1. Langkah- langkah apa yang dapat di ambil agar kebijakan yang di usulkan pemerintah dapat di terima dan di laksanakan oleh masyarakat sehingga tidak terjadi seperti pada demo UU Cipta kerja?
JAWABAN:
Pemerintah seringkali memberikan penjelasan yang mengambang, tidak
kokoh dan kurang dapat memberikan argumentasi yang berorientasi kepada “mutual benefit” antara Pemerintah sebagai pihak pembuat kebijakan dan masyarakat sebagai penerima dari sebuah kebijakan. Hal ini yang belakangan ini sering menimbulkan misinterpretasi terhadap kebijakan-kebijakan baik yang sedang disusun maupun sedang dilaksanakan oleh pemerintah. Setiap kebijakan dari saat menjadi agenda, perumusan, penetapan, pelaksanaan, hingga evaluasi harus menjadikan komunikasi sebagai faktor penting dan berperan signifikan. Bagaimanapun, persoalan informasi, koordinasi, sosialisasi, dan persuasi menjadi contoh bahwa komunikasi tidak boleh diabaikan dari rangkaian proses pengambilan dan implementasi kebijakan pemerintah. Komunikasi menurut Cook & Hunsaker (2007), bertujuan untuk meningkatkan koordinasi, berbagi informasi dan pemuas kebutuhan sosial. Dengan demikian komunikasi dapat mendukung pencapaian tujuan organisasi apabila komunikasi dalam organisasi berjalan secara efektif dan efisien. Pada implementasi kebijakan, model implementasi kebijakan menurut pandangan Edward III dalam Agustino (2006), dipengaruhi empat variabel, yakni; (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi dan kemudian (4) struktur birokrasi. Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain. Komunikasi menurut Agustino (2006), merupakan salah satu variabel penting yang mempengaruhi implementasi kebijakan publik, komunikasi sangat menentukan keberhasilan pencapaian tujuan dari implementasi kebijakan publik. Implementasi yang efektif akan terlaksana, jika para pembuat keputusan mengetahui mengenai apa yang akan mereka kerjakan. Informasi yang diketahui para pengambil keputusan hanya bisa didapat melalui komunikasi yang baik. Menurut Winarno (2005), Faktor-faktor yang mendorong ketidakjelasan informasi dalam implementasi kebijakan publik biasanya karena kompleksitas kebijakan, kurangnya konsensus mengenai tujuan-tujuan kebijakan publik, kepentingan politik, sampai dengan adanya kecenderungan menghindari pertanggungjawaban kebijakan. Presiden memang telah mengeluarkan Inpres No 9/2015 tentang Pengelolaan Komunikasi Publik. Salah satu yang menarik dari inpres tersebut adalah pentingnya narasi tunggal dan dalam konteks ini Kementerian Komunikasi dan Inormatika (Kemenkominfo) diberi tugas sebagai penyusun narasi tunggal tersebut. Dalam skema pengelolaan komunikasi publik tersebut, kementerian, lembaga dan pemerintah daerah merujuk ke Inpres tersebut harus melakukan enam tindakan, yakni penyediaan data substantif program prioritas, monitoring media dan analisis data, koordinasi komunikasi publik, narasi tunggal, diseminasi informasi publik dan monitoring evaluasi pelaporan. Jadi, kesadaran berwacana untuk membuat tata kelola komunikasi publik sebenarnya sudah ada pedoman Inpres tersebut. Tentu, tidak akan ada pemerintah yang bisa bekerja sempurna. Selalu ada kelemahan, namun demikian harus meminimalisasi kesalahan dari hal-hal yang sesungguhnya bisa diantisipasi sejak dini. Salah satu yang bisa diantisipasi adalah koordinasi komunikasi. Narasi pemerintah yang menjadi pesan untuk publik saat diimplementasikannya sebuah kebijakan harus jelas, argumentatif dan dirasakan niat baik dan niat politiknya untuk membangun pemahaman bersama. Perumusan, penyusunan, hingga pelaksanaan kebijakan publik merupakan tanggung jawab instansi pemerintah, baik daerah maupun pusat. Pemerintah dituntut untuk dapat menghasilkan kebijakan yang tidak bertentangan atau tumpang tindih dengan aturan lain sehingga menjadi rancu. Namun, pada kenyataannya dalam ranking yang dikeluarkan oleh Worldwide Governance Indicators, kualitas kebijakan Indonesia termasuk rendah untuk Kawasan Asia Tenggara, yaitu 51.9, di bawah Filipina (55.8), Thailand (59.6), ataupun Malaysia (74.5). Hal ini menandakan bahwa kebijakan yang dihasilkan perlu pembenahan dalam prosesnya, salah satunya dalam hal implementasi kebijakan. Kebijakan-kebijakan bermasalah di Indonesia termuat dalam daftar yang dikeluarkan oleh Kemendagri, yaitu daftar Perda/Perkada dan Peraturan Menteri Dalam Negeri yang Dibatalkan/Revisi. Daftar ini memperlihatkan bahwa dalam rentang waktu 2001-2016 terdapat 3.143 kebijakan yang dibatalkan atau direvisi oleh Kemendagri. Jika dirinci, dari lima provinsi di Kalimantan terdapat 209 kebijakan yang dibatalkan/revisi. Hal ini merupakan "pembakaran" anggaran, yang besarnya ratusan miliar dan berdampak pada program dan kegiatan daerah. Sebuah pemborosan anggaran yang berakhir sia- sia. Masalah yang seringkali muncul ketika implementasi kebijakan adalah belum adanya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah seolah-olah mengambil keputusan dengan penerapan kebijakan sebelah pihak. Padahal pemerintah seharusnya tidak perlu terburu-buru dalam mengimplementasikan sebuah kebijakan publik. Uji coba lapangan sangatlah penting, misalanya sampling yang diambil juga harus ditentukan dengan saksama, memperhatikan wilayah, jarak, dan media yang digunakan. Sehingga, kebijakan yang dibuat memang benar- benar kebijakan yang merupakan solusi dari persoalan- persoalan yang dibutuhkan dan diharapkan oleh masyarakat. Apabila ditarik lebih jauh, implementasi yang rawan pertentangan seperti itu dapat dihindari jika dari proses pembuatannya melibatkan seorang analis kebijakan. Analis kebijakan berperan sebagai "pembisik" kebijakan setiap kali pemerintah akan mengambil keputusan kebijakan. Baik itu kebijakan yang mengatur tentang masalah sosial, ekonomi, agama, maupun budaya di dalam masyarakat. Dalam sebuah acara, Kepala Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI menyampaikan bahwa seorang analis kebijakan harus mampu memainkan peran dengan menyodorkan alternatif pilihan kebijakan kepada para pemangku kepentingan. Alternatif pilihan kebijakan yang disodorkan pun harus didasarkan pada kajian ilmiah dan data dukung di lapangan. Namun, sayangnya jumah analis kebijakan di Indonesia masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah kebijakan yang dihasilkan pemerintah. Data dari Pusat Pembinaan Analisis Kebijakan (Pusaka) LAN, sampai dengan September 2018 baru ada 172 oang analis kebijakan di Indonesia. Jumlah ini tentu sangat sedikit mengingat bahwa persebaran analis kebijakan ini tidaklah merata di seluruh Indonesia. Artinya, belum seluruh provinsi di Indonesia memiliki seorang analis kebijakan. Contohnya di Kalimantan, dari lima provinsi yang ada hanya dua yang memiliki analis kebijakan, yaitu Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Lebih mencengangkan lagi, ternyata dari dua orang analis kebijakan tersebut belum ada yang mendapatkan diklat analis kebijakan. Terutama diklat yang diselenggarakan oleh LAN sebagai instansi pembina analis kebijakan.
Hal-Hal Yang Dapat Dilakukan Yaitu :
1. Penguatan sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang menjadi pelaksana kebijakan harus mempunyai kemampuan untuk menguasai kebijakan yang akan ditawarkan kepada masyarakat. Hal ini agar masyarakat tidak bingung dan dapat memahami kebijakan baru yang akan diterapkan, sehingga tidak timbul kekecewaan di kemudian hari. 2. Penguatan tujuan pembuatan kebijakan. Ketika kebijakan disusun, bisa saja ada aktor-aktor yang memiliki tujuan, baik untuk kepentingan kelompok maupun kepentingan pribadi. Sehingga, terjadi tarik-menarik kepentingan di dalamnya, dan akhirnya kebijakan yang dibuat bukan untuk kebermanfaatan masyarakat luas, namun hanya untuk kalangan tertentu. Oleh karenanya, penting untuk memastikan bahwa kebijakan tersebut selaras dengan kebutuhan masyarakat. Kegiatan implementasi kebijakan tentu akan disambut dengan sukacita oleh masyarakat, apabila peruntukan kebijakan tersebut memang benar-benar untuk kebaikan dan memiliki dampak langsung bagi masyarakat luas. Kebijakan yang dibuat demi menjawab kebutuhan masyarakat, dari kota sampai daerah terpencil. Semoga hal tersebut tercermin dalam pengambilan kebijakan-kebijakan di masa kini dan masa yang akan datang. 3. Keputusan yang baik, yang memperhatikan prinsip , setidaknya harus memenuhi sejumlah syarat sebagai berikut: (i) keputusan dibuat oleh seorang, sekelompok orang atau organisasi yang secara hukum mempunyai wewenang yang sah untuk mengambil keputusan tersebut; (ii) keputusan tersebut dibahas dan dirumuskan sesuai dengan sistem operasi standar internal organisasi terkait, misalnya dilakukan proses persetujuan berjenjang dari inisiatif awal sampai pada pihak yang mempunyai kewenangan tertinggi di organisasi tersebut; (iii) keputusan tersebut adalah sah, dalam arti selalu berada dalam koridor (atau tidak bertentangan dengan) peraturan perundangan yang berlaku, moral serta etika publik yang diterima secara umum; 4. Keputusan telah melalui tes dampak, baik terhadap pihak internal maupun eksternal, dengan mengujinya pada semua faktor risiko yang relevan, termasuk proses dan tindakan untuk memitigasinya; (v) selain membawa manfaat pada organisasi terkait, keputusan tersebut juga harus berdampak positif terhadap para pemangku kepentingan terkait; (vi) ada kejelasan tentang siapa yang bertangung jawab atas keputusan yang diambil tersebut, dan (vii) dalam hal keputusan tersebut berdampak luas terhadap kepentingan publik, dilakukan juga diseminasi dan diskusi publik dengan para pemangku kepentingan agar mereka paham bahwa tujuan akhir keputusan tersebut, sekarang atau pada akhirnya, membawa manfaat yang dapat dipertanggung-jawabkan kepada public (“Prinsip Governance”). 5. Proses pengambilan keputusan dalam suatu masyarakat dan negara dimana demokrasi termasuk sistem bekerja baik, kehidupan berpolitik dilakukan dengan penuh sikap dewasa dan santun, mereka menjunjung etika politik yang umum berlaku, dan perbedaan pendapat disalurkan lewat diskusi yang sehat dan saling menghargai dengan mengingat kepentingan bangsa yang lebih besar, dan pada akhirnya setelah keputusan diambil, keputusan tersebut harus dihargai dan dilaksanakan secara konsekuen oleh semua pihak yang secara hukum tunduk pada keputusan tersebut. Dalam suatu negara atau masyarakat dimana proses dan praktik bernegara belum matang, seperti halnya kita ini, maka keputusan yang dilakukan dengan menggunakan Prinsip Governance tadi belum tentu menjamin hasilnya akan baik, diterima luas oleh publik, dan berlaku efektif waktu dilaksanakan. Tidak itu saja, yang terpenting adalah apakah pada akhirnya keputusan tersebut akan bermanfaat bagi kepentingan masyarakat luas, bangsa dan negara. Faktor waktu dan kondisi sekitar juga sangat mempengaruhi efektivitas dan manfaat keputusan tersebut. Keputusan yang dilakukan semasa suatu krisis, akan berbeda dengan keputusan yang dilakukan dalam kondisi yang tenteram dan kondusif. Keputusan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan yang kuat dengan kontrol kuat pimpinan tertinggi eksekutif, akan berbeda dengan keputusan yang diberikan oleh suatu pemerintahan dimana pembagian kekuasaan sangat cair dan menyebar ke banyak sektor. Keputusan yang dikeluarkan oleh suatu pemerintahan, organisasi atau orang atau sekelompok orang yang korup akan sangat berbeda dengan keputusan yang dikeluarkan oleh pihak-pihak yang bersih. Suatu keputusan yang diberikan oleh orang atau sekelompok orang yang populis demi kelanggengan posisi politiknya akan juga berbeda dengan orang atau sekelompok orang yang hanya ingin agar keputusannya memberi dampak positif untuk kepentingan publik.