Anda di halaman 1dari 29

TUGAS 4

Akuntansi Sektor Publik

Oleh :

Rizky Mentari.K

0117104040

Reguler B2b

Akuntansi S1
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul  ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas ke-4 mata kuliah
Akuntansi Sektor Publik. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan
tentang akuntansi sektor publik bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Terima kasih juga kepada semua pihak yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik
dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini
I. SISTEM AKUNTANSI PEMERINTAH DAERAH

Dengan adanya otonomi daerah, pengelolaan keuangan daerah sebagai bentuk upaya dalam
pemberdayaan daerah sepenuhnya berada di tangan pemerintah daerah sendiri. Dalam pengelolaan
keuangan Negara dan Daerah yang mencatat perhitungan makro Negara, Pemerintah memerlukan
suatu sistem akuntansi yang diperlukan untuk pengelolaan dana, transaksi ekonomi yang semakin
besar dan beragam.

Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengelola sumber daya
yang dimilikinya. Namun tentunya hal tersebut juga berbanding lurus dengan kewajiban yang
diemban oleh Pemda, yakni mempunyai kewajiban untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya yang dimilikinya tersebut. Oleh karena itulah
sistem akuntansi menjadi suatu tuntutan sekaligus kebutuhan bagi tiap Pemerintah Daerah. Adapun
manfaat penerapan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) berdasarkan standar akuntansi
pemerintahan adalah bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan keaandalan pengelola
keuangan pemerintah melalui penyusunan dan pengembangan standar akuntansi pemerintah.

Pengertian Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD)

PP No.24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan mendefinisikan Sistem Akuntansi
Permintahan (SAP) sebagai serangkaian prosedur manual maupun yang terkomputerisasi mulai dari
pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran dan pelaporan posisi keuangan dan operasi
pemerintah.
Menurut Abdul Halim dalam bukunya Akuntansi Keuangan Daerah yang diterbitkan pada tahun 2004
oleh Salemba Empat mendeinisikan Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) adalah sistem
akuntansi yang meliputi proses pencatatan, penggolongan, penafsiran, peringkasan transaksi atau
kejadian keuangan serta pelaporan keuangannya dalam rangka pelaksanaan APBD, dilaksanakan
dalam prinsip-prinsip akuntansi yang berterima umum.
Dari dua sudut pandang mengenai pengertian SAPD di atas, maka dapat disimpulkan bahwa Sistem
Akuntansi Pemerintah Daerah adalah serangkaian prosedur mulai dari proses pengumpulan data,
pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban
pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer.

Tujuan dan Fungsi Sistem Akuntansi Pemerintah

Dibentuknya Sistem Akuntansi Pemerintah Daerah (SAPD) memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk
Akuntabilitas, Manajerial dan Pengawasan yang hasil akhir dari siklusnya adalah informasi keuangan.
Berikut penjelasan masing-masing tujuan SPAD.

1. Akuntabilitas
Akuntabilitas, yaitu sistem akuntansi pemerintah mampu memberikan informasi keuangan yang
lengkap cermat, dalam bentuk dan waktu yang tepat, yang berguna bagi pihak yang
bertanggungjawab yang berkaitan dengan operasi unit- unit pemerintah. Lebih lanjut lagi, tujuan
akuntablitas ini mengharuskan tiap pegawai atau badan yang mengelola keuangan negara harus
memberikan pertanggungjawaban dan perhitungan atas laporan keuangannya.

2. Manajerial
Akuntansi pemerintah mampu memberikan informasi keuangan yang diperlukan untuk
perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian anggran, perumusan
kebijakan dan pengambilan keputusan, dan penilaian kinerja pemerintah.

3. Pengawasan

Akuntansi pemerintah harus memungkinkan terselenggaranya pemeriksaan oleh aparat pengawasan


fungsional secara efektif dan efisien.

Metode Pencatatan

Terdapat tiga metode pencatatan yaitu Single Entry, Double Entry dan Triple Entry. Metode


pencatatan Single Entry sekarang ini semakin ditinggalkan, walau masih ada beberapa area Pemda
yang masih memakai karena mempunyai beberapa kelemahan seperti: tidak mencerminkan kinerja
secara riil dan tidak memberikan informasi yang komprehensif. Maka dari itu, metode Double
Entry hadir untuk mengisi kelemahan dari metode Single Entry.

a. Single Entry

Ada banyak sistem pencatatan buku, salah satunya adalah sistem pencatatan buku tunggal (single
entry). Dalam sistem ini, pencatatan transaksi ekonomi hanya dilakukan satu kali. Transaksi yang
mengakibatkan pemasukan kas akan dimasukkan dalam sisi penerimaan, sedangkan yang
mengurangi kas dimasukkan dalam sisi pengeluaran.

Sistem pencatatan buku tunggal memiliki kelebihan, salah satunya adalah mudah dipahami dan
sederhana. Namun, dalam sistem ini kurang bagus untuk pelaporan karena sulit untuk menemukan
kesalahan pembukuan serta sulit melakukan kontrol keuangan. Karena itu ada sistem pencatatan
lain yang lebih baik.

b. Double Entry

Prinsipnya, metode pencatatan Double Entry sama dengan metode pencatatan debit-kredit pada


prinsip dasar akuntansi berterima umum. Namun, ada sedikit perbedaan formulasi Persamaan Dasar
Akuntansi di ranah Akuntansi Keuangan Daerah. Formulasi Persamaan Dasarnya adalah :

Belanja + Aset = Kewajiban + Ekuitas + Pendapatan

Pencatatan dengan metode Double Entry menggunakan Basis Kas modifikasi. Maksud dari Basis Kas
Modifikasi adalah pencatatan akuntansi hanya berlaku pada pencatatan yang berkaitan dengan
penerimaan dan pengeluaran kas sedangkan pencatatan di luar penerimaan dan pengeluaran kas
dicatat dengan basis akrual.

c. Triple Entry

Metode pencatatan Triple Entry merupakan pengembangan dari metode Double Entry. Lagi dan lagi,
prinsipnya sama dengan Double Entry dengan tambahan pencatatan pada buku anggaran.
Sederhananya, ketika pencatatan Double Entry dilakukan, metode Triple Entry akan bekerja dengan
melakukan pencatatan yang dilakukan oleh PPK SKPD (Pejabat Pengelola Keuangan Surat Ketetapan
Pajak Daerah) dan SKPKD (Satuan Kerja Pengelolaan Keuangan Daerah).

Penjelasan Singkat Siklus Akuntansi Keuangan Daerah


Siklus Akuntansi Keuangan Daerah sejatinya sama dengan Siklus Akuntansi pada umumnya.
Perbedaannya terdapat di langkah atau alurnya. Pada Akuntansi Keuangan Daerah, setelah
penyusunan Neraca Saldo Setelah Penyesuaian (NSSP) dapat langsung dibuatkan Laporan
Perhitungan APBD. Namun, untuk alasan kemudahan pembuatan laporan, setelah NSSP dibuat maka
akan ditutup oleh Jurnal Penutup dan akan langsung dibuatkan Laporan Arus Kas, Laporan
Perubahan Modal (R/K Pemda) dan Neraca. Tentunya setiap pencatatan transaksi harus disertakan
dengan dokumen-dokumen dan bukti transaksi yang sah untuk kemudian dimasukkan ke dalam
jurnal dan buku besar pembantu. Bukti transaksi dikategorikan menjadi tiga, yaitu Bukti Penerimaan
Kas, Bukti Pengeluaran Kas dan Bukti Memorial yang kemudian dimasukkan ke Jurnal Umum.

Output dari Akuntansi Keuangan Daerah

Pemberlakuan Akuntansi Keuangan Daerah diatur oleh Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun
2005 mengenai Standar Akuntansi Pemerintah, PP Nomor 58 Tahun 2005 mengenai Pengelolaan
Keuangan Daerah dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) nomor 13 Tahun
2006. Output yang akan dipakai oleh pihak-pihak berkepentingan  yaitu :

1. Laporan Realisasi Anggaran


2. Laporan Neraca
3. Laporan Arus Kas
4. Laporan Perubahan Ekuitas Dana
5. Catatan atas Laporan Keuangan

II. PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

 PAJAK DAERAH

Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan
yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan secara
langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pengertian tersebut termuat di dalam Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Nomor 28
Tahun 2009.

Pajak atau kontribusi wajib yang diberikan oleh penduduk suatu daerah kepada pemerintah daerah
ini akan digunakan untuk kepentingan pemerintahan dan kepentingan umum suatu daerah.

Contohnya seperti pembangunan jalan, jembatan, pembukaan lapangan kerja baru, dan kepentingan
pembangunan serta pemerintahan lainnya.

Selain untuk pembangunan suatu daerah, penerimaan pajak daerah merupakan salah satu sumber
Anggaran Pendapatan Daerah (APBD) yang digunakan pemerintah untuk menjalankan program-
program kerjanya.

Ciri-Ciri Pajak Daerah

Berikut ini ciri-ciri pajak daerah yang membedakannya dengan pajak pusat:

1. Pajak daerah bisa berasal dari pajak asli daerah atau pajak pusat yang diserahkan ke daerah
sebagai pajak daerah.
2. Pajak daerah hanya dipungut di wilayah administrasi yang dikuasainya.
3. Pajak daerah digunakan untuk membiayai urusan/pengeluaran untuk pembangunan dan
pemerintahan daerah.
4. Pajak daerah dipungut berdasarkan Peraturan Daerah (PERDA) dan Undang-undang
sehingga pajaknya dapat dipaksakan kepada subjek pajaknya.

Unsur-unsur yang ada dalam pajak daerah pada dasarnya sama seperti unsur pajak lainnya yakni
subjek pajak daerah, objek pajak daerah, dan tarif pajak daerah.

Jenis-jenis dan Tarif Pajak Daerah

Sama seperti pajak pusat, pajak daerah pun banyak jenisnya.

Pajak daerah dibedakan menjadi dua bagian yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.

Masing-masing bagian tersebut memiliki jenisnya masing-masing.

Berikut ini jenis-jenis pajak daerah beserta penjelasannya yang perlu Anda ketahui.

a. Pajak Provinsi

1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air

Pajak Kendaraan Bermotor merupakan pajak terhadap seluruh kendaraan beroda yang digunakan di
semua jenis jalan baik darat maupun air.

Pajak ini dibayar di muka dan dikenakan kembali untuk masa 12 bulan atau 1 tahun.

Tarif yang yang dikenakan untuk kendaraan bermotor beragam, berikut ini rinciannya:

 Bagi kepemilikan kendaraan motor pertama sebesar 2%, kemudian untuk kendaraan
bermotor kedua sebesar 2,5% dan akan meningkat untuk kepemilikan setiap kendaraan
bermotor seterusnya sebesar 0,5%.
 Bagi kepemilikan kendaraan bermotor oleh badan, tarif pajaknya sebesar 2%.
 Bagi kepemilikan kendaraan bermotor oleh pemerintah pusat dan daerah sebesar 0,50%.
 Bagi kepemilikan kendaraan bermotor alat berat sebesar 0,20%.

2. Pajak Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB)

Menurut Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2010 tentang Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
(BBNKB), Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan
bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau pembuatan sepihak atau keadaan terjadi karena
jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha.

Nah, untuk tarif BBNKB, berikut ini rinciannya:

 Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan masing-masing sebagai berikut:
1. Penyerahan pertama sebesar 10%.
2. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 1%.
 Khusus kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar yang tidak menggunakan
jalan umum, tarif pajak ditetapkan masing-masing sebagai berikut:
1. Penyerahan pertama sebesar 0,75%.
2. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,075%.

3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)


Bahan bakar kendaraan bermotor yang dimaksud adalah semua jenis bahan bakar baik yang cair
maupun gas yang digunakan untuk kendaraan bermotor.

Pajak PBB-KB ini dipungut atas bahan bakar kendaraan bermotor yang disediakan atau dianggap
berguna untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan yang
beroperasi di atas air.

Pajak PBB-KB diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.

4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah

Pengambilan dan/atau pemanfaatan air tanah merupakan setiap kegiatan pengambilan dan
pemanfaatan air tanah yang dilakukan dengan cara penggalian, pengeboran atau dengan membuat
bangunan untuk dimanfaatkan airnya dan/atau tujuan lainnya.

Pajak Air Tanah didapat dengan melakukan pencatatan terhadap alat pencatatan debit untuk
mengetahui volume air yang diambil dalam rangka pengendalian air tanah dan penerbitan Surat
Ketetapan Pajak Daerah.

5. Pajak Rokok

Pajak Rokok merupakan pungutan atas cukai rokok yang dipungut oleh pemerintah pusat.  

Objek pajak dari Pajak Rokok adalah jenis rokok yang meliputi sigaret, cerutu, dan rokok daun.
Konsumen rokok telah otomatis membayar pajak rokok karena WP membayar Pajak Rokok
bersamaan dengan pembelian pita cukai.

Wajib pajak yang bertanggung jawab membayar pajak adalah pengusaha pabrik rokok/produsen dan
importir rokok yang memiliki izin berupa Nomor Pokok Pengusaha kena Cukai.

Subjek pajak dari Pajak Rokok ini adalah konsumen rokok.

Tarif pajak rokok sebesar 10% dari cukai rokok dipungut oleh instansi pemerintah yang berwenang
memungut cukai bersamaan dengan pemungutan cukai rokok.

B. Pajak Kabupaten/Kota

1. Pajak Hotel

Pajak Hotel merupakan dana/iuran yang dipungut atas penyedia jasa penginapan yang disediakan
sebuah badan usaha tertentu yang jumlah ruang/kamarnya lebih dari 10.

Pajak tersebut dikenakan atas fasilitas yang disediakan oleh hotel tersebut.

Tarif pajak hotel dikenakan sebesar 10% dari jumlah yang harus dibayarkan kepada hotel dan masa
pajak hotel adalah 1 bulan.

2. Pajak Restoran

Pajak Restoran merupakan pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan oleh restoran.

Tarif pajak restoran sebesar 10% dari biaya pelayanan yang ada diberikan sebuah restoran.

3. Pajak Hiburan
Pajak Hiburan adalah pajak yang kenakan atas jasa pelayanan hiburan yang memiliki biaya atau ada
pemungutan biaya di dalamnya.

Objek pajak hiburan adalah yang menyelenggarakan hiburan tersebut, sedangkan subjeknya adalah
mereka yang menikmati hiburan tersebut.

Kisaran tarif untuk pajak hiburan ini adalah 0%-35% tergantung dari jenis hiburan yang dinikmati.

4. Pajak Reklame

Pajak Reklame merupakan pajak yang diambil/dipungut atas benda, alat, perbuatan, atau media
yang bentuk dan coraknya dirancang untuk tujuan komersial agar menarik perhatian umum.

Biasanya reklame ini meliputi papan, bilboard, reklame kain, dan lain sebagainya.

Namun, ada pengecualian pemungutan pajak untuk reklame seperti reklame dari pemerintah,
reklame melalui internet, televisi, koran, dan lain sebagainya.

Tarif untuk pajak reklame ini adalah 25% dari nilai sewa reklame yang bersangkutan.

5. Pajak Penerangan Jalan

Pajak Penerangan Jalan merupakan pajak yang dipungut atas penggunaan tenaga listrik, baik yang
dihasilkan sendiri maupun dari sumber lain.

Tarif pajak penerangan ini berbeda-beda, tergantung dari penggunaannya.

Berikut ini tarif Pajak Penerangan Jalan terbagi menjadi 3, yakni:

1. Tarif Pajak Penerangan Jalan yang disediakan oleh PLN atau bukan PLN yang digunakan atau
dikonsumsi oleh industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, sebesar 3%.
2. Tarif Pajak Penerangan Jalan yang bersumber dari PLN atau bukan PLN yang digunakan atau
dikonsumsi selain yang dimaksud pada poin pertama sebesar 2,4%.
3. Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri, tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan
sebesar 1,5%.

6. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan

Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan merupakan pajak yang dikenakan atas pengambilan mineral
yang bukan logam seperti asbes, batu kapur, batu apung, granit, dan lain sebagainya.

Namun, pajak tidak akan berlaku jika dilakukan secara komersial.

Berikut ini tarif Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan:

1. Tarif untuk mineral bukan logam sebesar 25%,


2. Tarif untuk batuan sebesar 20%.

7. Pajak Parkir

Pajak Parkir merupakan pajak yang dipungut atas pembuatan tempat parkir di luar badan jalan, baik
yang berkaitan dengan pokok usaha atau sebagai sebuah usaha/penitipan kendaraan.

Lahan parkir yang dikenakan pajak adalah lahan yang kapasitasnya bisa menampung lebih dari 10
kendaraan roda 4 atau lebih dari 20 kendaraan roda 2. Tarif pajak yang dikenakan sebesar 20%.
8. Pajak Air Tanah

Pajak Air Tanah adalah pajak yang dikenakan atas penggunaan air tanah untuk tujuan komersil.
Besar tarif Pajak Air tanah adalah 20%.

9. Pajak Sarang Burung Walet

Pajak Sarang Burung Walet merupakan pajak yang dikenakan atas pengambilan sarang burung walet.
Tarif pajak sarang burung walet sebesar 10%.

10. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan

Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan pajak yang dikenakan atas bumi
atau bangunan yang dimiliki, dikuasi, atau dimanfaatkan.

Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan:

1. Pajak untuk pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang bernilai kurang dari 1
miliar sebesar 0,1%.
2. Pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan yang bernilai lebih dari 1 miliar sebesar
0,2%.
3. Sedangkan tarif untuk pemanfaatan yang menimbulkan gangguan terhadap lingkungan,
dikenakan tarif sebesar 50%.

11. Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan

Pajak Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas
perolehan tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan tertentu, misalnya melalui transaksi
jual-beli, tukar-menukar, hibah, waris, dll.

Tarif dari pajak ini sebesar 5% dari nilai bangunan atau tanah yang diperoleh orang pribadi atau
suatu badan tertentu.

 RETRIBUSI DAERAH

Menurut UU No. 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, retribusi daerah
merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang
khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan pribadi atau
badan.

Banyak yang mengira jika retribusi daerah sama dengan pajak daerah. Pernyataan tersebut tidak
sepenuhnya salah, karena keduanya memiliki persamaan dan perbedaan masing-masing. Keduanya
merupakan salah satu sumber pendapatan pemerintah daerah yang penting untuk membiayai
pembangunan. Selain itu, keduanya bersifat dipaksakan dan dibebankan kepada masyarakat. Bila
masyarakat taat bayar keduanya, maka akan tercapai kesejahteraan bersama.

Jenis-Jenis Retribusi Daerah Beserta Tarifnya

Retribusi daerah dibagi menjadi 3 jenis, seperti yang tertuang dalam UU No. 28 tahun 2009, yaitu
Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha, dan Retribusi Perizinan Tertentu. Untuk lebih jelasnya,
mari kita bahas satu-persatu:

1. Retribusi Jasa Umum


Retribusi Jasa Umum merupakan pungutan atas pelayanan yang disediakan atau diberikan
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh
orang pribadi atau badan.

Retribusi Jasa Umum dibagi ke dalam 15 bagian, yang meliputi:

1. Retribusi Pelayanan Kesehatan untuk pungutan atas pelayanan kesehatan di Puskesmas,


Balai Pengobatan, RSU Daerah, dan tempat kesehatan lain sejenis yang dimiliki atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan untuk pungutan atas pelayanan
persampahan/kebersihan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah yang meliputi
pengambilan, pengangkutan, dan pembuangan serta penyediaan lokasi
pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga dan perdagangan. Di dalamnya tidak
termasuk pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah, dan sosial.
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil untuk pungutan atas
pelayanan KTP, kartu keterangan bertempat tinggal, kartu identitas kerja, kartu penduduk
sementara, kartu identitas penduduk musiman, kartu keluarga, dan akta catatan sipil.
4. Retribusi Pemakanan dan Pengabuan Mayat untuk pungutan atas pelayanan pemakaman
dan pengabuan mayat yang meliputi pelayanan, penggalian, pengurugan,
pembakaran/pengabuan, dan sewa tempat yang dimiliki atau dikelola oleh daerah.
5. Retribusi Pelayanan Parkir untuk pungutan atas pelayanan parkir di tepi jalan umum yang
disediakan oleh daerah.
6. Retribusi Pelayanan Pasar untuk pungutan atas penggunaan fasilitas pasar tradisional
berupa pelataran dan los yang dikelola oleh daerah dan khusus disediakan untuk pedagang,
kecuali pelayanan fasilitas pasar yang dikelola oleh BUMN, BUMD, dan pihak swasta.
7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor untuk pungutan atas pelayanan pengujian
kendaraan bermotor yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
diselenggarakan oleh daerah.
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran untuk pungutan atas pelayanan
pemeriksaan dan/atau pengujian alat pemadam kebakaran, alat penanggulangan kebakaran,
dan alat penyelamatan jiwa.
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta untuk pungutan atas pemanfaatan peta yang dibuat
oleh pemerintah daerah.
10. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus untuk pungutan atas pelayanan
penyedotan kakus yang dilakukan oleh daerah dan tidak termasuk yang dikelola oleh BUMD
dan swasta.
11. Retribusi Pengolah Limbah Cair untuk pungutan atas pelayanan pengolahan limbah cair
rumah tangga, perkantoran, dan industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah.
12. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang untuk pungutan atas pelayanan pengujian alat-alat
ukur, takar, timbang, dan perlengkapannya dan pengujian barang dalam keadaan
terbungkus yang diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
13. Retribusi Pelayanan Pendidikan untuk pungutan atas pelayanan penyelenggaraan
pendidikan dan pelatihan teknis oleh pemerintah daerah.
14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi untuk pungutan atas pemanfaatan ruang
untuk menara telekomunikasi.
15. Retribusi Pengendalian Lalu Lintas untuk pungutan atas penggunaan ruas jalan, koridor, dan
kawasan tertentu pada waktu dan tingkat kepadatan tertentu.
Tarifnya ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, aspek keadilan, dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Biaya yang
dimaksud meliputi biaya operasi dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.

2. Retribusi Jasa Usaha

Retribusi Jasa Usaha merupakan pungutan atas pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah Daerah
dengan menganut prinsip komersial, baik itu pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan
kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan secara optimal dan/atau pelayanan oleh pemerintah
daerah sepanjang belum dapat disediakan secara memadai oleh pihak swasta.

Retribusi Jasa Usaha dibagi ke dalam 11 bagian, yaitu:

1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah untuk pungutan atas pemakaian kekayaan daerah
berupa pemakaian tanah dan bangunan, ruangan untuk pesta, dan kendaraan/alat-alat
berat/alat-alat besar milik daerah. Tidak termasuk penggunaan tanah yang tidak mengubah
fungsi dari tanah tersebut, misal pemancangan tiang listrik/telepon, dan lain-lain.
2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan untuk pungutan atas penyediaan fasilitas pasar
grosir berbagai jenis barang dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang
disediakan oleh daerah, tidak termasuk yang disediakan oleh BUMD dan swasta.
3. Retribusi Tempat Pelelangan untuk pungutan atas pemakaian tempat pelelangan yang
secara khusus disediakan oleh pemerintah daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak,
hasil bumi, dan hasil hutan.
4. Retribusi Terminal untuk pungutan atas pemakaian tempat pelayanan penyediaan parkir
untuk kendaraan penumpang dan bus umum, tempat kegiatan usaha, dan fasilitas lain di
lingkungan terminal yang dimiliki/dikelola oleh daerah, terkecuali yang dimiliki/dikelola oleh
pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta.
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir untuk pungutan atas pemakaian tempat parkir yang khusus
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh daerah, terkecuali yang disediakan/dikelola oleh
BUMN, BUMD, dan swasta.
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Vila untuk pungutan atas pelayanan tempat
penginapan/pesanggrahan/vila yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, terkecuali yang
dimiliki/dikelola oleh pemerintah, BUMN, BUMD, dan swasta.
7. Retribusi Rumah Potong Hewan untuk pungutan atas pelayanan penyediaan fasilitas
pemotongan hewan yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, termasuk layanan
pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan sesudah dipotong.
8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhan untuk pungutan atas pelayanan jasa kepelabuhan yang
disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola oleh pemerintah daerah.
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga untuk pungutan atas pemakaian tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga yang dimiliki dan dikelola oleh daerah.
10. Retribusi Penyeberangan di Air untuk pungutan atas pelayanan penyeberangan
orang/barang dengan menggunakan kendaraan di air milik/kelola daerah.
11. Retribusi Penjualan Produk Usaha Daerah untuk pungutan atas penjualan hasil produksi
usaha pemerintah daerah, terkecuali hasil penjualan usaha daerah oleh pemerintah, BUMN,
BUMD, dan swasta.
Tarif Retribusi Jasa Usaha sendiri didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak,
dalam artian keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut dilakukan secara
efisien dan berorientasi pada harga pasar.

3. Retribusi Perizinan Tertentu

Retribusi Perizinan Tertentu merupakan pungutan atas pelayanan perizinan tertentu oleh
pemerintah daerah kepada pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan
pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.

Retribusi Perizinan tertentu dibagi ke dalam 6 jenis, yaitu:

1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) untuk pungutan atas pelayanan pemberian izin
untuk mendirikan suatu bangunan.
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol untuk pungutan atas pelayanan
pemberian izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu.
3. Retribusi Izin Gangguan untuk pungutan atas pelayanan pemberian izin tempat
usaha/kegiatan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian/gangguan,
tidak termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh daerah.
4. Retribusi Izin Trayek untuk pungutan atas pelayanan pemberian izin usaha untuk penyediaan
pelayanan angkutan penumpang umum pada satu atau beberapa trayek tertentu.
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan untuk pungutan atau pemberian izin untuk melakukan
kegiatan usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan.
6. Retribusi Perpanjangan Izin Memperkerjakan Tenaga Asing (IMTA) untuk pungutan atas
pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga asing.

Untuk tarif Retribusi Perizinan Tertentu didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Biayanya meliputi dokumen izin,
pengawasan di lapangan, penegakan hukum, tata usaha, dan biaya dampak negatif dari pemberian
izin tersebut.

III. SISTEM PENGENDALIAN INTERNAL PEMERINTAH

Pemerintah telah banyak mengeluarkan berbagai bentuk sistem yang seluruhnya berakhir pada
tujuan untuk mewujudkan tata kelola penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan
pemerintahan tentu memiliki kegiatan yang cukup banyak dan sangat luas, mulai dari perencanaan,
pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan hingga evaluasi. Maka untuk dapat mewujudkan
tata kelola penyenggaraan pemerintah yang baik tersebut pemerintah membentuk suatu sistem
yang dapat mengendalikan seluruh kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Sistem dimaksud
adalah Sistem Pengendalian Intern Pemerintah atau sering disingkat dengan SPIP.

Sistem Pengendalian Intern Pemerintah merupakan salah satu sistem pengendalian pemerintah.
Disamping itu terdapat Sistem lainnya adalah Sistem pengendalian Ekstern Pemerintah. Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
(BPKP) dan Inspektorat melalui Aparat Pengawasan Intern Pemerintah/ Sedangkan Sistem
Pengendalian Ekstern pemerintah dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), DPR/DPRD,
Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga peradilan lainnya

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Intern
Pemerintah adalah Proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus
menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas
tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan
keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.”

Dengan adanya SPIP tersebut diharapkan dapat menciptakan kondisi dimana terdapat budaya
pengawasan terhadap seluruh organisasi dan kegiatan sehingga dapat mendeteksi terjadinya sejak
dini kemungkinan penyimpangan serta meminimalisir terjadinya tindakan yang dapat merugikan
negara.

Unsur-unsur SPIP

Sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2008, SPIP terdiri dari lima unsur, yaitu:

1. Lingkungan pengendalian
2. Penilaian risiko
3. Kegiatan pengendalian
4. Informasi dan komunikasi
5. Pemantauan pengendalian intern

Keterkaitan kelima unsur sistem pengendalian intern dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar tersebut menjelaskan bahwa kelima unsur pengendalian intern merupakan unsur yang
terjalin erat satu dengan yang lainnya. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu, yang
menjadi fondasi dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk
lingkungan pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai instansi
pemerintah.

Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian (delapan sub unsur) yang baik akan meningkatkan
suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan kepedulian dan keikutsertaan seluruh
pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian yang demikian diperlukan komitmen
bersama dalam melaksanakannya. Komitmen ini juga merupakan hal yang amat penting bagi
terselenggaranya unsur-unsur SPIP lainnya.

Keterkaitan kelima unsur sistem pengendalian intern dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
Gambar tersebut menjelaskan bahwa kelima unsur pengendalian intern merupakan unsur yang
terjalin erat satu dengan yang lainnya. Proses pengendalian menyatu pada tindakan dan kegiatan
yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai. Oleh karena itu, yang
menjadi fondasi dari pengendalian adalah orang-orang (SDM) di dalam organisasi yang membentuk
lingkungan pengendalian yang baik dalam mencapai sasaran dan tujuan yang ingin dicapai instansi
pemerintah.

Penyelenggaraan unsur lingkungan pengendalian (delapan sub unsur) yang baik akan meningkatkan
suasana lingkungan yang nyaman yang akan menimbulkan kepedulian dan keikutsertaan seluruh
pegawai. Untuk mewujudkan lingkungan pengendalian yang demikian diperlukan komitmen
bersama dalam melaksanakannya. Komitmen ini juga merupakan hal yang amat penting bagi
terselenggaranya unsur-unsur SPIP lainnya.

Dalam PP Nomor 60 Tahun 2008 yang menjadi sub unsur pertama dari lingkungan pengendalian
adalah pembangunan integritas dan nilai etika (sub unsur 1.1) organisasi dengan maksud agar
seluruh pegawai mengetahui aturan untuk berintegritas yang baik dan melaksanakan kegiatannya
dengan sepenuh hati dengan berlandaskan pada nilai etika yang berlaku untuk seluruh pegawai
tanpa terkecuali. Integritas dan nilai etika tersebut perlu dibudayakan, sehingga akan menjadi suatu
kebutuhan bukan keterpaksaan. Oleh karena itu, budaya kerja yang baik pada instansi pemerintah
perlu dilaksanakan secara terus menerus tanpa henti.

Selanjutnya, dibuat pernyataan bersama untuk melaksanakan integritas dan nilai etika tersebut
dengan menuangkannya pada suatu pernyataan komitmen untuk melaksanakan integritas.
Pernyataan ini berupa pakta (pernyataan tertulis) tentang integritas yang berisikan komitmen untuk
melaksanakannya. Selain itu, kompetensi (sub unsur 1.2) yang merupakan kewajiban pegawai di
bidangnya masing-masing.

Komitmen yang dilaksanakan secara periodik tersebut perlu dipantau dan dalam pelaksanaannya
perlu diimbangi dengan adanya kepemimpinan yang kondusif (sub unsur 1.3) sebagai pemberi
teladan untuk dituruti seluruh pegawai. Agar dapat mendorong terwujudnya hal tersebut, maka
diperlukan aturan kepemimpinan yang baik. Aturan tersebut perlu disosialisasikan kepada seluruh
pegawai untuk diketahui bersama.

Demikian juga, struktur organisasi perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan (sub unsur 1.4)
dengan pemberian tugas dan tanggung jawab kepada pegawai dengan tepat (sub unsur 1.5).
Terhadap struktur yang telah ditetapkan, perlu dilakukan analisis secara berkala tentang bentuk
struktur yang tepat. Diperlukan pembinaan sumber daya manusia (sub unsur 1.6) yang tepat
sehingga tujuan organisasi tercapai. Disamping itu, keberadaan aparat pengawasan intern
pemerintah (APIP) (sub unsur 1.7) perlu ditetapkan dan diberdayakan secara tepat agar
dapat berperan secara efektif. Hal lainnya yang perlu dibangun dalam penyelenggaraan lingkungan
pengendalian yang baik adalah menciptakan hubungan kerja sama yang baik (sub unsur 1.8) diantara
instansi pemerintah yang terkait.

Untuk membangun kondisi yang nyaman sebagaimana disebutkan di atas, maka lingkungan
pengendalian yang baik harus memiliki kepemimpinan yang kondusif. Kepemimpinan yang kondusif
diartikan sebagai situasi dimana pemimpin selalu mengambil keputusan dengan mendasarkan pada
data hasil penilaian risiko. Berdasarkan kepemimpinan yang kondusif inilah, maka muncul kewajiban
bagi pimpinan untuk menyelenggarakan penilaian risiko di instansinya.

Penilaian risiko dengan dua sub unsurnya, dimulai dengan melihat kesesuaian antara tujuan kegiatan
yang dilaksanakan instansi pemerintah dengan tujuan sasarannya, serta kesesuaian dengan tujuan
strategik yang ditetapkan pemerintah. Setelah penetapan tujuan, instansi pemerintah
melakukan identifikasi risiko (sub unsur 2.1) atas risiko intern dan ekstern yang dapat mempengaruhi
keberhasilan pencapaian tujuan tersebut, kemudian menganalisis risiko (sub unsur 2.2) yang
memiliki probability kejadian dan dampak yang sangat tinggi sampai dengan risiko yang sangat
rendah.

Berdasarkan hasil penilaian risiko dilakukan respon atas risiko dan membangun kegiatan
pengendalian yang tepat (sub unsur 3.1 sampai dengan 3.11). Dengan kata lain, kegiatan
pengendalian dibangun dengan maksud untuk merespon risiko yang dimiliki instansi pemerintah dan
memastikan bahwa respon tersebut efektif. Seluruh penyelenggaraan unsur SPIP tersebut haruslah
dilaporkan dan dikomunikasikan (sub unsure 4.1 dan 4.2) serta dilakukan pemantauan (sub unsur 5.1
dan 5.2) secara terus-menerus guna perbaikan yang berkesinambungan.

IV. BADAN LAYANAN UMUM

Badan layanan umum adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan
pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang atau jasa yang dijual tanpa
mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip
efisiensi dan produktivitas.

Salah satu agenda reformasi keuangan negara adalah adanya pergeseran


sistem penganggaran dari penganggaran tradisional menjadi penganggaran berbasis kinerja. Dengan
basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah menjadi lebih jelas dari sekedar membiayai
input dan proses menjadi berorientasi pada output. Perubahan ini penting mengingat kebutuhan
dana yang makin tinggi tetapi sumber daya pemerintah terbatas.

Penganggaran yang berorientasi pada output merupakan praktik yang dianut oleh pemerintahan
modern di berbagai negara. Mewirausahakan pemerintah (enterprising the government)
adalah paradigma yang memberi arah yang tepat bagi sektor keuangan publik untuk mendorong
peningkatan pelayanan. Ketentuan tentang penganggaran tersebut telah dituangkan dalam Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara membuka


koridor baru bagi penerapan basis kinerja di lingkungan pemerintah. Dengan Pasal 68 dan Pasal 69
Undang-Undang tersebut, instansi pemerintah yang tugas pokok dan fungsinya memberi pelayanan
kepada masyarakat dapat menerapkan pola pengelolaan keuangan yang fleksibel dengan
mengutamakan produktivitas, efisiensi, dan efektivitas.

Prinsip-prinsip pokok yang tertuang dalam kedua undang-undang tersebut menjadi dasar instansi
pemerintah untuk menerapkan pengelolaan keuangan BLU. BLU diharapkan dapat menjadi langkah
awal dalam pembaharuan manajemen keuangan sektor publik, demi meningkatkan pelayanan
pemerintah kepada masyarakat.

Adapun alasan mengapa BLU diperlukan adalah:

 Dapat dilakukan peningkatan pelayanan instansi pemerintah kepada masyarakat dalam


rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa;
 Instansi pemerintah dapat memperoleh fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan
berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas dengan menerapkan praktik bisnis yang
sehat;
 Dapat dilakukan pengamanan atas aset negara yang dikelola oleh instansi terkait.

Pengertian

Dasar Hukum
Dasar hukum BLU adalah pasal 68 dan 69 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Karakteristik

1. Berkedudukan sebagai lembaga pemerintah (bukan kekayaan negara yang dipisahkan);


2. Menghasilkan barang/jasa yang seluruhnya/sebagian dijual kepada publik;
3. Tidak bertujuan mencari keuntungan;
4. Dikelola secara otonom dengan prinsip efisien dan produktivitas ala korporasi;
5. Rencana kerja/anggaran dan pertanggungjawaban dikonsolidasikan pada instansi induk;
6. Pendapatan dan sumbangan dapat digunakan langsung;
7. Pegawai dapat terdiri dari PNS dan non-PNS;
8. Bukan sebagai subjek pajak.

Tujuan

BLU bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam
pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktik bisnis
yang sehat.

Asas

Asas BLU adalah sebagai berikut:

1. BLU beroperasi sebagai unit kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah untuk


tujuan pemberian layanan umum yang pengelolaannya berdasarkan kewenangan yang
didelegasikan oleh instansi induk yang bersangkutan;
2. BLU merupakan bagian perangkat pencapaian tujuan kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan karenanya status hukum BLU tidak terpisah
darikementerian negara/lembaga/pemerintah daerah sebagai instansi induk.
3. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota bertanggung jawab atas pelaksanaan
kebijakan penyelenggaraan pelayanan umum yang didelegasikannya kepada BLU dari segi
manfaat layanan yang dihasilkan.
4. Pejabat yang ditunjuk mengelola BLU bertanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan
pemberian layanan umum yang didelegasikan kepadanya oleh Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota.
5. BLU menyelenggarakan kegiatannya tanpa mengutamakan pencarian keuntungan.
6. Rencana kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan kinerja dan BLU disusun dan
disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari Rencana kerja dan
anggaran serta laporan keuangan dan kinerja kementerian
negara/lembaga/SKPD/pemerintah daerah.
7. BLU mengelola penyelenggaraan layanan umum sejalan dengan praktik bisnis yang sehat.

Pola Pengelolaan Keuangan BLU

Pola pengelolaan keuangan pada BLU merupakan pola pengelolaan keuangan yang memberikan
fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan
negara pada umumnya.
Yang dimaksud dengan praktik bisnis yang sehat adalah proses penyelenggaraan fungsi organisasi
berdasarkan kaidah-kaidah manajemen yang baik dalam rangka pemberian layanan yang bermutu
dan berkesinambungan.

Instansi pemerintah yang melakukan pembinaan terhadap pola pengelolaan keuangan BLU
adalah Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Ditjen Perbendaharaan.

Persyaratan

Persyaratan Substantif

1. Menyelenggarakan tugas pokok dan fungsi yang berhubungan dengan:


a. Penyediaan barang atau jasa layanan umum, seperti pelayanan di bidang kesehatan,
penyelenggaraan pendidikan, serta pelayanan jasa penelitian dan pengembangan
(litbang);
b. Pengelolaan wilayah/kawasan tertentu untuk tujuan meningkatkan perekonomian
masyarakat atau layanan umum seperti otorita dan Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (Kapet); atau
c. Pengelolaan dana khusus dalam rangka meningkatkan ekonomi atau pelayanan kepada
masyarakat, seperti pengelola dana bergulir untuk usaha kecil dan menengah.
2. Bidang layanan umum yang diselenggarakan bersifat operasional yang menghasilkan
semi barang/jasa publik (quasi public goods)
3. Dalam kegiatannya tidak mengutamakan keuntungan.

Persyaratan Teknis

1. Kinerja pelayanan di bidang tugas pokok dan fungsinya layak dikelola dan ditingkatkan
pencapaiannya melalui BLU sebagaimana direkomendasikan olehmenteri/pimpinan
lembaga/kepala SKPD sesuai dengan kewenangannya; dan
2. Kinerja keuangan satker instansi yang bersangkutan sehat sebagaimana ditunjukan dalam
dokumen usulan penetapan BLU.

Persyaratan Administratif

1. Pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan kinerja pelayanan, keuangan, dan manfaat


bagi masyarakat.
Pernyataan tersebut disusun sesuai dengan format yang tercantum dalam
lampiran Peraturan Menteri Keuangan Nomor 119/PMK.05/2007 dan bermaterai,
ditandatangani oleh pimpinan satker Instansi Pemerintah yang mengajukan usulan untuk
menerapkan PPK-BLU dan disetujui oleh menteri/pimpinan lembaga terkait.
2. Pola tata kelola.
Merupakan peraturan internal satuan kerja Instansi Pemerintah yang menetapkan:
a. organisasi dan tata laksana, yang memuat antara lain struktur organisasi, prosedur kerja,
pengelompokan fungsi yang logis, ketersediaan dan pengembangansumber daya manusia;
b. akuntabilitas, yaitu mempertanggungjawabkan pengelolaan sumber daya serta pelaksanaan
kebijakan yang dipercayakan kepada satuan kerja Instansi Pemerintah bersangkutan dalam
mencapai tujuan yang telah ditetapkan secara periodik,
meliputi akuntabilitas program, kegiatan, dan keuangan;
c. transparansi, yaitu adanya kejelasan tugas dan kewenangan, dan ketersediaan informasi
kepada publik.
3. Rencana strategis bisnis, mencakup:
a. visi, yaitu suatu gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang berisikan cita
dan citra yang ingin diwujudkan;
b. misi, yaitu sesuatu yang harus diemban atau dilaksanakan sesuai visi yang ditetapkan, agar
tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik;
c. program strategis, yaitu program yang berisi proses kegiatan yang berorientasi pada hasil
yang ingin dicapai selama kurun waktu 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahun dengan
memperhitungkan potensi, peluang, dan kendala yang ada atau mungkin timbul; dan
d. kesesuaian visi, misi, program, kegiatan, dan pengukuran pencapaian kinerja;
e. indikator kinerja lima tahunan berupa indikator pelayanan, keuangan, administrasi,
dan SDM;
f. pengukuran pencapaian kinerja, yaitu pengukuran yang dilakukan dengan menggambarkan
apakah hasil kegiatan tahun berjalan dapat tercapai dengan disertai analisis atas faktor-
faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi tercapainya kinerja tahun berjalan.
4. Standar Pelayanan Minimum (SPM) merupakan ukuran pelayanan yang harus dipenuhi
oleh satuan kerja instansi pemerintah untuk menerapkan PK BLU.
SPM ditetapkan oleh Menteri/Pimpinan Lembaga dalam rangka penyelenggaraan kegiatan
pelayanan kepada masyarakat yang harus mempertimbangkan kualitas layanan,
pemerataan, dan kesetaraan layanan biaya serta kemudahan memperoleh layanan.
SPM sekurang-kurangnya mengandung unsur:
a. Jenis kegiatan atau pelayanan yang diberikan oleh satker. Jenis kegiatan merupakan
pelayanan yang diberikan oleh satker baik pelayanan ke dalam (satkeritu sendiri) maupun
pelayanan yang diberikan kepada masyarakat. Jenis kegiatan ini merupakan tugas dan
fungsi dari satker yang bersangkutan.
b. Rencana Pencapaian SPM. Satuan kerja menyusun rencana pencapaian SPM yang memuat
target tahunan pencapaian SPM dengan mengacu pada batas waktu pencapaian SPM sesuai
dengan peraturan yang ada.
c. Indikator pelayanan. SPM menetapkan jenis pelayanan dasar, indikator SPM dan batas
waktu pencapaian SPM.
d. Adanya tanda tangan pimpinan satuan kerja yang bersangkutan dan menteri/pimpinan
lembaga.
5. Laporan audit terakhir, merupakan laporan auditor tahun terakhir sebelum satuan
kerja instansi pemerintah yang bersangkutan diusulkan untuk menerapkan PK BLU. Dalam
hal satuan kerja instansi pemerintah tersebut belum pernah diaudit, satuan kerja instansi
pemerintah dimaksud harus membuat pernyataan bersedia
untukdiaudit secara independen yang disusun dengan mengacu pada formulir yang telah
ditetapkan.

Kepegawaian

Pejabat pengelola dan pegawai BLU dapat terdiri dari pegawai negeri sipil (PNS) dan/atau tenaga
profesional non-PNS sesuai dengan kebutuhan BLU. Syarat pengangkatan dan pemberhentian
pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dari PNS dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan bagi PNS. Pejabat pengelola dan pegawai BLU yang berasal dari
tenaga profesional non-PNS dapat dipekerjakan secara tetap atau berdasarkan kontrak.

Dewan Pengawas
Dewan Pengawas untuk BLU di lingkungan pemerintah pusat dibentuk dengan
keputusan menteri/pimpinan lembaga atas persetujuan Menteri Keuangan.

Anggota dewan pengawas terdiri dari unsur-unsur pejabat dari kementerian negara/lembaga teknis


yang bersangkutan, Kementerian Keuangan, dan tenaga ahli yang sesuai dengan kegiatan BLU.

V. PENGELOLAAN KEUANGAN DESA

Pengertian

Menurut PERMENDAGRI 113/2014

Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa

Menurut PERMENDAGRI 20/2018

Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala
sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa

Azas Pengelolaan Keuangan Desa

PERMENDAGRI 113/2014 PERMENDAGRI 20/2018

Keuangan desa dikelola berdasarkan asas-asas Keuangan Desa dikelola berdasarkan asas-asas
transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan transparan, akuntabel, partisipatif serta dilakukan
dengan tertib dan disiplin anggaran. dengan tertib dan disiplin anggaran.

Pengelolaan keuangan desa, dikelola dalam masa 1 APB Desa merupakan dasar pengelolaan keuangan Desa
(satu) tahun anggaran yakni mulai tanggal 1 Januari dalam masa 1 (satu) tahun anggaran mulai tanggal 1
sampai dengan tanggal 31 Desember. Januari sampai dengan tanggal 31 Desember

Pengelola keuangan desa


Kepala Desa

PERMENDAGRI 113/2014 PERMENDAGRI 20/2018

Kepala Desa adalah pemegang kekuasaan Kepala Desa adalah PKPKD dan mewakili Pemerintah Desa
pengelolaan keuangan desa dan mewakili dalam kepemilikan kekayaan milik Desa yang dipisahkan.
Pemerintah Desa dalam kepemilikan
kekayaan milik desa yang dipisahkan.

Kepala Desa dalam melaksanakan Dalam melaksanakan kekuasaan pengelolaan keuangan Desa,
pengelolaan keuangan desa, dibantu oleh kepala Desa menguasakan sebagian kekuasaannya kepada
PTPKD. perangkat Desa selaku PPKD. Pelimpahan sebagian kekuasaan
PKPKD kepada PPKD ditetapkan dengan keputusan kepala
Desa.

PTPKD berasal dari unsur Perangkat Desa, PPKD terdiri atas:


terdiri dari:

Sekretaris Desa;
Sekretaris Desa;
Kaur dan Kasi; dan
Kepala Seksi; dan
Kaur Keuangan.
Bendahara Desa.

Sekretaris Desa
PERMENDAGRI 113/2014 PERMENDAGRI 20/2018

Sekretaris Desa bertindak selaku koordinator Sekretaris Desa bertugas sebagai koordinator PPKD.
pelaksana teknis pengelolaan keuangan desa.

Sekretaris Desa selaku koordinator pelaksana Sekretaris Desa mempunyai tugas:


teknis pengelolaan keuangan desa mempunyai
tugas:
mengoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan APB Desa;
menyusun dan melaksanakan Kebijakan
mengoordinasikan penyusunan rancangan APB Desa dan
Pengelolaan APBDesa;
rancangan perubahan APB Desa;
menyusun Rancangan Peraturan Desa tentang
mengoordinasikan penyusunan rancangan peraturan
APBDesa, perubahan APBDesa dan
Desa tentang APB Desa, perubahan APB Desa, dan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBDesa;
pertanggungjawaban pelaksanaan APB Desa;
melakukan pengendalian terhadap pelaksanaan
mengoordinasikan penyusunan rancangan peraturan
kegiatan yang telah ditetapkan dalam APBDesa;
kepala Desa tentang Penjabaran APB Desa dan
menyusun pelaporan dan pertanggungjawaban Perubahan Penjabaran APB Desa;
pelaksanaan APBDesa; dan
mengoordinasikan tugas perangkat Desa lain yang
melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti menjalankan tugas PPKD; dan
penerimaan dan pengeluaran APBDesa.
mengoordinasikan penyusunan laporan keuangan Desa
dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APB
Desa.

Sekretaris Desa juga mempunyai tugas:

melakukan verifikasi terhadap DPA, DPPA, dan DPAL;

melakukan verifikasi terhadap RAK Desa; dan

melakukan verifikasi terhadap bukti-bukti penerimaan


dan pengeluaran APB Desa.

Kaur Keuangan dan Bendaharawan


PERMENDAGRI 113/2014 PERMENDAGRI 20/2018

Bendahara di jabat oleh staf pada Urusan Keuangan. Kaur keuangan melaksanakan fungsi kebendaharaan.

Bendahara mempunyai tugas: menerima, menyimpan, Kaur keuangan mempunyai tugas:


menyetorkan/membayar, menatausahakan, dan
mempertanggungjawabkan penerimaan pendapatan
menyusun RAK Desa; dan
desa dan pengeluaran pendapatan desa dalam rangka
pelaksanaan APBDesa. melakukan penatausahaan yang meliputi menerima
menyimpan, menyetorkan/membayar,
menatausahakan dan mempertanggungjawabkan
penerimaan pendapatan Desa dan pengeluaran
dalam rangka pelaksanaan APB Desa.

Kaur Keuangan dalam melaksanakan fungsi


kebendaharaan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak
pemerintah Desa.

Pelaksana
PERMENDAGRI 113/2014 PERMENDAGRI 20/2018

Kepala Seksi bertindak sebagai pelaksana Kaur dan Kasi bertugas sebagai pelaksana kegiatan
kegiatan sesuai dengan bidangnya. anggaran.

Kepala Seksi mempunyai tugas: Kaur dan Kasi mempunyai tugas:

menyusun rencana pelaksanaan kegiatan yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas
menjadi tanggung jawabnya; beban anggaran belanja sesuai bidang tugasnya;

melaksanakan kegiatan dan/atau bersama melaksanakan anggaran kegiatan sesuai bidang tugasnya;
Lembaga Kemasyarakatan Desa yang telah
mengendalikan kegiatan sesuai bidang tugasnya;
ditetapkan di dalam APBDesa;
menyusun DPA, DPPA, dan DPAL sesuai bidang tugasnya;
melakukan tindakan pengeluaran yang
menyebabkan atas beban anggaran belanja menandatangani perjanjian kerja sama dengan penyedia
kegiatan; atas pengadaan barang/jasa untuk kegiatan yang berada
dalam bidang tugasnya; dan
mengendalikan pelaksanaan kegiatan;
menyusun laporan pelaksanaan kegiatan sesuai bidang
melaporkan perkembangan pelaksanaan
tugasnya untuk pertanggungjawaban pelaksanaan APB
kegiatan kepada Kepala Desa; dan
Desa.
menyiapkan dokumen anggaran atas beban
pengeluaran pelaksanaan kegiatan.

Pembagian tugas Kaur dan Kasi pelaksana kegiatan


anggaran dilakukan berdasarkan bidang tugas masing-
masing dan ditetapkan dalam RKP Desa.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APB Desa)

Pendapatan Desa

Pendapatan Desa terdiri dari:


 Pendapatan Asli Desa
 Transfer:
o Dana Desa;
o Bagian dari Hasil Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Kabupaten/Kota;
o Alokasi Dana Desa (ADD);
o Bantuan Keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi; dan
o Bantuan Keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten/Kota.
 Pendapatan lain-lain.

Pengelolaan Keuangan Desa

Pengelolaan Keuangan Desa meliputi:

 Perencanaan;
 Pelaksanaan;
 Penatausahaan;
 Pelaporan; dan
 Pertanggungjawaban;
 Pengelolaan keuangan Desa dilakukan dengan Basis Kas.
 Basis Kas merupakan pencatatan transaksi pada saat kas diterima atau dikeluarkan dari
rekening kas Desa.
 Pengelolaan keuangan Desa dapat dilakukan dengan menggunakan sistem informasi yang
dikelola Kementerian Dalam Negeri.

Siklus Pengelolaan Keuangan Desa 

Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan,
penatausahaan, pelaporan dan pertanggungjawaban keuangan Desa. 

Adapun 5 Siklus Pengelolaan Keuangan Desa, sebagai berikut:

1. Perencanaan

Perencanaan pengelolaan keuangan desa merupakan perencanaan penerimaan dan pengeluaran


pemerintah desa pada tahun anggaran berkenan yang dianggarankan dalam APB Desa.

2. Pelaksanaan

Pelaksanaan pengelolaan keuangan desa merupakan penerimaan dan pengeluaran Desa yang
dilaksanakan melalui rekening kas Desa pada bank yang ditunjuk Bupati/Wali Kota.

Rekening kas Desa dibuat oleh Pemerintah Desa dengan spesimen tanda tangan kepala Desa dan
Kaur Keuangan. Dalam kondisi Desa yang belum memiliki pelayanan perbankan di wilayahnya,
rekening kas Desa dibuka di wilayah terdekat.

3. Penatausahaan
Penatausahaan keuangan dilakukan oleh Kaur Keuangan sebagai pelaksana fungsi
kebendaharaan. Penatausahaan dilakukan dengan mencatat setiap penerimaan pengeluaran dalam
buka kas umum (BKU) yang ditutup setiap akhir bulan.

Dalam penatausahaan keuagan, Kau Keuangan Desa diwajibkan membuat Buku Pembantu Kas
Umum yang terdiri dari:

 Buku pembantu bank merupakan buku catatan penerimaan dan pengeluaran melalui
rekening kas Desa.
 Buku pembantu pajak merupakan buku catatan penerimaan potongan pajak dan
pengeluaran setoran pajak, dan 
 Buku pembantu panjar merupakan catatan pemberian dan pertanggungjawaban uang
panjar.

4. Pelaporan

Kepala Desa menyampaikan laporan pelaksana APBDes semester pertama kepada Bupati/Walikota
melalui camat, yang terdiri dari laporan pelaksanaan APBDes dan laporan realisasi kegiatan.
Kepala Desa menyusun laporan dengan cara menggabungkan seluruh laporan paling lambat minggu
kedua bulan Juli tahun berjalan. 

5. Pertanggungjawaban
Laporan pertanggungjawaban disampaikan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah akhir tahun anggaran
berkenaan yang ditetapkan dengan Peraturan Desa.
Peraturan Desa disertai dengan laporan keuangan, laporan realisasi dan daftar program sektoral,
program daerah dan program lainnya yang masuk ke Desa.
Laporan pertanggungjawaban merupakan bagian dari laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa
akhir tahun anggaran. Selain laporan pertanggungjawaban kepada Bupati/Walikota, pemerintah
Desa berkewajiban menginformasikan kepada masyarakat melalui media informasi.
Adapun informasi kepada masyarakat paling sedikit harus memuat laporan realisasi APBDesa,
laporan realisasi kegiatan, laporan kegiatan yang belum selesai dan/atau tidak terlaksanan, laporan
sisa anggaran dan alamat pengaduan.

VI. STANDAR PEMERIKSAAN KEUANGAN NEGARA

Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (disingkat SPKN) adalah patokan untuk melakukan


pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.[1]. Standar Pemeriksaan Keuangan
Negara dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Pemeriksaan (PSP). Standar Pemeriksaan
Keuangan Negara digunakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagai pedoman dalam
pemeriksaan Laporan Keuangan.

Keuangan Negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan pemerintahan negara.
Untuk mencapai tujuan bernegara, Keuangan Negara wajib dikelola secara tertib, taat pada
peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara, dibentuk satu BPK yang bebas dan mandiri. Pemeriksaan BPK meliputi
pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT). BPK
melaksanakan Pemeriksaan berdasarkan standar pemeriksaan. Standar pemeriksaan merupakan
patokan untuk melakukan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang
meliputi:
1. standar umum,
2. standar pelaksanaan,
3. dan standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK dan/atau Pemeriksa

Wewenang BPK
Dalam pelaksanaan tugasnya BPK memiliki wewenang sebagai berikut:
1. menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan pemeriksaan,
menentukan waktu dan metode pemeriksaan serta menyusun dan menyajikan laporan pemeriksaan;
2. meminta keterangan dan/atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap orang, unit
organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia (BI),
Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Layanan Umum (BLU), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD), dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara;
3. melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan uang dan barang milik negara, di tempat
pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan negara, serta pemeriksaan terhadap
perhitungan-perhitungan, surat-surat, bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar
lainnya yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara;
4. menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara yang wajib disampaikan kepada BPK;
5. menetapkan standar pemeriksaan keuangan negara setelah konsultasi dengan Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan negara;
6. menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara;
7. menggunakan tenaga ahli dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan
atas nama BPK;
8. membina jabatan fungsional pemeriksa;
9. memberi pertimbangan atas Standar Akuntansi Pemerintahan;
10. memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah
Pusat/Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah;
11. memantau penyelesaian ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan oleh Pemerintah
terhadap pegawai negeri bukan bendahara dan pejabat lain;
12. memantau pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah kepada bendahara,
pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara yang telah
ditetapkan oleh BPK;
13. dan memantau pelaksanaan pengenaan ganti kerugian negara/daerah yang ditetapkan
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
 
Pemeriksaan Keuangan Negara
          Pemeriksaan keuangan negara adalah proses identifikasi masalah, analisis, dan evaluasi yang
dilakukan secara independen, objektif, dan profesional berdasarkan standar pemeriksaan, untuk
menilai kebenaran, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan informasi mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Dengan demikian, pemeriksaan keuangan negara memberikan
keyakinan yang memadai.
Proses pemeriksaan meliputi:
1. perencanaan,
2. pelaksanaan,
3. pelaporan, dan
4. pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan.
Pemeriksaan dilakukan dalam rangka untuk mendorong tata kelola keuangan negara yang baik
melalui perolehan keyakinan bahwa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara telah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan dan/atau prinsip-prinsip tata kelola yang baik.

Jenis pemeriksaan keuangan negara


Terdapat beberapa jenis pemeriksaan keuangan negara, yaitu:
1. Pemeriksaan keuangan
Pemeriksaan keuangan bertujuan untuk memberikan opini atas kewajaran laporan keuangan
2. Pemeriksaan kinerja,
Tujuan pemeriksaan kinerja adalah memberikan kesimpulan atas aspek ekonomi, efisiensi dan/atau
efektivitas pengelolaan keuangan negara, serta memberikan rekomendasi untuk memperbaiki aspek
tersebut.
PDTT bertujuan untuk memberikan kesimpulan sesuai dengan tujuan pemeriksaan yang ditetapkan.
PDTT dapat berbentuk pemeriksaan kepatuhan dan pemeriksaan investigatif.
 
Unsur-unsur pemeriksaan keuangan negara
Berikut ini unsur-unsur pemeriksaan keuangan negara, yaitu:
1. Hubungan tiga pihak, yang terdiri atas:
2. pemeriksa keuangan negara,
3. pihak yang bertanggung jawab, dan
4. pengguna LHP;
5. Hal pokok (subject matter) dan informasi hal pokok (subject matter information);
6. Kriteria pemeriksaan;
7. Bukti pemeriksaan;
8. Laporan hasil pemeriksaan; dan
9. Pemantauan tindak lanjut hasil pemeriksaan
 
Pihak dalam Pemeriksaan Keuangan Negara
Pemeriksaan keuangan negara melibatkan 3 (tiga) pihak, yaitu:
1. pemeriksa keuangan negara;
BPK adalah lembaga negara yang memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. BPK dapat menugaskan Pemeriksa BPK dan/atau tenaga ahli
dan/atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja untuk dan atas nama BPK. Pemeriksa BPK
adalah Pelaksana BPK yang melaksanakan tugas pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab
keuangan negara untuk dan atas nama BPK. Tenaga ahli dan/atau pemeriksa di luar BPK dapat
sebagai orang-perorangan maupun lembaga dari luar BPK. Pemeriksaan keuangan negara juga dapat
dilaksanakan oleh akuntan publik. Pemeriksaan dilaksanakan dengan berdasarkan pada Standar
Profesional Akuntan Publik (SPAP) dan SPKN.
 
2. pihak yang bertanggung jawab;
Pihak yang bertanggung jawab adalah pihak yang diperiksa, yang bertanggung jawab atas informasi
hal pokok dan/atau bertanggung jawab mengelola hal pokok, dan/atau bertanggung jawab
menindaklanjuti hasil pemeriksaan antara lain Presiden, Menteri, dan Kepala Daerah.
 
3. pengguna LHP, yaitu:
4. Lembaga perwakilan, yaktu DPR, DPD, dan DPRD
5. Pemerintah, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah
6. Pihak lain yang berkepentingan, yaitu masyarakat, instansi penegak hukum, dan lembaga
yang mempunyai kepentingan terhadap LHP
 
Prinsip-prinsip pemerikasaan keuangan negara
          Prinsip-prinsip pemeriksaan keuangan negara adalah ketentuan yang harus dipahami dan
ditaati oleh pembuat standar dalam menyusun standar pemeriksaan dan Pemeriksa dalam
melakukan Pemeriksaan, yang meliputi:
1. Kode etik;
2. Pengendalian mutu;
3. Manajemen dan keahlian tim Pemeriksa;
4. Risiko pemeriksaan;
5. Materialitas;
6. Dokumentasi pemeriksaan; dan
7. Komunikasi pemeriksaan.
 
 
 
Kriteria pemeriksaan
Kriteria pemeriksaan adalah tolok ukur yang digunakan dalam memeriksa dan menilai hal pokok,
dalam hal ini informasi yang diungkapkan dalam pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan
negara, termasuk tolok ukur penyajian dan pengungkapan yang relevan. Setiap pemeriksaan
menggunakan kriteria pemeriksaan yang sesuai dengan konteks pemeriksaannya. Kriteria
pemeriksaan yang digunakan bergantung pada sejumlah faktor, antara lain tujuan dan jenis
pemeriksaan. Kriteria pemeriksaan yang digunakan harus tersedia bagi pengguna LHP sehingga
pengguna memahami proses evaluasi dan pengukuran suatu hal pokok.
Kriteria pemeriksaan yang sesuai menggambarkan karakteristik sebagai berikut:
1. relevan, memberikan kontribusi kepada kesimpulan guna membantu pengambilan
keputusan oleh pengguna;
2. lengkap, faktor-faktor relevan yang dapat memengaruhi kesimpulan tidak ada yang
diabaikan;
3. andal, memungkinkan pengevaluasian dan pengukuran yang konsisten terhadap hal pokok
oleh pemeriksa lain yang mempunyai kualifikasi yang sama;
4. netral, memberikan kontribusi kepada kesimpulan yang bebas dari keberpihakan; dan
5. dapat dipahami, mudah dipahami oleh pengguna sehingga pembuatan kesimpulan menjadi
jelas, komprehensif, dan tidak rentan terhadap penafsiran yang berbeda-beda.
Kriteria pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundangundangan, standar yang
diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas
yang diperiksa, atau kriteria yang dikomunikasikan oleh Pemeriksa kepada pihak yang bertanggung
jawab.
 
Pengembangan standar pemerikasaan
Pengembangan standar pemeriksaan meliputi:
1. prosedur penyusunan standar,
2. revisi standar, dan
3. interpretasi standar.
Pengembangan standar pemeriksaan mempertimbangkan perkembangan standar di lingkungan
profesi secara nasional maupun internasional. Proses pengembangan standar pemeriksaan
mencakup langkah-langkah yang perlu ditempuh secara cermat (due process) agar dihasilkan standar
pemeriksaan yang diterima secara umum. Langkah-langkah tersebut antara lain:
1. konsultasi dengan pemerintah, organisasi profesi di bidang pemeriksaan, dan
2. mempertimbangkan standar pemeriksaan internasional.
 
Penyusunan standar pemeriksaan
Penyusunan standar pemeriksaan dilakukan berdasarkan acuan kerangka konseptual ini. Langkah-
langkah penyusunan standar pemeriksaan meliputi:
1. pengidentifikasian topik atau masalah,
2. riset terbatas,
3. penulisan draft standar,
4. peluncuran exposure draft standar,
5. dengar pendapat exposure draft standar,
6. pembahasan tanggapan dan masukan atas exposure draft standar,
7. konsultasi draft standar dengan Pemerintah, dan
8. finalisasi serta penetapan standar.
 
Revisi standar pemeriksaan
Revisi standar pemeriksaan dapat berupa:
1. Revisi mayor adalah penambahan, pengurangan, atau perubahan menyeluruh suatu subbab
di dalam pernyataan standar pemeriksaan.
2. revisi minor adalah penambahan, pengurangan, atau perubahan istilah penting, kalimat
dan/atau paragraf dalam suatu subbab pernyataan standar pemeriksaan.

Anda mungkin juga menyukai