Pengaruh islam di Banjar diawali saat Kerajaan Banjar dilanda
pemberontakan. Akibatnya, Pangeran Samudera harus meminta
bantuan kepada Kerajaan Demak di Jawa. Kerajaan Demak menyanggupi dengan syarat rakyat Banjar mau menerima agama Islam. Pangeran Samudera pun menyanggupinya dan bersama pasukan Demak bahu-membahu mengalahkan pemberontakkan tersebut. Setelah mengalahkan pemberontak, Pangeran Samudera memeluk Islam dengan gelar Sultan Suryanullah. Setelah itu, banyak pejabat kerajaan dan masyarakat Banjar yang ikut memeluk Islam.
Sejak masa pemerintahan Sultan Suryanullah, kerajaan Banjar
meluaskan wilayah kekuasaannya hingga Sambas, Batanglawai Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Madawi, dan Sambangan. Setelah Sultan Suryanullah wafat, Kerajaan Banjar diperintah Sultan Rahmatullah. Pada masa pemerintahan Sultan Rahmatullah, Kerajaan Banjar tetap menjalin hubungan baik dengan mengirim upeti.
Setelah Sultan Rahmatullah wafat, Kerajaan Banjar diperintah Sultan
Hidayatullah. Pengganti beliau adalah sultan Mustain Bilah. Pada masa Sultan Mustain Bilah, ibukota kerajaan Banjar dipindahkan dari hulu sungai Nagara ke Martapura. Sultan Mustain Bilah dianggap raja terbesar Banjar karena memiliki kekuatan cukup besar dengan 50.000 prajurit. Pada masa ini pula Kerajaan Banjar terlibat konfrontasi dengan Kerajaan Mataram yang saat itu dipimpin Sultan Agung. Akan tetapi, Mataram gagal menaklukkan Banjar.
Kekuasaan Banjar mulai menyusut seiring kedatangan orang-orang
Belanda di Kalimantan. VOC sebagai bagian dari program kolonialisme Belanda, mulai melakukan monopoli baik politik maupun perdagangan di Kerajaan Banjar. Setelah pemerintahan Sultan Adam, proses pemilihan raja Banjar selalu dipengaruhi oleh Belanda. Adanya campur tangan Belanda dalam kekuasaan Banjar, menyebabkan munculnya beberapa perlawanan dari rakyat Banjar. Beberapa perlawanan yang muncul antara lain dilakukan oleh Pangeran Antasari, Pangeran Demang Laran, dan Haji Nasrun.