Anda di halaman 1dari 14

KEGIATAN BELAJAR 2:

CAPAIAN PEMBELAJARAN

Mampu menganalisis hakekat amal shaleh dan unsur-unsur iman yang mendasari
dalam implementasinya.

INDIKATOR KOMPETENSI

Mendefinisikan hakekat amal Shalih.


1. Menganalisis terbentuknya amal Shalih, berdasarkan konsep iman; tawakkal,
ikhlas, shabar, dan syukur.
2. Membedakan antara amal Shalih dan amal baik dalam kehidupan sehari-hari.

URAIAN MATERI
1. HAKEKAT AMAL SHALIH
Menurut bahasa “Amal Shaleh”, berarti perbutan yang baik, bermanfaat, selamat, atau
cocok. Sedang menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain:
Menurut Zamahsyari’ amal shalih diartikan sebagai semua perbuatan yang sesuai
dengan ajaran al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw. Amal shalih juga disefinisikan sebagi
perbuatan baik yang dilakukan seseorang karena Allah Swt. dengan tujuan untuk mendapatkan
rahmat dan ridha-Nya, baik menjalankan perintah maupun menjalankan perintah maupun
menjauhi larangan-Nya. sesuai dengan aturan-aturan ajaran Islam.
Dilihat dari hubungan antara manusia sebagai makhluk dan Allah Swt. sebagai Khalik,
maka amal shalih dapat didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilakukan hamba kepada
Allah Swt. sebagai bentuk pengabdiannya yang didasari dengan iman. Didasari dengan iman
artinya disyaratkan dengan keyakinan dan pengetahuan yang benar.
Siapapun yang amalnya ingin menjadi amal shalih, maka ia harus beriman kepada Allah
Swt. terlebih dahulu, lalu memiliki ilmu yang cukup sebelum tawakkal. Ini sebagai syarat
supaya pelaksanaannya dapat dikerjakan dengan benar. Kemudian ia harus ikhlas hanya karena

1
Allah, bersabar dan atau bersyukur dalam pelaksaanya. Dan terakhir ridha terhadap semua
keputusan Allah Swt. dengan hasil dari ikhtiar dan amal kita.
Untuk lebih mudah memahami hakekat dari amal shalih Saudara dapat melihat gambar
di bawah ini.

AMAL SHALIH
PUNYA RENCANA YANG MATANG (TEKAD DAN TAWAKKAL)?

TIDAK YA
DIMULAI DENGAN IKHLAS, NIAT
SALAH/BATAL/RUSAK HANYA KARENA ALLAH ?

TIDAK YA
DIAMALKAN DENGAN SABAR DAN
SALAH/BATAL/RUSAK ATAU SYUKUR?

TIDAK YA
RIDHA DENGAN KEPUTUSAN ALLAH?
SALAH/BATAL/RUSAK

TIDAK
Keterangan:
YA
SALAH/BATAL/RUSAK
Untuk bisa menilai amal Saudara shaleh atau tidak, Saudara harus menjawab “YA”
pmelalui proses sebagai berikut:
1. Sebelum mengamalkan sesuatu pastikan dahulu, tanyakan pada diri Saudara sendiri,
apakah Saudara sudah mempunyai rencana yang matang? Rencana yang didasari
iman dan pengetahuan yag cukup tentang apa yang Saudara akan kerjakan? Karena
siapa yang beramal tanpa ilmu, amalnya tidak akan diterima. Jika jawaban Saudara
“TIDAK” berarti salah, batal atau rusak. Artinya amal Saudara tidak dapat

2
dikategorikan amal shalih, meskipun menurut pandangan manusia mungkin baik.
Jika jawaban Saudara “YA”, maka lanjutkan.
2. Apabila jawaban Saudara “Ya” sudah, maka tanyakan lagi apakah yang Saudara
amalkan niatnya hanya untuk mendapatkan ridha Allah Swt. semata. Dan
menyerahkan penilaiannya juga hanya kepada-Nya? Apabila jawaban Saudara
ternyata masih ada sedikit saja ingin dinilai oleh selain Allah Swt. apalagi ingin
imbalan dari yang lain misalnya ucapan terima kasih. Berarti jawaban Saudara
hakekatnya “TIDAK” dan amal Saudara termasuk amal yang salah, batal atau rusak.
3. Apabila jawaban Saudara “YA”, teruskan pertanyaan berikutnya. Apakah ketika
menjalankan pekerjaan tersebut bersabar apabila susah atau bersyukur jika
menyenangkan? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal Saudara salah,
batal atau rusak.
4. Apabila jawaban Saudara “YA”, maka tanyakan kembali apakah setelah selesai
Saudara ridha denga hasil pekerjaan atau amal Saudara sebagai takdir terbaik yang
Allah berikan kepada Saudara? Apabila jawaban Saudara “TIDAK”, maka amal
Saudara salah, batal atau rusak. Dan sebaliknya jika Saudara menerima InsyaAllah
akan menjadi amal shalih. Amin Ya Rabbal Alamin.

3
2. AMAL SHALIH SEBAGAI AKHLAK AL-KARIMAH KEPADA ALLAH SWT.

Bagaimana Saudara, apakah sudah faham tentang hakekat amal shalih? Tentu sudah
mulai kebuka. Selanjutnya mari kita dalami hal-hal yang terkait dengan nilai-nilai keimanan
dan ubudiyyah yang harus melekat dan mendasari amal, sehingga amal kita dapat dikategorikan
sebagai amal shalih.
Manusia diciptakan oleh Allah Swt. tujuannya adalah supaya beribadah hanya kepada-
Nya. Sebagaimana dinyataka dalam Al-Qur’an surah adz-Dzariyat/51: 56 sebagai berikut:

)56:‫ون (الذاريات‬
ِ ‫س ِإّل ِل َي ْعبد‬ ِ ْ ‫َو َما َخلَ ْقت ْال ِجن َو‬
َ ‫اْل ْن‬
Artinya :Dan tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku
Oleh sebab itu semua amal perbuatan manusia yang beriman harus bernilai ibadah dan
menjadi amal shalih. Amal yang hanya dipersembahkan kepada Allah Swt. dan ridah
penilaiannya diserahkan sepenuhnya hanya kepada-Nya.
Adapun kisi-kisi penilaian amal shalih sebenarnya sudah disampaiakan dalam ajaran
Islam yang dibawakan oleh Nabi Muhammad Saw., yakni amal yang dibingkai dengan iman;
diawali rencana yang matang dan tawakkal, niat yang ikhlas, dikerjakan dengan sabar dan atau
syukur, serta akhirnya dapat menerima (ridha) hasilnya sebagai bagian dari takdir Allah Swt.
Untuk lebih detilnya mari kita pelajari satu persatu konsep bingkai amal shalih dengan
baik!

a. Tawakkal
Menurut bahasa kata tawakkal diambil dari Bahasa Arab ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul dari
akar kata ‫ َو َك َل‬/wakala) yang berarti lemah. Adapun ‫الت ََو ُّكل‬/tawakkul berarti
menyerahkan atau mewakilkan. Seperti seseorang mewakilkan urusan kepada orang
lain atau menggantikannya. Artinya, dia menyerahkan suatu perkara atau urusannya
dan dia menaruh kepercayaan kepada orang itu mengenai urusan tadi.
Secara istilah tawakkal telah didefinisikan oleh ulama, antara lain Imam al-
Ghazali. Beliau menyebutkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin pada bab at-Tauhid wa
at-Tawakkal, bahwa tawakkal itu adalah hakikat tauhid yang merupakan dasar dari
keimanan, dan seluruh bagian dari keimanan tidak akan terbentuk melainkan dengan
ilmu, keadaan, dan perbuatan. Begitupula dengan sikap tawakkal, ia terdiri dari suatu
ilmu yang merupakan dasar, dan perbuatan yang merupakan buah (hasil), serta
keadaan yang merupakan maksud dari tawakkal. Tawakkal adalah menyerahkan diri

4
kepada Allah tatkala menghadapi suatu kepentingan, bersandar kepada-Nya dalam
kesulitan di luar batas kemampuan manusia.
Berikutnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, dalam kitabnya Madarij as-Salikin
menjelaskan bahwa Tawakkal merupakan amalan dan penghambaan hati dengan
menyandarkan segala sesuatunya hanya kepada Allah Swt. semata, percaya
terhadap-Nya, berlindung hanya kepada-Nya dan ridha atas sesuatu yang menimpa
dirinya, berdasarkan keyakinan bahwa Allah akan memberikan segala ‘kecukupan’
bagi dirinya, dengan tetap berikhtiar semaksimal mungkin untuk dapat
memperolehnya.
Allah Swt. berfirman:

ِ ‫ظ ْالقَ ْل‬
ََ ‫ب َّل ْنفَضُّوا ِم ْن َح ْو ِل‬ َ ‫ظا َغ ِلي‬ ًّ َ‫ت ف‬
َ ‫ت لَه ْم َولَ ْو ك ْن‬
َ ‫َف ِب َما َر ْح َمة ِمنَ ّللاِ ِل ْن‬
ِ‫ت فَت َ َوك ْل َعلَى ّللا‬َ ‫فَاعْف َع ْنه ْم َوا ْست َ ْغ ِف ْر لَه ْم َوشَا ِو ْره ْم فِي ْاْل َ ْم ِر فَإِذَا َعزَ ْم‬
)159 :‫إِن ّللاَ ي ِحبُّ ْالمت َ َو ِك ِلينَ (آل عمران‬
Artinya:
Maka sebab rahmat dari Allah, Engkau bersikap lemah lembut kepada mereka.
Seandainya Engkau bersikap kasar lagi keras hati, niscaya mereka akan pergi dari
sekelilingmu. Sebab itu maafkan mereka, mintakan ampunan baginya dan ajaklah
bermusyawarah mereka dalam urusan itu (menentukan strategi perang). Lalu
apabila Engkau telah memiliki tekad yang bulat, maka bertawakkallah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakkal (QS. Ali
Imran/3: 159).
Ayat di atas menempatkan tawakkal pada posisi penyusunan rencana tahap
rakhir setelah mempunyai keputusan dan tekad yang bulat. Hal ini menunjukkan
bahwa sebelum tawakkal manusia harus terlebih dahulu berikhtiyar secara zhahir,
selanjutnya jangan lupa ikhtiar batin, yakni ikhtiyar dan do’a. Sebagaimana
dicontohkan oleh Nabi kita Muhammad Saw., beliau melakukan rundingan dahulu
dengan para sahabat dengan meminta pendapat atau buah pikiran mereka mengenai
urusan peperangan dan lain-lain demi mengambil hati mereka dengan sikap lemah
lembut, kemudian setelah keputusan diambil dan telah menetapkan hati, lalu
bertawakkal kepada Allah dengan berserah kepada-Nya.
Jadi tawakkal bukan berarti tinggal diam, tanpa kerja dan usaha, bukan
menyerahkan semata-mata kepada keadaan dan nasib dengan tegak berpangku
tangan duduk memekuk lutut, menanti apa-apa yang akan terjadi. Memohon
pertolongan dan Bertawakkal tidaklah berarti meninggalkan upaya, bertawakkal

5
mengharuskan seseorang meyakini bahwa Allah yang mewujudkan segala sesuatu,
sebagaimana ia harus menjadikan kehendak dan tindakannya sejalan dengan
kehendak dan ketentuan Allah Swt. Seorang muslim dituntut untuk berusaha tetapi
di saat yang sama ia dituntut pula berserah diri kepada Allah Swt, ia dituntut
melaksanakan kewajibannya, kemudian menanti hasilnya sebagaimana kehendak
dan ketentuan Allah.
Seorang muslim berkewajiban menimbang dan memperhitungkan segala segi
sebelum dia melangkahkan kaki dan mengerjakan sesuatu. Tetapi bila
pertimbangannya keliru atau perhitungannya meleset, maka ketika itu akan tampil
dihadapannya Allah Swt., Tuhan yang kepada-Nya yakni dengan bertawakkal dan
berserah diri.
Dalam sebuah hadis Rasullah Saw. diriwayatkan sebagai berikut:

‫ " إِذَا خ ََر َج الرجل‬:‫ قَا َل‬،‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫ أَن النبِي‬،َ‫َع ْن أَن َِس ب ِْن َما ِل‬
‫ يقَال‬:‫ قَا َل‬،ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل ِباَّلل‬،ِ‫ِم ْن بَ ْيتِ ِه فَقَا َل بِ ْس ِم ّللاِ ت َ َوك ْلت َعلَى ّللا‬
:‫طان آخَر‬ َ ‫ش ْي‬
َ ‫ فَيَقول لَه‬،‫اطين‬ ِ َ‫ فَتَتَنَحى لَه الشي‬،‫يت‬ َ ِ‫ َووق‬،‫يت‬َ ‫ َوك ِف‬،‫ِيت‬ َ ‫ هد‬:‫ِحينَئِذ‬
)‫ي؟ "رواه ابو داود‬ َ ِ‫ي َووق‬ َ ‫ْف لَ ََ ِب َرجل قَ ْد هد‬
َ ‫ِي َوك ِف‬ َ ‫َكي‬
Artinya:
Dari Anas bin Malik berkata, bahwasannya Nabi Saw. bersabda, “Apabila seorang
َ ‫ ت ََوك ْلت‬،ِ‫’بِس ِْم ّللا‬,
laki-laki keluar dari rumahnya, lalau membaca ‘ِ‫ َّل َح ْو َل َو َّل قوة َ إِّل بِاَّلل‬،ِ‫علَى ّللا‬
maka pada saat itu dikatakan kepadanya: engkau telah diberi hidayah, engkau telah
dicukupkan, engkau telah dijaga dan ditinggalkan syaitan. Dan syaitan yang lain
berkata kepadanya, Bagaimana bisa menggoda dengan laki-laki ini yang sudah
diberijamin hidayahnya, kecukupannya dan penjagaannya” (HR. Abu Dawud)
Hadits di atas mengisyarahkan kepada kita bahwa tawakkal itu dilakukan
sebelum melakukan aktivitas. Kita harus menyadari sematang apapun rencana yang
kita buat adalah rencana yang dibuat oleh manusia yang serba lemah, dan tidak dapat
mengetahui secara universal tentang hubungan sebab akibat dari semua unsur yang
menentukan dan mempengarui keberhasilannya. Manusia hanya bisa berencana
Allah yang menentukan segalanya. Sebab itu sebelum kita menjalankan rencana,
sudah semestinya kita serahkan sepenuhnya kepada Dzat yang Maha Mengatur dan
Menentukan, Allah Swt.
Sampai di sini bagaimana? Sudah nyambung? Mari kita lanjutkan belajar
konsep tahapan kedua, yakni tahapan dalam membangun amal shalih.

6
b. Ikhlas

Menurut bahasa, ikhlas berarti jujur, tulus dan rela. Dalam bahasa Arab, kata
ْ
‫إخالص‬/ikhlas َ َ‫أخل‬/akhlasa
merupakan bentuk mashdar dari ‫ص‬ ْ yang berasal dari akar
kata ‫خلص‬/khalasa. Kata ini mengandung beberapa makna sesuai dengan kontek
kalimatnya. Ia biasa berarti shafaa (jernih), najaa wa salima (selamat), washala
(sampai) dan I’tazala (memisahkan diri).3 Atau berarti perbaikan dan pembersihan
sesuatu (Ibn Zakaria, Mu’jam Maqayis al-Lughah Jilid 2, 1986: hlm. 208)
Menurut istilah, makna ikhlas diungkapkan oleh para ulama antara lain
adalah sebagai berikut:
1). Muhammad Abduh mengatakan ikhlas adalah ikhlas beragama untuk Allah
SWT. dengan selalu manghadap kepada-Nya, dan tidak mengakui kesamaan-
Nya dengan makhluk apapun dan bukan dengan tujuan khusus seperti
menghindarkan diri dari malapetaka atau untuk mendapatkan keuntungan serta
tidak mengangkat selain dari-Nya sebagai pelindung (Muhammad Rasyid
Ridha,1973, hlm. 475).
2). Muhammad al-Ghazali mengatakan ikhlas adalah melakukan amal kebajikan
semata-mata karena Allah SWT (Muhammad al-Ghazali, 1993, hlm. 139)
Sekilas apabila diperhatikan makna ikhlas dari dua definisi di atas itu dapat
digambarkan seseorang yang sedang membersihkan beras dari batu-batu kecil
(kerikil) yang ada di sekitar beras itu. Maka apabila beras itu dimasak akan terasa
nikmat memakannya karena sudah bersih dari kerikil dan batu-batu kecil. Caoba
bayangkan jika beras itu masih kotor, niscaya nasi yang kita kunyah akan ternyata
kerikil juga tergigit. Sungguh tidak nikmatnya nasi tersebut karena masih ada yang
mengganjal kenikmatan rasanya.
Dari ungkapan di atas dapat dipahami bahwa ikhlas itu adalah segala sesuatu
yang berkenaan dengan masalah niat sebab niat merupakan titik penentu dalam
menentukan amal seseorang. Orang yang ikhlas tidak dinamakan orang ikhlas
sampai ia mengesakan Allah SWT. dari segala sesuatu dan ia hanya menginginkan
Allah SWT.
Ikhlas adalah menyengajakan suatu perbuatan karena Allah Swt. dan
mengharapkan ridha-Nya serta memurnikan dari segala macam kotoran dan godaan
seperti keinginan terhadap populeritas, simpati orang lain, kemewahan, kedudukan,
harta, pemuasan hawa nafsu dan penyakit hati lainnya. Hal ini sesuai dengan perintah

7
Allah-Nya yang tercantum dalam QS. al-An’am/6: 162-163. Demikian juga dalam
firman-Nya yang terdapat dalam QS. al-Bayyinah/98: 5.
Apabila ikhlas digambarkan sebagai akad, maka akadnya hanya kepada Allah.
Dan penilaian amal kita sepenuhnya terserah Allah Swt. Jadi apabila penilaiannya
disekutukan dengan manusia, seperti supaya dinilai baik dan dihargai dengan harga
sekecil apapun misalnya ucapan terima kasih, maka akan merusak keikhlasan kita
(QS. Al-Insan/76:9)
Ikhlas merupakan bentuk implementasi iman dalam beramal, karena itu nyata
sama dengan keimanan yang bisa bertambah dan berkurang. Untuk itu umat Islam
harus berhati-hati terhadap sifat-sifat yang dapat merusak keikhlasannya, di
antaranya:
1). Ria, yakni melakukan amal perbuatan tidak untuk mencari ridha Allah SWT.,
akan tetapi untuk dinilai oleh manusia untuk memperoleh pujian atau
kemashuran, posisi, kedudukan di tengah masyarakat, sebagaimana tergambar
di dalam firman Allah SWT. Q. S. al-Ma’un/107: 4-7. Riya’ merupakan salah
satu penyakit yang sifatnya abstrak, namun tanda-tandanya secara empiris dapat
dirasakan, terutama bagi orang yang melakukannya. Ada pun tanda-tanda orang
yang riya’, adalah: (1). Seseorang yang bertambah ketaatannya apabila dipuji
atau disanjung oleh orang lain akan tetapi menjadi berkurang atau bahkan
meninggalkan amalan tersebut apabila mendapat celaan dan ejekan, (b). Tekun
dalam beribadah apabila di depan orang banyak akan tetapi malas apabila
dikerjakan sendirian, (c). Mau memberi atau sedekah apabila dilihat orang
banyak, tetapi enggan apabila tidak ada orang yang melihatnya, (d). Berkata dan
berbuat kebaikan bukan semata-mata karena Allah SWT. Akan tetapi karena
mengharap pamrih kepada manusia
2). Sum’ah, yakni menceritakan amal yang telah dilakukan kepada orang lain supaya
mendapat penilain dan dihargai misalnya kedudukan di hatinya. Pada dasarnya
sama dengan ria, tetapi sum’ah adalah perbuatannya sudah dilaksanakan
sehingga perlu diceriterakan.
3). Nifak, sifat menyembunyikan kekafiran dengan menyatakan dan mengikrarkan
keimanannya kepada Allah Swt. Jadi jelas akan menghilangkan keikhlasan
karena tidak didasari dengan keimanan yang benar kepada Allah Swt.
Bagaimana apa Saudara sudah faham tentang ikhlas sebagai nilai landasan
amal manusia supaya bisa menjadi amal shaleh dan bernilai ibadah? Jika nilai

8
keikhlasan seseorang semakin tinggi, berarti akhlaknya kepada Allah Swt. semakin
baik pula. Dan amalnya akan dinilai oleh Allah Swt. sebaliknya apabila disertakan
keinginan untuk dinilai manusia, maka Allah Swt. tidak akan mau menilai dan
didiskualifikasi sebelum dihisab di hadapan-Nya kelak di hari perhidtungan amal.
Allah Swt. berfirman:

‫ت أ َ ْع َماله ْم فَ َال ن ِقيم لَه ْم َي ْو َم‬ َ ‫ت َر ِب ِه ْم َو ِلقَا ِئ ِه فَ َح ِب‬


ْ ‫ط‬ ِ ‫أولَ ِئ ََ الذِينَ َكفَروا ِبآ َيا‬
)105:‫ْال ِقيَا َم ِة َو ْزنًا (الكهف‬
Artinya:
Mereka itu adalah orang-orang yang mengingkari (tidak percaya) dengan ayat-ayat
Tuhannya dan pertemuan dengan-Nya (di akhirat), maka rusaklah amal-amal
mereka. Kami tidak akan melakukan penimbangan amal di hari kiamat kelak (QS.
Al-Kahfi/18: 105)

c. Sabar

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sabar berarti tahan menghadapi


cobaan, tidak lekas marah, putus asa atau patah hati. Sebenarnya kata sabar berasal
dari bahasa arab, yaitu shabara- yashbiru-shabran yang artinya menahan. Kata
lainnya adalah alhabs yang artinya menahan atau memenjarakan. Artinya adalah
menahan hatinya dari keinginan atau nafsunya. Kata sabar dengan aneka ragam
derivasinya memiliki makna yang beragam antara lain: shabara bih yang berarti
“menjamin”. Shabîr yang berarti “pemuka masyarakat yang melindungi kaumnya”.
Dari akar kata tersebut terbentuk pula kata yang berarti “gunung yang tegar dan
kokoh”, “awan yang berada di atas awan lainnya sehingga melindungi apa yang
terdapat di bawahnya”, “batu-batu yang kokoh”, “tanah yang gersang”, “sesuatu
yang pahit atau menjadi pahit”.
Sedangkan menurut istilah sabar didefinisikan oleh para ulama, antara lain:
(1). Shabar adalah sikap tegar dalam menghadapai ketentuan dari Allah. Orang yang
sabar menerima segala musibah dari Allah dengan lapang dada, (2). Sabar adalah
keteguhan hati yang mendorong akal pikiran dan agama dalam menghadapi
dorongan-dorongan nafsu syahwat. (3). Shabar adalah tabah hati tanpa mengeluh
dalam menghadapi godaan dan rintangan dalam jangka waktu tertentu dalam rangka
mencapai tujuan.
Ada juga yang memahami bahwa shabar bermakna kemampuan
mengendalikan emosi, sehingga sabar memiliki padananan nama yang berbeda-beda

9
sesuai dengan objeknya: (1). Shabar adalah ketabahan menghadapi musibah,
sehingga kebalikannya gelisah dan keluh kesah berarti tidak shabar, (2). Shabar itu
dhobith an nafs disebabkan mampu menghadapi dan menahan diri dari godaan hidup
yang menyenangkan, (3). Shabar dalam peperangan disebut pemberani,
kebalikannya disebut pengecut, (4). Shabar dalam menahan marah disebut santun
(hilm), kebalikannya disebut pemarah (tazammur), (5). Shabar dalam menghadapi
bencana yang mencekam disebut lapang dada (ridha), (6). Shabar dalam mendengar
gosip disebut mampu menyembunyikan rahasia, (7). Shabar terhadap kemewahan
disebut zuhud, dan (8). Shabar dalam menerima yang sedikit disebut kaya hati
(qana‟ah) kebalikannya disebut tamak atau rakus.
Dari pengertian-pengertian di atas dapat difahami bahwa shabar itu
merupakan kemampuan menahan atau mengatur diri untuk dapat tetap taat terhadap
aturan-aturan yang benar berdasarkan syariat dalam menjalankan perintah Allah
Swt., menjauhi larangan-Nya dan menerima cobaan, pada waktu tertentu mulai dari
awal sampai selesai. Seperti shabar mengerjakan shalat berarti mulai takbiratul
ihram sampai salam. Seseorang dikatakan shabar dalam shalat jika ia tidak
melanggar aturan-aturan shalat dari mulai takbiratul ihram sampai salam. Dan
shalatnya akan salah, batal atau rusak. Harus mengulang kembali dari awal sampai
akhir tanpa ada pelanggaran, jika mau shalatnya menjadi bagian amal shalih.
Bagaimana kalau ada yang bertanya apa shabar ada batasnya? Jawabnya
“Ada”. Kenapa? Karena sesuatu yang tidak ada batasnya berarti sesuatu itu belum
jelas dan sesuatu yang belum jelas itu masih bersifat umum atau mutlak. Dan sesuatu
yang masih bersifat umum atau masih mutlak atau syubhat itu harus ditinggalkan,
tidak boleh diamalkan sampai ada dalil yang mentakhshish dan mentaqyidnya
sehingga jelas batasnya.
Ayat yang sering difahami oleh sebagian orang sebagai dalil bahwa shabar
tidak ada batasnya adalah QS. Ali Imran/3: 200 sebagi berikut:

‫صا ِبروا َو َرا ِبطوا َواتقوا ّللاَ لَ َعلك ْم ت ْف ِلحونَ (ال‬ ْ ‫َيا أَيُّ َها الذِينَ آ َمنوا ا‬
َ ‫صبِروا َو‬
)200:‫عمران‬
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah terus bersabar dan tetaplah dalam
kesabaran. Bertaqwalah kalian kepada Allah supaya kalian beruntung”.
Kalimat tetaplah kalian dalam kesabaran, karena ayat ini konteknya adalah
dalam kondisi perang yang maksudnya yaitu tetap shabar sampai perang berakhir.

10
Tidak boleh melanggar strategi dan aturan-aturan perang sesuai dengan hukum yang
ditetapkan Allah. Sama dengan tidak boleh melanggar aturan-aturan shalat sampai
shalat berakhir. Apabila melanggar aturan, maka amalnya menjadi amal yang salah,
batal dan rusak. Dan berarti tidak shabar, berarti pula buruk akhlaknya kepada Allah.
Sebab itu shabar memerlukan pengetahuan yang cukup tentang apa yang
sedang diamalkan. Mustahil orang yang bodoh akan dapat shabar, karena
kemungkinan besar ia akan melanggar aturan-aturan yang sudah ditetapkan sebab
tidak mengetahuinya. Nabi Musa AS. tidak bisa shabar mengikuti Nabi Khidir AS.,
dikarenakan Nabi Musa tidak mengetahui apa maksud dan apa yang akan terjadi.
Allah Swt. berfirman:
ْ ‫ص ِبر َعلَى َما لَ ْم ت ِح‬
)68:‫ط ِب ِه خب ًْرا (كهف‬ َ ‫َو َكي‬
ْ َ ‫ْف ت‬
Artinya:
“Bagaimana mungkin engkau dapat bersabar terhadap apa yang engkau belum tahu
persis masalahnya”

d. Syukur

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), syukur diartikan sebagai: (1)
rasa terima kasih kepada Allah, dan (2) untunglah (menyatakan lega, senang dan
sebagainya). Sebenarnya kata syukur berasal dari bahasa Arab yakni dalam bentuk
mashdar dari kata kerja syakara–yasykuru–syukran–wa syukuran–wa syukranan..
Secara bahasa berarti pujian atas kebaikan dan penuhnya sesuatu. Syukur juga berarti
menampakkan sesuatu kepermukaan. Dalam hal ini menampakkan sesuatu
kepermukaan, yakni menampakkan nikmat Allah.
Sedangkan menurut istilah syukur adalah pengakuan terhadap nikmat yang
dikaruniakan Allah yang disertai dengan kedudukan kepada-Nya dan
mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan tuntunan dan kehendak-Nya. Dalam
hal ini, hakikat syukur adalah “menampakkan nikmat,” dan sebaliknya hakikat
kekufuran adalah menyembunyikannya. Menampakkan nikmat antara lain berarti
menggunakannya pada tempat dan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemberi-
Nya, juga menyebut-nyebut nikmat dan pemberi-Nya dengan lidah. M. Quraish
Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur dengan hati,
yakni kepuasaan batin atas anugerah. Kedua, syukur dengan lidah, yakni dengan
mengakui anugerah dan memuji pemberinya. Ketiga, syukur dengan perbuatan,

11
yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan
penganugerahannya.
Kaitannya dengan amal shalih syukur itu menjadi landasan tauhid seseorang
ketika diberikan fasilitas yang enak dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang
hamba di dunia ini. Dengan kata lain dalam beramal ketika fasilitasnya terbatas maka
harus shabar sementara kalau fasilitasnya cukup apalagi berlimpah maka harus
bersyukur. Dalam perspektif amal shalih keduanya (shabar dan syukur)
kedudukannya sama menjadi cara atau ukuran bagi orang yang beriman apakah
tindakannya akan menjadi amal ibadah atau bukan. Rasulullah Saw. bersabda:

‫ " َع ِجبْت ِم ْن أ َ ْم ِر‬:‫سل َم‬ َ ‫صلى للا َع َل ْي ِه َو‬ َ ِ‫ قَا َل َرسول للا‬:‫َع ْن ص َهيْب قَا َل‬
‫ ِإ ْن‬،‫ْس ذَ ِل ََ ِْل َ َحد ِإّل ِل ْلمؤْ ِم ِن‬ َ ‫ َولَي‬،‫ ِإن أ َ ْم َر ْالمؤْ ِم ِن كله لَه َخيْر‬،‫ْالمؤْ ِم ِن‬
َ‫ َكان‬،‫صبَ َر‬ َ َ‫ضراء ف‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ ‫ َوإِ ْن أ‬،‫ َكانَ ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا‬،‫ش َك َر‬
َ ‫سراء‬ َ ‫صابَتْه‬ َ َ‫أ‬
)‫ذَ ِل ََ لَه َخي ًْرا "(رواه احمد‬
Artinya:
Dari Shuhaib berkata: Rasulullah Saw. bersabda: “Saya heran terhadap urusan
orang yang beriman, sesungguhnya semua urusannya akan menjadi kebaikan, dan itu
tidak dapat terjadi keculi bagi orang yang beriman. Jika ia memperoleh kesenangan lalu
ia bersyukur, maka yang demikian itu akan menjadikan kebaikan baginya. Dan jika ia
ditimpa keburukan lalu ia bersabar, maka yang demikian itu juga menjadi kebaikan (HR.
Ahmad)
Pernyataan Rasulullah Saw. tersebut di atas, yang dimaksud menjadi kebaikan
bagi orang yang beriman adalah menjadi amal yang bernilai ibadah. Karena memang
tugas manusia di dunia ini adalah untuk beribadah kepada-Nya. Dan nilai ibadah itu
bentuknya adalah amal shalih, ketakwaan kepada-Nya. Selalu menjadi hamba yang
shalih dalam kondisi apapun, baik sedang dalam kesusahan maupun sedang dalam
kelapangan. Kesusahan dan kesenangan di dunia, bagi seorang yang beriman itu sama
kedudukannya sebagai alat ujian untuk mendapatkan amal shalih sebanyak-banyaknya.
Maaf, Saudara baiknya Jedda dulu, bagaimana setelah baca teks di atas? Sudah
nyambung? Kalau sudah nyambung mari kita lanjutkan.

e. Ridha
Menurut bahasa kata ‫الرضا‬/ridha berasal dari bahasa Arab yang berarti
senang, suka, rela. Ia merupakan lawan dari kata ‫السخط‬/al-sukht yang berarti
kemarahan, kemurkaan, rasa tidak suka. Orang yang ‫الرضا‬/ridha berarti orang yang

12
sanggup melepaskan ketidak senangan dari dalam hati, sehingga yang tinggal di
dalam hatinya hanyalah kesenangan.
Menurut istilah para ulama ridha didefinisikan antara lain oleh; (1). Dzunnun
Al-Miṣri, beliau mengatakan bawa ridha ialah kegembiraan hati dalam menghadapi
qadha tuhan, (2). Ibnu Ujaibah mengatakan bahwa ridha adalah menerima
kehancuran dengan wajah tersenyum, atau bahagianya hati ketika ketetapan terjadi,
atau tidak memilih-milih apa yang telah diatur dan ditetapkan oleh Allah, atau lapang
dada dan tidak mengingkari apa-apa yang datang dari Allah, (3). Al-Barkawi
berpendapat bawa ridha adalah jiwa yang bersih terhadap apa-apa yang menimpanya
dan apa-apa yang hilang, tanpa perubahan. Ibnu Aṭaillah as-Sakandari berkata,
“ridha adalah pandangan hati terhadap pilihan Allah yang kekal untuk hamba-Nya,
yaitu, menjauhkan diri dari kemarahan.
Dari definisi-definisi di atas dapat difahami bahwa ridha itu merupakan
kondisi kejiwaan atau sikap mental yang senantiasa menerima dengan lapang dada
atas segala keputusan Allah Swt. yang terkait dengan diri seorang hamba, baik
berupa karunia yang baik berupa nikmat maupun yang buruk berupa bala’. Ia akan
senantiasa merasa senang dalam setiap situasi yang meliputinya. Sikap seperti inilah
yang dapat menjadikan amal seorang hamba dapat diterima di sisi Allah Swt. dan
merupakan akhlak yang mulia kepada Penciptanya.
Orang yang ridha terhadap cobaan dan musibah yang menimpanya sebenarnya
merasakan apa yang dirasakan manusia pada umumnya. Akan tetapi dia ridha
dengan akal dan imannya, karena dia meyakini besarnya pahala dan balasan atas
musibah dan cobaan tersebut. Oleh karena itu dia tidak menolaknya dan tidak
gelisah. Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, “ridha bukan berarti tidak merasakan bencana.
Akan tetapi, ridha itu berarti tidak menolak qadha dan takdir.
Orang yang jiwanya rela (puas) menerima apapun yang terjadi pada diri
mereka, tidak ada sedikitpun kekecewaan yang melanda dirinya. Orang-orang seperti
inilah yang disebut dengan orang yang ridha . Orang yang ridha sadar bahwa
penderitaan yang menimpanya juga menimpa orang lain, namun dalam bentuk yang
berbeda-beda. Sikap seperti itu muncul karena ia mengimani sepenuhnya rencana
dan kebijaksanaan Allah. Apa yang menimpanya diyakini sebagai ketentuan yang
telah ditentukan oleh Allah kepadanya. Ia menerima dan mensikapi dengan senang
hati sehingga ia dapat terhindar dari kebencian terhadap manusia, karena seseorang
yang berusaha mencari ridha Allah tidak peduli terhadap komentar apapun dari

13
orang lain mengenai dirinya, dan hal itu tidak membuatnya sakit hati, sehingga
hatinya menjadi tenang dan jauh dari gejolak dan gelisah.
Bagaimana hubungannya dengan amal shalih? Ridha terhadap keputusan
Allah Swt. merupakan syarat diterimanya penghambaan seseorang. Siapa yang tidak
ridha dengan keputusan dan takdir-Nya dia tidak berhak mengakui Allah sebagai
Tuhannya. Dan berarti amalnya akan didiskualifikasi, tidak akan dihitung dalam
perhitungan di yaum al-hisab kelak. Karena Allah Swt. tidak ridha dengan
akhlaknya. Sebagaimana diriwayatkan dalam sebuah hadis Qudsi dari Anas bin
Malik sebagai berikut:

َ ‫صلى ّللا َعلَ ْي ِه َو‬


‫ قَا َل‬:‫سل َم يَقول‬ َ ِ‫س ِم ْعت َرسو َل للا‬َ :‫عن أ َنَس بِ ْن َما ِلَ قَا َل‬
‫س َربًّا َغي ِْري "(رواه‬ ْ ‫ضائِي َوقَدَ ِري فَ ْليَ ْلت َ ِم‬ َ ‫ " َم ْن لَ ْم يَ ْر‬:‫للا ت َ َعالَى‬
َ َ‫ض بِق‬
)‫البيهقي‬
Atinya:
Dari Anas bin Malik berkata, saya mendengan Rasulullah Saw. bersabda,
Allah Swt. berfirman, “Siapa yang tidak ridha dengan keputusan dan takdirku, maka
hendaknya mencari dan memohon doa kepada Tuhan selain Aku” (HR. Baihaki)

14

Anda mungkin juga menyukai