Anda di halaman 1dari 6

BULETIN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA

VOLUME 22, NO. 2, DESEMBER 2014: 94 – 99 ISSN: 0854-7108

Prinsip Emik dalam Memahami Dinamika Psikologis


Pasien Scizophrenia di Jawa
Novita D. Anjarsari1

Program Magister Profesi Psikologi


Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada

Pengantar1 Dalam salah satu buku trilogi memoar


“Aku Tahu Aku Gila”, karya Bahril
Schizophrenia merupakan salah satu Hidayat Lubis, yang pernah mengalami
gangguan mental yang banyak dijumpai schizophrenia selama 11 bulan dan tinggal
di berbagai negara. Namun, seringkali di Jawa, disebutkan bahwa beberapa
prosedur penegakan diagnosis gejala ilmuwan ternyata memiliki kecenderung-
schizophrenia yang didasarkan pada pola an mencatat sebatas apa yang diperoleh
pikir dunia barat, menyebabkan penegak- dengan berpedoman pada literatur yang
an diagnosis tersebut kurang akurat. Jika sebagian besar berdasarkan pandangan
penegakan diagnosisnya kurang akurat, psikologi barat, sehingga kurang mema-
maka akan berpengaruh pada proses hami fenomena-fenomena yang terjadi
perawatan dan intervensi yang dilakukan dalam diri seseorang. Seperti halnya
terhadap penderita. Kemungkinan terja- pengalaman Bahril Hidayat Lubis, terda-
dinya kesalahan itu dikarenakan sebagian pat dua hal yang menjadi pukulan berat
besar dari masyarakat di Jawa tidak baginya, yaitu adanya labeling dari luar
menerapkan prinsip emik (memahami dikarenakan diagnosis schizophrenia (gila)
fenomena berdasarkan sudut pandang yang diberikan kepadanya serta kurang-
partisipan atau penderita schizophrenia). nya dukungan sosial dari lingkungan.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi, Ketika sedang sakit, Bahril Hidayat
stigma atau labeling negatif dari masya- Lubis dalam mimpinya yang pada
rakat terhadap orang yang mengalami akhirnya dapat mengubah seluruh jalan
gangguan ini seringkali muncul di ber- hidupnya. Pada saat itu Bahril Hidayat
bagai daerah dalam tingkat budaya yang Lubis bermimpi melihat seorang laki-laki
berbeda, walaupun dimanifestasikan ke yang berkata: “Barangsiapa menyembah
dalam bentuk yang sangat beragam. Muhammad, Muhammad telah mati. Barang-
Adanya stigmatisasi ini dipandang justru siapa menyembah Allah, Allah tidak pernah
menambah beban psikologis, baik bagi mati.” Mendengar kata-kata tersebut,
penderita maupun bagi keluarga yang Bahril Hidayat Lubis menangis dan mera-
merawatnya. Mereka beranggapan bahwa sa sedih seta terjadi pergolakan pada dina-
cap/labeling tersebut telah memupuskan mika psikologisnya. Karena stigma yang
harapan untuk melangsungkan kehidu- telah terbangun, ia pun mengartikannya
pannya secara normal. sebagai sebuah halusinasi. Terlebih seo-
rang psikiater yang merawatnya membe-
narkan bahwa mimpi itu bagian dari geja-
1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat melalui:
la penyakit yang dideritanya. Kemudian,
novita_da@mail.ugm.ac.id

94 BULETIN PSIKOLOGI
PRINSIP EMIK, PSIKOLOGIS PASIEN SCIZOPHRENIA

seorang ustadz menjawab, “tidak benar, dukungan sosial, maka keberadaan


mimpi itu adalah mimpi yang benar (al-ru’ya keluarga justru akan menjadi stressor dan
ash-shadiqah)”. Berawal dari hal tersebut mengakibatkan penderita menunjukkan
dan juga dukungan sosial dari beberapa expression of hostility.
orang di sekitarnya, peristiwa berat yang Untuk memahami dan merawat pa-
di-alaminya itu telah berlalu dan Bahril sien yang mengalami schizophrenia, perlu
Hidayat Lubis kini dinyatakan sembuh menggunakan pendekatan cultural frame-
dari gangguan mentalnya. work atau culture specific yang berlaku di
Berangkat dari permasalahan tersebut, daerah tersebut (Stompe dkk., 2006), tidak
pembahasan mengenai penanganan dan hanya berdasarkan hasil penegakan diag-
penegakan diagnosis terhadap penderita nosis secara apa adanya menurut kriteria
schizophrenia secara lintas budaya, teru- yang ditetapkan. Disamping itu, terdapat
tama mempertimbangkan aspek budaya juga gangguan-gangguan lain yang ham-
Jawa menjadi penting untuk dilakukan. pir mirip dengan schizophrenia dan sangat
Dalam kajian lintas budaya terkait bervariasi. Akibatnya, proses pendiagno-
dengan abnormal psychology menjelaskan sisan schizophrenia sulit dilakukan jika
bahwa untuk setiap kasus gangguan belum ada batasan yang jelas dengan taraf
abnormal memiliki cara-cara dan pola kepercayaan yang memadai sebelum
pemahaman sendiri-sendiri tergantung diagnosis ditegakkan (Waldinger, dalam
pada konteks budaya yang dianutnya. Versola-Russo, 2006).
Perbedaan tersebut meliputi perbedaan Cultural specific juga sangat penting
definisi abnormal secara lintas budaya, untuk memahami dan melakukan proses
tingkat perilaku abnormal di masing- tritmen terhadap pasien schizophrenia
masing budaya, pola perilaku yang secara lintas budaya. Besarnya tingkat
muncul pada suatu gangguan-gangguan culture sensitivity (pathoplasticity) tersebut
abnormal, pendekatan-pendekatan atau dapat digunakan sebagai estimasi variasi
terapi yang digunakan, serta cara psychotic symptoms pada penderita schizo-
mengukur, mengklasifikasikan dan men- phrenia (delusi, halusinasi, dan first rank
diagnosis perilaku abnormal secara lintas symptoms), paling tidak selama dua
budaya. dekade atau lebih (Stompe dkk., 2006).
Scizophrenia merupakan salah satu Penelitian terkait dengan budaya telah
gangguan psikotik yang ditandai oleh dilakukan oleh International Pilot Studies
adanya penyimpangan terhadap realita of Schizophrenia (IPSS) yang diketuai oleh
yang ditandai oleh adanya delusi dan World Health Organization (WHO). Dari
halusinasi, penderita menarik diri dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa
lingkungan atau interaksi sosial, serta penderita schizophrenia di negara ber-
munculnya disorganization of perception, kembang memiliki prognosis yang lebih
thought and emotion. baik dan terjadi dalam waktu yang lebih
Hingga detik ini, penyebab utama singkat. Dari penelitian ini kemudian
schizophrenia adalah adanya ketidakseim- dikembangkan dalam berbagai macam
bangan dopamin penderita. Selain itu penelitian yang menguji mengenai peran-
ketidakseimbangan yang disebabkan oleh an budaya dalam membentuk dan
biokimia ini jika didukung oleh dinamika merepresentasikan simptom-simptom schi-
yang kurang sehat dalam keluarga, zophrenia. Untuk selanjutnya, dengan
dimana penderita mengalami kekurangan mendasarkan penelitian-penelitian terse-

BULETIN PSIKOLOGI 95
ANJARSARI

but, Koneru dan de Mamani (2006) kit merupakan suatu karma (kepercayaan
menguji lebih lanjut keterkaitan antara agama Budha) sehingga mereka melaku-
tingkat akulturasi dengan tingkat kan thum-jai, yaitu gabungan beberapa
symptoms severity. Dari hasil penelitian sikap seperti penerimaan, sabar, penger-
tersebut dapat disimpulkan bahwa pe- tian, tulus, dan rasa tanggung jawab.
ningkatan level akulturasi memengaruhi Peristiwa yang dialami oleh Bahril
besarnya symptoms severity dari penderita Hidayat Lubis, yang telah dipaparkan
schizophrenia. Meskipun demikian, be- dapat menjadi contoh bahwa memahami
ragamnya etnis menyebabkan hubungan schizophrenia tidaklah cukup hanya dengan
antara akulturasi dan symptoms severity menggunakan acuan Data Statistical
menjadi sangat kompleks dan bervariasi. Manual (DSM) IV atau berdasarkan gejala-
Stigma sosial yang membuat para gejala yang tampak dalam perilakunya,
penderita schizophrenia terdistorsi dalam namun juga dengan cara memahami
kehidupannya karena halusinasi, delusi, fenomena-fenomena psikologis yang
dan paranoid yang dialaminya, dapat dialaminya. Untuk memahami fenomena
menyebabkan munculnya ketakutan, psikologis yang terjadi dan menegakkan
cemas atau bahkan bingung (Versola- diagnosis terhadap penderita yang terin-
Russo, 2006). Subandi (2007) yang meneliti dikasi mengalami schizophrenia pun seba-
penderita schizophrenia di Jawa menemu- iknya tidak mengesampingkan cultural
kan bahwa orang-orang yang mengalami framework yang berlaku di daerah tersebut.
hilang kontrol yang ditandai dengan Salah satu cara agar kita tidak meng-
bingung diindikasikan sebagai pertanda esampingkan pandangan cultural relativism
awal sekaligus sebagai gejala awal psiko- ini adalah dengan memahami budaya
tis. Fase hilang kontrol terjadi ketika para yang berlaku di suatu tempat secara
penderita dengan kriteria first episode mendalam. Seperti halnya penelitian yang
psychosis menunjukkan reaksi terhadap dilakukan oleh Subandi (2007), yang
pengalaman halusinatif dan delusionalnya menemukan bahwa pada dasarnya semua
sebagai ketakutan dan teror. Penyebab penderita schizophrenia memiliki gejala
seseorang mengalami kehilangan kontrol umum sebagai tanda atau gejala awal
dan pemicu gangguan adalah adanya rasa munculnya psikotik. Akan tetapi istilah
kaget yang mereka alami, baik secara fisik yang dipakai seringkali di setiap daerah
maupun psikologis. berbeda, sehingga sangat dimungkinkan
Untuk strategi koping yang dilakukan perlakuan yang dialami pun akan berbeda.
pun sangat dipengaruhi oleh budaya se- Penemuan ini juga diperkuat dengan
tempat. Sebagai contoh warga keturunan penelitian yang dilakukan oleh Koneru
Brazil cenderung menggunakan sumber dan de Mamani (2006) yang menyimpul-
daya agama sebagai strategi kopingnya, kan bahwa tingkat akulturasi yang dialami
dimana mereka bersandar pada agama penderita akan memengaruhi simptom-
untuk terapi dan menghilangkan kete- simptom yang dimunculkannya, yang
gangan (Redko, 2003). Hal yang sama juga dalam hal ini adalah seberapa besar
ditemukan oleh Ruangreangkulkij dan peningkatan symptom severity yang terjadi.
Chesla (2001) yang meneliti perilaku Dalam kasus yang menjadi pokok
koping pada ibu-ibu keturunan Thailand. pembahasan ini, perasaan bingung yang
Penelitian tersebut menunjukkan bahwa muncul dalam diri Bahril Hidayat Lubis
ibu-ibu tersebut memahami bahwa penya- dikarenakan stigmatisasi sosial ini meru-

96 BULETIN PSIKOLOGI
PRINSIP EMIK, PSIKOLOGIS PASIEN SCIZOPHRENIA

pakan gejala awal psikotik (first episodic) cenderung dapat difungsikan sebagai
dalam tingkat yang masih ringan. Penga- bentuk penghindaran stigma (Subandi,
laman psikotik ini dapat digambarkan 2007) dan mengindikasikan bahwa gang-
sebagai suatu bentuk hilangnya kontrol, guan yang dideritanya masih dimungkin-
yang dalam penjelasan beliau disebutkan kan untuk sembuh. Penyebutan gangguan
bahwa Bahril Hidayat Lubis melakukan mental yang dapat dikategorikan sebagai
segala sesuatu di bawah kesadaran. istilah halus antara lain sarap (syaraf),
Jika dilihat berdasarkan gejala yang miring, ora genep (hilang akal), dan bi-
dialaminya, terdapat kemungkinan yang ngung. Dengan demikian dapat dikatakan
sangat besar untuk sembuh. Terlebih jika bahwa pada dasarnya penggunaan istilah
ada dukungan sosial dan pendampingan yang berbeda (menyesuaikan tingkatan
dari lingkungan sekitar, gangguan yang bahasa dalam budaya Jawa) akan menim-
berada dalam level ini cenderung dapat bulkan tingkat variasi simptom yang ber-
disembuhkan. Dengan adanya dukungan beda pula. Jika dikaitkan dengan kasus
sosial yang kuat, emosi dan ketegangan Bahril Hidayat Lubis, penyebutan istilah
yang dialami oleh penderita akan terjaga “gila” dimungkinkan menjadi penyebab
dan mendorongnya untuk mencapai meningkat atau makin parahnya simptom
kehidupan yang lebih berkualitas yang dialami karena istilah tersebut
(tenteram dan damai). cenderung mendorong ia meyakini bahwa
sakit yang dideritanya tergolong degene-
Namun, diagnosis yang menyatakan
ratif dan berlangsung seumur hidup. Hal
bahwa beliau gila, cenderung menambah
ini juga terindikasikan dalam efek stigma
beban psikologis yang dialaminya, karena
yang dirasakan sebagai pukulan berat
hal tersebut membuatnya dikucilkan dan
karena penyebutan istilah tersebut.
diperlakukan secara negatif. Oleh karena
itu, suatu hal yang wajar bila beliau Pembedaan istilah-istilah lokal ini
memandang bahwa orang-orang lain tentunya tidak dikaji dalam kriteria DSM
hanya melihat berdasarkan apa yang dili- IV yang dibuat oleh ilmuwan barat, karena
hat dan dikatakan orang, bukan meman- permasalahan ini tergolong permasalahan
dang dinamika psikologis yang ada dalam emik. Oleh karena itu, meskipun untuk
dirinya. menegakkan diagnosis schizophrenia dida-
sarkan pada kriteria yang telah dibuat,
Estimasi variasi simptom yang dapat
namun sebaiknya permasalahan emik ini
dimunculkan pun sangat mungkin dipe-
juga dipertimbangkan, sebab menyangkut
ngaruhi oleh budaya (Stompe dkk., 2006).
kualitas hidup seorang manusia. Jika
Dalam masyarakat Jawa, istilah-istilah
penggunaan diagnosis emik dipandang
untuk menyebutkan gangguan abnormal
memiliki stigma yang lebih ringan dalam
sangat banyak dan berdasarkan tingkatan
menggambarkan sebuah simptom yang
yang berbeda, yaitu kasar dan halus.
dimunculkan penderita, hal tersebut dapat
Istilah yang kasar, cenderung menyiratkan
pula dijadikan sebagai alternatif dalam
bahwa gangguan yang dideritanya sangat
penegakan diagnosis agar beban psikolo-
parah dan cenderung tidak dapat disem-
gis yang dirasakan oleh penderita maupun
buhkan. Penyebutan gangguan mental
pihak keluarganya tidak semakin berat.
yang dianggap kasar tersebut antara lain
Sebagai contoh, penggunaan istilah
edan, sinting, gendeng, dan kenthir. Dalam
“bingung” atau “sakit” dan sejenisnya,
bahasa Indonesia diterjemahkan dengan
dibandingkan dengan istilah “gila” atau
istilah “gila”. Sedangkan untuk yang halus

BULETIN PSIKOLOGI 97
ANJARSARI

“schizophrenia”, label ini juga dirasa lebih mun jika tidak dapat diterapkan, sebaik-
positif. nya menggunakan alternatif lain, terlebih
Disamping dukungan sosial dari dalam kasus ini menyangkut penegakan
lingkungan sekitar, strategi koping yang diagnosis terhadap suatu gangguan. Pene-
digunakan pun sangat berpengaruh terha- gakan diagnosis yang salah atau kurang
dap perkembangan gangguan mental tepat, intervensi yang diberikan pun akan
yang dialaminya. Di beberapa daerah atau diragukan keberhasilannya, bahkan ke-
budaya tertentu terdapat kecenderungan mungkinan yang terjadi adalah mem-
untuk menggunakan agama atau pende- perparah kondisinya.
katan religiusitas sebagai strategi koping-
nya. Dalam kasus ini, untuk menangani Penutup
permasalahan Bahril Hidayat Lubis,
pendekatan yang digunakan cenderung Dari pembahasan yang telah dilaku-
mendasarkan pada agamanya dan meng- kan dapat disimpulkan bahwa disamping
gunakan pendekatan religiusitas. Kebe- aspek universalitas, terdapat pula aspek
tulan agama yang dianut Bahril Hidayat culture specific yang digunakan dalam
Lubis adalah Islam yang berbeda dengan menegakkan diagnosis dan menangani
pandangan di barat. Dalam ajaran Islam, pasien dengan gangguan schizophrenia
setiap manusia dilahirkan dengan kebaik- agar kita dapat mengetahui dinamika
an dan dalam keadaan fitrah, sehingga bisa psikologis, memahami pasien berdasarkan
jadi munculnya gangguan tersebut dikare- sudut pandangnya (pendekatan emik) dan
nakan faktor situasional. Keluarga dan mempertimbangkan aspek budaya atau
orang-orang di sekelilingnya yang ber- agama yang dianutnya. Untuk menangani
prinsip demikian, membuat Bahril pasien schizophrenia di Jawa perlu mem-
Hidayat Lubis merasa didampingi dan perhatikan penggunaan tingkatan (strata)
berhasil keluar dari permasalahan yang bahasa yang berlaku dalam masyarakat
dialaminya. Jadi, meskipun penegakan tersebut, sebab penggunaan istilah yang
diagnosis yang cenderung memandang berbeda akan memberikan dampak psiko-
negatif suatu gangguan (didasarkan pada logis yang berbeda sekaligus sebagai salah
DSM IV yang mengarah pada prinsip satu bentuk dukungan sosial bagi pasien
universalitas), namun jika penanganan dengan kriteria first episodic psychotic.
dan cara perawatannya mendasarkan
prinsip emik, dimungkinkan penanganan Daftar Pustaka
yang dilakukan lebih efektif karena sesuai
dengan konteks budaya dan agama yang Cohen, A. (1992). Prognosis for schizo-
dianutnya. Hal ini didasari adanya asumsi phrenia in the third world: re-
bahwa tidak semua intervensi atau evaluation of cross-cultural research.
penanganan di salah satu budaya dapat Culture, Medicine, and Psychiatry, 16,
diterapkan di semua budaya. 53-75.
Dengan demikian, sebaiknya teori- Koneru, V. K., & de Mamani, A. G. W.
teori yang berdasarkan pandangan barat, (2006). Acculturation, ethnicity, and
sebaiknya disaring dan disesuaikan symptoms of schizophrenia. Revista
dengan budaya di Indonesia. Jika terdapat Interamericana de Picologia/Interamerican
teori yang relevan dengan budaya kita Journal of Psychology, 40(3), 355-362.
maka tidak ada salahnya diterapkan, na-

98 BULETIN PSIKOLOGI
PRINSIP EMIK, PSIKOLOGIS PASIEN SCIZOPHRENIA

Matsumoto, J. (2008). Culture and Psy- toms in Schizophrenia. World Cultural


chology. Psychiatry Research and Review, 1(3/4),
Redko, C. (2003). Religious construction of 157-163
a first episode of psychosis in Urban Subandi. (2007). Dimensi psikokultural
Brazil. Transcultural Psychiatry, 40(4), dalam pengalaman psikotik. Jurnal
507-530. Psikologi 34(1), 40-54.
Stompe, T., Karakula, H., Rudaleviciene, Versola-Russo, J. (2006). Cultural and
P., Okribelashvili, N., Haroon R. demographic factors of schizophrenia.
Chaudhry, H. R., Idemudia, E. E., & International Journal of Psychosocial
Gscheider, S. (2006). The pathoplastic Rehabilitation, 10(2), 89-103.
effect of culture on psychotic symp-

BULETIN PSIKOLOGI 99

Anda mungkin juga menyukai