakan hasil degradasi produk yang dihasilkan oleh
fibrinolisis endogen yang dilepas dalam sirkulasi saat adanya bekuan. D-dimer
secara ELISA dapat memprediksi emboli paru bila ratio D-dimer/fibrinogen >
1000.
8. Scanning ventilasi-perfusi
Pemeriksaan ini sudah menjadi uji diagnosis non-invaisif suspect emboli paru.
Keterbatasan alat ini adalah adanya alergi kontras, insufisiensi ginjal atau
kehamilan.

9. Spiral pulmonary CT Scan


Pemeriksaan ini dapat diberikan pada klien yang tidak dapat menjalani
pemeriksaan scanning ventilasi – perfusi. Pemeriksaan ini dilakukan dengan
memberikan injeksi kontras medium melalui vena perifer dan dapat mencapai
arteri pulmonalis yang selanjutnya memberikan visualisasi arteri pulmonal
sampai ke cabang segmentalnya.

10. Pulmonary scintigraphy


Dengan menggunakan radioaktif technetium, ini merupakan suatu tekhnik
yang cukup sensitive untuk mendeteksi gangguan perfusi. Deficit perfusi dapat
dikarenakan oleh ketidakseimbangan aliran darah ke bagian paru atau disebabkan
masalah paru seperti efusi atau kolaps paru. Untuk menambah spesifisitasnya,
tekhnik ini selalu dikombinasi dengan ventilation scan dengan menggunakan
radioaktif xenon.

11. Pulmonary angiography


Untuk melihat terdapatnya defek atau arteri cutoff dengan tidak adanya darah
pada distal aliran darah.

12. Pemeriksaan untuk trombosis vena dalam (sebagai penyebab tersering):


1. USG Doppler pada aliran darah anggota gerak
2. Venografi tungkai
3. Pletsimografi tungkai
13. Laboratorium
a. Pemeriksaan darah tepi: Kadang – kadang ditemukan leukositosis dan laju
endap darah yang sedikit tinggi.
b. Kimia darah: Peningkatan kadar enzim SGOT, LDH

39
J. Penatalaksanaan Emboli Paru
1. Penatalaksanaan umum
Tindakan untuk memperbaiki keadaan umum pasien. Kebanyakan pasien emboli
paru merupakan keadaan gawat darurat, tindakan pertama pada pasien ini adalah
memperbaiki keadaan umum pasien untuk mempertahankan fungsi – fungsi vital
tubuh:

a. Memberikan Oksigen untuk mencegah terjadinya hipoksimia.


b. Memberikan cairan infus untuk mempertahankan kesetabilan keluaran
ventrikel kanan dan aliran darah pulmonal.
c. Tirah baring
d. Pemberian bantuan oksigen
e. Pemantauan TD
f. Stocking pressure gradient (30-40 mmHg, bila tidak ditoleransi gunakan 20-30
mmHg)

2. Penatalaksanaan medis
Pengobatan utama terhadap emboli paru
a. Pengobatan anti koagulan dengan heparin dan warfarin.
b. Pengobatan trombolitik.

Tujuan pengobatan utama ini adalah:

a. Segera menghambat pertumbuhan tromboemboli.


b. Melarutkan tromboemboli.
c. Mencegah terjadinya emboli ulang
Anamnesis gejala dan faktor resiko pasien dan harus didapatkan dengan jelas.
Dengan sedikit pengecualian, pasien yang diduga mengalami emboli paru harus
mendapatkan pemeriksaan radiodrafi thoraks dan EKG dan dirujak untuk
pemidaian V/Q paru. Bila indeks kecurigaan klinis tinggi, antikougulan harus
dimulai, tanpa menunggu hasil pemeriksaan penunjang, selain terapi suportif
misalnya analgesik dan oksigen, tiga pilihan terapi segera untuk emboli paru
adalah antikoagulasi dengan heparin, terapi trombolitik, embolektomi paru (Huon

H. Gray, 2003).
Pengobatan utama untuk emboli paru terdiri dari terapi dengan terapi
fibronolitik untuk pasien emboli paru masif atau tidak menetap. Regimen

40
fibronolitik biasa digunakan untuk emboli paru, termasuk juga dua bentuk
aktifaktor plasminogen jaringan rekombinan t-PA (altelpalse) dan r-PA
(retelplase) yang digunakan dengan urokinase dan setretokinase. Bedah
embolektomi dilakukan bila terapi dengan fibronolitik merupakan kontraindikasi.
Tindakan tambahan yang penting juga penting adalah menghilangkan nyeri
dengan agen antiinflamasi nonsteroid, suplemen oksigen, pemantauan perawatan
intensif, dan stock-stacking penekanan sebesar 30 hingga 40 mmhg, dobutamin
digunakan untuk mengobati gagal jantung karena dan syok kardiogenik.
Pencegahan sekunder emboli paru dengan menggunakan heparin,. Heparin adalah
antikoagulan yang penting karena menghambat pembesaran bekuan tapi tidak
mampu menghancurkan bekuan yang sudah ada (Sylvia A. Price, 2005).

Antikoagulan heparin merupakan pilar utama terapi segera, dengan pemberian


antikoagulan jangka panjang sebagai komponen penting perawatan, filter vena
kava dapat dipertimbangan pada beberapa untuk mengurangi kemungkinan
emboli tambahan ke paru, trombolisis dapat dipertimbangkan pada beberapa kasus
tetapi saat ini masih kontroversial. Emboliktomi secara bedah atau dengan
panduan kateter dapat dipertimbangkan pada pasien tertentu ( Greenberg, 2005 ).

K. Pencegahan Emboli Paru


a. Mencegah pembentukan trombus merupakan tanggung jawab keperawatan yang
utama. Ambulasi dan latihan tungkai aktif serta pasif dianjurkan untuk mencegah
stasis vena pada pasien tirah baring. Pasien diintruksikan untuk menggerakan
tungkai dalam latihan gerakan memompa sehingga otot-otot tungkai dapat
membantu aliran vena. Pasien juga disarankan untuk tidak duduk atau berbaring
untuk waktu yang lama, menyilangkan tungkai atau mengenakan pakaian yang
ketat. Tungkai tidak boleh dijuntaikan tidak juga diletakan dalam posisi
tergantung sementara pasien duduk ditepi tempat tidur. Sebaliknya, kaki pasien
harus diletakkann diatas lantai atau di atas kursi, kateter intravena (untuk terapi
parental atau pengukuran tekanan vena sentral) tidak boleh terpasang untuk waktu
yang lama ( Smeltzer Suzanne C, 2002 ).
b. Pencegahan emboli paru menurut dr. Rosfanty adalah:
Pada orang-orang yang memiliki resiko menderita emboli paru, dilakukan
berbagai usaha untuk mencegah pembentukan gumpalan darah di dalam vena.

41
Untuk penderita yang baru menjalani pembedahan ( terutama orang tua ),
disarankan untuk:

1. Menggunakan stoking elastis


2. Melakukan latihan kaki
3. Bangun dari tempat tidur dan bergerak aktif sesegera mungkin untuk
mengurangi kemungkinan terjadinya pembentukan gumpalan.
Stoking kaki dirancang untuk mempertahankan aliran darah,
mengurangi kemungkinan pembentukan gumpalan, sehingga menurunkan
resiko emboli paru. Terapi yang paling banyak digunakan untuk mengurangi
pembentukan gumpalan pada vena tungkai setelah pembedahan adalah
heparin. Dosis kecil disuntikkan tepat di bawah kulit sebelum operasi dan
selama 7 hari setelah operasi. Heparin bisa menyebabkan perdarahan dan
memperlambat penyembuhan, sehingga hanya diberikan kepada orang yang
memiliki resiko tinggi mengalami pembentukan gumpalan, yaitu:

a. Penderita gagal jantung atau syok


b. Penyakit paru menahun
c. Kegemukan
d. Sebelumnya sudah mempunyai gumpalan

Heparin tidak digunakan pada operasi tulang belakang atau otak karena
bahaya perdarahan pada daerah ini lebih besar. Kepada pasien rawat inap yang
mempunyai resiko tinggi menderita emboli paru bisa diberikan heparin dosis kecil
meskipun tidak akan menjalani pembedahan. Dekstran yang harus diberikan melalui
infus, juga membantu mencegah pembentukan gumpalan. Seperti halnya heparin,
dekstran juga bisa menyebabkan perdarahan. Pada pembedahan tertentu yang dapat
menyebabkan terbentuknya gumpalan, ( misalnya pembedahan patah tulang panggul
atau pembedahan untuk memperbaiki posisi sendi ), bisa diberikan warfarin per-oral.

Terapi ini bisa dilanjutkan untuk beberapa minggu atau bulan setelah pembedahan
( Winoviyanto, 2011 ).

42
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN EMBOLI PARU

A. Kasus pada pasien emboli paru


Ny. A diantarkan keluarganya ke RS. Datang dengan keluhan sulit bernafas, klien
mengatakan merasakan nyeri dada hilang timbul.
Nyeri sejak 3 hari yang lalu. Skala nyeri 5 – 6. Hasil analisa gas darah menunjukkan
bahwa Analisa gas darah tidak normal.
Pernapasan 40x/menit, Nadi 120x/menit, TD 140/90 mmHg, Suhu 37,6 oC.

pasien tampak bingung, gelisah dan lemah.

1. Analisa Data

No. Data Fokus Diagnosa NANDA


1. Pola nafas tidak efektif Pola nafas tidak efektif b.d dyspnea
DS : penurunan fungsi paru.
- Pasien mengtakan sulit bernafas  Domain IV : activity/rest
DO :  Class 4 : Cardiopulmonary/pulmo
- Pasien tampak dyspnea responses
- RR 40x/menit 00032 : Ineffective breathing pattern
- N : 120x/menit
- TD : 140/90 mmHg
2. Gangguan pertukaran gas Gangguan pertukaran gas b.d emboli
DS : parutrombus.
-  Domain 3 : elimintion exchange
DO :  Class 4 : fungsi respiratory
- Analisa gas darah tidak normal 00030 : impaired gas exchange
- Tingkat kesadaran somnolen
3. Nyeri Nyeri
DS :  Domain 12 : comfort
- Pasien mengatakan nyeri dada  Class 1 : physicalcomfort
P : penurunan fungsi paru 00132 : acute pain
Q : seperti ditusuk dan ditekan – tekan
R : dada tengah condong ke kiri
S : Skala 5 – 6
T : sejak 3 hari yang lalu
DO :
- Pasien tampak kesakitan dan
memegang dada
- Pasien tampak cemas, bingung dan
gelisah

43
2. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa NANDA NOC NIC
1. Pola nafas tidak efektif b.d  Domain II :  Domain II :
dyspnea penurunan fungsi Physiological Health Physiological
paru.  Class E : complex cont’d
 Domain IV : activity/rest cardiopilmonary  Class K : Respiratory
 Class 4  0415 : Respiratory Management
:Cardiopulmonary/pulm status  3302 : Oxygen
o responses Setelah dilakukan therapy
00032 : Ineffective breathing tindakan keperawatan Aktivitas :
pattern selama Kriteria hasil - Bersihkan mulut,
Gangguan pertukaran gas b.d yang diharapkan : hidung dan trakea
emboli parutrombus. - 041501 : Nilai dari sekresi, senyawa
 Domain 3 : elimintion Respirasi (2-3) - Pertahankan
exchange - 041502 : Ritme kepatenan jalan nafas
 Class 4 : fungsi respirasi (2-3) - Mengatur &
respiratory - 041503 : mengelola O2,
00030 : impaired gas Kedalaman lembutkan
exchange respirasi (2-3) kelembaban sistem
- Auskultasi suara - Perhatikn flow meter
nafas (2-3) O2
- Dyspnea saat  Domain II :
istirahat (1-3) Physiological
- Dyspnea saat complex cont’d
aktivitas (2-3)  Class K :
 Domain II : Respiratory
Physiologic Health Management
 Class E :  4106 : Embolus
Cardiopulmonary Care : Pulmonary
 0402 : Respiratory Aktivitas :
 Status : Gas o Persiapkan terapi
Exchange trombolitik, sesuai
Setelah dilakukan indikasi ( seperti :
tindaan keperawatan streptokinase,
selama Kriteria hasil urokinase, aktivase
yang diharapkan : )
- 040208 : tekanan o Peroleh riwayat
parsial oxygen di kesehatan pasien
arteri ( PaO2 ) ( 2 – untuk melakukan
3) pencegahan saat ini
- 040209 : PCO2 ( 1 – dan selanjutnya
3) o Evaluasi perubahan
- 040210 : pH arteri ( pada status respirasi
1–3) dan jantung ( seperti
- 040211 : saturasi : skala, whezing

44
oxygen ( 1 – 3 ) baru, hemoptisis,
- 040203 : dyspnea at dyspnea, takipnea,
rest ( 2 – 3 ) takikardia, sinkop )
- 040204 : dyspnea o Membantu dengan
with miltexertion ( 2 tes diagnostik dan
–3) ketetapan untuk
menunjang dan
menyingkirkan
kondisi dengan
tanda serupa (
seperti : infark
miokrd, perikarditis,
pneumonia,
pneumotorax )
o Instruksikan pasien
atau keluarga
mengenai prosedur
diagnostik ( v/q
scan, CT – Scan,
USG )
o Auskultasi bunyi
paru
Nyeri  Domain IV : Health  Domain 1 :
 Domain 12 : comfort knowledge & Physiological Basic
 Class 1 : physicalcomfort Behavior  Class E : Physical
 00132 : acute pain  Class Q : Health comfort promotion
Behavior  1400 : pain
 1605 : Pain control management
Setelah dilakukan Aktivitas :
tindakan keperawatan - Lakukan penilaian
selama Kriteria hasil komprehensif
yang diharapkan : terhadap nyeri
 160501 : - Observasi tanda –
mendeskripsikan tanda non verbal
faktor penyebab (2 – dari
4) ketidaknyamanan,
 160502 : mengetahui terutama pada klien
onset / skala nyeri ( 2 yang bisa
–3) berkomunikasi
 160504 : gunakan surefektif
prosedur non - Perhatikan penuh
analgesik ( 2 – 3 ) perawatan analgesik
 160505 : gunakan pasien
analgesik jika perlu ( - Gunakan
2–3) komunikasi
 160510 : membuat terapeutik, untuk

45
catatan atau memberitahu sakit
monitoring ( 1 – 3 ) dan menyampaikan
 160513 : laporkan penerimaan respon
perubahan gejala pasien terhada nyeri
nyeri hingga ke - Batasi faktor
tenaga medis lain ( lingkungan yang
dokter ) ( 1 –3) dapat
mempengaruhi
pasien ( seperti suhu
ruangan,
penerangan dan
kebisingan

3. Implementasi & Evaluasi Keperawatan

N0. Hari/Tanggal Implementasi Evaluasi


1. Senin, 17 - Membersihkan mulut, S:
November hidung dan trakea dari Pasien sudah tidak terlihat dyspnea
2014 sekresi, senyawa O:
- Mempertahankan  RR = 21x/menit
kepatenan jalan nafas  N = 98x/menit
- Mengatur & mengelola  TD = 120/80
O2, lembutkan  S = 36,5oC
kelembaban sistem A : Masalah Teratasi
- Memperhatikn flow meter P : Hentikan intervensi
O2 S:-
- Mempersiapkan terapi O:
trombolitik, sesuai - analisa gas darah normal ,
indikasi ( seperti : - tingkat kesadaran komposmentis
streptokinase, urokinase, A : masalah teratasi
aktivase ) P : intervensi dihentikan
- Memperoleh riwayat
kesehatan pasien untuk
melakukan pencegahan
saat ini dan selanjutnya
- Mengevaluasi perubahan
pada status respirasi dan
jantung ( seperti : skala,
whezing baru, hemoptisis,
dyspnea, takipnea,
takikardia, sinkop )
- Membantu dengan tes
diagnostik dan ketetapan
untuk menunjang dan
menyingkirkan kondisi

46
dengan tanda serupa (
seperti : infark miokrd,
perikarditis, pneumonia,
pneumotorax )
- Menginstruksikan pasien
atau keluarga mengenai
prosedur diagnostik ( v/q
scan, CT – Scan, USG )
- Mengauskultasi bunyi
paru
2. - Melakukan penilaian S:
komprehensif terhadap Nyeri dada pasien berkurang
nyeri O:
- Mengobservasi tanda – - Pasien tampak membaik
tanda non verbal dari - Pasien terlihat tenang
ketidaknyamanan, A : Masalah teratasi
terutama pada klien yang P : Intervensi dihentikan
bisa berkomunikasi
surefektif
- Memperhatikan penuh
perawatan analgesik
pasien
- Menggunakan komunikasi
terapeutik, untuk
memberitahu sakit dan
menyampaikan
penerimaan respon pasien
terhada nyeri
- Mematasi faktor
lingkungan yang dapat
mempengaruhi pasien (
seperti suhu ruangan,
penerangan dan
kebisingan

47

Anda mungkin juga menyukai