Anda di halaman 1dari 21

RESUME JURNAL GEOLOGI FISIK

BAB V SEDIMEN

NAMA : ILAL HAMDI

NIM : 19137021

JADWAL : SELASA, 10.40-12.20

DOSEN PENGAMPU :

HERI PRABOWO, S.T.,M.T.

TEKNIK PERTAMBANGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2020
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Batuan Sedimen

B. Struktur Batuan Sedimen

C. Tekstur Batuan Sedimen

D. Penggolongan Batuan Sedimen

E. Klasifikasi Penamaan Batuan Sedimen

BAB 3

KESIMPULAN

A. Resume bahasa Indonesia

B. Resume bahasa Inggris


BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam geologi, batu (tunggal) dan batuan (jamak) adalah benda padat atau
solid yang tebuat secara alami dari mineral dan atau mineraloid. Lapisan luar
padat Bumi, litosfer, terbuat dari batuan. Dalam batuan umumnya adalah tiga jenis,
yaitu batuan beku, sedimen, dan metamorf. Penelitian ilmiah mengenai batu-batuan
disebut dengan istilah petrologi, dan petrologi merupakan komponen penting
dari geologi. Disiplin ilmu yang mempelajari sifat-sifat dan asal batuan sedimen
disebut (sedimentologi). Sedimentologi adalah ilmu yang mempelajari sedimen atau
endapan (Wadell, 1932)dalam Santosa, 2013). Sedimentasi adalah suatu proses
pengendapan material yang ditransport oleh media air, angin, es, atau gletser di suatu
cekungan.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian konsep batuan sedimen?


2. Apa saja struktur batuan sedimen?
3. Bagaimana tekstur batuan sedimen?
4. Apa saja penggolongan batuan sedimen?
5. Apa saja klasifikasi penamaan batuan sedimen?

C. Tujuan

1. Agar dapat memahami pengertian konsep dari batuan sedimen


2. Agar mengetahui apa saja struktur batuan yang terdapat pada batuan sedimen
sedimen
3. Agar memahami dan mengetahui tekstur dari batuan sedimen
4. Agar dapat memahami dan mengetahui penggolongan dari batuan sedimen
5. Agar dapat paham tentang pengelasifikasi penamaan dari batuan sedimen
BAB 2

PEMBAHASAN

A. Pengertian Batuan Sedimen

Batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk di permukaan bumi pada kondisi
temperatur dan tekanan yang rendah. Batuan ini berasal dari batuan yang lebih dahulu
terbentuk, yang mengalami pelapukan, erosi, dan kemudian lapukannya diangkut oleh
air, udara, atau es, yang selanjutnya diendapkan dan berakumulasi di dalam cekungan
pengendapan, membentuk sedimen. Material-material sedimen itu kemudian
terkompaksi, mengeras, mengalami litifikasi, dan terbentuklah batuan sedimen.
Batuan sedimen meliputi 75% dari permukaan bumi. Diperkirakan batuan sedimen
mencakup 8% dari total volume kerak bumi.

Menurut ( Pettijohn, 1975 ) batuan sedimen adalah batuan yang terbentuk dari
akumulasi material hasil perombakan batuan yang sudah ada sebelumnya atau hasil
aktivitas kimia maupun organisme, yang di endapkan lapis demi lapis pada
permukaan bumi yang kemudian mengalami pembatuan.

B. Struktur Batuan Sedimen

1. Struktur sedimen primer

Struktur di batuan sedimen dapat dibagi ke dalam struktur 'primer' (terbentuk


selama pengendapan) dan struktur 'sekunder' (terbentuk setelah pengendapan). Tidak
seperti tekstur, struktur selalu berbentuk fitur skala besar pada batuan yang dapat
dengan mudah dipelajari di lapangan. Struktur sedimen dapat menunjukkan sesuatu
tentang lingkungan pengendapan sedimen atau dapat berfungsi untuk mengindikasi di
bagian mana batuan tersebut berada ketika sebelum terjadi pembalikan maupun gaya
tektonik lainnya.

Batuan sedimen yang tersusun berlapis-lapis disebut lapisan atau strata. Sebuah
lapisan didefinisikan sebagai lapisan batuan yang memiliki litologi dan tekstur yang
seragam . Lapisan terbentuk oleh pengendapan lapisan sedimen di atas satu sama lain.
Urutan lapisan yang mencirikan batuan sedimen disebut perlapisan. Lapisan tunggal
dapat memiliki ketebalan dari beberapa sentimeter hingga beberapa meter. Lapisan
yang lebih halus dan kurang terlihat disebut laminae, dan struktur yang terbentuk di
batuan disebut laminasi. Ketebalan laminae biasanya kurang dari beberapa
sentimeter. Meskipun perlapisan dan laminasi umumnya dimulai dalam keadaan
horizontal di alam, hal ini tidak selalu terjadi. Pada beberapa lingkungan tertentu,
lapisan-lapisan diendapkan pada sudut tertentu . Kadang-kadang beberapa set lapisan
dengan orientasi yang berbeda berada di batuan yang sama, struktur yang disebut
perlapisan- silang siur ( cross bedding). Perlapisan - silang siur terjadi ketika erosi
skala kecil terjadi selama deposisi, memotong bagian perlapisan. Perlapisan yang
baru lalu terjadi membentuk sudut terhadap perlapisan yang lebih tua.

Kebalikan dari perlapisan - silang siur adalah paralel laminasi, di mana setiap lapisan
sedimen saling sejajar satu sama lain. Pada laminasi, perbedaan umumnya disebabkan
oleh perubahan siklus dalam pasokan sedimen yang disebabkan, misalnya, oleh
perubahan musiman dalam curah hujan, suhu atau kegiatan biokimia . Lamina yang
mewakili perubahan musim (mirip dengan lingkaran pohon) disebut varve. Setiap
batuan sedimen terdiri dari lapisan dengan skala milimeter bahkan lebih halus lagi
yang diberi nama dengan istilah umu laminit. Beberapa batuan tidak memiliki
laminasi sama sekali; karakter struktural mereka disebut struktur masif.

Perlapisan berusun (graded bedding) adalah struktur dimana lapisan dengan ukuran
butir yang lebih kecil terjadi di atas lapisan dengan butiran lebih besar. Struktur ini
terbentuk ketika air yang mengalir cepat berhenti mengalir. Klas - klas yang lebih
besar dan berat mengendap lebih dulu baru kemudian klas - klas yang lebih kecil.
Meskipun perlapisan bersusun dapat terbentuk dalam berbagai lingkungan yang
berbeda, struktur ini adalah karakteristik utama pada arus turbidit. Bentuk lapisan
(bedform atau bentuk permukaan perlapisan tertentu) dapat menjadi indikasi untuk
lingkungan sedimen tertentu juga. Contoh - contoh bentuk lapisan termasuk bukit
(dune) dan tanda riak (ripple mark). Tapak riak (sole mark), seperti tanda alat (tool
mark) dan cetakan suling (flute cast), merupakan hasil galian pada lapisan sedimen
yang diawetkan. Bentuknya memanjang dan sering digunakan sebagai indikasi arah
aliran pada saat proses pengendapan berlangsung.

Tanda riak juga terbentuk dalam air yang mengalir. Ada dua jenis: gelombang riak
asimetris (asymmetric wave ripples) dan arus riak simetris (symmetric current
ripples). Lingkungan di mana saat ini berada dalam satu arah, seperti sungai,
menghasilkan riak asimetris. Semakin lama sayap riak tersebut berorientasi
berlawanan dengan arah arus. Gelombang riak terjadi dalam lingkungan di mana arus
terjadi pada semua arah, seperti permukaan pasang surut.

Lumpur retak atau mudcrack terbentuk akibat dehidrasi sedimen yang kadang-kadang
terjadi di atas permukaan air. Struktur seperti ini umumnya ditemukan di permukaan
pasang surut atau titik bar (point bar) di sepanjang sungai.

2. Struktur sedimen sekunder

Struktur sedimen sekunder adalah struktur pada batuan sedimen yang terbentuk
setelah pengendapan. Struktur tersebut terbentuk oleh proses kimia, fisika dan biologi
di dalam sedimen. Mereka bisa menjadi indikator untuk keadaan lingkungan setelah
deposisi. Beberapa dapat digunakan sebagai kriteria umur relatif batuan.

Kehadiran material organik dalam sedimen dapat meninggalkan jejak lebih dari
sekadar fosil. Jejak- jejak terawetkan dan liang (burrow) adalah contoh jejak fosil
(juga disebut ichnofossil).[ Beberapa jejak fosil seperti cetakan kaki dinosaurus atau
manusia purba dapat menangkap imajinasi manusia, tetapi jejak tersebut relatif
jarang. Kebanyakan fosil jejak adalah liang moluska atau arthropoda. Burrowing ini
disebut bioturbasi oleh ahli sedimentologi. Bioturbasi dapat menjadi indikator yang
berharga dari lingkungan biologi dan ekologi setelah sedimen diendapkan. Di sisi
lain, aktivitas burrowing organisme dapat menghancurkan struktur-struktur sedimen
primer lain, yang membuat rekonstruksi menjadi lebih sulit.

Struktur sekunder juga dapat terbentuk oleh diagenesis atau pembentukan tanah
(pedogenesis) ketika sedimen tersingkap di atas permukaan air. Contoh struktur
diagenesa umum dalam batuan karbonat adalah stylolit. Stylolit adalah bidang yang
tidak teratur di mana material terlarutkan menjadi pori-pori fluida di dalam batuan.
Hasil presipitasi dari spesies kimia tertentu dapat mewarnai batuan, atau disebut juga
pembentukan konkresi (concretion). Konkresi merupakan kurang lebih tubuh
konsentris dengan komposisi yang berbeda dari batuan induk. Pembentukan mereka
dapat terjadi akibat presipitasi lokal akibat perbedaan kecil dalam komposisi atau
porositas batuan induk, seperti di sekitar fosil, di dalam liang atau di sekitar akar
tanaman. Pada batuan karbonat seperti batugamping dan rijang, konkresi mudah
ditemukan. Sedangkan batupasir terestrial dapat memiliki konkresi besi. Konkresi
kalsit di batulempung disebut konkresi septarian.

Setelah pengendapan, proses fisik dapat merusak sedimen, membentuk struktur-


struktur sekunder kelas tiga. Kontras densitas antar setiap lapisan sedimen yang
berbeda, seperti antara pasir dan lempung, bisa mengakibatkan struktur api (flame
structure) atau cetakan beban (load cast), yang dibentuk oleh diapirisme
terbalik. Diapirisme menyebabkan lapisan atas yang lebih padat tenggelam ke dalam
lapisan lainnya. Kadang-kadang, kontras densitas dapat terjadi ketika salah satu
satuan batuan mengalami dehidrasi. Lempung dapat dengan mudah dikompresi
sebagai akibat dari dehidrasi, sedangkan pasir mempertahankan volume yang sama
namun menjadi relatif kurang padat akibat dehidrasi. Di sisi lain, ketika tekanan
fluida pori di dalam lapisan pasir melampaui titik kritis, pasir dapat mengalir melalui
lapisan lempung di atasnya, membentuk tubuh diskordan dari batuan sedimen yang
disebut dike sedimen (proses yang sama dapat membentuk gunung berapi lumpur di
permukaan).

Sebuah dike sedimen juga dapat terbentuk di iklim dingin di mana tanah secara
permanen beku selama hampir sepanjang tahun. Pelapukan frost dapat membentuk
retakan di tanah yang dapat terisi dengan puing-puing dari atas. Struktur tersebut
dapat digunakan sebagai indikator iklim urutan pembentukan.

Kontras padatan juga dapat menyebabkan patahan skala kecil, bahkan saat
sedimentasi berlangsung (syn-sedimentaru fault). faulting tersebut juga dapat terjadi
ketika massa besar sedimen tak terlitifikasi tersimpan di lereng, seperti di sisi depan
dari delta atau lereng benua. Ketidakstabilan dalam sedimen tersebut dapat
mengakibatkan longsor (slumping). Struktur yang dihasilkan pada batuan akibat
proses tersebut yakni lipatan dan patahan sinsedimentasi, yang sulit sekali dibedakan
dengan patahan dan lipatan yang diakibatkan oleh gaya tektonik .

C. Tekstur Batuan Sedimen

Ukuran, bentuk dan orientasi klas atau mineral dalam batuan disebut tekstur.
Tekstur adalah sifat-sfiat skala kecil dari batuan, namun tekstur juga cukup banyak
ditentukan oleh sifat-sifat batuan skala besar, seperti kepadatan, porositas atau
permeabilitas.

Batuan sedimen klastik memiliki 'tekstur klastik', yang berarti mereka terdiri dari
klas-klas. Orientasi tiga dimensi dari klas-klas disebut fabrik batuan. Antara setiap
klas-klas, batuan dapat terdiri dari matriks atau semen (yang terakhir dapat terdiri dari
kristal yang berasal dari satu atau lebih mineral presipitasi). Ukuran dan bentuk klas-
klas dapat digunakan untuk menentukan kecepatan dan arah arus di lingkungan
pengendapan di mana batuan itu terbentuk; batulempung gampingan berbutir halus
hanya terendapkan di air tenang sementara kerikil dan klas-klas yang lebih besar
hanya terendapkan oleh air yang bergerak cepat. Ukuran butir batuan biasanya
dinyatakan dengan skala Wentworth, namun skala alternatif kadang-kadang
digunakan. Ukuran butir dapat dinyatakan sebagai diameter atau volume, dan selalu
nilai rata-rata karena batuan terdiri dari klas-klas dengan ukuran yang berbeda.
Distribusi statistik dari ukuran butir yang berbeda untuk jenis batuan yang berbeda
dijelaskan dalam sifat yang disebut pemilahan batuan (sortasi). Ketika semua klas
kurang lebih berukuran sama, batuan disebut 'sortasi baik', dan ketika ada variasi
yang cukup besar dari ukuran klas/butir, batuan disebut 'sortasi buruk'.

Bentuk butiran dapat mencerminkan asal batuan :

Coquina, batuan yang terdiri dari klas kerang yang rusak, hanya dapat terbentuk
dalam air energetik. Bentuk klas dapat dijelaskan dengan menggunakan empat
parameter

 Tekstur permukaan menggambarkan relief skala kecil permukaan butiran yang


terlalu kecil untuk dapat mempengaruhi bentuk umumnya.
 Kebundaran atau roundness menggambarkan kehalusan bentuk butir
 Kebulatan atau sphericity menggambarkan sejauh mana bentuk butir atau klas
mendekati bola.
 Bentuk butir menggambarkan bentuk tiga dimensi dari butir.
Batuan sedimen kimia memiliki tekstur non-klastik, yang terdiri sepenuhnya dari
kristal. Untuk menggambarkan tekstur batuan tersebut, hanya ukuran rata-rata kristal
dan fabrik yang diperlukan.

D. Penggolongan Batuan Sedimen

1. Berdasarkan tenaga yang mengangkut hasil pelapukan dan erosi batuan sedimen
dapat digolongkan atas 3 bagain :
a. Sedimen Aquatis, yaitu sedimen yang diendapkan oleh tenaga air. Contohnya :
batu pasir, batu konglomerat, batu breksi
b. Sedimen Aeolis atau Aeris, yaitu sedimen yang diendapkan oleh tenaga angin.
Contohnya : tanah loss, sand dunes, tanah tuff, gurun pasir
c. Sedimen Glassial, yaitu sedimen yang diendapkan oleh gletser.
Contohnya : moraine, drumlin

Penggolongan batuan sedimen yang didasarkan pada cara pengendapannya, dapat


dikelompokkan menjadi 3 macam, yaitu :

a. Sedimen Klastis, sedimen klastik adalah adalah akumulasi partikel-partikel


yang berasal dari pecahan batuan dan sisa-sisa kerangka organisme yang telah
mati.
b. Sedimen Kimiawi, batuan sedimen kimiawi yaitu yang terangkut dalam
bentuk larutan kemudian diendapkan secara kimia di tempat lain. Contoh :
limestone, chalk, travertine, mergel, dolomite.
c. Sedimen Organik/organogen, batuan sedimen organik /orgasen, yaitu batuan
sedimen yang dibentuk atau diendapkan oleh organisme. Contoh batubara,
endapan diatomae, batu karang.

E. Klasifikasi Penamaan Batuan Sedimen

Berdasarkan proses yang bertanggung jawab untuk pembentukan mereka,


batuan sedimen dapat dibagi menjadi empat kelompok: batuan sedimen klastik,
batuan sedimen biokimia (atau biogenik), batuan sedimen kimia dan kategori
keempat untuk "kategori lainnya" adalah untuk batuan sedimen yang dibentuk oleh
dampak vulkanisme, dan proses-proses minor lainnya.

1. Batuan sedimen klastik


Batuan sedimen klastik terdiri dari mineral silikat dan fragmen batuan yang diangkut
menggunakan fluida yang bergerak (sebagai bed load, suspended load, atau sebagai
sedimen aliran gravitasi) dan terendapkan ketika fluida ini berhenti. Batuan sedimen
klastik sebagian besar terdiri dari kuarsa, feldspar, fragmen batuan (litik), mineral
lempung, dan mika; banyak mineral lainnya dapat hadir sebagai mineral aksesoris
dan mungkin penting secara lokal.

Sedimen klastik, dan akhirnya menjadi batuan sedimen klastik, dibagi sesuai dengan
ukuran partikel yang dominan (diameter). Kebanyakan ahli geologi menggunakan
skala ukuran butir Udden-Wentworth dan membagi sedimen terkonsolidasi menjadi
tiga fraksi: kerikil (diameter> 2 mm ), pasir (diameter 1/16 hingga 2 mm ), dan
lumpur (lempung berdiameter <1/256 mm sedang lanau berdiameter antara 1/16 dan
1/256 mm). Klasifikasi batuan sedimen klastik sejajar skema
ini; konglomerat dan breksi sebagian besar terbuat dari kerikil, batupasir sebagian
besar terbuat dari pasir, dan batulumpur sebagian besar terbuat dari lumpur. Subdivisi
tripartit ini mirip dengan pembagian kategori pada literatur yang lebih tua
yakni rudit, arenit, dan lutit.

Subbagian tiga kategori luas ini didasarkan pada perbedaan dalam bentuk klas
(konglomerat dan breksi), komposisi (batupasir), ukuran butir dan / atau tekstur
(batulumpur).

2. Batuan sedimen biokimia

Batuan sedimen biokimia dibuat ketika biota menggunakan bahan terlarut di udara
atau air untuk membangun jaringan mereka. Contohnya termasuk:

Sebagian besar batugamping yang terbentuk dari kerangka biota berkapur


seperti karang, moluska, dan foraminifera.

Batubara, terbentuk dari tanaman yang menghilangkan karbon dari atmosfer dan
mengkombinasikannya dengan unsur-unsur lain untuk membentuk jaringannya.
Endapan rijang terbentuk dari akumulasi kerangka mengandung silika dari biota
mikroskopis seperti radiolaria Dan diatom.

3. Batuan sedimen kimia

Batuan sedimen kimia terbentuk ketika konstituen mineral dalam larutan menjadi
jenuh dan terpresipitasi secara anorganik . Batuan sedimen kimia yang umum
meliputi batugamping oolitik dan batuan-batuan yang terdiri dari mineral evaporit,
seperti halit (batuan garam), silvit, barit dan gypsum.

4. Lain-lain

Kategori keempat ini termasuk batuan yang terbentuk oleh arus


piroklastik, breksi impact, breksi vulkanik, dan proses relatif jarang lainnya.

Skema klasifikasi batuan sedimen berdasarkan komposisi, alternatif klasifikasi


batuan sedimen dapat dibagi menjadi grup-grup komposisional berdasarkan
mineraloginya:

 Batuan sedimen silisiklastik


 Batuan sedimen karbonatan
 Batuan sedimen evaporit
 Batuan sedimen karya organik
 Batuan sedimen silikaan
 Batuan sedimen kaya besi
 Batuan sedimen fosfat

Klasifikasi lebih lanjut

1. Berdasarkan proses pengendapannya

 batuan sedimen klastik (dari pecahan pecahan batuan sebelumnya)


 batuan sedimen kimiawi (dari proses kimia)
 batuan sedimen organik (pengedapan dari bahan organik)

2. Berdasarkan tenaga alam yang mengangkut

 batuan sedimen aerik (udara)


 batuan sedimen aquatik (air sungai)
 batuan sedimen marin (laut)
 batuan sedimen glastik (gletser)

3. Berdasarkan tempat endapannya

 batuan sedimen limnik (rawa)


 batuan sedimen fluvial (sungai)
 batuan sedimen marine (laut)
 batuan sedimen teistrik (darat)

Penamaan batuan sedimen biasanya berdasarkan besar butir penyusun batuan tersebut.
Penamaan tersebut adalah: breksi, konglomerat, batupasir, batulanau, batulempung.

 Breksi adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih besar dari 2 mm dengan
bentuk butitan yang bersudut
 Konglomerat adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih besar dari 2 mm
dengan bentuk butiran yang membudar
 Batu pasir adalah batuan sedimen dengan ukuran butir antara 2 mm sampai 1/16 mm
 Batu lanau adalah batuan sedimen dengan ukuran butir antara 1/16 mm sampai
1/256 mm
 Batu lempung adalah batuan sedimen dengan ukuran butir lebih kecil dari 1/256 mm
BAB 3

KESIMPULAN

Dari hasil review jurnal Geologi mengenai Batuan Sedimen dengan menggunakan
10 jurnal Batuan Sedimen berbahasa Indonesia dan 10 jurnal berbahasa Inggris dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut :

A. Resume bahasa Indonesia

Dari 10 jurnal yang di review dapat di tarik kesimpulan yaitu batuan sedimen
adalah batuan yang terbentuk di permukaan bumi pada kondisi temperatur dan
tekanan yang rendah. Batuan ini berasal dari batuan yang lebih dahulu terbentuk,
yang mengalami pelapukan, erosi, dan kemudian lapukannya diangkut oleh air, udara,
atau es, yang selanjutnya diendapkan dan berakumulasi di dalam cekungan
pengendapan, membentuk sedimen. Setiap jurnal memiliki pembahasan yang berbeda
pada jurnal Prediksi Sedimentasi Kali Mas Surabaya Perhitungan Sedimentasi di Kali
Mas pada titik pengamatan Jembatan Yos Sudarso dan Jembatan Petekan. Besarnya
Debit yang terukur di Jembatan Yoa Sudarso = 8.75 m3/dt dan di Jembatan Petekan =
29.35 m3/dt. Perhitungan Suspended Load di Jembatan Yoa Sudarso = 18 m3/hari
dan di Jembatan Petekan = 58.05 m3/hari. Perhitungan Bed Load di Jembatan Yoa
Sudarso = 16.90 m3/hari dan di Jembatan Petekan = 35.60 m3/hari. Perhitungan Total
Sedimen ( Total Load ) di Jembatan Yos Sudarso = 544.35 m3/hari dan di Jembatan
Petekan = 913.65 m3/dt. Pada jurnal Prediksi Peningkatan Sedimentasi Dengan
Metode Angkutan Sedimen (Studi Kasus Sedimentasi Di Waduk Mrica) Hasil
Analisis debit sedimen mulai dari tahun 2005 - 2014 mengalami kenaikan dan
penurunan yang dipengaruhi oleh debit aliran yang terjadi di Sungai Serayu di hulu
Waduk Mrica. Dan prediksi sampai 10 tahun mendatang (2015-2024) debit sedimen
mengalami peningkatan setiap tahunnya dengan rerata peningkatan 11,11 %. Pada
jurnal Arah arus laut di pantai-pantai Bengkulu dari arah utara menuju selatan
menyusuri pantai, pada pantai di pelabuhan Tapak Paderi arah arus nya juga
menyusuri pantai arahnya dari Utara ke arah Selatan sebagian arus ini bergenti pada
pintu masuk Pelabuhan Tapak Paderi 2. Arus yang menyusuri pantai Tapak padri
seabagian besar membawa sedimen yang berasal dari muara air Sungai Air Bengkulu
3. Kandungan sedimen yang cukup besar dari air Bengkulu diakibatkan oleh adanya
perubahan penggunaan tata guna lahan pada hutan di hulu sungai dan sepanjang DAS
(daerah aliran sungai) dan adanya penambangan Batu Bara pada hulu sungai dan
sepanjang DAS air Bengkulu 4. Bangunan pantai yang diperlukan untuk
mengendalikan sedimentasi pada pintu masuk dan kolam pelabuhan adalah bangunan
pantai Groyns, yang dipasang tegak lurus pantai Tapak Padri. 5. Bangunan pantai
Groyns ini berfungsi sebagai penghalang sedimen masuk area pintu pelabuhan dan
Groyns ini juga berfungsi sebagai bangunan penagkap sedimen yang dibawa oleh
arus laut yang menyusuri pantai pada pantai sepanjang patai Tapak Paderi dan muara
sungai air Bengkulu. Pada jurnal Analisi Logam Pb, Mn, Cu, dan Cd Pada Sedimen
Di Pelabuhan Jetty Meulaboh, Aceh Barat Berdasarkan hasil analisis kandungan
logam Pb, Mn, Cu dan Cd pada sedimen di kawasan Pelabuhan Jetty Meulaboh
menunjukkan bahwa kandungan logam mangan (Mn) di ketiga Stasiun pengamatan
telah melewati baku mutu yang ditetapkan oleh Australian and New Zealand
Environment and Conservation Council (ANZECC, 2000). Sementara untuk logam
timbal (Pb) yang telah melewati baku mutu terdapat di Stasiun 1 dan untuk logam Cu
hanya Stasiun 3 yang telah melewati baku mutu. Logam yang tidak terdeteksi pada 3
Stasiun pengamatan yaitu logam Cd. Pada jurnal Hasil analisis power spectrum
menunjukkan 2 diskontinuitas yang masing-masing pada kedalaman rata-rata 2,7 km
dan 25,6 km. Diskontinuitas dangkal berkaitan dengan kedalaman batuan dasar
cekungan sedimentasi Tersier, sedangkan diskontinuitas yang lebih dalam merupakan
diskontinuitas Mohorovicic. Pada jurnal Analisis Sedimentasi di Muara Sungai
Panasen Perhitungan total angkutan sedimen di sungai Panasen berdasarkan rumus
empiris dengan metode Einsten dan metode Bagnold yang dihitung berdasarkan debit
dominan memberikan hasil sebagai berikut: 1. Metode Einsten Qdominan= 1,267 m 3
/det, maka Qtotal = 895,6224 m 3 /tahun 2. Metode Bagnold Qdominan = 1,267 m 3
/det, maka Qtotal = 1419,5461 m 3 /tahun Berdasarkan hasil perhitungan total
angkutan sedimen di muara sungai Panasen diperoleh bahwa metode Bagnold
memberikan hasil yang paling besar. Pada jurnal ASAL SEDIMEN BATUPASIR
FORMASI JATILUHUR DAN FORMASI CANTAYAN DAERAH
TANJUNGSARI DAN SEKITARNYA, KECAMATAN CARIU, KABUPATEN
BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT 1. Batupasir Formasi Jatiluhur secara
mikroskopis merupakan jenis Feldspatic Wacked. 2. Formasi Cantayan merupakan
jenis Lithic Arenite. 3. Berdasarkan komposisi dan ciri butiran yang diamati,
batupasir Formasi Jatiluhur berasal dari batuan beku plutonik, sedangkan batupasir
Formasi Cantayan berasal dari batuan beku vulkanik. 4. Hasil klasifikasi pada
diagram segitiga provenance oleh Dickinson dan Suczek, 1979, batupasir Formasi
Jatiluhur dan Formasi Cantayan berasal dari batuan yang berada pada tatanan tektonik
busur magma (Magmatic Arc) yang mana Formasi Jatiluhur bersumber dari area
Dissected Arc, sedangkan Formasi Cantayan berasal dari area Transitional Arc –
Undissected Arc. Pada jurnal Batuan sedimen halus kelompok mandai berdasarkan
analisis scanning electron microscope(SEM) Berdasarkan hasil analisa SEM, maka
kehadiran mineral lempung yang berupa smektit, kaolinit, illit dan kuarsa autigenik,
menunjukkan bahwa tujuh contoh batuan sedimen halus termasuk ke dalam tingkat
diagenesis dari tingkat mesodiagenesis tengah sampai tingkat mesodiagenesis tingkat
menengah. Batuan sedimen halus Kelompok Mandai tersebut pernah mengalami
penimbunan sampai ke ° ° kedalaman 1750-2500 m dengan suhu 55 -80 C. Pada
jurnal ANALISIS ANGKUTAN SEDIMEN PADA SUNGAI MANSAHAN Pada
sungai Mansahan di ruas terpilih yang dibagi beberapa ruas terjadi erosi dan
sedimentasi perlu di teliti lebih lanjut untuk mengetahui lebih terinci perubahan
morfologi sungai yang terjadi. Pada jurnal Peringkat batubara di daerah Linggapura
termasuk ke dalam bituminus yaitu masuk peringkat high volatile sampai low
volatile.
B. Resume bahasa Inggris

From the ten journals of sediment rock we can conclude several things. In journal
ARSENIC IN U.K. ESTUARINE SEDIMENTS AND ITS AVAILABILITY TO
BENTHIC ORGANISMS Size is not such an important factor controlling arsenic
concentration in Scrobicularia compared with other metals (Bryan & Uysal, 1978)
except perhaps in populations in poor condition or where growth is slow. When
comparing populations, however, it may be more reliable to avoid animals at extreme
ends of the size range. In journal Detrital sedimentary rock classification
andnomenclature for use in New Zealand Two examples of sandstone name that
might result from the combination of terms given above follow: (1) Pale greenish-
grey, indurated, cross-laminated, well sorted, bimodal, medium and fine sandstone:
calcite-cemented, glauconitic, quartzarenite. (2) Dark grey, well indurated, graded-
bedded, poorly sorted, muddy, fine sandstone: lithic feldsarenite. The basic
framework of the classification is sufficiently broad, and the rules of nomenclature
sufficiently self-explanatory, that standardisation of usage is practicable. The goal of
standardisation within New Zealand is important for the purpose of communication
and is even more important in view of the growing emphasis on retrieval of
computerised data. In journal ADAPTATION OF THE POLYCHAETE NEREIS
DIVERSICOLOR TO ESTUARINE SEDIMENTS CONTAINING HIGH
CONCENTRATIONS OF HEAVY METALS It has been shown that Nereis
diversicolor can live successfully in estuarine sediments when the total concentration
of copper ranges from about 20 /ig/g in low-copper areas to more than 4000 /ig/g
when chronic mining pollution is encountered. The concentration of copper in the
animals increases with that in the sediment and, although variation is considerable,
the mean animal/sediment concentration ratio is 0-44. In journal Sedimentation
Future Prediction for Aswan High Dam Reservoir Using Mathematical Model Delft
3D Using a long term scenarios of flow reduction will reduce the water levels at
AHDR which appear clearly in the estimated water levels hydrograph of flow
reduction scenarios (G and J) but when using short term reduction scenarios, the
water levels will reach critical water levels especially at scenario G which means that
the execution of filling of any future reservoir (like Gerd Dam) on Nile basin should
use the long term filling scenarios. In journal Two-dimensional numerical simulation
of sediment transport using The comparison of the relative sediment
concentrationcomputed by the continuous deposition and selectivedeposition theories
indicated that selective deposition yieldsmore realistic prediction results. Therefore,
the existence ofcritical deposition shear stress has been proven. In journal Regularity
of sediment transport and sedimentation during floods in the lower Yellow River,
China The sediment transport rate at downstream hydrologicalstations was strongly
correlated with the sediment con-centration at upstream hydrological stations
duringfloodevents. Correlations were established forfloods ofdifferent magnitudes
between the average sedimenttransport rate at a given station and the average
sedimentconcentration at the closest upstream station forfivestations in the LYR. The
correlations between the sedimenttransport rate and the sediment concentration
werestrongest forfloodswithmagnitudesofbetween3,000and 4,000
m3/s.Floodswithmagnitudesbetween2,000and 3,000 m3/s were ranked second. Floods
with magni-tudes greater than 4,000 m3/s were ranked third. Corre-lations were the
weakest forfloods with magnitudes lessthan 2,000 m3/s, although the correlation
coefficientswere between 0.68 and 0.78. In journal Experimental determination
parameters in sedimentary rock of subcritical crack growth Understandingth e
fundamentacl ontrolso n subcritical behavior may enable the prediction of subcritical
propertiesf rom indirect data such as depositionael nviron-' ment and diagenetich
istory. Coupledw ith geomechanical modeling( as depictedi n Fig. 1), the
stratigraphoyf fracture propertiesc ouldb e a powerfult ool for predictingb ed-to-bed
variationsin naturalf racturen etworkg eometry. In journal Rapid Benzene
Degradation in Methanogenic Sediments from a Petroleum-Contaminated Aquifer
data demonstrating that methanogenesis was the predominant TEAP were not
provided and the fate of the benzene that disappeared was not determined.
Furthermore, there was a lag period of over 140 days prior to benzene loss, which
suggested that the microorganisms in the sediment were not adapted for benzene
degradation at the time of collection. Other studies have found that benzene persists
under methanogenic conditions in aquifer sediments or enrichment cultures
established with aquifer sediments. In journal Experimental study of fow pattern and
sediment behavior near the intake structures using the spur dike and skimming wall
By using the skimming wall and spur dike, a trench is formed toward the intake port.
Results showed that in the condition with skimming wall combined with spur dike,
the amount of sediment entering the intake decreased up to 81%. Combined
skimming wall and spur dike has a higher efect on reducing sediments entering intake
(15%) compared to the conditions with skimming wall alone. In journal
Determination of mineralization stages using correlation between geochemical fractal
modeling and geological data in Arabshah sedimentary rock-hosted epithermal gold
deposit, NW Iran Combination between the S-A fractal modeling and factor analysis
for geochemical data with respect to geological evidences in the Arabshah deposit
demonstrated that there are three stages for Au mineralization. Based on the fractal
modeling and geological data, main mineralization stage occurs in the central part of
the area which is associated with the NE-SW and NW-SE trending faults and altered
intrusive rocks. There are F2 (Au-Mn) and Au concentrations greater than 0.3 and
800 ppb, respectively. This indicates that there is a major stage of gold
mineralization. The main mineralization phase obtained by the fractal model has
correlation with C and D phases derived via geological data including arsenian
pyrites, realgar, orpiment and oxidized sulfides. Pre-mineralization (first stage) has
Au content lower than 80 ppb and F2 value less than 0.1. This stage is characterized
with decalcification and acid leaching. First part of the second stage (phase A) with
Au grades between 80 and 350 ppb is situated in the northern, central and
southeastern parts of the study area. This phase mostly contains base metal sulfides
associated with trace pyrites and arsenian pyrites. Second mineralization stage
contains Au and F2 values of 350–800 ppb and 0.2–0.3, respectively, with association
of silicification and further sulfide minerals’ deposition.

Anda mungkin juga menyukai