Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit tuberkulosis (TB) paru masih merupakan masalah utama kesehatan
yang dapat menimbulkan kesakitan (morbiditas) dan kematian (mortalitas)
(Aditama & Chairil, 2002). Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9
juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia (Depkes RI,
2006).
Angka kejadian TB di Indonesia menempati urutan ketiga terbanyak di dunia
setelah India dan Cina. Diperkirakan setiap tahun terdapat 528.000 kasus TB baru
dengan kematian sekitar 91.000 orang. Prevalensi TB di Indonesia pada tahun
2009 adalah 100 per 100.000 penduduk dan TB terjadi pada lebih dari 70% usia
produktif (15-50 tahun) (WHO, 2010).
Strategi penanganan TB berdasarkan World Health Organization (WHO)
tahun 1990 dan International Union Against Tuberkulosa and Lung Diseases
(IUATLD) yang dikenal sebagai strategi Directly observed Treatment Short-
course (DOTS) secara ekonomis paling efektif (cost-efective), strategi ini juga
berlaku di Indonesia. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan
selama 6-8 bulan dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan
dalam bentuk kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua
kuman dapat dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti
tuberkulosis (OAT) yaitu : Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z),
Streptomisin (S) dan Etambutol (E). Efek samping OAT yang dapat timbul antara
lain tidak ada nafsu makan, mual, sakit perut, nyeri sendi, kesemutan sampai rasa
terbakar di kaki, gatal dan kemerahan kulit, ikterus, tuli hingga gangguan fungsi
hati (hepatotoksik) dari yang ringan sampai berat berupa nekrosis jaringan hati.
Obat anti tuberkulosis yang sering hepatotoksik adalah INH, Rifampisin dan
Pirazinamid. Hepatotoksitas mengakibatkan peningkatan kadar transaminase
darah (SGPT/SGOT) sampai pada hepatitis fulminan, akibat pemakaian INH dan/
Rifampisin (Depkes RI, 2006; Arsyad, 1996; Sudoyo, 2007)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman Mycobacterium tuberculosis
menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ tubuh lainnya. Penyakit ini
merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh pembentukan granuloma
pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai sel
(cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang aktif bisa menjadi
kronis dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan pengobatan yang
efektif (Daniel, 1999).
Klasifikasi penyakit tuberkulosis berdasarkan organ tubuh yang diserang
kuman Mycobacterium tuberculosis terdiri dari tuberkulosis paru dan tuberkulosis
ekstra paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru,
tidak termasuk pleura (selaput paru). Sedangkan tuberkulosis ekstra paru adalah
tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru misalnya, pleura,
selaput otak, selaput jantung (perikardium), kelenjar limfe, tulang, persendian,
kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain (Depkes RI, 2006).

2.2 Etiologi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Mycobacterium tuberculosis adalah bakteri batang
tipis lurus berukuran sekitar 0,4 x 3 µm (Brooks,et al 2004).

(Daniel, 1999)
Gambar 2.1

2
Mycobacterium tuberculosis pada pewarnaan tahan asam
Gambar di atas adalah Mycobacterium tuberculosis yang dilihat dengan
pewarnaan tahan asam dan berwarna merah. Sebagian besar bakteri ini terdiri atas
asam lemak (lipid), peptidoglikan dan arabinoman. Lipid inilah yang
menyebabkan kuman mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada
pewarnaan sehingga disebut pula sebagai Bakteri Tahan Asam (BTA) (Daniel,
1999).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit
intraseluler yakni dalam sitoplasma makrofag. Sifat lain bakteri ini adalah aerob,
sehingga bagian apikal merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar,
2007).

2.3 Cara Penularan


Sumber penularan adalah melalui pasien tuberkulosis paru BTA (+). Pada
waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
droplet (percikan dahak). Kuman yang berada di dalam droplet dapat bertahan di
udara pada suhu kamar selama beberapa jam dan dapat menginfeksi individu lain
bila terhirup ke dalam saluran nafas. Kuman tuberkulosis yang masuk ke dalam
tubuh manusia melalui pernafasan dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh
lainnya melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran pernafasan,
atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2006).

2.4 Patogenesis
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
tuberkulosis. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai ke
alveolus dan menetap di sana. Infeksi dimulai saat kuman tuberkulosis berhasil
berkembang biak dengan cara membelah diri di paru yang mengakibatkan radang
dalam paru. Saluran limfe akan membawa kuman ke kelenjar limfe di sekitar hilus
paru, dan ini disebut kompleks primer. Waktu terjadinya infeksi sampai
pembentukan kompleks primer adalah 4-6 minggu. Adanya infeksi dapat
dibuktikan dengan terjadi perubahan reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif.

3
Kelanjutan setelah infeksi primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya
respon daya tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya respon daya tahan
tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman tuberkulosis. Meskipun
demikian, ada beberapa kuman menetap sebagai kuman persisten atau dormant
(tidur). Kadang-kadang daya tahan tubuh tidak mampu menghentikan
perkembangan kuman. Akibatnya dalam beberapa bulan yang bersangkutan akan
menjadi pasien tuberkulosis. Masa inkubasi mulai dari seseorang terinfeksi
sampai menjadi sakit, membutuhkan waktu sekitar 6 bulan (Depkes RI, 2006).

2.5 Diagnosis
Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan diagnosis klinis, dilanjutkan
dengan pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan radiologis.
2.5.1 Diagnosis Klinis
Diagnosis klinis adalah diagnosis yang ditegakkan berdasarkan ada atau
tidaknya gejala pada pasien. Pada pasien TB paru gejala klinis utama adalah
batuk terus menerus dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala
tambahan yang mungkin menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa
nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa
kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan
dan demam/meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2006).
2.5.2 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan pertama pada keadaan umum pasien mungkin ditemukan
konjungtiva mata atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam
(subfebris), badan kurus atau berat badan menurun. Pada pemeriksaan fisik
pasien sering tidak menunjukkan suatu kelainan terutama pada kasus-kasus
dini atau yang sudah terinfiltrasi secara asimtomatik. Pada TB paru lanjut
dengan fibrosis yang luas sering ditemukan atrofi dan retraksi otot-otot
interkostal. Bila TB mengenai pleura, sering terbentuk efusi pleura sehingga
paru yang sakit akan terlihat tertinggal dalam pernapasan, perkusi
memberikan suara pekak, auskultasi memberikan suara yang lemah sampai
tidak terdengar sama sekali. Dalam penampilan klinis TB sering asimtomatik

4
dan penyakit baru dicurigai dengan didapatkannya kelainan radiologis dada
pada pemeriksaan rutin atau uji tuberkulin yang positif (Bahar, 2007).
2.5.3 Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis
untuk menemukan lesi TB. Dalam beberapa hal pemeriksaan ini lebih
memberikan keuntungan, seperti pada kasus TB anak-anak dan TB milier
yang pada pemeriksaan sputumnya hampir selalu negatif. Lokasi lesi TB
umumnya di daerah apex paru tetapi dapat juga mengenai lobus bawah atau
daerah hilus menyerupai tumor paru. Pada awal penyakit saat lesi masih
menyerupai sarang-sarang pneumonia, gambaran radiologinya berupa bercak-
bercak seperti awan dan dengan batas-batas yang tidak tegas. Bila lesi sudah
diliputi jaringan ikat maka bayangan terlihat berupa bulatan dengan batas
yang tegas dan disebut tuberkuloma (Depkes RI, 2006).
Pada kalsifikasi bayangannya tampak sebagai bercak-bercak padat dengan
densitas tinggi. Pada atelektasis terlihat seperti fibrosis yang luas dengan
penciutan yang dapat terjadi pada sebagian atau satu lobus maupun pada satu
bagian paru. Gambaran tuberkulosa milier terlihat berupa bercak-bercak halus
yang umumnya tersebar merata pada seluruh lapangan paru. Pada TB yang
sudah lanjut, foto dada sering didapatkan bermacam-macam bayangan
sekaligus seperti infiltrat, garis-garis fibrotik, kalsifikasi, kavitas maupun
atelektasis dan emfisema (Bahar, 2007).
2.5.4 Pemeriksaan Bakteriologis
a. Sputum
Tuberkulosis paru pada orang dewasa dapat ditegakkan dengan
ditemukannya BTA positif pada pemeriksaan dahak secara mikroskopis.
Hasil pemeriksaan dinyatakan positif apabila sedikitnya dua dari tiga
pemeriksaan dahak SPS (Sewaktu-Pagi-Sewaktu) BTA hasilnya positif
(Depkes RI, 2006).
Bila hanya 1 spesimen yang positif perlu diadakan pemeriksaan lebih
lanjut yaitu foto rontgen dada atau pemeriksaan spesimen SPS diulang. 1).
Kalau hasil rontgen mendukung tuberkulosis, maka penderita didiagnosis

5
sebagai penderita TB BTA positif. 2). Kalau hasil rontgen tidak
mendukung TB, maka pemeriksaan dahak SPS diulangi.
Bila ketiga spesimen dahak negatif, diberikan antibiotik spektrum
luas (misalnya, Kotrimoksasol atau Amoksisilin) selama 1-2 minggu.
Bila tidak ada perubahan, namun gejala klinis mencurigakan TB, ulangi
pemeriksaan dahak SPS. 1). Kalau hasil SPS positif, didiagnosis
sebagai penderita tuberkulosis BTA positif. 2). Kalau hasil SPS tetap
negatif, lakukan pemeriksaan foto rontgen dada, untuk mendukung
diagnosis TB.
 Bila hasil rontgen mendukung TB, didiagnosis sebagai penderita
TB BTA negatif rontgen positif
 Bila hasil rontgen tidak mendukung TB, penderita tersebut
bukan TB.
Diagnosis TB paru sesuai alur yang dibuat oleh Depkes RI (2006),
sebagaimana bisa dilihat di bawah ini:

6
Tersangka
Penderita TB
(suspek TB)
Periksa Dahak Sewaktu, Pagi,

Sewaktu (SPS)
Hasil BTA Hasil BTA Hasil BTA
+++ +-- ---
++-

Periksa Rontgen Beri Antibiotik


Dada Spektrum Luas

Hasil Mendukung Hasil Tidak


TB Mendukung TB Tidak Ada Ada Perbaikan
Perbaikan

Ulangi Periksa Dahak


SPS

Penderita Hasil BTA Hasil BTA


Tuberkulosis +++ ---
BTA Positif ++-

Periksa Rontgen Dada

Hasil Mendukung Hasil


TB Rontgen
Negatif

TB BTA Bukan
Negatif TBC,
Rontgen Penyakit
Positif Lain

Gambar 2.3
Alur Diagnosis TB paru
7
b. Darah
Pada saat TB baru mulai (aktif) akan didapatkan jumlah leukosit yang
sedikit meninggi dengan pergeseran hitung jenis ke kiri. Jumlah limfosit
masih di bawah normal. Laju endap darah (LED) mulai meningkat. Bila
penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali ke normal dan jumlah
limfosit masih tinggi, LED mulai turun ke arah normal lagi. Hasil
pemeriksaan darah lain juga didapatkan: anemia ringan dengan gambaran
normokrom normositer, gama globulin meningkat, dan kadar natrium
darah menurun (Depkes RI, 2006).

2.6 Komplikasi
Tuberkulosis paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dini antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB) (Bahar, 2007).

2.7 Tipe Penderita


Tipe penderita tuberkulosis berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya,
yaitu :
a. Kasus baru
Kasus baru adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah mengkonsumsi OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
b. Kambuh (relaps)
Kambuh (relaps) adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosa dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan pemeriksaan dahak BTA positif.
c. Pindahan (transfer in)

8
Pindahan (transfer in) adalah pasien yang sedang mendapat pengobatan di
suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah (form TB.
09).
d. Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out)
Setelah lalai (pengobatan setelah default / drop out) adalah pasien yang
sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih,
kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Gagal
Gagal adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali
menjadi positif pada akhir bulan kelima (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau pada akhir pengobatan. Atau penderita dengan hasil BTA
negatif rontgen positif pada akhir bulan kedua pengobatan.
f. Kasus kronis
Kasus kronis adalah pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori II dengan pengawasan yang baik.
g. Tuberkulosis resistensi ganda
Tuberkulosis resistensi ganda adalah tuberkulosis yang menunjukkan
resistensi terhadap Rifampisin dan INH dengan/tanpa OAT lainnya (Depkes
RI, 2006).

2.8 Pengobatan
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan)
dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan
obat utama dan tambahan.
2.8.1 Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
Obat yang dipakai:
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisin
 INH
 Pirazinamid

9
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Pada tahun 1998 WHO dan IUATLD merekomendasikan

pemakaian obat kombinasi dosis tetap 4 obat sebagai dosis yang efektif

dalam terapi TB untuk menggantikan paduan obat tunggal sebagai bagian

dari strategi DOTS. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket

dengan tujuan memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan

pengobatan sampai selesai. Tersedia obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-

KDT) untuk paduan OAT kategori I dan II. Tablet OAT-KDT ini adalah

kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam 1 tablet. Dosisnya (jumlah tablet yang

diminum) disesuaikan dengan berat badan pasien, paduan ini dikemas

dalam 1 paket untuk 1 pasien dalam 1 masa pengobatan. Dosis paduan

OAT-KDT untuk kategori I dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Depkes

RI, 2006) :

Tabel 2.4 Dosis Paduan OAT KDT Kategori I : 2(RHZE)/4(RH)3


Berat badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3x seminggu
selama 56 hari selama 16 minggu
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30 – 37 kg 2 tablet 4KDT 2 tablet 4KDT
38 – 54 kg 3 tablet 4KDT 3 tablet 4KDT
55 – 70 kg 4 tablet 4KDT 4 tablet 4KDT
> 71 kg 5 tablet 4KDT 5 tablet 4KDT
(Depkes RI, 2006)

3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid,
amoksilin + asam klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH

10
Dosis OAT
Tabel di bawah ini menunjukkan dosis obat yang dipakai di Indonesia

secara harian maupun berkala dan disesuaikan dengan berat badan pasien

(Bahar & Amin, 2007):

Tabel 2.3 Dosis Obat yang Dipakai di Indonesia


Jenis Dosis

Isoniazid (H)  harian : 5mg/kg BB


 intermiten : 10 mg/kg BB 3x seminggu
Rifampisin (R) harian = intermiten : 10 mg/kgBB

Pirazinamid (Z)  harian : 25mg/kg BB


 intermiten : 35 mg/kg BB 3x seminggu
Streptomisin (S)  harian = intermiten : 15 mg/kgBB
 usia sampai 60 th : 0,75 gr/hari
 usia > 60 th : 0,50 gr/hari
Etambutol (E)  harian : 15mg/kg BB
 intermiten : 30 mg/kg BB 3x seminggu
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.8.2 Paduan Obat Anti Tuberkulosis


Pengobatan tuberkulosis dibagi menjadi:
 TB paru (kasus baru), BTA positif atau lesi luas
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZE / 4 RH
Alternatif : 2 RHZE / 4 R3H3
Atau
(Program P2TB)
2 RHZE / 6 HE
Paduan ini dianjurkan pada:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologik lesi luas
(termasuk luluh paru)
c. TB di luar paru kasus berat

11
Pengobatan fase lanjutan, bila diperlukan dapat diberikan selama 7
bulan, dengan paduan 2RHZE / 7 RH, dan alternatif 2RHZE/ 7R3H3,
seperti pada keadaan:
a. TB dengan lesi luas
b. Disertai penyakit komorbid (Diabetes Melitus, Pemakaian obat
imunosupresi / kortikosteroid)
c. TB kasus berat (milier, dll)
Bila ada fasiliti biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan
dengan hasil uji resistensi
 TB Paru (kasus baru), BTA negatif
Paduan obat yang diberikan : 2 RHZ / 4 RH
Alternatif : 2 RHZ/ 4R3H3 atau 6 RHE
Paduan ini dianjurkan untuk :
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi
minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
 TB paru kasus kambuh
Pada TB paru kasus kambuh minimal menggunakan 4 macam
OAT pada fase intensif selama 3 bulan (bila ada hasil uji resistensi
dapat diberikan obat sesuai hasil uji resistensi). Lama pengobatan fase
lanjutan 6 bulan atau lebih lama dari pengobatan sebelumnya,
sehingga paduan obat yang diberikan : 3 RHZE / 6 RH
Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 R3H3E3 (Program
P2TB)
 TB Paru kasus gagal pengobatan
Pengobatan sebaiknya berdasarkan hasil uji resistensi, dengan
minimal menggunakan 4 -5 OAT dengan minimal 2 OAT yang masih
sensitif ( seandainya H resisten, tetap diberikan). Dengan lama
pengobatan minimal selama 1 - 2 tahun . Menunggu hasil uji resistensi
dapat diberikan dahulu 2 RHZES , untuk kemudian dilanjutkan sesuai
uji resistensi

12
- Bila tidak ada / tidak dilakukan uji resistensi, maka alternatif
diberikan paduan obat : 2 RHZES/1 RHZE/5 H3R3E3
(Program P2TB)
- Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal
- Sebaiknya kasus gagal pengobatan dirujuk ke ahli paru
 TB Paru kasus lalai berobat
Penderita TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan
kembali sesuai dengan kriteria sebagai berikut :
- Penderita yang menghentikan pengobatannya < 2 minggu,
pengobatan OAT dilanjutkan sesuai jadual
- Penderita menghentikan pengobatannya ≥ 2 minggu
1. Berobat ≥ 4 bulan , BTA negatif dan klinik, radiologik
negatif, pengobatan OAT STOP
2. Berobat > 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan
jangka waktu pengobatan yang lebih lama
3. Berobat < 4 bulan, BTA positif : pengobatan dimulai
dari awal dengan paduan obat yang sama
4. Berobat < 4 bulan , berhenti berobat > 1 bulan , BTA
negatif, akan tetapi klinik dan atau radiologik positif :
pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat
yang sama
5. Berobat < 4 bulan, BTA negatif, berhenti berobat 2-4
minggu pengobatan diteruskan kembali sesuai jadual.
 TB Paru kasus kronik
- Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji
resistensi, berikan RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi,
sesuaikan dengan hasil uji resistensi (minimal terdapat 2
macam OAT yang masih sensitif dengan H tetap diberikan
walaupun resisten) ditambah dengan obat lain seperti
kuinolon, betalaktam, makrolid

13
- Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
- Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan
kemungkinan penyembuhan
- Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke ahli paru
2.8.3 Efek Samping Pengobatan
Dalam pemakaian OAT sering ditemukan efek samping yang
mempersulit sasaran pengobatan. Bila efek samping ini ditemukan, mungkin
OAT masih dapat diberikan dalam dosis terapeutik yang kecil, tapi bila efek
samping ini sangat mengganggu OAT yang bersangkutan harus dihentikan
dan pengobatan dapat diteruskan dengan OAT yang lain (Bahar & Amin
2007).
Efek samping yang dapat ditimbulkan OAT berbeda-beda pada tiap
pasien, lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel di bawah ini :
Tabel 2.7 Efek Samping Pengobatan dengan OAT
Jenis Obat Ringan Berat
Isoniazid (H) tanda-tanda keracunan Hepatitis, ikhterus
pada syaraf tepi,
kesemutan, nyeri otot dan
gangguan kesadaran.
Kelainan yang lain
menyerupai defisiensi
piridoksin (pellagra) dan
kelainan kulit yang
bervariasi antara lain
gatal-gatal.

Rifampisin (R) gatal-gatal kemerahan Hepatitis, sindrom


kulit, sindrom flu, sindrom respirasi yang ditandai
perut. dengan sesak nafas,
kadang disertai dengan
kolaps atau renjatan
(syok), purpura, anemia
hemolitik yang akut, gagal

14
ginjal
Pirazinamid (Z) Reaksi hipersensitifitas : Hepatitis, nyeri sendi,
demam, mual dan serangan arthritis gout
kemerahan

Streptomisin (S) Reaksi hipersensitifitas : Kerusakan saraf VIII


demam, sakit kepala, yang berkaitan dengan
muntah dan eritema pada keseimbangan dan
kulit pendengaran
Etambutol (E) Gangguan penglihatan Buta warna untuk warna
berupa berkurangnya merah dan hijau
ketajaman penglihatan
(Depkes RI, 2006; Bahar & Amin, 2007)

2.9 Evaluasi Pengobatan


Bayupurnama (2007) menjelaskan bahwa terdapat beberapa metode yang bisa
digunakan untuk evaluasai pengobatan TB paru :
a. Klinis: biasanya pasien dikontrol dalam 1 minggu pertama, selanjutnya 2
minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir
pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan-keluhan
pasien seperti batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan
bertambah, berat badan meningkat dll.
b. Bakteriologis: biasanya setelah 2-3 minggu pengobatan sputum BTA mulai
menjadi negatif. Pemeriksaan kontrol sputum BTA dilakukan sekali
sebulan. WHO (1991) menganjurkan kontrol sputum BTA langsung
dilakukan pada akhir bulan ke-2, 4 dan 6. Pemeriksaan resistensi dilakukan
pada pasien baru yang BTA-nya masih positif setelah tahap intensif dan
pada awal terapi bagi pasien yang mendapatkan pengobatan ulang
(retreatment). Bila sudah negatif, sputum BTA tetap diperiksakan
sedikitnya sampai 3 kali berturut-turut. Bila BTA positif pada 3 kali
pemeriksaan biakan (3 bulan), maka pasien yang sebelumnya telah sembuh
mulai kambuh lagi.
c. Radiologis: bila fasilitas memungkinkan foto kontrol dapat dibuat pada
akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan bila nanti

15
timbul kasus kambuh. Jika keluhan pasien tidak berkurang (misalnya tetap
batuk-batuk), dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB
parunya atau adakah penyakit lain yang menyertainya. Karena perubahan
gambar radiologis tidak secepat perubahan bakteriologis, evaluasi foto
dada dilakukan setiap 3 bulan sekali (Bayupurnama, 2007).

BAB III
LAPORAN KASUS

16
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. V
Umur : 23 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Padang Gelapung, Lubuk Alung
Agama : Islam
Tanggal masuk : 01 September 2020

3.2 Anamnesa
a. Keluhan Utama
Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit
b. Riwayat Penyakit Sekarang
 Sesak nafas sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak
dirasakan terus menerus. Sesak tidak berkurang dengan istirahat.
Sesak tidak dipengaruhi oleh aktifitas, posisi tubuh, maupun cuaca.
Suara nafas menciut (-)
 Badan bertambah lemas sejak 1 hari ini. Badan terasa lemas sudah
dirasakan sejak 1 bulan yang lalu. Namun, 1 hari ini lemas semakin
bertambah dan pasien hanya berbaring saja 1 hari ini
 Demam (+) sejak 1 bulan yang lalu, demam tidak terlalu tinggi
 Batuk berdahak (+), batuk berdarah (-)
 Sesak nafas (-)
 Nyeri dada (-)
 Keringat pada malam hari (+)
 Berat badan turun ± 10 kg
 Nafsu makan berkurang, pasien hanya makan bubur beberapa hari
ini
 Mual (-), muntah (-)
 BAK berdarah (-)

17
 BAB berdarah (-), BAB hitam (-)
 Kontak dengan pasien TB sebelumnya disangkal
 Riwayat bepergian ke luar daerah (-)
 Riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi positif covid-19
disangkal

c. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat OAT (-)
d. Riwayat Penyakit Keluarga dan Lingkungan
 Riwayat tuberkulosi pada keluarga (-)
 Riwayat tuberkulosis di lingkungan tempat tinggal pasien (-)
e. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien bekerja sehari-hari sebagai petani, membantu kedua orang
tuanya. Pasien tamatan SMK.

3.3 Pemeriksaan Umum


Keadaan umum : Berat
Kesadaran : Compos Mentis Cooperative
Tekanan darah : 75/46 mmHg
Nadi : 96x/menit, kuat angkat
Napas : 25x/menit
Suhu : 37,5oC
Saturasi O2 : 93 %
Berat Badan : 31 kg
Tinggi Badan : 166 cm
IMT : 11,1 (Underweight)

KEPALA
Mata : Konjungtiva anemis (+/+), Sklera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB (-)

18
THORAK
- Paru
Inspeksi : Simetris kiri dan kanan
Palpasi : Fremitus taktil kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Suara nafas bronkovesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
- Jantung
Irama reguler, murmur (-), gallop (-)

ABDOMEN
Supel, BU (+) normal, nyeri tekan epigastrium (+)

EKSTREMITAS
Akral hangat, CRT < 2 detik, Udem (+)

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Darah rutin:
 Hb : 6,8 gr/dl
 Leukosit : 3.140 /mm³
 Trombosit : 403.000 /mm³
 Hematokrit : 21 %
 Hitung jenis :
- Basofil : 0%
- Eosinofil : 0%
- Netrofil : 67%
- Limfosit : 14%
- Monosit : 19%

GDS : 100 mg/dl


Elektrolit :
 Natrium : 124 mmol/L
 Kalium : 3,8 mmol/L

19
 Klorida : 90 mmol/L
Rontgen Thorax :

Kesan : Infiltrat di apek kedua paru

3.5 Diagnosis
Suspek tuberkulosis paru + Hipotensi + Anemia ec penyakit kronis +
Hiponatremia

3.6 Diagnosis Banding


 Bronkopneumonia
 HIV

3.7 Penatalaksanaan
Therapy:
 O2 2-3 l/ menit
 IVFD RL guyur 2 kolf  IVFD NaCL 0,9% 8 jam/kolf
 Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
 Inj. Levofloxacine 1x750 mg
 Inj. Ranitidine 2x1

20
 Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
 Paracetamol 3x500 mg
 Omeprazol 3x1
 Curcuma 3x1
Planning:
 Transfusi PRC 3 kantong, 1 kantong/hari
 Cek TCM, ureum, creatinin, SGOT, SGPT, Billirubin total, albumin
dan elektrolit

3.8 Prognosis
 Quo ad sanationam : dubia ad bonam
 Quo ad vitam : dubia ad bonam
 Quo ad fungsionam : dubia ad bonam

Follow up:
H-2
S : - Sesak (-)
- Batuk (+)
- Demam (-)
- Nafsu makan meningkat
- Mual (-), muntah (-)
- BAB dan BAK nornal
O : - TD : 84/65 mmHg, Nadi : 84x/menit, Nafas : 20x/ menit, T : 36,6 oC
- Konjungtiva anemis (+/+)
- Suara nafas bronkovesikuler, rhonki (+/+), wheezing (-/-)
- Ekstremitas : udem (+/+)
A : Tuberkulosis paru + Anemia ec penyakit kronis + Hipotensi + Hiponatremia
Th/ :
- IVFD NaCL 0,9 % 8 jam/kolf
- Inj. Ceftriaxone 1x2 gr
- Inj. Levofloxacine 1x750 mg
- Inj. Ranitidine 2x1

21
- Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg
- PCT 3x500 mg
- Omeprazol 3x1
- Curcuma 3x1
- PRC 1 kantong
- TCM : MTB detected high, Rif resistance Not Detected
- OAT : BB = 31 kg
 Rifampisin 1x350 mg
 Isoniazid 1x200 mg
 Pirazinamid 1x750 mg
 Ethambutol 1x600 mg
 B6 1x10 mg
- Ureum : 20 mg/dl
- Kreatinin : 0,5 mg/dl
- SGOT : 18 mg/dl
- SGPT : 0,4 mg/dl
- Bilirubin Total : 0,4 mg/dl
- Albumin : 2,3 gr/dl
- Elektrolit :
 Natrium : 132 mmol/L
 Kalium : 4,4 mmol/L
 Klorida : 99 mmol/L
P/:
- Konsul penyakit dalam dengan hipotensi + hiponatremia +
hipoalbuminemia
Advice:
- Koreksi natrium : IVFD NaCL 3% 12 jam/kolf
- Koreksi albumin : Human albumin 20 % 50 ml (2 fls), 1 fls/hari
- Hipotensi ec low intake

H-3
S : - Sesak (-)

22
- Batuk berkurang
- Demam (-)
- Nafsu makan meningkat
- Mual (-), muntah (-)
- BAB dan BAK nornal
O : - TD : 100/70 mmHg, Nadi : 84x/menit, Nafas : 20x/menit, T : 36,6 oC
- Konjungtiva anemis (+/+)
- Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Ekstremitas : udem (+/+) berkurang
A : Tuberkulosis paru + Anemia ec penyakit kronis + Hiponatremia +
Hipoalbuminemia (Perbaikan)
Therapy lanjut

H-4
S : - Sesak (-)
- Batuk berkurang
- Demam (-)
- Nafsu makan meningkat
- Mual (-), muntah (-)
- BAB dan BAK nornal
O : - TD : 110/80 mmHg, Nadi : 84x/menit, Nafas : 20x/menit, T : 36,6 oC
- Konjungtiva anemis (-/-)
- Suara nafas vesikuler, rhonki (-/-), wheezing (-/-)
- Ekstremitas : udem (+/+) berkurang
A : Tuberkulosis paru + Anemia ec penyakit kronis + Hiponatremia +
Hipoalbuminemia (Perbaikan)
Therapy lanjut
P/:
- Cek darah rutin, elektolit, dan albumin
- Rencana pulang

23
BAB IV
KESIMPULAN

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi bakteri kronis yang menular, sebagian


besar menyerang paru tetapi juga dapat menyerang organ tubuh lainnya.
Tuberkulosis paru disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA (+) saat batuk/bersin, bakteri
menyebar ke udara dalam bentuk droplet. Patogenesis TB paru adalah saat droplet
terhirup melewati sistem pertahanan mukosilier bronkus dan terus berjalan sampai
ke alveolus dan menetap di sana. Kelanjutan dari proses ini bergantung dari daya
tahan tubuh masing-masing individu.
Diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang. Gejala klinis utama TB paru adalah batuk terus menerus
dan berdahak selama 3 minggu atau lebih. Gejala tambahan yang mungkin
menyertai adalah batuk darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah,
nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise),
berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan dan demam/meriang lebih dari
sebulan. Komplikasi TB paru antara lain dapat timbul pleuritis, efusi pleura,
empiema, laringitis, usus Poncet’s arthropathy. Sedangkan komplikasi lanjut
dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas, kerusakan parenkim paru, kor
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, dan sindrom gagal napas (sering terjadi
pada TB milier dan kavitas TB).
Tipe pasien TB paru berdasarkan riwayat pengobatan dibagi menjadi: kasus
baru, relaps, drop out, gagal, pindahan, kasus kroinis dan tuberkulosis resistensi
ganda. Pengobatan TB paru menurut strategi DOTS diberikan selama 6-8 bulan
dengan menggunakan paduan beberapa obat atau diberikan dalam bentuk
kombinasi dengan jumlah yang tepat dan teratur, supaya semua kuman dapat
dibunuh. Obat-obat yang dipergunakan sebagai obat anti tuberkulosis (OAT)
yaitu: Isoniazid (INH), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), Streptomisin (S) dan
Etambutol (E). Hasil pengobatan TB paru dbedakan menjadi: sembuh, pengobatan
lengkap, gagal, putus berobat, dan meninggal. Evaluasi pengobatan dapat
mengguanakn metode klinis, bakteriologis, dan radiologis.

24
DAFTAR PUSTAKA

Aditama, TY,. Chairil, AS,. 2002. Jurnal Tuberkulosis Indonesia. Jakarta :


Perkumpulan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia.
Amirudin, Rifai. 2007. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp : 415-419
Arsyad, Zulkarnain. 1996. Evaluasi FaaI Hati pada Penderita Tuberkulosis Paru
yang Mendapat Terapi Obat Anti Tuberkulosis dalam Cermin Dunia
Kedokteran No. 110, 1996 15.
Bahar, A., 2007. Tuberkulosis Paru dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 988-994.
Bahar, A., Zulkifli Amin. 2007. Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI; 995-
1000.
Bayupurnama, Putut. 2007. Hepatoksisitas karena Obat dalam Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid I, Edisi IV. Jakarta : BPFKUI;471-474.
Brooks, G.F., Butel, J. S. and Morse, S. A., 2004. “Jawetz, Melnick &
Adelbergh’s: Mikrobiologi Kedokteran”. Buku I, Edisi I, Alih bahasa:
Bagian Mikrobiologi FKU Unair, Jakarta : Salemba Medika.
Crofton, John. 2002. Tuberkulosis Klinis Edisi 2. Jakarta : Widya Medika.
Daniel, M. Thomas. 1999. Harrison : Prinsip-Prinsip Ilmu penyakit dalam Edisi
13 Volume 2. Jakarta : EGC : 799-808
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2006. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta.
Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-
Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1. Alih Bahasa: Brahm U. Pendit,
Huriawati Hartanto, Pita Wulansari, Dewi Asih Mahanani. Jakarta:
EGC.
Thomson, A.D dan Cotton, R.E. 1997. Catatan Kuliah Patologi. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta.
Widmann. 1995. Tinjauan Klinis Atas Pemeriksaan Laboratorium. Jakarta :
penerbit Buku Kedokteran EGC.
World Health Organization. 1993. Treatment of Tuberculosis : Guidelines for
National programmes. Geneva : 3-15
World Health Organization. 2010. Epidemiologi tuberkulosis di Indonesia diakses
pada 6 September 2020 pukul 19:35 WIB
<http://www.tbindonesia.or.id/tbnew/epidemiologi-tb-di-
indonesia/article/55/000100150017/2

25
26

Anda mungkin juga menyukai