Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

DINAMIKA PELANGGARAN HUKUM

OLEH :

HARMILA SARI UMAR

KELAS : XII MIA 5

SEKOLAH MENENGAH ATAS

NEGERI 3 KONAWE SELATAN

2020
SOAL:

1. Langkah- langkah apa yang dapat di ambil agar kebijakan yang di usulkan
pemerintah dapat di terima dan di laksanakan oleh masyarakat sehingga tidak
terjadi seperti pada demo UU Cipta kerja?

JAWABAN:

Pemerintah seringkali memberikan penjelasan yang mengambang, tidak


kokoh dan kurang dapat memberikan argumentasi yang berorientasi kepada “mutual
benefit” antara Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan dan masyarakat sebagai
penerima dari sebuah kebijakan. Hal ini yang belakangan ini sering menimbulkan
misinterpretasi terhadap kebijakan-kebijakan baik yang sedang disusun maupun
sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Setiap kebijakan dari saat menjadi agenda,
perumusan, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi
sebagai faktor penting dan berperan signifikan. Bagaimanapun, persoalan informasi,
koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak boleh
diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan
pemerintah.
Komunikasi menurut Cook & Hunsaker (2007), bertujuan untuk
meningkatkan koordinasi, berbagi informasi dan pemuas kebutuhan sosial. Dengan
demikian komunikasi dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi apabila
komunikasi dalam organisasi berjalan secara efektif dan efisien. Pada implementasi
kebijakan, model implementasi kebijakan menurut pandangan Edward III dalam
Agustino (2006), dipengaruhi empat variabel, yakni; (1) komunikasi, (2) sumberdaya,
(3) disposisi dan kemudian (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga
saling berhubungan satu sama lain. Komunikasi menurut Agustino (2006),
merupakan salah satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan
publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari
implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para
pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi
yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi
yang baik. Menurut Winarno (2005), Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan
informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya karena kompleksitas
kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan publik,
kepentingan politik, sampai dengan adanya kecenderungan menghindari
pertanggungjawaban kebijakan.
Presiden memang telah mengeluarkan Inpres No 9/2015 tentang Pengelolaan
Komunikasi Publik. Salah satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya
narasi tunggal dan dalam konteks ini Kementerian Komunikasi dan Inormatika
(Kemenkominfo) diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut. Dalam
skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementerian, lembaga dan
pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan, yakni
penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan analisis data,
koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi informasi publik dan
monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana untuk membuat tata kelola
komunikasi publik sebenarnya sudah ada pedoman Inpres tersebut.
Tentu, tidak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada
kelemahan, namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari hal-hal yang
sesungguhnya bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah
koordinasi komunikasi. Narasi pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat
diimplementasikannya sebuah kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat
baik dan niat politiknya untuk membangun pemahaman bersama.
Perumusan, penyusunan, hingga pelaksanaan kebijakan publik merupakan
tanggung jawab instansi pemerintah, baik daerah maupun pusat. Pemerintah dituntut
untuk dapat menghasilkan kebijakan yang tidak bertentangan atau tumpang tindih
dengan aturan lain sehingga menjadi rancu. Namun, pada kenyataannya dalam
ranking yang dikeluarkan oleh Worldwide Governance Indicators, kualitas kebijakan
Indonesia termasuk rendah untuk Kawasan Asia Tenggara, yaitu 51.9, di bawah
Filipina (55.8), Thailand (59.6), ataupun Malaysia (74.5). Hal ini menandakan bahwa
kebijakan yang dihasilkan perlu pembenahan dalam prosesnya, salah satunya dalam
hal implementasi kebijakan.
Kebijakan-kebijakan bermasalah di Indonesia termuat dalam daftar yang
dikeluarkan oleh Kemendagri, yaitu daftar Perda/Perkada dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri yang Dibatalkan/Revisi. Daftar ini memperlihatkan bahwa dalam
rentang waktu 2001-2016 terdapat 3.143 kebijakan yang dibatalkan atau direvisi oleh
Kemendagri. Jika dirinci, dari lima provinsi di Kalimantan terdapat 209 kebijakan
yang dibatalkan/revisi. Hal ini merupakan "pembakaran" anggaran, yang besarnya
ratusan miliar dan berdampak pada program dan kegiatan daerah. Sebuah
pemborosan anggaran yang berakhir sia- sia.
Masalah yang seringkali muncul ketika implementasi kebijakan adalah belum
adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah seolah-olah
mengambil keputusan dengan penerapan kebijakan sebelah pihak. Padahal
pemerintah seharusnya tidak perlu terburu-buru dalam mengimplementasikan sebuah
kebijakan publik. Uji coba lapangan sangatlah penting, misalanya sampling yang
diambil juga harus ditentukan dengan saksama, memperhatikan wilayah, jarak, dan
media yang digunakan. Sehingga, kebijakan yang dibuat memang benar- benar
kebijakan yang merupakan solusi dari persoalan- persoalan yang dibutuhkan dan
diharapkan oleh masyarakat.
Apabila ditarik lebih jauh, implementasi yang rawan pertentangan seperti itu
dapat dihindari jika dari proses pembuatannya melibatkan seorang analis kebijakan.
Analis kebijakan berperan sebagai "pembisik" kebijakan setiap kali pemerintah akan
mengambil keputusan kebijakan. Baik itu kebijakan yang mengatur tentang masalah
sosial, ekonomi, agama, maupun budaya di dalam masyarakat. Dalam sebuah acara,
Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI menyampaikan bahwa seorang
analis kebijakan harus mampu memainkan peran dengan menyodorkan alternatif
pilihan kebijakan kepada para pemangku kepentingan. Alternatif pilihan kebijakan
yang disodorkan pun harus didasarkan pada kajian ilmiah dan data dukung di
lapangan.
Namun, sayangnya jumah analis kebijakan di Indonesia masih sangat sedikit
jika dibandingkan dengan jumlah kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Data dari
Pusat Pembinaan Analisis Kebijakan (Pusaka) LAN, sampai dengan September 2018
baru ada 172 oang analis kebijakan di Indonesia. Jumlah ini tentu sangat sedikit
mengingat bahwa persebaran analis kebijakan ini tidaklah merata di seluruh
Indonesia. Artinya, belum seluruh provinsi di Indonesia memiliki seorang analis
kebijakan. Contohnya di Kalimantan, dari lima provinsi yang ada hanya dua yang
memiliki analis kebijakan, yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Lebih
mencengangkan lagi, ternyata dari dua orang analis kebijakan tersebut belum ada
yang mendapatkan diklat analis kebijakan. Terutama diklat yang diselenggarakan
oleh LAN sebagai instansi pembina analis kebijakan.

Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Yaitu :


1. Penguatan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang menjadi pelaksana
kebijakan harus mempunyai kemampuan untuk menguasai kebijakan yang akan
ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini agar masyarakat tidak bingung dan dapat
memahami kebijakan baru yang akan diterapkan, sehingga tidak timbul
kekecewaan di kemudian hari.
2. Penguatan tujuan pembuatan kebijakan. Ketika kebijakan disusun, bisa saja ada
aktor-aktor yang memiliki tujuan, baik untuk kepentingan kelompok maupun
kepentingan pribadi. Sehingga, terjadi tarik-menarik kepentingan di dalamnya,
dan akhirnya kebijakan yang dibuat bukan untuk kebermanfaatan masyarakat
luas, namun hanya untuk kalangan tertentu. Oleh karenanya, penting untuk
memastikan bahwa kebijakan tersebut selaras dengan kebutuhan masyarakat.
Kegiatan implementasi kebijakan tentu akan disambut dengan sukacita oleh
masyarakat, apabila peruntukan kebijakan tersebut memang benar-benar untuk
kebaikan dan memiliki dampak langsung bagi masyarakat luas. Kebijakan yang
dibuat demi menjawab kebutuhan masyarakat, dari kota sampai daerah terpencil.
Semoga hal tersebut tercermin dalam pengambilan kebijakan-kebijakan di masa
kini dan masa yang akan datang.
3. Keputusan yang baik, yang memperhatikan prinsip , setidaknya harus memenuhi
sejumlah syarat sebagai berikut: (i) keputusan dibuat oleh seorang, sekelompok
orang atau organisasi yang secara hukum mempunyai wewenang yang sah untuk
mengambil keputusan tersebut; (ii) keputusan tersebut dibahas dan dirumuskan
sesuai dengan sistem operasi standar internal organisasi terkait, misalnya
dilakukan proses persetujuan berjenjang dari inisiatif awal sampai pada pihak
yang mempunyai kewenangan tertinggi di organisasi tersebut; (iii) keputusan
tersebut adalah sah, dalam arti selalu berada dalam koridor (atau tidak
bertentangan dengan) peraturan perundangan yang berlaku, moral serta etika
publik yang diterima secara umum;
4. Keputusan telah melalui tes dampak, baik terhadap pihak internal maupun
eksternal, dengan mengujinya pada semua faktor risiko yang relevan, termasuk
proses dan tindakan untuk memitigasinya; (v) selain membawa manfaat pada
organisasi terkait, keputusan tersebut juga harus berdampak positif terhadap para
pemangku kepentingan terkait; (vi) ada kejelasan tentang siapa yang bertangung
jawab atas keputusan yang diambil tersebut, dan (vii) dalam hal keputusan
tersebut berdampak luas terhadap kepentingan publik, dilakukan juga diseminasi
dan diskusi publik dengan para pemangku kepentingan agar mereka paham
bahwa tujuan akhir keputusan tersebut, sekarang atau pada akhirnya, membawa
manfaat yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada public (“Prinsip
Governance”).
5. Proses pengambilan keputusan dalam suatu masyarakat dan negara dimana
demokrasi termasuk sistem bekerja baik, kehidupan berpolitik dilakukan dengan
penuh sikap dewasa dan santun, mereka menjunjung etika politik yang umum
berlaku, dan perbedaan pendapat disalurkan lewat diskusi yang sehat dan saling
menghargai dengan mengingat kepentingan bangsa yang lebih besar, dan pada
akhirnya setelah keputusan diambil, keputusan tersebut harus dihargai dan
dilaksanakan secara konsekuen oleh semua pihak yang secara hukum tunduk
pada keputusan tersebut.
Dalam suatu negara atau masyarakat dimana proses dan praktik bernegara
belum matang, seperti halnya kita ini, maka keputusan yang dilakukan dengan
menggunakan Prinsip Governance tadi belum tentu menjamin hasilnya akan baik,
diterima luas oleh publik, dan berlaku efektif waktu dilaksanakan.
Tidak itu saja, yang terpenting adalah apakah pada akhirnya keputusan
tersebut akan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara.
Faktor waktu dan kondisi sekitar juga sangat mempengaruhi efektivitas dan manfaat
keputusan tersebut. Keputusan yang dilakukan semasa suatu krisis, akan berbeda
dengan keputusan yang dilakukan dalam kondisi yang tenteram dan kondusif.
Keputusan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan yang kuat dengan kontrol kuat
pimpinan tertinggi eksekutif, akan berbeda dengan keputusan yang diberikan oleh
suatu pemerintahan dimana pembagian kekuasaan sangat cair dan menyebar ke
banyak sektor. Keputusan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan, organisasi atau
orang atau sekelompok orang yang korup akan sangat berbeda dengan keputusan
yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang bersih. Suatu keputusan yang diberikan oleh
orang atau sekelompok orang yang populis demi kelanggengan posisi politiknya akan
juga berbeda dengan orang atau sekelompok orang yang hanya ingin agar
keputusannya memberi dampak positif untuk kepentingan publik.

Anda mungkin juga menyukai