Kelompok 5:
DAFTAR ISI
1. LATAR BELAKANG..........................................................................................................1
2. TUJUAN...............................................................................................................................1
BAB II KONSEP DASAR TEORI..................................................................................................2
1. DEFINISI..............................................................................................................................2
2. ETIOLOGI............................................................................................................................2
3. PATOFISIOLOGI................................................................................................................2
4. TANDA D AN GEJALA......................................................................................................2
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG................................................................2
6. KOMPLIKASI......................................................................................................................2
7. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN.........................................................................2
8. ASUHAN KEPERAWATAN..............................................................................................2
9. PENYIMPANGAN KDM....................................................................................................2
BAB III LAPORAN KASUS..........................................................................................................3
1. PENYIMPANGAN KDM KASUS......................................................................................3
2. PENGKAJIAN KEPERAWATAN......................................................................................3
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN..........................................................................................3
4. INTERVENSI KEPERAWATAN.......................................................................................3
BAB IV PEMBAHASAN...............................................................................................................4
BAB V PENUTUP..........................................................................................................................5
1. KESIMPULAN.....................................................................................................................5
2. SARAN.................................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................................................6
BAB I
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Hiperbilirubinemia merupakan masalah umum yang sering dijumpai pada bayi baru lahir
keadaan ini disebabkan oleh gabungan peningkatan katabolisme hema dan imaturitas
fisiologis hepar dalam kongjungsi dan ekskresi bilirubin. Secara klinis, ikterik dapat
dilihat pada kulit dan sklera. Secara fisiologis kadar bilirubin akan meningkat setelah
lahir, lalu menetap dan selanjutnya menurun setelah usia 7 hari. Pada janin, tugas
mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta, dan bukan oleh hati. Setelah
bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang memerlukan sampai beberapa
minggu untuk penyesuaian.
Angka kematian bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI)
pada tahun 2007 sebesar 34 per 1.000 kelahiran. Sebagian besar bayi baru lahir, terutama
bayi yang kecil (bayi yang berat lahir < 2.500 gr atau usia gestasi < 37 minggu)
mengalami ikterus pada minggu awal kehidupannya (Maulida, 2014). Angka kematian
bayi di Indonesia dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 sebesar
32 per 1.000 kelahiran hidup. Kematian neonatus terbanyak di Indonesia disebabkan oleh
asfiksia (37%), Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan prematuritas (34%), sepsis (12%),
hipotermi (7%), ikterus neonatorum (6%), postmatur (3%), dan kelainan kongenital (1%)
per 1.000 kelahiran hidup (Ratuain, Wahyuningsih, & Purmaningrum, 2015).
Keberhasilan upaya kesehatan bayi baru lahir 0-28 hari (neonatal) dapat dilihat dari
penurunan Angka kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB). Penurunan
AKB berdampak langsung pada meningkatnya usia harapan hidup dalam menimbang
keberhasilan pembangunan kesehatan.
Kejadian ikterus neonatorum menjadi penyebab yang paling banyak terjadi pada
kelahiran neonatal. 30-50% bayi baru lahir mengalami ikterus neonatorum. Ikterus
neonatorum terjadi 3-5 hari setelah kelahiran. Ikterus neonatorum pada bayi saat lahir
biasa terjadi saat 25-50% neonatus yang sudah cukup bulan dan sangat meninggi lagi
untuk neonatus belum cukup bulan Kejadian ikterus neonatorum di Indonesia mencapai
50% bayi cukup bulan dan kejadian ikterus neonatorum pada bayi kurang bulan
(premature) mencapai 58%. Rumah Sakit Dr. Sarditjo melaporkan kejadian ikterus
neonatorum pada bayi cukup bulan sebanyak 85% yang mana memiliki kadar bilirubin di
atas 5 mg/dl dan 23,80% memiliki kadar bilirubin di atas 13 mg/dl. Data yang diperoleh
dari Rumah Sakit Dr. Kariadi Semarang melaporkan bahwa insiden ikterus fisiologis
paling sering terjadi jika dibandingkan ikterus patologis dengan angka kematian terkait
hiperbilirubin sebesar 13,10%. Insiden ikterus neonatorum di Rumah Sakit Dr. Soetomo
Surabaya sebesar 13% dan 30% (Hafizah & Imelda, 2013). Penelitian di RSUD Dr.
Adjidarmo Rangkasbitung oleh Putri & Rositawati (2016) angka kejadian bayi ikterus
neonaotum tahun 2013 yaitu 4,77%. Angka kejadian ikterus neonatorum tahun 2014
yaitu 11,87%. [ CITATION Pus18 \l 1033 ]
2. TUJUAN
a. Untuk menjelaskan dan mengetahui definisi dari Ikterus Neonatorum
b. Untuk menjelaskan dan mengetahui etiologi dari Ikterus Neonatorum
c. Untuk menjelaskan dan mengetahui patofisiologi dari Ikterus Neonatorum
d. Untuk menjelaskan dan mengetahui tanda dan gejala dari Ikterus Neonatorum
e. Untuk menjelaskan dan mengetahui pemeriksaan diagnostik/penunjang dari Ikterus
Neonatorum
f. Untuk menjelaskan dan mengetahui komplikasi dari Ikterus Neonatorum
g. Untuk menjelaskan dan mengetahui penatalaksanaan/pengobatan dari Ikterus
Neonatorum
h. Untuk menjelaskan dan mengetahui penyimpangan KDM dari Ikterus Neonatorum
i. Untuk menjelaskan dan mengetahui askep dari Ikterus Neonatorum dari Ikterus
Neonatorum
BAB II
KONSEP DASAR TEORI
1. DEFINISI
Ikterus pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian. Oleh
karena itu, setiap bayi dengan ikterus harus mendapat perhatian, terutama apabila ikterus
ditemukan dalam 24 jam pertama kehidupan bayi dengan kadar bilirubin meningkat > 5 mg/dl.
Proses hemolisis darah, infeksi berat, ikterus yang berlangsung lebih dari 1 minggu serta
bilirubin direct > 1 mg/dl, juga merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adanya
ikterus patologis [ CITATION Yul18 \l 14345 ].
Ikterus adalah suatu keadaan BBL dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 5 mg% pada
minggu pertama ditandai dengan ikterus, dikenal ikterus neonatorum yang bersifat patologis atau
hiperbilirubinemia. Ikterus adalah suatu gejala diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan
mukosa akibat penumpukan bilirubin [ CITATION Roh17 \l 14345 ]
2. ETIOLOGI
Menurut [ CITATION Yul18 \l 14345 ] “faktor risiko yang merupakan penyebab tersering ikterus
neonatorum di wilayah Asia dan Asia Tenggara antara lain, inkompatibilitas ABO, defisiensi
enzim G6PD, BBLR, sepsis neonatorum,dan prematuritas”. Hiperbilirubinemia yang dialami
oleh bayi prematur disebabkan karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses
eritrosit. Saat lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya. Sisa pemecahan
eritrosit disebut bilirubin, bilirubin ini yang menyebabkan kuning pada bayi dan apabila jumlah
bilirubin semakin menumpuk ditubuh menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini
timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Ikterus
secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5–7 mg/dl
[ CITATION Roh17 \l 14345 ].
Bayi yang lahir dengan kehamilan kurang dari 37 minggu terjadi imaturitas enzimatik, karena
belum sempurnanya pematangan hepar sehingga menyebabkan hipotiroidismus, dan bahwa bayi
prematur lebih sering mengalami hiperbillirubin dibandingkan bayi cukup bulan Hal ini
disebabkan oleh faktor kematangan hepar sehingga konjugasi billirubin indirek menjadi
billirubin direk belum sempurna. Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat
lahir <2500 gram atau usia gestasi <37 minggu) mengalami icterus pada minggu-minggu
pertama kehidupannya. Hiperbilirubin pada bayi baru lahir terdapat 25-50% neonatus cukup
bulan dan lebih tinggi lagi pada neonates kurang bulan. Icterus pada bayi baru lahir merupakan
suatu gejala fisiologis atau dapat merupakan hal patologis.
Darah ibu yang berbeda dengan bayi akan mengakibatkan bayi menerima antibody dari plasenta
yang dapat menyebabkan abnormalitas fungsi protein sel darah merah. Bayi yang kesulitan
menyusu atau kurang mendapatkan nutrisi dari ASI memiliki risiko tinggi jaundice/kuning.
Dehidrasi atau kekurangan pemasukan nutrisi juga bisa menyebabkan jaundice oleh karena itu
para ahli menganjurkan untuk memberikan ASI untuk mengoptimalkan hidrasi dan energy bagi
bayi [ CITATION Hos15 \l 14345 ]
3. PATOFISIOLOGI
Bilirubin diproduksi dalam sistem retikuloendotelial sebagai produk akhir dari katabolisme heme
dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Pada langkah pertama oksidasi, biliverdin
terbentuk dari heme melalui kerja heme oksigenase, dan terjadi pelepasan besi dan karbon
monoksida. Besi dapat digunakan kembali, sedangkan karbon monoksida diekskresikan melalui
paru-paru. Biliverdin yang larut dalam air direduksi menjadi bilirubin yang hampir tidak larut
dalam air dalam bentuk isomerik (oleh karena ikatan hidrogen intramolekul). Bilirubin tak
terkonjugasi yang hidrofobik diangkut dalam plasma, terikat erat pada albumin. Bila terjadi
gangguan pada ikatan bilirubin tak terkonjugasi dengan albumin baik oleh faktor endogen
maupun eksogen (misalnya obatobatan), bilirubin yang bebas dapat melewati membran yang
mengandung lemak (double lipid layer), termasuk penghalang darah otak, yang dapat mengarah
ke neurotoksisitas [ CITATION Mat13 \l 14345 ]
Bilirubin yang mencapai hati akan diangkut ke dalam hepatosit, dimana bilirubin terikat ke
ligandin. Masuknya bilirubin ke hepatosit akan meningkat sejalan dengan terjadinya peningkatan
konsentrasi ligandin. Konsentrasi ligandin ditemukan rendah pada saat lahir namun akan
meningkat pesat selama beberapa minggu kehidupan. Bilirubin terikat menjadi asam glukuronat
di retikulum endoplasmik retikulum melalui reaksi yang dikatalisis oleh uridin difosfoglukuronil
transferase (UDPGT). Konjugasi bilirubin mengubah molekul bilirubin yang tidak larut air
menjadi molekul yang larut air. Setelah diekskresikan kedalam empedu dan masuk ke usus,
bilirubin direduksi dan menjadi tetrapirol yang tak berwarna oleh mikroba di usus besar.
Sebagian dekonjugasi terjadi di dalam usus kecil proksimal melalui kerja B-glukuronidase.
Bilirubin tak terkonjugasi ini dapat diabsorbsi kembali dan masuk ke dalam sirkulasi sehingga
meningkatkan bilirubin plasma total. Siklus absorbsi, konjugasi, ekskresi, dekonjugasi, dan
reabsorbsi ini disebut sirkulasi enterohepatik. Proses ini berlangsung sangat panjang pada
neonatus, oleh karena asupan gizi yang terbatas pada hari-hari pertama kehidupan.
a. Kulit dan sclera mata, umumnya dimulai dari kepala menyebar ke dada, perut, tangan dan
kaki akan berwarna kuning serta kulit gatal
b. Feses berwarna pucat, dimana normalnya feses bayi berwarna kuning kehijauan. Warna
urin gelap dimana warna normal urin bayi tidak berwarna.
c. Gejala klinis yang tampak ialah rasa kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula,
muntah, opistotonus, mata terputar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa
menyebabkan kematian. Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental,
kelumpuhan serebral, tuli, dan mata tidak dapat digerakkan ke atas [ CITATION Mat13 \l
14345 ]
5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
Adapun pemeriksaan yang bisa dilakukan [ CITATION Roh18 \l 14345 ] yaitu :
6. KOMPLIKASI
Tinggi kadar bilirubin yang tinggi dapat menyebabkan komplikasi jika tidak diobati :
a. Ensefalopati bilirubin akut, bilirubin ini beracun bagi sel-sel otak. Jika bayi memiliki
penyakit kuning yang parah maka ada risiko bilirubin masuk ke otak
Kelesuan
Kesulitan bangun
Menangis keras
Kesulitan makan
demam
b. Kernikterus adalah syndrom yang terjadi jika enselopati bilirubin akut tidak diobati dan
menyebabkan kerusakan permanen pada otak, kernicterus dapat menyebabkan :
Gerakan tidak sadar dan gerakan tidak terkontrol
Gerakan mata permanen ke arah atas
Kehilangan pendengaran
Kesulitan perkembangan
7. PENATALAKSANAAN/PENGOBATAN
Adapun penatalaksanaan yang diberikan [ CITATION Mat13 \l 14345 ] yaitu :
a. Fototerapi
Fototerapi dapat digunakan tunggal atau dikombinasi dengan transfusi pengganti untuk
menurunkan bilirubin. Bila neonatus dipapar dengan cahaya berintensitas tinggi, tindakan
ini dapat menurunkan bilirubin dalam kulit. Secara umum, fototerapi harus diberikan
pada kadar bilirubin indirek 4-5 mg/dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang
dari 1000 gram harus difototerapi bila konsentrasi bilirubin 5 mg/dl. Beberapa pakar
mengarahkan untuk memberikan fototerapi profilaksis 24 jam pertama pada bayi berisiko
tinggi dan berat badan lahir rendah
b. Intravena immunogloubulin (IVIG)
Pemberian IVIG digunakan pada kasus yang berhubungan dengan faktor imunologik.
Pada hiperbilirubinemia yang disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan
bayi, pemberian IVIG dapat menurunkan kemungkinan dilakukannya transfusi tukar
c. Transfusi Pengganti
Transfusi pengganti digunakan untuk mengatasi anemia akibat eritrosit yang rentan
terhadap antibodi erirtosit maternal; menghilangkan eritrosit yang tersensitisasi;
mengeluarkan bilirubin serum; serta meningkatkan albumin yang masih bebas bilirubin
dan meningkatkan keterikatannya dangan bilirubin.
d. Pemberian ASI sedini dan sesering mungkin (8 – 12 kali sehari)
ASI diketahui berperan dalam menghambat produksi bilirubin serum yang kembali ke
sirkulasi enterohepatik pada neonates. Sehingga dibutuhkan edukasi dan pemberian
motivasi yang kuat baik dari petugas maupun keluarga agar ibu optimal dalam
memberikan ASI pada bayinya. [ CITATION Les13 \l 14345 ]
8. ASUHAN KEPERAWATAN
Pembentukan Bilirubin
Bertambah Defisiensi G-6-PD
Hiperbilirubinemia
Ikterus Kernikterus
Ketidakefektifan Termoregulasi
Gangguan Integritas Kulit
Hipertermi
BAB III
LAPORAN KASUS
ibu sulit
mengeluarkan
ASI
Gangguan Fungsi Hepar
Bayi mengalami
kekurangan intake Jaundice ASI Ketidakefektifan
ASI (pregnanediol) pemberian ASI
Kernikterus
Ikterus
Resiko Infeksi
2. PENGKAJIAN KEPERAWATAN
PENGKAJIAN BAYI
4. A g a m a : Islam
5. Pendidikan : -
1. Ayah
a. N a m a : Tn A
b. U s i a : 31 Tahun
c. Pendidikan : SMA
e. A g a m a : Islam
2. Ibu
a. N a m a : Ny H
b. U s i a : 32 Tahun
c. Pendidikan : SMA
e. Agama : Islam
Keluhan masuk rumah sakit : Dehidrasi dan kulit kering serta demam naik turun sebelum
masuk rumah sakit selama satu hari
1. Prenatal care
2. Natal
3. Post natal
A. Pemberian ASI
2. Jumlah pemberian :
V. Pemeriksaan Fisik
No Item Penilaian Hasil
1. Lingkar kepala 34 cm
Lingkar dada 30 cm
Lingkar badan 28 cm
Berat badan 2325 gram
2. Suhu tubuh 36,6 0C
Heart rate 118x/menit
Respiratory rate 48x/menit
3. Penampilan : posture
4. Kulit : warna, milia, erythema, turgor, Mongolian spot Kulit berwarna kuning
5. Mata : kelopk mata, tertutup/terbuka, warna, air mata,
reflex kornea, reflex pupil, reflex mengedip, doll eye
reflex
6. Kepala: frontal anterior, fontanel posterior, caput
succedaneum, cephal hematom
7. Telinga : posisi, startle refleks, posisi pinna, fleksibilitas
pinna
8. hidung : pasase udara, septum, secret, refleks glabelar
9. Mulut tenggorokan : intack, refleks mengedip, rooting
refleks, gag refleks, saliva extrution refleks
10 Leher : tonik neck refleks, neck righting refleks
11 Dada : ratio AP : lateral, retraksi sternal prosesus
xipoideus, pembesaran mammae, sekresi mammae
12 Paru-paru : tipe respirasi, thoraks/abdomen, kecepatan
dan kedalaman respirasi, irama, suara nafas
13 Jantung : apeks, S1, S2, murmur, thrill, sianosis
persisten
14 Abdomen : bentuk, palpasi, liver, ginjal, keadaan tali
pusat, pulse femoral, crawling refleks
15 Genital : Wanita : labia dan klitoris, meatus uretra,
verniks kaseosa, miksi dalam 24 jam Laki-laki : muara
uretra diujung penis, palpasi skrotum, miksi dalam 24
jam
16 Bokong dan rektum : spina intack, refleks anal, refleks
perez, anus terbuka, pengeluaran mekonium dalam 24
jam
17 Ekstremitas : jumlah jari, ROM, scarf sign, kuku, grasf
refleks, babinski refleks, step refleks, moro refleks
3. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Data Diagnosa
DS : Risiko Infeksi
DO :
DS : Ketidakefektifan pemberian Asi
DO :
DS : Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari
DO : kebutuhan tubuh
4. INTERVENSI KEPERAWATAN
Bayi yang mengalami icterus karena hiperbilirubin, hal ini sesuai dengan teori bahwa
icterus neonatus bisa disebabkan karena tingginya kdar bilirubin dalam darah. Pada teori yang
dipelajari salah satu tanda icterus neonatus adalah kulit bayi berwarna kuning, hal ini terbukti
saat observasi kulit bayi yang terlihat kuning.
Tindakan yang dilakukan yaitu pemberian ASI setiap satu jam secara langsung oleh Ibu
dan melalui bantuan Cup Feeding, dimana bayi ditimbang terlebih dahulu sebelum dan sesudah
pemberian ASI untuk memantau penambahan berat badan bayi. Hal ini dilakukan agar
pemenuhan nutrisi pada bayi dapat terpenuhi dan dipantau. Tindakan lain yang dilakukan oleh
perawat ialah mengganti popok bayi dimana feses bayi ditimbang untuk mengetahui intake dan
output nutrisi bayi. Pada saat pengukuran suhu, thermometer yang digunakan tidak di
disenfektan terlebih dahulu sebelum mengukur suhu bayi karena pada saat observasi diruangan
NICU hana ada satu orang bayi sehingga thermometer tersebut hanya digunakan pada bayi
tersebut. Namun pada teori sebaiknya didesinfektan atau di swab dengan alcohol untuk
mengurangi transmisi mikroorganisme.
Sebelum masuk ke rumah sakit bayi sempat diberikan susu formula oleh Ibunya karena
payudaranya terasa dan bengkak sehingga ibu merasa cemas saat menyusui, sehingga perawat
meminta ibu untuk menghentikan pemberian susu formula dengan mengajarkan cara memompa
ASI yang bisa diberikan kepada bayi, Perawat juga memberikan edukasi pada ibu untuk
perawatan bayinya mulai dari cara menggendong, menyusui dan cara memompa ASI dengan
baik dan benar, serta cara perawatan payudara bagi Ibu.
BAB V
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Ikterus pada sebagian bayi dapat bersifat fisiologis dan pada sebagian lagi mungkin bersifat
patologis yang dapat menimbulkan gangguan pada bayi. Ikterus adalah suatu keadaan BBL
dimana kadar bilirubin serum total lebih dari 5 mg% pada minggu pertama ditandai dengan
ikterus, dikenal ikterus neonatorum yang bersifat patologis atau hiperbilirubinemia. Ikterus
adalah suatu gejala diskolorasi kuning pada kulit, konjungtiva dan mukosa akibat penumpukan
bilirubin. Adapun penanganan yang bisa diberikan adalah dengan memberikan ASI pada bayi
untuk tetap memantau nutrisi bayi.
2. SARAN
memeriksakan kehamilannya minimal 4 kali kunjungan 1x TM I, 1x TM II, dan 2x TM 3 agar
kemungkinan terjadinya kelahiran usia getasi tidak cukup bulan dan kemungkinan terjadi lisis
pada calon bayi yang dapat menyebabkan ikterus dapat terdeteksi sedini mungkin. Orang tua
bayi diharapkan dapat mewaspadai tanda dan gejala sedini mungkin anak mengalami ikterus
DAFTAR PUSTAKA
Hossain, M., Begum, M., Ahmed, S., & Absar , N. (2015, May). Causes, Management and
Immediate Complications of Management of Neonatal Jaundice. Journal of Enam
Medical College, 5(2).
Mathindas, S., Wilar, R., & Wahani, A. (2013). Hiperbiliribenemia Pada Neonatus. Jurnal
Biomedik, 5(1).
Puspita, N. (2018). Pengaruh Berat Badan Lahir Rendah Terhadap Kejadian Ikterus Neonatorum
di Sidoarjo. Jurnal Berkala Epidemiologi, VI, 174-181.
Rohani, S., & Wahyuni, R. (2017). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Ikterus
pada Neonatus. Jurnal Ilmu Kesehatan, 2(1).
Rohsiswatmo, R., & Amandito, R. (2018, Agustus). Hiperbilirubinemia pada Neonatus >35
minggu di Indonesia Pemeriksaan dan Tatalaksana Terkini. Sari Pediatri, 20(2).
Yuliawati, D., & Astutik, R. Y. (2018, Agustus). Hubungan Faktor Perinatal dan Neonatal
Terhadap Kejasian Ikterus Neonatorum. Jurnal Ners dan Kebidanan, 5(2).