Disusun Oleh :
2020
KATA PENGANTAR
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyalahgunaan dan ketergantungan zat yang termasuk dalam katagori
NAPZA pada akhir-akhirini makin marak dapat disaksikan dari media cetak
koran dan majalah serta media elektrolit seperti TV dan radio.
Kecenderungannya semakin makin banyak masyarakat yang memakai zat
tergolong kelompok NAPZA tersebut, khususnya anak remaja (15-24 tahun)
sepertinya menjadi suatu model perilaku baru bagi kalangan remaja
(DepKes, 2001).
Penyebab banyaknya pemakaian zat tersebut antara lain karena
kurangnya pengetahuan masyarakat akan dampak pemakaian zat tersebut
serta kemudahan untuk mendapatkannya.
Kurangnya pengetahuan masyarakat bukan karena pendidikan yang rendah
tetapi kadangkala disebabkan karena faktor individu, faktor keluarga dan
faktor lingkungan.
Faktor individu yang tampak lebih pada kepribadian individu tersebut;
faktor keluarga lebih pada hubungan individu dengan keluarga misalnya
kurang perhatian keluarga terhadap individu, kesibukan keluarga dan lainnya;
faktor lingkungan lebih pada kurang positif sikap masyarakat terhadap
masalah tersebut misalnya ketidakpedulian masyarakat tentang NAPZA
(Hawari, 2000).
Dampak yang terjadi dari faktor-faktor di atas adalah individu mulai
melakukan penyalahgunaan dan ketergantungan akan zat. Hal ini
ditunjukkan dengan makin banyaknya individu yang dirawat di rumah sakit
karena penyalahgunaan dan ketergantungan zat yaitu mengalami intoksikasi
zat dan withdrawal.
Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya
menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah
sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak disadari, kecuali
mereka yang berminat pada penanggulangan NAPZA (DepKes, 2001).
Berdasarkan permasalahan yang terjadi di atas, maka perlunya peran serta
tenaga kesehatan khususnya tenaga keperawatan dalam membantu
masyarakat yang dirawat dirumah untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan dan kemampuan
masyarakat. Untuk itu dirasakan perlu perawat meningkatkan kemampuan
merawat klien dengan menggunakan kependekatan proses keperawatan
yaitu asuhan keperawatan klien penyalahgunaan dan ketergantungan
NAPZA (sindrom putus zat)
B. Tujuan
1. Mengetahui pengertian dari penggunaan NAPZA
2. Mengetahui faktor penyebab penggunaan NAPZA
3. Mengetahui gejala klinis penggunaan NAPZA
4. Mengetahui dampak penggunaan NAPZA
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus
menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah.
Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan
sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk
pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena kebutuhan
biologik terhadap obat. Toleransi adalah peningkatan jumlah
zat untuk memperoleh efek yang diharapkan. Gejala putus zat
dan toleransi merupakan tanda ketergantungan fisik (Stuart dan
Sundeen, 1995).
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan
secara utuh dan terpadu melalui pendekatan non medis,
psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA yang
menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
kemampuan fungsional seoptimal mungkin. Tujuannya
pemulihan dan pengembangan pasien baik fisik, mental, sosial
dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang disediakan harus
memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (DepKes.,
2002).
Sesudah klien penyalahgunaan atau ketergantungan
NAZA menjalani program terapi (detoksifikasi) dan komplikasi
medik selama 1 (satu) minggu dan dilanjutkan dengan program
pemantapan (pasca detoksifikasi) selama 2 (dua) minggu, maka
yang bersangkutan dapat melanjutkan ke program berikutnya
yaitu rehabilitasi (Hawari, 2000).
Lama rawat di unit rehabilitasi untuk setiap rumah sakit
tidak sama karena tergantung pada jumlah dan kemampuan
sumber daya, fasilitas dan sarana penunjang kegiatan yang
tersedia di rumah sakit. Menurut Hawari (2000) bahwa setelah
klien mengalami perawatan selama 1 minggu menjalani
program terapi dan dilanjutkan dengan pemantapan terapi
selama 2 minggu maka klien tersebut akan dirawat di unit
rehabilitasi (rumah sakit, pusat rehabilitasi dan unit lainnya)
selama 3-6 bulan. Sedangkan lama rawat di unit rehabilitasi
berdasarkan parameter sembuh menurut medis bisa beragam 6
bulan dan 1 tahun, mungkin saja bisa sampai 2 tahun (Wiguna,
2003).
Berdasarkan pengertian dan lama rawat di atas, maka
perawatan di ruang rehabilitasi tidak terlepas dari perawatan
sebelumnya yaitu di ruang detoksifikasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah
selesai menjalani detoksifikasi sebagian besar akan mengulangi
kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa rindu
(craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi (DepKes,
2001). Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA
dapat:
1. Faktor Biologis
2. Faktor Psikologis
3. Faktor Sosiokultural
1. Perubahan Fisik :
Pengaruhnya pada :
A. Kasus
Andra (bukan nama sebenarnya), salah satu remaja
penderita HIV. Dia tertular HIV melalui penggunaan IDU.
Andra mengaku mulai memakai jarum suntik secara bergiliran
pada 2002. "Saat itu saya masih kelas 3 SMP. Saya suka
mengonsumsi putauw. Suatu hari, saya lagi nggak punya
duit. Sama teman-teman diajak pakai jarum secara gantian.
Lebih murah, kata mereka,"ujarnya. Pesta narkoba pun dimulai
bersama teman-temannya. Aktivitas menyimpang itu
dilakoninya selama setahun. Boleh dibilang Andra termasuk
pecandu berat narkoba, terutama jenis putauw. Padahal, dia
mengaku tidak memiliki uang yang cukup tebal untuk
mengonsumsi putauw. "Mau tidak mau, memakai jarum
suntik merupakan alternatif bagi saya," tuturnya. Bagi dia,
ngedrugs merupakan medium untuk melupakan persoalan
hidup. Andra lahir di tengah keluarga yang kurang
harmonis. Dia lebih suka menghabiskan waktu bersama
teman-temannya di luar rumah. "Dengan teman-teman saya
merasa bisa melakukan apa saja. Mereka tahu apa yang saya
mau," tukasnya.
Hidup sarat dengan hedonisme dia lakoni selama
bertahun-tahun. Prestasi sekolah Andra yang terus merosot
memacu dirinya terjun bebas ke narkoba. Apalagi orang tuanya
cuek saja dengan segala tindakan yang dialakukan. "Aku
merasa bebas melakukan apa saja, under control pokoknya,"
ujarnya. Hidup Andra identic bersenang-senang. Pada 2004,
dia diajak teman-temannya melakukan VCT (visite conselling
test). "Saat itu aku tidak tahu untuk apa diajak VCT. Ternyata
untuk memeriksakan diri apakah terkena HIV/AIDS atau tidak”
ujarnya. Ternyata teman-teman Andra itu adalah relawan
sebuah LSM yang konsen dengan HIV/AIDS. Mereka prihatin
dengan kondisi Andra. Benar saja, dari lima orang yang
memeriksakan diri, tiga orang positif HIV termasuk Andra.
"Rasanya saya ingin mati saja saat itu," ucap Andra yang waktu
itu baru kelas 1 SMA. Sejak divonis itu, Andra merasa
hidupnya tidak berarti lagi. Keterputusasaan yang berat
meyelimuti dirinya. "Bahkan timbul perasaan jahat dan
dendam terhadap teman-teman yang belum terkena HIV untuk
menularinya," ujarnya. Untungnya, Andra dapat
mengendalikan diri. Dia pun berusaha bangkit untuk bertahan
hidup. "Untungnya teman-teman sangat memotivasi saya
untuk berobat," ujar Andra yang kini berusia 19 tahun. Satu
tahun lamanya Andra menyembunyikan kenyataan itu dari
orang tuanya bila dia positif HIV. "Lagipula apa bedanya bila
saya ceritakan," ujarnya.
Lambat-laun rahasia itu terbongkar. Ibu Andra
mendapati hasil tes VCT-nya yang disimpan di laci meja
anaknya itu. "Waktu itu, ibu mencari obat-obat terlarang itu
dikamar saya,” ujarnya. "Saya tidak menyangka reaksi ibu saat
mengetahui saya positif HIV. Ibu menangis sesunggukan dan
memeluk saya," ungkapnya. Sejak itu, orang tua Andra mulai
berubah. Mereka menerima Andra apa-adanya. Mereka berani
menerima kenyataan bila anaknya terjangkit penyakit yang
distigmakan buruk oleh masyarakat itu. Namun, apa pun
perhatian itu, bagi Andra tidak bisa mengembalikan dirinya
seperti dulu lagi. Di dalam tubuhnya telah berkembang virus
mematikan yang bila dia tidak aware memperhatikan
kesehatannya bias semakin menyerang kekebalan tubuhnya.
Kini, Andra punya semangat hidup lagi. Hidup, katanya, harus
terus berjalan, meskipun dia sempat pesimistis dengan masa
depannya. "Siapa sih yang mau menerima cowok dengan
predikat HIV positif?" tanyanya. Beberapa kali Andra
mencoba menjalin hubungan dengan teman perempuannya,
namun selalu gagal. "Begitu tahu saya terinfeksi HIV, ada yang
langsung menjauh, ada juga yang mundur pelan-pelan,"
ujarnya.
Menurut Andra, tidak mudah hidup di lingkungan orang
yang tidak terkena penyakit berbahaya itu. Selalu ada benang
merah antara ODHA dengan OHIDA (orang yang hidup
dengan HIV/AIDS). Meskipun keluarga menerima Andra apa-
adanya, perasaan "berbeda" tetap melekat dalam hatinya. Andra
pun kemudian mencari komunitas yang bias menampung
nasibnya. "Akhirnya dengan teman-teman sebaya yang aktif
memerangi HIV/AIDS, saya merasa di situlah tempat saya.
Tempat saya berkeluh-kesah, bersama, dan berbagi hidup,".
B. Pengkajian
Prinsip pengkajian yang dilakukan dapat menggunakan
format pengkajian di ruang psikiatri atau sesuai dengan
pedoman yang ada di masing-masing ruangan tergantung pada
kebijaksanaan rumah sakit dan format pengkajian yang
tersedia. Adapun pengkajian yang dilakukan meliputi:
a. Perilaku
b. Faktor penyebab dan faktor pencetus
c. Mekanisme koping yang digunakan oleh
penyalahguna zat meliputi:
· rasionalisasi
C. Diagnosa Keperawatan
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang criteria remaja
pengguna NAPZA.
2. Latih keluarga mengenali remaja pengguna NAPZA.
3. Motivasi keluarga untuk selalu mengenali remaja pengguna
NAPZA.
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum mengerti.
5. Evaluasi kembali hal-hal yang sudah didiskusikan.
6. Berikan pujian atas keberhasilan keluarga selama interaksi.
7. Keluarga mampu mengambil keputusan terhadap remaja
pengguna NAPZA.
Intervensi :
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang cara mencegah
dan merawat remaja
pengguna NAPZA.
NAPZA.
Intervensi :
1. Bersama keluarga diskusikan tentang cara
memodifikasi lingkungan rumah remaja pengguna
NAPZA.
NAPZA
4. Berikan kesempatan bertanya hal yang belum
mengerti.
Intervensi :
NAPZA.
pengguna NAPZA.
E. Evaluasi
Evaluasi penyalahgunaan dan ketergantungan zat
tergantung pada
penanganan yang dilakukan perawat terhadap klien dengan
mengacu kepada tujuan khusus yang ingin dicapai. Sebaiknya
perawat dan klien bersama-sama melakukan evaluasi terhadap
keberhasilan yang telah dicapai dan tindak lanjut yang
diharapkan untuk dilakukan selanjutnya.
Jika penanganan yang dilakukan tidak berhasil maka
perlu dilakukan evaluasi kembali terhadap tujuan yang dicapai
dan prioritas penyelesaian masalah apakah sudah sesuai dengan
kebutuhan klien. Klien relaps tidak bisa disamakan dengan
klien yang mengalami kegagalan pada sistem tubuh. Tujuan
penanganan pada klien relaps adalah meningkatkan
kemampuan untuk hidup lebih lama bebas dari penyalahgunaan
dan ketergantungan zat. Perlunya evaluasi yang dilakukan
disesuaikan dengan tujuan yang diharapkan, akan lebih baik
perawat bersama-sama klien dalam menentukan tujuan ke arah
perencanaan pencegahan relaps.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyalahgunaan zat adalah penggunaan zat secara terus
menerus bahkan sampai setelah terjadi masalah.
Ketergantungan zat menunjukkan kondisi yang parah dan
sering dianggap sebagai penyakit. Adiksi umumnya merujuk
pada perilaku psikososial yang berhubungan dengan
ketergantungan zat. Gejala putus zat terjadi karena
kebutuhan biologik terhadap obat. Toleransi adalah
peningkatan jumlah zat untuk memperoleh efek yang
diharapkan. Gejala putus zat dan toleransi merupakan tanda
ketergantungan fisik (Stuart dan Sundeen, 1995).
B. Saran
Diharapkan kepada pembaca untuk memberikan kritik
dan sarannya agar bermanfaat untulk kita semua terutama bagi
kami penulis. Harapannya tujuan dari makalah ini dapat
memasyarakat dan terimplementasi dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.scribd.com/document/211820596/ASKEP-Pada-
Penyalahgunaan-NAPZA