Anda di halaman 1dari 12

Tugas Resume

Nama: Syahifatul Fikri

Nim: 20110030

MK: PSI

Dosen: Ibi Ai Wati, M.H

Ruang lingkup

Ruang Lingkup Studi Islam

Menurut Muhammad Nur Hakim, tidak semua aspek agama khususnya Islam dapat menjadi obyek studi.
Dalam konteks Studi Islam, ada beberapa aspek tertentu dari Islam yang dapat menjadi obyek studi,
yaitu:

1. Islam sebagai doktrin dari tuhan yang kebenarannnya bagi pemeluknya sudah final, dalam arti
absolut, dan diterima secara apa adanya.

2. Sebagai gejala budaya yang berarti seluruh apa yang menjadi kreasi manusia dalam kaitannya dengan
agama, termasuk pemahaman orang terhadap doktrin agamanya.

3. Sebagai interaksi sosial yaitu realitas umat islam.

Sementara menurut Muhammmad Amin Abdullah terdapat tiga wilayah keilmuan agama Islam yang
dapat menjadi obyek Studi Islam:

1. Wilayah praktek keyakianan dan pemahaman terhadap wahyu yang telah diinterpretasikan
sedemikian rupa oleh para ulama, tokoh panutan masyarakat pada umumnya. Wilayah praktek ini
umumnya tanpa melalui klarifikasi dan penjernihan teoritik keilmuan yang di pentingkan disisni adalah
pengalaman.

2. Wilayah teori-teori keilmuan yang dirancang dan disusun sistematika dan metodologinya oleh para
ilmuan, para ahli, dan para ulama sesuai bidang kajiannya masing-masing. Apa yang ada pada wilayah ini
sebenarnya tidak lain dan tidak bukan adalah “teori-teori” keilmuan agama islam, baik secara deduktif
dari nash-nash atau teks-teks wahyu , maupun secara induktif dari praktek-praktek keagamaan yang
hidup dalam masyarakat era kenabian, sahabat, tabi’in maupun sepanjang sejarah perkembangan
masyarakat muslim dimanapun mereka berada.

3.Telaah teritis yang lebih popular disebut metadiscourse, terhadap sejarah perkembangan jatuh
bangunnya teori-teori yang disusun oleh kalangan ilmuan dan ulama pada lapis kedua. Wilayah pada
lapis ketiga yang kompleks dan sophisticated inilah yang sesungguhnya dibidangi oleh filsafat ilmu-ilmu
keislaman.

Sedangkan menurut M. Atho’ Mudzhar menyatakan bahwa obyek kajian islam adalah substansi ajaran-
ajaran islam, seperti kalam, fiqih dan tasawuf. Dalam aspek ini agama lebih bersifat penelitian budaya
hal ini mengingat bahwa ilmu-ilmu keislaman semacam ini merupakan salah satu bentuk doktrin yang
dirumuskan oleh penganutnya yang bersumber dari wahyu Allah melalui proses penawaran dan
perenungan.

Sejarah Pertumbuhan Ilmu-Ilmu Keislaman

Sejarah awal kelahiran, Islam telah memberikan penghargaan begitu besar terhadap ilmu. Pandangan
Islam tentang pentingnya ilmu tumbuh bersamaan dengan kelahirannya Islam itu sendiri. Ketika
Rarulullah SAW menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya ‘membaca’. Pada
masa kejayaan umat Islam, khususnya pada masa pemerintahan dinasti Umayah dan dinasti Abasyiah,
ilmu Keislaman tumbuh dengan sangat pesat dan maju. Kemajuan ilmu Keislaman telah membawa Islam
pada masa keemasannya.

Dalam sejarah ilmu Keislaman, kita mengenal nama-nama tokoh ilmu di antaranya Al-Mansur, Harun Al-
Rosyid, Ibnu Kholdun, dan lain sebagainya yang telah memberikan perhatian besar terhadap ilmu Islam.
Pada masa itu proses penterjemahan karya-karya filosof Yunani ke dalam bahasa arab berjalan dengan
pesat. Sejarah juga mencatat kemajuan ilmu-ilmu Keislaman, baik dalam bidang tafsir, hadits, fiqih dan
disiplin ilmu ke-Islam yang lain. Tokoh-tokoh dalam bidang tafsir, antara lain Al-Thabary dengan
karyanya Jami’ al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an al-Bukhary, dengan karya yang diciptakan yaitu Al-Jami’ al-
Shahih, Muslim, Ibnu Majah, dan lain sebagainya (Yahya, 1993: 274).

Islamic Studies Model Barat dan Orientalis

Masa Islamic studies model barat dan orientalis dimulai bersamaan dengan munculnya Negara-negara
Barat ke pentas dunia, setelah mengalami masa gelap (dark ages) yang cukup lama. Masa ini pula
merupakan permulaan Negara-negara barat, yaitu Eropa mempunyai keinginan bertemu dengan
masyarakat Islam di Negara-negara lain, yang berujung dengan penjajahan mereka terhadap Negara-
negara di timur (meliputi Indian, Cina, Birma yang masyarakatnya pemeluk agama-agama Hindu, Budha
atau lainnya dengan cara mengirimkan para sarjana yang mendapat sebutan dengan orientalis.

Para orientalis biasanya membagi dunia menjadi dua yaitu Barat (west atau occident) dan Timur (east
atau orient) (Azizy, 2003: 91), yang berfungsi sebagai doktrin politik untuk menguasai timur yang
merupakan ngara atau masyarakat yang lebih lemah dibandingkan dengan Barat.

Setelah tujuan penjajahan berkurang atau bahkan sudah tidak ada, Islamic studies di Barat di tempatkan
pada kajian akademik, dimana pelakunya lebih merasa adanya tuntutan akademik, bukan lagi tuntutan
politis dan kalau kita amati secara seksama dan menyeluruh. Menurut Martin, (1985: 2-3) Islamic studies
di Barat dilakukan dengan melalui salah satu dari empat pendekatan yaitu:

Pertama, menggunakan metode ilmu-ilmu yang masuk di dalam kelompok humanities, seperti filsafat,
filologi ilmu bahasa, dan sejarah terkadang dimasukkan ke dalam bagian social sciences.

Kedua, menggunakan pendekatan yang biasa dipakai dalam Divinity schools yakni berupa disiplin atau
kajian teologi agama-agama, studi Bible dan sejarah gereja,. Oleh Karena itu tidak aneh kalau banyak
orientalis adalah juga pastur, pendeta, uskup atau setidaknya missionaries.

Ketiga, menggunakan metode ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, antropologi, ilmu politik dan psikologi
(ada yang mengelompokkan psikologi ke dalam humanities). Oleh karena itu mereka bisa disebut
dengan orientalis atau ahli di dalam ke-Islaman setelah mendapatkan pendidikan di dalam jurusan atau
fakultas disiplin-disiplin tersebut dengan mengadakan kajian/penelitian, khususnya untuk penulisan
disertasinya, tentang Islam atau masyarakat Islam.
Keempat, menggunakan pendekatan yang dilakukan di dalam department-department, pusat-pusat
atau hanya committes, untuk area studies seperti Midate Eastern Studies / near, Eastern Languages and
Civilizations dan South Asian Studies.

Keunggulan studies Islam dibarat adalah pada aspek metodologi dan juga strategi, yang dimaksud
strategi disini adalah tentang bagaimana cara untuk menguasai materi yang begitu banyak dapat
dipergunakan seefisien mungkin.

Studi Keislaman dengan Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial

Pengkajian terhadap agama sesungguhnya sudah memperoleh tempat yang sangat lama dalam
perkembangan ilmu pengetahuan. Agama sudah menjadi pusat perhatian para ilmuwan semenjak
dahulu. Dimulai dengan usaha ilmiah yang dilakukan oleh E.B. Taylor, J.J. Frazer, R.R. Marett hingga Karl
Marx, Durkheim, Weber dan juga Bellah. Kajian tersebut tentunya tidak melihat agama sebagai doktrin
akan tetapi melihat agama di dalam kehidupan masyarakat. Taylor, Frazer disebut sebagai ahli-ahli
antropologi, sedangkan Marx, Durkheim, Weber dan Bellah adalah ahli sosiologi. Mereka menempatkan
agama sebagai subject matter kajiannya (Nur Syam, 2009).

Islam sebagai agama merupakan mekanisme integrasi sosial yang memiliki hubungan yang erat dengan
suatu yang tidak diketahui dan tidak terkontrol/nomena.

Salah satu kepentingan besar Islam sebagai sebuah ideologi sosial adalah bagaimana mengubah
masyarakat sesuai dengan cita-cita dan visinya mengenai transformasi sosial. Semua ideologi atau
filsafat sosial menghadapai suatu pertanyaan pokok, yaitu bagaimana mengubah masyarakat dari
kondisinya sekarang menuju keadaan yang lebih dekat dengan tataanan idealnya. Elaborasi terhadaap
pertanyaan pokok semacam ini biasanya menghasilkan teori-teori sosial yang berfungsi untuk
menjelaskan kondisi masyarakat yang empiris pada masa kini,dan sekaligus memberikan insight
mengenai perubahan dan transformasinya. Karena teori-teori yang diderivasi dari ideologi-ideologi
sosial sangat berkepentingan terhadap terjadinya transformasi sosial, maka dapat dikatakan bahwa
hampir semua teori sosial tersebut bersifat transformative (Kuntowijiyo, 1991: 337).

Sebagaimana diungkapkan oleh Bagder (1996:23), ilmu-ilmu sosial telah mendapatkan penghargaan
tertinggi di dunia modern karena diyakini bahwa ia menampilkan analisis terhadap peristiwa-peristiwa
kontemporer dalam masyarakat. Para pejabat mengambil keputusan dan para perencana program yang
menaruh perhatian pada masalah sosial meminta bantuan kepada para pakar ilmu sosial. Para ahli ilmu
sosial sendiri mengambil alih berbagai metodologi penelitian ilmu-ilmu kealaman.

Dengan demikian, ilmu-ilmu sosial tidak lagi dikategorikan dengan ilmu-ilmu humaniora dan tidak juga
dianggap membawa pendapat-pendapat yang bersifat impresionistik, intuitif ataupun subyektif .

Pendekatan yang dilakukan oleh para ilmuwan sosial dengan displin ilmu yang ditekuninya memberikan
suatu kejelasan tentang hal-hal yang berhubungan dengan fenomena agama dalam kerangka seperti
hukum sebab-akibat, stimulus dan respon.

Ada dua hal yang mendasari ketika agama (termasuk Islam) dijadikan sebagai objek kajian, yaitu:
Mengkaji adalah melakukan obyektivitas dalam obyek kajiannya, artinya dalam kajian agama tidak hanya
orang lain yang diteliti tetapi sang peneliti harus terlibat di dalamnya (Martin, 1985: 7). Karena agama
merupakan hal sangat pribadi dan mendalam bagi manusia, sehingga hanya dapat diamati dengan hati-
hati.

Secara tradisional, agama dianggap suatu yang sakral, suci, dan agung. Maka permasalahan yang akan
muncul adalah ketika peneliti bersinggungan atau mengkritisi hal-hal yang terkait dengan masalah
tersebut. Apabila hal itu terjadi, maka dianggap sebagai bentuk pelecehan, bahkan dianggap merusak
nilai tradisonal agama.

2.1 Islam dan Agama

Dalam study keagamaan sering dibedakan antara kata religion dengan kata religiosity. Religion yang
biasa dialihbahakan menjadi agama, yang mencerminkan sikap keberagamaan atau kesalehan hidup
berdasarkan nulai-nilai ketuhanan.

Sedangkan religiositas mengarah pada kualitas penghayatan dan sikap hidup seseorang berdasarkan
nilai-nilai keagamaan yang diyakininya. Istilah yang tepat sebenarnya bukan religiositas melainkan
spiritualitas. Yang lebih menekankan substansi nilai-nilai luhur keagamaan dan cenderung
memalingkkan diri dari formalism keagamaan. Biasanya, orang yang merespon agama dengan
menekankan dimensi spiritualitasnya cenderung bersikap apresiatif terhadap nilai-nilai luhur
keagamaan, meskipun berada dalam wadah agama lain. Sebaliknya, ia merasa terganggu oleh dinilainya
akan menghalangi berkembangya nilai-nilai moral spiritual keagamaan. Oleh karena itu, kita perlu
mengetahui kebenaran agama bukan hanya pada dataran eksoterik, melainkan juga dari dataran
esoteric.

Eksklusivisme melahirkan pandangan bahwa ajaran yang paling benar hanyalah agama yang dipeluknya.
Agama lain sesat dan wajid dikikis, atau pemeluknya dikonversi. Karena, baik agama maupun
pemeluknya, dinilai terkutuk dalam pandangan Tuhan.

Inklusivisme berpandangan bahwa diluar agama yang dianutnya, juga terdapat kebenaran meskipun
tidak seutuh dan sesempurna agama yang dipeluknya.

Puralisme berpandangan bahwa secara teologis, pluralitas agama dipandang sebagai suatu realitas
niscaya yang masing-masing berdiri sejajar sehingga semangat misionaris atau dakwah dianggap tidak
relevan.

Universalisme beranggapan bahwa pada dasarnya semua agama adalah satu dan sama. Hanya karena
faktor historis-antropologis, agama kemudian tampil dalam format plural.

Di Negara Indonesia, kelihatannya umat islam masih didominasi pandangan eksklusivisme. Hal ini, disatu
sisi dipandang wajar, karena warisan historis tentang persentuhan islam, Kristen. Oleh karena itu, kita
perlu mempertimbangkan format-format lain sebagai alternative wajah keberagaman islam di
Indonesia.
Pendekatan di Dalam Memahami Agama I

Dalam memahami ataupun mempelajari agama diperlukan beberapa cara atau pendekatan. Beberapa
pendekatan terkait studi dalam memahami agama, antara lain :

A. PENDEKATAN TEOLOGIS NORMATIF

Pendekatan teologis normative dalam harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan
menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empiik dari
suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.Amin Abdullah
mengatakan, bahwa teologi sebagaimana kita ketahui, tidak bisa tidak mengacu kepada agama
tertenu.Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen, dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan
bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku bukan sebagai pengamat adalah merupakan
ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis. Pendekatan teologi dalam studi agama adalah
pendekatan ima untuk merumuskan kehendak tuhan berupa wahyu yang disampaikan kepada para
nabinya agar kehendak Tuhan dapat dipahami secara dinamis dalam konteks ruang dan
waktu.Pendekatan teologi dalam studi agama disebut juga pendekatan normative dari ilmu-ilmu agama
itu sendiri.Secara umum, teologi atau normative dalam studi agama bertujuan untuk mencari kebenaran
dari suatu ajaran agama atau dalam rangka menemukan pemahaman atau pemikiran keagamaan yang
lebih dapat dipertanggungjawabkan secara normative.

Dalam pendekatan teologi ini agama dilihat sebagai suatu kebenaran mutlak dari Tuhan.Tidak ada
sedikitpun kekurangan dan tampak bersikap ideal.Dalam kaitan ini agama tampil sangat prima dengan
seperangkat cirinya yang khas. Untuk agama islam misalnya, secara normative pasti benar. Menjunjung
nilai-nilai luhur.Untuk bidang social, agama tampil menawarkan nilai kemanusiaan, kebersamaan,
kesetiakawanan, tolongmenolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang
ekonomi agama tampil menwarkan keadilan, kejujuran, dan salinh menungtungkan yang diketahui satu
sama lain. Untuk bidang pengetahuan, agama tampil mendorong pemeluknya agar memiliki ilmu
pengetahuan dan teknologi yang setinggi-tingginya, menguasai keterampilan, keahlian dan
sebagainya.Demikian untuk bidang kesehatan, lingkungan hidup, kebudayaan, politik dan sebagainya
agama tampil sangat ideal dan yang membangun berasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran
agama yang bersangkutan.

B. PENDEKATAN ANTROPOLOGIS

Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartkan sebagai salah satu upaya untuk
memahami ahama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat. Cara-cara disiplin ilmu antropologi dalam melihat suatu masalah digunakan pula untuk
memahami agama.Antropologi dalam kaitan ini sebagaimana dikatakan Dawam Rahardjo, lebih
mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-
kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan
dalam pengamatan sosiologis.

Sejalan dengan pendekatan tersebut, maka dalam berbagai penelitian antropologi agama dapat
ditemukan adanya hubungan positif antara kepercayaan agama dengan kondisi ekonomi dan
politik.Golongan masayarakat yang kurang mampu dan golongan miskin pada umumnya, lebih tertarik
kepada gerakan-gerakan keagamaannya yang bersifat mesianis, yang menjanjikan perubahan tatanan
social kemasyarakatan.Sedangkan golongan orang kaya lebih cenderung untuk mempertahankan
tatanan masyarakat yang sudah mapan secara ekonomi lantaran tatanan itu menguntungkan pihaknya.
Dimana menurut Karl Marx (1818-1883) agama bisa disalahfungsikan oleh kalangan tertentu untuk
melestarikan status peran tokoh-tokoh agama yang mendukung system kapitalisme di eropa yang
beragama Kristen.Lain halnya dengan Max Weber (1964-1920), dia melihat adanya korelasi positif
antara ajaran protestan dengan munculnya semangat kapitalisme modern.Melalui pendekatan
antropologi ini, dapat dilihat bahwa agama ternyata berkorelasi dengan etos kerja dan perkembangan
ekonomi suatu masyarakat.

Pendekatan antropologis seperti itu diperlukan, sebab banyak berbagai hal yang dibicarakan agama
hanya bisa dijelaskan dengan tuntas melalui pendekatan antropologis. Dalam al-qur’an al-karim, sebagai
sumber utama ajaran islam misalnya kita memperoleh tentang kapal nabi nuh di gunung Arafat, kisah
ashabul kahfi yang bisa bertahan hidup tiga ratus tahun dalam goa. Dimana bangkai kapal itu, dan
dimana keberadaan goa itu sekarang.Itu hal yang menakjubkan, ataukah itu hanya hal fiktif.Tentu masih
banyak lagi contoh yang hanya dapat dijelaskan dengan bantuan ahli geografi dan arkeologi.

Pendekatan dalam memahami agama II

C. PENDEKATAN SOSIOLOGIS

Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan-ikatan
antara manusia yang menguasai hidupnya itu. Sosiologi mencoba menegerti sifat dan maksut hidup
bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula
kepercayaannya. Keyakinan yang yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam
tiap persekutuan hidup manusia. Sementara itu, Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu
ilmu pengetahuan yang membatasi diri terhadap persoalan penilaian. Sosiologi tidak menetapkan kea
rah mana sesuatu seharusnya berkembang dalam artimemberi petunjuk-petunjuk yang menyangkut
kebijaksanaan kemasyarakatan dari proses kehidupan bersama tersebut. Di dalam ilmu ini juga dibahas
tentang proses-proses social mengingat bahwa pengetahuan perihal struktur masyarakat saja belum
cukup untuk memperoleh gambaran yang nyata mengenai kehidupan bersama manusia.

Dari dua definisi tersebut terlihat bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang menggambarkan tentang
keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala social lainnya yang saling
bersangkutan. Dengan ilmu ini suatu fenomena social dapat dianalisis dengan faktor-faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas social serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya
proses tersebut.

Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama.Hal demikian dapat
dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan
tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama islam dapat dijumpai
peristiwa Nabu Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa menjadi penguasa Mesir. Mengapa dalam
melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, itu salah satu contohnya.Peristiwa
tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan social.Tanpa
ilmu social peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit untuk pula dipahami
maksudnya.Disinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajarab agama.

Pentingnya pendekatan sosiologi ini dalam memahami agama, ini mendorong kaum agama memahami
ilmu-ilmu social sebagai alat untuk memahami agamanya. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif,
Jalaluddin Rahmat telah menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini islam
terhadap masalah social, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut:
Pertama, dalam Aquran atau kitab hadits, proporsi terbesar kedua sebagai sumber hokum islam
berkenaan dengan urusan muamalah.

Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah dalam islam ialah adanya kenyataan bahwa bila
urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh
diperpendek atau ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan tetap dikerjakan sebagaimana
mestinya.

Ketiga,bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran lenih besar daripaa ibadah
yang bersifat perseorangan.

Keempat,dalam islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal,
karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya ialah melakukan sesuatu yang berhubungan
dengan masalah social.

Kelima, dalam islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang kemasyarakatan mendapat ganjaran
lebih besar daripada ibadah sunnah.

D. PENDEKATAN FILOSOFIS

Secara harfiah, kata filsafat berasal dari kata philo yang berarti cinta kepada kebenaran, ilmu, dan
hikmah.Selain itu filsafat dapat diartikan pula mencari hakikat sesuatu, berusaha menautkan sebab dan
akibat serta berusaha menafsirkan pengalaman-pengalaman manusia. Dalam kamus umum bahasa
Indonesia, Poerwadarminta mengartikan filsafat sebagai pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai sebab-sebab, asas, hokum dan sebagainya terhadap segala yang ada dialam semesta
ataupun mengenai kebenaran dan arti adanya sesuatu.

Pengertian falsafah yang umumnya digunakan adalah pendapat yang dikemukakan Sidi
Gazalba.Menurutnya filsafat adalah berfikir secara mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam
rangka mencari kebenaran, inti hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa filsafat pada intinya berupaya menjelaskan inti,
hakikat, atau hikmah mengenai sesuatu yang berada dibalik objek formalnya.Fisafat mencari sesuatu
mendasar, asas, inti yang terdapat dibalik yang bersifat lahiriyah.

Berpikir secara filosofis selanjutnya dapat digunakan dalam memahami ajaran agama, dengan
maksut agar hikmah, hakikat atau inti ajaran agama dapat dmengerti secara saksama.Dengan
menggunakan pendekatan filosofis ini seseorang dapat memberi makna terhadap sesuaru yang
dijumpainya, dan dapat menangkap hikmah dan ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan cara
demikian ketika seseorang mengerjakan suatu amal ibadah tidak akan merasa kekeringan spiritual yang
dapat menimbulkan kebosanan. Semakinmampu menggali makna filosofis dari suatu ajaran agama,
maka semakin meningkat pula sikap penghayatan dan daya spiritualitas yang dimiliki seseorang.Melalui
pendekatan filosofis ini seseorang tidak akan terjebak pada pengamatan agama yang bersifat formalistic,
yakni dengan mengamalkan agama dengan susah payah tapi tidak memiliki makna apa-apa, kosong
tanpa arti.
E. PENDEKATAN HISTORIS

Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas berbagai peristiwa dengan
memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut.Melalui
pendekatan sejarah ini seseorang diajak menukik alam idealis kealam yang bersifat empiris dan
mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat kesenjangan atau keselarasan antara terdapat alam
idealis dengan yanf ada dialam empiris dan historis.

Pendekatan sejarah ini umat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama turun dalam situasi
yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi social kemasyarakatn. Dalam hubungan Kuntowijoyo
telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini islam, menurut pendekatan
sejarah. Ketika ia mempelajari Al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasarnya
kandungan alquran terbagi menjadi dua bagian, yang pertama, berisi konsep-konsep dan kedua berisi
kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.

Dalam analisis ilmu pendidikan islam dilihat dari latar belakang historis, yang berarti menempatkan
sasaran analisis pada fakta-fakta sejarah umat islam yang berawal dari Nabi Muhammad diangkat
menjadi Rasulullah Saw. sejak pengangkatan Muhammad SAW menjadi utusan Allah, tahap awal dari
proses pendidikan islam dimulai yaitu tahun ke 13 hijrah ke madinah, pada waktu nabi berusia 40 tahun.

Selain itu, dengn pendekatan historis ini seseorang diajak untuk memasuki keadaan yang sebenarnya
brkenaan dengan penerapan suatu peristiwa. Dari sini, maka seseorang tidak akan tersesat dalam
memahami agama keluar dari konteks historisnya. Seperti seseorang yang memahami alquran secra
benar mengenai kejadian yang mengiringi turunnya alquran.

F. PENDEKATAN KEBUDAYAAN

Dalam kamus bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin
manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat, dan berarti pula kegiatan (usaha) batib (akal budi)
dan sebagainya untuk menciptakan sesuatu yang termasuk kasil kebudayan. Sementara itu, sutan takdir
alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah seluruh yang kompleks, yang terjadi dari unsur-
unsur yang berbeda seperti pengetahuan, kepercayaan, seni, hokum, moral, adat istiadat, dan segala
kecakapan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Kebudayaan tampil sebagai pranata yang secara terus menerus dipelihara oleh para pembentuknya dan
generasi selanjutnya yang diwarisi kebudayaan tersebut.Kebudayaan yang demikian selanjutnya dapat
pula digunakan untuk memahami agama yang terdapat pada tataran empiris atau agama yang tampil
dalam bentuk formal yang menggejala di masyarakat.Pengalaman agama yang terdapat didalam
masyarakat tersebut diproses oleh penganutnya dari sumber agama, yaitu wahyu melalui penalaran.
Kita misalnya membaca kitab fiqh, maka fiqh yang merupakan pelaksanaan dari nash alquran maupun
hadits sudah melibatkan unsur penalaran dan kemampuan manusia. Dengan demikian agama menjadi
membudaya atau membumi di tengah-tenah.Demikian agama yang dalam bentuknya itu berkaitan
dengan kebudayaan yang berkembang dimasyarakat tempat agama itu berkembang.Dengan melalui
pemahaman terhadap kebudayaan tersebut seseorang dapat mengamalkan ajaran agama. Kita misalnya
menjumpai kebudayaan berpakaian, bergaul, bermasyarakat dan sebagainya.Dalam produk kebudayaan
tersebut, unsur agama ikut dalam pengamalan agama. Sebaliknya, tanpa adanya unsur budaya, maka
agama akan sulit dilihat sosoknya secara jelas.
G. PENDEKATAN PSIKOLOGI

Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang
diamatinya. Menurut Zakiah Daradjat, perilaku seseorang yang tampak lahiriyah terjadi karena
dipengaruhi olh keyakinan yang dianutnya. Seseorang yang ketika berjumpa saling mengucapkan salam,
hormat kepada kedua orang tua,

gejala-gejala keagamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Dengan ilmu ini, jiwa seseorang
akan mengetahui tingkat keagamaan yang dihayati, dipahami dan diamalkan seseorang juga dapat
digunakan sebagai alat untuk memasukkan agama dalam jiwa seseorang sesuai dengan tingkatan
usianya. Dengan ilmu ini akan menemukan cara yang tepat dan cocok untk menanamkannya.

Psikolog agama sebagai cabang dari psikologi menyelidiki agama sebagai gejala kejiwaan.Penyelidikan
agama sebagai gejala kejiwaan memiliki peran penting mengingat persoalan agama yang paling
mendasar adalah persoalan kejiwaan.Manusia meyakini dan mati berserah diri kepada
Tuhan.Melakukan upacara keagamaan, berdoa, rela berkorban dan rela hidupnya dikendalikan oleh
norma-norma agama adalah persoalan kejiwaan. Agama dan psikolog memiliki tujuan yang sama, yaitu
agar manusia sehat dan cerdas.

Pengertian dasar sumber ajaran Islam

Sumber ajaran islam adalah segala sesuatu yang melahirkan atau menimbulkan aturan yang mempunyai
kekuatan yang bersifat mengikat yang apabila dilanggar akan menimbulkan sanksi yang tegas dan
nyata..

keimanan terhadap sumber ajaran Islam

AL-QUR’AN

Secara etimologi Alquran berasal dari kata qara’a, yaqra’u, qiraa’atan, atau qur’anan yang berarti
mengumpulkan (al-jam’u) dan menghimpun (al-dlammu). Sedangkan secara terminologi (syariat),
Alquran adalah Kalam Allah ta’ala yang diturunkan kepada Rasul Muhammad. Dan menurut para ulama
klasik, Alquran sumber agama (juga ajaran) Islam pertama dan utama yang memuat firman-firman
(wahyu) Allah, sama benar dengan yang disampaikan oleh Malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad
sebagai Rasul Allah sedikit demi sediki selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, dari Mekah ke Medinah.

HADIST

Al-Hadis adalah sumber kedua agama dan ajaran Islam. Sebagai sumber agama dan ajaran Islam, al-
Hadis mempunyai peranan penting setelah Al-Quran. Al-Quran sebagai kitab suci dan pedoman hidup
umat Islam diturunkan pada umumnya dalam kata-kata yang perlu dirinci dan dijelaskan lebih lanjut,
agar dapat dipahami dan diamalkan.
Ijtihad

Pengertian Ijtihad

Ijtihad (Arab: ‫ )اجتهاد‬adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan
oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas
dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang.

Namun pada perkembangan selanjutnya, diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli
agama Islam.

Tujuan ijtihad adalah untuk memenuhi keperluan umat manusia akan pegangan hidup dalam beribadah
kepada Allah di suatu tempat tertentu atau pada suatu waktu tertentu.

Fungsi Ijtihad

Meski Al Quran sudah diturunkan secara sempurna dan lengkap, tidak berarti semua hal dalam
kehidupan manusia diatur secara detail oleh Al Quran maupun Al Hadist. Selain itu ada perbedaan
keadaan pada saat turunnya Al Quran dengan kehidupan modern. Sehingga setiap saat masalah baru
akan terus berkembang dan diperlukan aturan-aturan turunan dalam melaksanakan Ajaran Islam dalam
kehidupan beragama sehari-hari.

Jika terjadi persoalan baru bagi kalangan umat Islam di suatu tempat tertentu atau di suatu masa waktu
tertentu maka persoalan tersebut dikaji apakah perkara yang dipersoalkan itu sudah ada dan jelas
ketentuannya dalam Al Quran atau Al Hadist. Sekiranya sudah ada maka persoalan tersebut harus
mengikuti ketentuan yang ada sebagaimana disebutkan dalam Al Quran atau Al Hadits itu. Namun jika
persoalan tersebut merupakan perkara yang tidak jelas atau tidak ada ketentuannya dalam Al Quran dan
Al Hadist, pada saat itulah maka umat Islam memerlukan ketetapan Ijtihad. Tapi yang berhak membuat
Ijtihad adalah mereka yang mengerti dan paham Al Quran dan Al Hadist.

Jenis-Jenis Ijtihad

Ijma’

Ijma’ artinya kesepakatan yakni kesepakatan para ulama dalam menetapkan suatu hukum hukum dalam
agama berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits dalam suatu perkara yang terjadi. Adalah keputusan bersama
yang dilakukan oleh para ulama dengan cara ijtihad untuk kemudian dirundingkan dan disepakati. Hasil
dari ijma adalah fatwa, yaitu keputusan bersama para ulama dan ahli agama yang berwenang untuk
diikuti seluruh umat.

Qiyâs

Qiyas adalah menggabungkan atau menyamakan artinya menetapkan suatu hukum suatu perkara yang
baru yang belum ada pada masa sebelumnya namun memiliki kesamaan dalah sebab, manfaat, bahaya
dan berbagai aspek dengan perkara terdahulu sehingga dihukumi sama. Dalam Islam, Ijma dan Qiyas
sifatnya darurat, bila memang terdapat hal hal yang ternyata belum ditetapkan pada masa-masa
sebelumnya

Beberapa definisi qiyâs (analogi)


Menyimpulkan hukum dari yang asal menuju kepada cabangnya, berdasarkan titik persamaan di antara
keduanya.

Membuktikan hukum definitif untuk yang definitif lainnya, melalui suatu persamaan di antaranya.

Tindakan menganalogikan hukum yang sudah ada penjelasan di dalam [Al-Qur’an] atau [Hadis] dengan
kasus baru yang memiliki persamaan sebab (iladh).

menetapkan sesuatu hukum terhadap sesuatu hal yg belum di terangkan oleh al-qur’an dan hadits.

Istihsân

Beberapa definisi Istihsân

Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang fâqih(ahli fikih), hanya karena dia merasa hal itu adalah benar.

Argumentasi dalam pikiran seorang fâqihtanpa bisa diekspresikan secara lisan olehnya

Mengganti argumen dengan fakta yang dapat diterima, untuk maslahat orang banyak.

Tindakan memutuskan suatu perkara untuk mencegah kemudharatan.

Tindakan menganalogikan suatu perkara di masyarakat terhadap perkara yang ada sebelumnya..

Maslahah murshalah

Adalah tindakan memutuskan masalah yang tidak ada naskahnya dengan pertimbangan kepentingan
hidup manusia berdasarkan prinsip menarik manfaat dan menghindari kemudharatan.

Sududz Dzariah

Adalah tindakan memutuskan suatu yang mubah menjadi makruh atau haram demi kepentingan umat.

Istishab

Adalah tindakan menetapkan berlakunya suatu ketetapan sampai ada alasan yang bisa mengubahnya,
contohnya apabila ada pertanyaan bolehkah seorang perempuan menikah lagi apabila yang
bersangkutan ditinggal suaminya bekerja di perantauan dan tidak jelas kabarnya? maka dalam hal ini
yang berlaku adalah keadaan semula bahwa perempuan tersebut statusnya adalah istri orang sehingga
tidak boleh menikah(lagi) kecuali sudah jelas kematian suaminya atau jelas perceraian keduanya.

Urf

Adalah tindakan menentukan masih bolehnya suatu adat-istiadat dan kebiasaan masyarakat setempat
selama kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan aturan-aturan prinsipal dalam Alquran dan Hadis.

Tingkatan-Tingkatan Ijtihad

Ijtihad Muthlaq

Adalah kegiatan seorang mujtahid yang bersifat mandiri dalam berijtihad dan menemukan ‘illah-‘illah
hukum dan ketentuan hukumnya dari nash Al-Qur’an dan sunnah, dengan menggunakan rumusan
kaidah-kaidah dan tujuan-tujuan syara’, serta setelah lebih dahulu mendalami persoalan hukum, dengan
bantuan disiplin-disiplin ilmu.

Ijtihad fi al-Madzhab

Adalah suatu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang ulama mengenai hukum syara’, dengan
menggunakan metode istinbath hukum yang telah dirumuskan oleh imam mazhab, baik yang berkaitan
dengan masalah-masalah hukum syara’ yang tidak terdapat dalam kitab imam mazhabnya, meneliti
pendapat paling kuat yang terdapat di dalam mazhab tersebut, maupun untuk memfatwakan hukum
yang diperlukan masyarakat.

Secara lebih sempit, ijtihad tingkat ini dikelompokkan menjadi tiga tingkatan ini:

Ijtihad at-Takhrij

Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dalam mazhab tertentu untuk melahirkan hukum
syara’ yang tidak terdapat dalam kumpulan hasil ijtihad imam mazhabnya, dengan berpegang kepada
kaidah-kaidah atau rumusan-rumusan hukum imam mazhabnya. Pada tingkatan ini kegiatan ijtihad
terbatas hanya pada masalah-masalah yang belum pernah difatwakan imam mazhabnya, ataupun yang
belum pernah difatwakan oleh murid-murid imam mazhabnya.

Ijtihad at-Tarjih

Yaitu kegiatan ijtihad yang dilakukan untuk memilah pendapat yang dipandang lebih kuat di antara
pendapat-pendapat imam mazhabnya, atau antara pendapat imam dan pendapat murid-murid imam
mazhab, atau antara pendapat imam mazhabnya dan pendapat imam mazhab lainnya. Kegiatan ulama
pada tingkatan ini hanya melakukan pemilahan pendapat, dan tidak melakukan istinbath hukum syara’.

Ijtihad al-Futya

Yaitu kegiatan ijtihad dalam bentuk menguasai seluk-beluk pendapat-pendapat hukum imam mazhab
dan ulama mazhab yang dianutnya, dan memfatwakan pendapat-pendapat terebut kepada masyarakat.
Kegiatan yang dilakukan ulama pada tingkatan ini terbatas hanya pada memfatwakan pendapat-
pendapat hukum mazhab yang dianutnya, dan sama sekali tidak melakukan istinbath hukum dan tidak
pula memilah pendapat yang ada di dalamnya.

Anda mungkin juga menyukai