Anda di halaman 1dari 15

“ FILSAFAT ILMU “

SCEPTICISM

KELOMPOK III :
1. Ni Made Ayu Nirmalasari Putri Erawan (1881621008) / 09
2. Cokorda Istri Eka Pratiwi (1881621009) / 10
3. Ni Made Ayu Maya Puspita (1881621015) / 16

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
SKEPTISISME

Para skeptis mengklaim bahwa kita tidak memiliki sebanyak keyakinan


yang dibenarkan atau sebanyak pengetahuan yang kita miliki dalam pikiran.
Beberapa dari mereka menyatakan bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang
jenis-jenis dari fakta tertentu: mungkin kita tidak bisa mengetahui hal-hal tentang
masa depan, apakah orang lain memiliki pikiran, moralitas, atau Tuhan (beriman).
Pemikir skeptis kunci dalam tradisi Barat adalah Descartes, yang idenya mengenai
skeptisisme telah menggerakkan epistemologi selama lebih dari 300 tahun.
1. Skeptisisme Cartesian
1.1 . Mimpi dan setan/ jin
Kami menyadari bahwa indera kita terkadang menipu kita. Menara yang
jauh bisa kelihatan bulat padahal sebenarnya berbentuk persegi, dan kacang pinus
yang digoreng di dapur terhirup rasa dendeng babi (danging kering). Kesalahan
tersebut biasanya tidak menjadi perhatian kita karena kita dapat memeriksa
apakah persepsi kita adalah akurat. Saya dapat mengamati menara tersebut lebih
cermat dengan cara bergerak mendekatinya, dan saya dapat membandingkan
putusan indera saya berbeda : saya dapat melihat di: wajan gorengan dan melihat
bahwa ada kacang pinus yang sedang digoreng dan bukan dendeng babi. Selain
itu, kita kebanyakan yakin bahwa indera kita tidak keliru dalam cara ini. Saya
menerima bahwa saya bisa saja salah tentang bentuk menara yang jauh itu, tapi
saya seyakin-yakinnya bahwa sekarang saya duduk di ruang kerja saja dan
monitor komputer saya lagi hidup atau menyala.
Ketika kita bermimpi, semua indera kita sedang tertipu, dan sebagian besar
mimpi tidak terdeteksi sedemikian rupa. Kesimpulan skeptis yaitu karena saya
tidak tahu bahwa saya tidak bermimpi, saya tidak dibenarkan dalam meyakini
bahwa saya saat ini duduk di ruang kerja saya. Dalam mimpi, kita tampaknya
mencampur dan mencocokan komponen dari berbagai pengalaman yang kita
miliki dalam hidup ketika kita sedang terjaga/terbangun. Mimpi dapat mencakup
semua jenis makhluk yang fantastis dan yang berupa alur cerita, tetapi ini
terkonstruksi dari fitur tertentu tentang pengalaman kehidupan kita sehari-hari..

1
Descartes memperkenalkan apa yang menjadi sosok yang sangat berpengaruh
dalam sejarah epistemologi, yaitu setan jahat, setan genius, atau jin jahat.
Descartes mengklaim, kita tidak dapat mengetahui bahwa makhluk
tersebut tidak memanipulasi pengalaman kita. Setan seperti itu bisa menipu kita
tentang (hampir) segala sesuatu, mungkin tidak ada dunia luar sama sekali.
Descartes tidak gila: dia tidak percaya bahwa ada setan seperti itu. Namun
maksudnya adalah bahwa jika ada, maka pengalaman kita tidak bisa dibedakan
dari pengalaman saat kita membawa diri kita untuk sedang mengalami dunia ini.
Oleh karena itu, kita tidak memiliki pembenaran untuk menyakini bahwa kita
memiliki persepsi tulus daripada semata-mata halusinasi setan yang terinduksi.
Hilary Putnam (1981) menyajikan versi modern terkait dilema ini, orang
menabrak rumah demi menemukan skenario setan terlalu fantastis untuk diseriusi.
Ini mungkin tidak melampaui kapasitas ilmu kedokteran di masa yang akan
datang, yaitu mengangkat otak dan membiarkan tetap hidup dalam tong nutrisi.
(Otak tersebut muncul dalam berbagai film, termasuk The Man With Two Brains,
l993, dan film Prancis La Cite ties Enfants Perdus, 1995.) Otak ini tidak akan
menerima masukan sensorik dari dunia, melainkan ilmuwan jahat bisa
menggunakan komputer untuk memberi input makanan berupa listrik langsung ke
batang otak, dan dengan demikian otak tersebut bisa menerima masukan sensorik
yang sama dengan yang otak saya sedang terima sekarang. Oleh karena,
pengalaman otak dalam sebuah tong itu bisa jadi tidak dapat dibedakan dari
pengalaman saat saya membawa diri untuk mengalami dunia ini. Jadi, untuk
semuanya saya bisa beritahukan, yaitu semua pengalaman saya mungkin telah
disimulasikan dalam otak saya oleh para ilmuwan jahat, yaitu otak saya sedang
duduk di tong laboratorium mereka. Karena otak saya memutuskan untuk
menjangkau (ilusi) kopi dengan (ilusi) lengan saya, ilmuwan komputer
mempertimbangkan perubahan apa yang harus dilakukan untuk memasukkan
persepsi otak saya yang tersimulasi. Saya harus disuapi dengan pengalaman visual
terkiat melihat lenganku mengapai cangkir, dan pengalaman mencium bau kopi
karena saya (tampak) mendekatkan cangkir ke bibir saya.

2
Sebelum mempertimbangkan bagaimana kita harus menanggapi sikap
skeptis seperti itu, mari kita memperjelas tentang struktur argumen Cartesian
teresebut. Kemungkinan skeptis tertentu disarankan. Jika saya tidak bisa tahu
bahwa kemungkinan ini tidak terwujud, maka ada hal-hal lain yang saya tidak bisa
tahu juga. Jika saya tidak tahu bahwa saya tidak sedang bermimpi, maka saya
tidak tahu bahwa saya sekarang sedang duduk di ruang kerja saya. Jika saya tidak
tahu bahwa saya bukanlah sebuah otak yang berada dalam tong, maka saya tidak
tahu bahwa saya sedang mengenakan celana korduroi biru. Agar saya mengetahui
fakta-fakta seperti yang demikian terkait situasi saya saat ini, saya harus bisa
menyingkirkan kemungkinan skeptis Cartesian, dan tidak jelas bagaimana hal ini
dapat dilakukan. Hal ini karena pengalaman saya akan sama saja jika realitasnya
berbeda secara radikal dari apa yang saya kira terjadi. Saya tidak punya dasar
pembenaran untuk percaya pada satu skenario daripada yang lainnya dan sehingga
tidak satupun keyakinan saya tentang dunia luar yang dibenarkan.
Pertanyaan Descartes terkait apakah keyakinan persepsi kita dibenarkan.
Realis tidak langsung menyatakan bahwa kita hanya langsung menyadari item
mental atau data yang masuk akal. Jika Anda suka pendekatan ini, maka sangat
mudah untuk merasakan tarikan pemikiran skeptis Descartes karena pengalaman
persepsi saya akan sama apapun asal data terkait perasaan saya. Mungkin setan
menanamkan dalam pikiran saya. Namun perlu diingat bahwa realis langsung
tidak terlepas dari skeptisisme tersebut. Teori realis langsung yang kita fokuskan
adalah intentionalisme, dengan klaim bahwa keadaan-keadaan perseptual
memiliki konten yang disengaja (intensional). Parallels digambar dengan
keyakinan: Saat ini saya merasa bahwa cangkir kopi saya kosong, dan saya juga
percaya bahwa hal ini benar. Pandangan demikian juga memberi ruang bagi
skeptis. Saya dapat memiliki keyakinan yang salah dan saya dapat memiliki
keyakinan tentang hal-hal yang tidak ada. Memiliki pemikiran dengan konten
yang disengaja bahwa p tidak berarti sehelai fitur dari dunia luar. Demikian pula,
saya bisa merasakan dunia ini seperti p, namun keliru. Oleh karena itu, Argumen
Cartesian dapat menggigit: itu bisa bahwa saya hanya memiliki berbagai keadaan

3
mental dan persepsi dengan konten intensional, yaitu intensional konten yang
tidak memilih fitur yang ada di dunia ini.
Ini adalah situasi epistemik yang mengerikan untuk dimasuki, karena itu
kita harus mencoba dan menemukan respon yang memuaskan terhadap
skeptisisme tersebut. Descartes sendiri berpikir bahwa dia dapat berargumen
untuk menunjukkan bahwa kita tidak terjebak dalam situasi ini. Dengan
menggunakan penalaran teori berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, dia
mencoba untuk membuktikan bahwa Tuhan itu ada, dan karena Tuhan itu baik,
maka dia tidak akan membiarkan kita untuk tertipu secara global dengan cara ini.
Dalam bab 15 kita akan melihat salah satu argumennya terkait keberadaan Tuhan.
Namun, peninggalan Descartes tetap menjadi yang negatif. Seperti yang akan kita
lihat, ada berbagai masalah yang disertai dengan argumen positifnya terkait
keberadaan Tuhan. Karena itu, dia tidak bisa menghindari argumen skeptis bahwa
dia mengedepankan dirinya. Namun, yang lain telah menawarkan argumen/
pendapat yang lebih persuasif terhadap skeptisisme dan kita akan beralih ke hal
ini di bagian 3,4 dan 5 pada bab ini. Namun, terlebih dahulu kita akan melihat
pengaruh skeptisisme Cartesian di bioskop.
1.2. Descartes dalam film
Pembahasan yang telah dilakukan sampai saat ini membuat kita menyadari
bahwa ilmu filosofis dapat diilustrasikan melalui seni, diantaranya dengan film.
Salah satu film yang diduga terinspirasi oleh ilmu epistemologi adalah film Dark
Star (1974) yang secara eksplisit menggunakan teori Cartesian di dalamnya. Hal
ini tercermin dari dialog antara seorang astronot bernama Komandan Doolittle
yang meyakinkan sebuah bom cerdas (inteligent bomb) bahwa bom tersebut tidak
mengetahui apakah benar-benar ada dunia di luar sana dan ia tidak tahu apakah ia
sudah diperintah untuk meledak atau tidak.
Selain pada film Dark Star teori Cartesian juga digunakan dalam film The Matrix
(1999) dan sequels-nya. Film tersebut bercerita mengenai dunia yang sebenarnya
telah dikontrol oleh sebuah sistem, sehingga mereka sebenarnya hanya hidup
dalam dunia maya bernama The Matrix. Seorang Hacker bernama Neo kemudian
mulai menyadari kebenaran tersebut. Selanjutnya Ia tergabung dengan pasukan

4
pemberontak bersama dengan Morpheus, Trinity dan lainnya untuk
menghancurkan sistem The Matrix. Film ini menggunakan referensi argumen dari
Descartes, yakni berkaitan dengan mimpi, hal tersebut tergambar dalam dialog
yang terjadi diantara Morpheus dengan Neo. Pada saat itu, Morpheus berkata
kepada Neo: “Neo, apakah Anda pernah bermimpi? Apakah Anda benar-benar
yakin bahwa itu nyata? Bagaimana jika Anda tidak bisa bangun dari mimpi itu?
Bagaimana Anda bisa mengetahui perbedaan antara dunia mimpi dan dunia
nyata?”
Seluruh genre film tentang realitas dipengaruhi oleh argumen Descartes.
Contoh lainnya terdapat dalam film eXistenZ (1999), yang mana karakter dalam
film tersebut memainkan video game futuristik yang dihubungkan ke dasar tulang
belakangnya. Argumen Cartesian terdapat pada akhir film ini dengan dialog
seperti berikut ini, “Hei, katakan yang sebenarnya, apakah kita masih dalam
permainan?”. Selain itu, dilema Cartesian juga tergambar di dalam film The
Truman Show. Film tersebut menceritakan tentang seseorang bernama Truman
yang tanpa disadarinya merupakan seorang aktor utama dari sebuah reality show
bernama The Truman Show. Sejak bayi Truman menjalankan hidupnya di set
studio yang dilengkapi dengan segala kebutuhannya. Jadi segala sesuatu yang
berkaitan dengan Truman, baik itu keluarga, pekerjaan, dan dunianya adalah
palsu. Aktivitas Truman dipantau terus selama 24 jam dan ditayangkan secara
langsung di Televisi. Beberapa film yang menggunakan paham Cartesian tidak
hanya membuat karakter yang terjebak dalam Cartesian, namun juga membuat
penonton terjebak di dalamnya.
Namun ternyata terdapat perbedaan antara skenario Descartes dan
penggambarannya di dalam film. Pertama, walaupun dikatakan bahwa Truman
tidak menjalani kehidupan secara nyata, namun Ia masih berhubungan dengan
dunia nyata oleh karena itu keyakinan yang dimilikinya dapat dibenarkan. Secara
nyata di sana terdapat Ia dapat melihat meja, kursi, tubuhnya sendiri, dan lain
sebagainya. Tidak ada satu pun dari keyakinan ini yang dapat dibenarkan menurut
argumen Descartes. Yang kedua, argumen Descartes manyatakan bahwa
bermimpi berbeda dengan kasus veridikal. Namun hal tersebut tidak relevan

5
dengan film Truman, yang mana di dalam film ada sebuah kejadian jatuhnya rig
pencahayaan studio jatuh dari langit, dan dalam film The Matrix, Morpheus dan
Neo menyadari bahwa telah terjadi suatu kesalahan di dunia ini, namun mereka
tidak mengetahuinya.
Namun, penting untuk diingat terkait perbedaan penting antara skenario
Descartes dan presentasi sinematik ini dari ide-idenya. Pertama, Truman masih
berhubungan dengan dunia nyata, studio TV, dan karena itu banyak keyakinannya
yang dibenarkan. Kedua, sangat penting untuk argumen Descartes bahwa
bermimpi dan skenario setan bisa dibedakan dari kasus veridikal.

2. Menerima Skeptisisme Cartesian


Terdapat kemungkinan bahwa respon yang diberikan terhadap skeptisisme
Cartesian adalah rasa tidak peduli. Seperti yang diceritakan dalam film The
Truman Show dan juga The Matrix yang mana mereka hidup di dalam satu tempat
yang sudah disediakan, hal tersebut menjadikan mereka memiliki pengalaman
yang sama tanpa harus menghiraukan yang lainnya, itulah yang menyebabkan
mereka tidak peduli dengan hal lainnya di luar kehidupan mereka. Terdapat tiga
tanggapan yang kurang jujur mengenai skeptisisme ini. Pertama, kita dapat
menerima bahwa keyakinan empiris yang kita miliki tidak ada dasar
pembenarannya, dan kita berusaha hidup dalam bayangan skeptisisme tersebut.
Kedua, kita bisa menerima argumen skeptis dan apabila kita tidak percaya dengan
kesimpulan yang diberikan maka kita dapat memberikan penjelasannya dalam
aspek psikologis. Plihan ketiga ini yang akan menjad fokus utama dari materi ini,
diantaranya menahan keyakinan dan makan malam, permainan backgammon, dan
percakapan.
2.1. Menahan keyakinan
Setiap orang dibenarkan dalam mempercayai sesuatu dan dengan demikian
kita harus siap untuk bertanggung jawab secara epistemis terhadap kepercayaan
tersebut, sehingga lebih baik kita menahan keyakinan yang kita miliki mengenai
dunia. Namun terkadang kita tidak bisa menahan diri terhadap situasi tersebut.
Kemampuan kita untuk dapat menahan suatu keyaninan tertentu dapat merubah

6
setiap tindakan dan cara hidup kita di dunia. Sebagai contoh, seseorang yang
memutuskan untuk tidak meyakini keberadaan UFO. Menahan keyakinan ini akan
berdampak pada setiap pemikiran orang tersebut, misalnya sekarang Ia mulai
percaya bahwa lampu-lampu aneh yang berada di langit adalah benda
meteorologi, dan sudah tidak ada lagi keinginan untuk pergi berlibur ke Groom
Lake, Nevada yang dipercaya sebagai tempat penampakan UFO. Dlam
tindakannya untuk menahan keyakinan yang Ia miliki dapat mempengaruhi setiap
tindakannya, yang mana Ia menjadi percaya bahwa ada sesuatu yang terjadi di
langit dan masih ada tempat-tempat menarik lainnya untuk berlibur. Namun yang
menjadi perdebatan disini adalah bagaimana kita bisa bertindak secara koheren
apabila kita menahan semua keyakinan yang kita miliki mengenai dunia.
2.2. Makan malam, permainan backgammon dan percakapan
Hume lebih skeptis dari Descartes. Pertama, pertanyaannya berakhir
dengan kesimpulan skeptis tertentu yang masih berdiri kokoh. Ingat, Descartes
mengklaim telah membantah skeptisismenya sendiri. Kedua, setelah Descartes
telah menyajikan argumen skeptisnya, ia terkenal mengklaim bahwa ada satu hal
yang dia tahu pasti, ‘saya’, dan dia tahu ini dengan alasan yang tampaknya tak
terbantahkan bahwa ia berpikir: ‘Cogito, ergo sum’ (saya ada untuk berpikir).
Saya tahu yang ada, yang bertahan melalui waktu, dan yang memiliki keyakinan
tertentu tentang dunia, keyakinan sebagaimana itu terjadi, tidak dibenarkan.
Ekstra skeptis Hume yaitu kita tidak punya alasan untuk percaya diri kita sendiri:
tidak ada, tidak ada ego Cartesian yang bertahan dari waktu ke waktu. Semua
yang dapat diklaim yaitu bahwa ada pikiran, meskipun pikiran tersebut tidak
dihibur oleh pemikir tertentu. Tidak ada pembenaran untuk percaya pada dunia
luar atau bahkan dalam keberadaan memikirkan pelajaran.
Sebenarnya ada dua untai pendekatan Hume, yaitu skeptis dan
naturalistik, dan beberapa penafsir menekankan bagian kedua daripada yang
pertama. Strategi yang sejauh ini alami melihat penerimaan bahwa kita tidak
memiliki keyakinan yang dibenarkan tentang dunia luar. Tentu saja, itu jauh lebih
memuaskan jika kita bisa menemukan alasan yang baik untuk menolak hipotesis
skeptis.

7
3. Kontekstualisme
Epistemologi menurut ‘invariantist’, yaitu bahwa mereka bekerja dengan
satu set standar, standar yang mana semua klaim pengetahuan harus penuhi.
Sebuah respon baru terhadap skeptisisme telah mempertanyakan invariantism
tersebut, dan berbagai penulis termasuk Keith De Rose (1995) dan David Lewis
(2000) telah mengusulkan pendekatan ‘kontekstualis’. Kontekstualis berpendapat
bahwa standar yang harus dipenuhi keyakinan agar dapat diklasifikasikan sebagai
pengetahuan berbeda dengan konteks. Alvin Goldman adalah salah satu orang
yang pertama mengusulkan pendekatan kontekstualis yang demikian,
Definisi pengetahuan kita memerlukan syarat sotto voce. S tahu bahwa P
iff [jika dan hanya jika] buktinya S menghilangkan setiap kemungkinan
yang tidak - P Pssit - kecuali untuk kemungkinan yang benar-benar kita
abaikan. (D. Lewis, 2000, hal. 371)
Para kontekstualis mengklaim bahwa hal ini bukan semata-mata
bagaimana kita menggunakan konsep pengetahuan, kita juga dibenarkan dalam
menggunakannya dengan cara ini. Selanjutnya, ada dua konteks yang tidak
gampang dibedakan secara epistemologis, yang satu sehubungan dengan
skeptisisme Cartesian, dan yang mencakup semua konsep-konsep lainnya, ada
berbagai macam konteks, masing-masing punya seperangkat standar epistemic
sendiri.

4. Eksternalisme Kognitif
Putnam (1981) mengajukan argumen cerdik terhadap kemungkinan bahwa
kita bisa menjadi otak dalam tong. Untuk melihat bagaimana argumen ini bekerja,
pertama-tama kita perlu mengatakan sesuatu tentang posisi yang disebut
eksternalisme kognitif dan, lebih umum, tentang filsafat pikiran. Pikiran kita
memiliki konten/isi, yaitu konten tentang aspek-aspek tertentu tentang dunia.
Konten dari salah satu pikiran saya saat ini yaitu komputer saya lagi hidup.
Pertanyaan penting dalam filsafat pikiran adalah menyangkut sifat konten yang
demikian. Internalists kognitif mengklaim bahwa konten dari pikiran tertentu
ditentukan sepenuhnya oleh apa yang ada dalam kepala si pemikir. Pada berbagai

8
penjelasan tradisional/sederhana, penjelasan dari Locke, Descartes dan Hume,
pikiran kita dipandang sebagai gagasan, gagasan yang dipahami sebagai
gambaran, gambaran yang berada di dalam kepala kita. Perkembangan terkini
dalam filsafat pikiran sudah bergeser dari gambaran ini dan berkonsentrasi hanya
pada barang-barang yang dapat diberikan penjelasan ilmiah. Beberapa orang
mengklaim bahwa keadaan mental hanyalah keadaan fisik dari otak. Yang lainnya
mengikuti pendekatan komputasi dan melihat pikiran sebagai analog yang
memiliki perangkat lunak, dengan otak yang menyediakan perangkat keras yang
memungkinkan program kita untuk berjalan. Namun, penjelasan modern ini
memiliki satu fitur penting yang sama dengan gambar tradisional, yaitu keadaan
fisik atau komputasi yang demikian berada di dalam kepala kita, dan inilah yang
menentukan isi dari pikiran kita.
Namun, bagi eksternalis kognitif memandang bahwa dunia memainkan
peran konstitutif dalam menentukan konten dari keadaan mental kita: ‘ruang
kognitif menggabungkan bagian yang relevan dari dunia “eksternal”’ (McDowell,
1986, hal 258.). Berbagai argumen telah diajukan dalam mendukung pendekatan
eksternalist ini, yang paling penting adalah pikir percobaan Putnam (1975a) Twin
Earth. Pikiran mereka memiliki konten yang berbeda, meskipun kita telah
menetapkan bahwa segala sesuatu di dalam kepala mereka adalah sama. Konten
pikiran tidak sepenuhnya ditentukan oleh apa yang ada di kepala.

5. Eksternalist Epistemologis, Respon terhadap Skeptisisme


Secara tradisional/sederhana, untuk memiliki pengetahuan kita harus
mampu untuk membenarkan keyakinan yang kita pegang, dan pembenaran
tersebut harus secara kognitif dapat diakses bagi kita. Jika pendekatan internalis
ini diadopsi, maka skeptisisme tampak menjadi besar. Descartes telah berpendapat
bahwa dari sudut pandang kami skenario skeptis tidak dapat dibedakan dari akal
sehat. Oleh karena itu, saya tidak bisa memiliki pikiran yang dibenarkan tentang
dunia karena saya tidak bisa memberikan alasan untuk mendukung klaim bahwa
ada dunia secangkir kopi dan klip kertas daripada hanya dunia setan yang sangat
tipis.

9
Namun, menurut eksternalist epistemologis, kita tidak harus menyadari
fakta-fakta kognitif yang diproses pengetahuan. Klaim reliabilist dasar yaitu
bahwa pengetahuan dihasilkan oleh mekanisme kognitif yang handal, mekanisme
yang cenderung menghasilkan keyakinan yang benar dan bukan yang palsu atau
tidak benar.. Klaim utama yaitu bahwa kemungkinan besar hipotesis skeptis tidak
merusak pengetahuan saya tentang dunia. Jika pada kenyataannya saya seorang
pemikir yang handal, maka saya dapat memiliki pengetahuan yang demikian.

10
Pertanyaan 1
Untuk mengetahui bahwa ada sebuah buku di tangan Anda. Apakah Anda perlu
tahu bahwa Anda bukan otak di tong?
Jawaban :
Untuk mengetahui bahwa ada buku di tangan saya, saya perlu mengetahui bahwa
saya bukan otak dalam tong. Karena otak pada tong, tidak bisa berpikir tentang
buku karena tidak secara kausal atau perseptual terlibat dengan hal-hal seperti itu
(dalam hal ini adalah buku). Jika otak pada tong tidak memiliki pikiran yang
penuh dengan konten, maka tidak bisa memikirkan apa pun, apalagi kemungkinan
skeptisisme.

Pertanyaan 2
Mungkinkah setan atau ilmuwan jahat menipu kita untuk berpikir keliru bahwa 2
+2 = 5 atau bahwa mungkin ada bujangan yang menikah?
Jawaban :
Kita tidak dapat ditipu oleh setan atau ilmuwan jahat dalam berpikir 2 + 2 = 5 atau
bahwa ada bujangan yang menikah, sebab ada perasaan dimana pengalaman
berkaitan dengan semua keyakinan. Tanpa adanya setan atau ilmuwan jahat dan
tanpa perlunya pengalaman kita tahu bahwa 2 + 2 = 4. Untuk tahu bahwa ada
bujangan yang menikah kita perlu tahu arti dari kata bujangan, yaitu belum
menikah dan laki-laki. Kita terjustifikasi dalam mempercayai bahwa mereka
belum menikah. Bila ada mungkin bujangan yang menikah dia tidak akan disebut
bujangan.

Pertanyaan 3
Hume mengklaim bahwa jika kita menerima bahwa tidak ada dari keyakinan
empiris kita dibenarkan, maka: semua wacana, semua tindakan akan segera
berhenti, dan laki-laki (akan) tetap berada dalam kelesuan total, sampai kebutuhan
alam, tidak puas, mengakhiri untuk kehidupan yang menyedihkan mereka.
Apakah itu benar?
Jawaban :

11
Sebelum menerima suatu keyakinan itu benar atau tidak diperlukan justifikasi
untuk membuktikannya, barulah kita dapat percaya bahwa hal tersebut benar. Dan
apabila yang diklaim Huge adalah benar, hal tersebut tidak akan membuat kita
khawatir, bukan karena kita memilih untuk tidak menjadi khawatir, tetapi karena
kita secara psikologis kita mampu bersikap skeptis. Ini adalah fakta kontingen
tentang makhluk dengan pikiran seperti kita. Ini adalah strategi kita untuk
menerima bahwa kita tidak memiliki keyakinan yang dapat dibenarkan tentang
dunia luar.

Pertanyaan 4
Apa perbedaan antara eksternalisme kognitif dan eksternalisme epitemoslogis dan
dapat memberikan sanggahan memuaskan skeptisisme Cartesian?
Jawaban:
Perbedaan antara eksternalisme kognitif dan eksternalisme epitemoslogis, adalah
ekternalisme kognitif lebih menekankan pada proses berpikir, sedangkan
eksternalisme epistemologi menekankan pada bagaimana suatu pikiran menjadi
pengetahuan. Menurut eksternalisme kognitif, dunia memainkan peran konstitutif
dalam menentukan isi keadaan mental kita: "Ruang kognitif menggabungkan
bagian yang relevan dari dunia luar Dan menurut externalisme epistemologi,
pengetahuan dihasilkan oleh mekanisme kognitif yang realiabel yang cenderung
menghasilkan keyakinan yang benar daripada yang salah.
Kedua konsep ini memberikan sanggahan terhadap skeptisisme Cartesian.
- Eksternalisme kognitif menyatakan saya bisa berpikir mengenai pohon karena
ada pohon di dunia saya, pohon yang saya bisa kausal dan perseptualkan.
Sebuah otak pada tong, bagaimanapun, tidak bisa berpikir tentang pohon
karena tidak secara kausal atau perseptual terlibat dengan hal-hal seperti. Jika
otak pada tong tidak memiliki pikiran yang penuh dengan konten, maka tidak
bisa memikirkan apa pun, apalagi kemungkinan skeptisisme.
- Eksternalisme epistemologis menyatakan kemungkinan dari hipotesis skeptis
tidak mengurangi pengetahuan saya tentang dunia. Jika pada kenyataannya
saya pemikir handal, maka saya dapat memiliki pengetahuan seperti itu.

12
Pertanyaan 5
Dalam sebuah seminar tentang skeptisisme Cartesian, teman Anda memberikan
catatan yang menanyakan apakah Anda memiliki ponsel Anda dengan Anda.
Anda mengangguk kepadanya bahwa yang Anda miliki. Pada akun kontekstualis,
tampaknya Anda tidak tahu bahwa ada ponsel di tas Anda (dalam konteks
percakapan lisan Anda tentang argumen skeptis Descartes) dan Anda tahu bahwa
ada (dalam konteks komunikasi tak terucapkan Anda). Anda tahu bahwa p dan
Anda tidak tahu bahwa p. apakah ini klaim yang koheren?
Jawaban :
Kedua klaim ini tidak koheren. Descartes meragukan segala sesuatu, sehingga
klaim Decrates menyatakan bahwa tampaknya Anda tidak tahu bahwa ada ponsel
di dalam tas anda. Sedangkan dalam komunikasi tidak berucap, anda tahu bahwa
ponsel tersebut ada pada anda. Para kontektualis mengklaim bahwa tidak hanya
bagaimana kita menggunakan konsep dari pengetahuan, kita juga menjustifikasi
dengan menggunakannya. Sehingga untuk mendapatkan pegetahuan apakah
ponsel tersebut benar-benar ada pada anda, anda harus menjustifikasi dengan
memeriksa tas anda.

13
DAFTAR PUSTAKA

O’Brien, Dan. 2006. An Introduction to The Theory of Knowledge. United


Kingdom: Polity Press.

14

Anda mungkin juga menyukai