Anda di halaman 1dari 27

Hadis tentang Keutamaan Menikah

( Motivasi Memelihara Kelestarian Jenis )

Dipresentasikan oleh kelompok 2

1. Nurima Palas Margiani ( 933412318 )


2. Siti Kholifatun Niswah (9334 )
3. Yuni maulida (9334 )
A. Pembahasan Hadist

Hadis 1.
َ‫س ِعي ٍد ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي ُه َري َْرة‬ َ ‫س ِعي ُد ْبنُ أَبِي‬ َ ‫َّللاِ قَا َل َح َّدثَنِي‬ ُ ‫س َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ يَى ع َْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬ َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬
ُ‫ع ْنه‬َ ُ‫َّللا‬
َّ ‫َر ِض َي‬
َ ‫سلَّ َم قَا َل ت ُ ْن َك ُح ا ْل َم ْرأَةُ ِِل َ ْربَ ٍع ِل َما ِل َها َو ِل َح‬
‫س ِب َها َو َج َما ِل َها َو ِلدِينِ َها فَا ْظفَ ْر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع َْن النَّ ِبي‬
َ‫ِين ت َ ِربَتْ يَدَاك‬
ِ ‫ت الد‬ ِ ‫بِذَا‬

(BUKHARI - 4700) : Telah menceritakan kepada kami Musaddad Telah menceritakan


kepada kami Yahya dari Ubaidullah ia berkata; Telah menceritakan kepadaku Sa'id
bin Abu Sa'id dari bapaknya dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu
'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena
hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya dan karena agamanya. Maka
pilihlah karena agamanya, niscaya kamu akan beruntung’'
Bukhari : (4700)
a. Kualitas hadis
“ Hadistnya termasuk hadist Shahih“, sanad tidak ada yang cacat.

b. Penjelasan Kosakata
‫س َّد ٌد َح َّدثَنَا يَحْ َيى‬
َ ‫َح َّدثَنَا ُم‬
(bahwa Musddad telah menceritakan tentang hal yang didapatkan)
‫َّللاِ قَا َل‬ ُ ‫ع َْن‬
َّ ‫عبَ ْي ِد‬
(Telah berkata Ubaidillah)
ُ‫ع ْنه‬ َّ ‫س ِعي ٍد ع َْن أَبِي ِه ع َْن أَبِي ُه َري َْرةَ َر ِض َي‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫س ِعي ُد ْبنُ أَبِي‬
َ ‫َح َّدثَنِي‬
‫سلَّ َم قَا َل‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ ‫ع َْن النَّ ِبي‬
(Ubaidillah mendapatkan cerita dari sa’id yang diberi nasehat oleh bapaknya,
tentang hal yang dikatakan nabi Muhammad SAW)

ٍ‫ت ُ ْن َك ُح ا ْل َم ْرأَةُ ِِل َ ْربَع‬


(bahwa ada empat hal yang menjadi kriteria wanita yang hendaknya dinikahi)
‫ِل َما ِل َها‬
(yang pertama karena harta yang dimilikinya dan keluarganya {berasal dari
kata maal yang berarti harta })

‫س ِب َها‬
َ ‫ِل َح‬
(berikutnya karena keturunannya)
‫َج َما ِل َها‬
(karena kecantikannya sebab islam menyukai keindahan)
‫ِلدِينِ َها‬
(karena agamanya karena agama adalah segalanya)
َ‫ِين ت َ ِربَتْ يَدَاك‬ ِ ‫فَا ْظفَ ْر بِذَا‬
ِ ‫ت الد‬
(dalam hadis ini dianjurkan untuk memilih wanita karena agamanya supaya
kamu beruntuk atau mendapat ridha ari Allah SWT.)
c. Hadist penguat
 Muslim No. 2661 (Sunnahnya menikahi wanita yang baik agamanya)
 Abu Daud No. 1751 (Anjuran menikahi wanita beragama)
 Nasa’I No. 3178 (Di makhruhkan menikahkan laki-laki pezina)
 Ibnu Majah No. 1848 (Menikahi wanita yang paham agama)
 Ahmad No. 9156 (Musnad Abu Hurairah RA)

Hadis 2.
‫س ِم ع َْن عَائِشَةَ قَالَتْ قَا َل‬
ِ ‫ون ع َْن ا ْلقَا‬ ٍ ‫سى ْبنُ َم ْي ُم‬ َ ‫َح َّدثَنَا أَحْ َم ُد ْبنُ ْاِل َ ْز َه ِر َح َّدثَنَا آ َد ُم َح َّدثَنَا ِعي‬
َ ‫سنَّتِي فَلَي‬
‫ْس ِمنِي َوت َ َز َّو ُجوا‬ ُ ‫سنَّتِي فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َم ْل ِب‬ ُ ‫سلَّ َم النِكَا‬
ُ ‫ح ِم ْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬َّ ‫سو ُل‬ ُ ‫َر‬
ِ ‫فَ ِإنِي ُمكَاثِ ٌر ِب ُك ْم ْاِل ُ َم َم َو َم ْن كَانَ ذَا َط ْو ٍل فَ ْليَ ْن ِكحْ َو َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَعَلَ ْي ِه ِب‬
َّ ‫الصيَ ِام فَ ِإنَّ ال‬
‫ص ْو َم لَهُ ِو َجا ٌء‬

(IBNUMAJAH - 1836) : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Al Azhar


berkata, telah menceritakan kepada kami Adam berkata, telah menceritakan kepada
kami Isa bin Maimun dari Al Qasim dari 'Aisyah ia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Menikah adalah sunnahku, barangsiapa tidak
mengamalkan sunnahku berarti bukan dari golonganku. Hendaklah kalian menikah,
sungguh dengan jumlah kalian aku akan berbanyak-banyakkan umat. Siapa memiliki
kemampuan harta hendaklah menikah, dan siapa yang tidak hendaknya berpuasa,
karena puasa itu merupakan tameng."

a. Kualitas Hadis
Termasuk hadis Dhaif karena salah satu sanad terdapat kecacatan

b. Penjelasan kosakata
َ‫س ِم ع َْن عَائِشَة‬
ِ ‫ع َْن ا ْلقَا‬
(Dari abu Qasim yang mendapat berita dari Aisya)
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫قَا َل َر‬
َّ ‫سو ُل‬
(Rasulullah SAW bersabda)
‫سنَّتِي‬
ُ ‫ح ِم ْن‬
ُ ‫النِكَا‬
(menikah adalah sunnah rosul)
ُ ‫فَ َم ْن لَ ْم يَ ْع َم ْل ِب‬
‫سنَّتِي‬
(barang siapa yang tidak mengamalkan sunnah rosul)

َ ‫فَلَي‬
‫ْس ِمنِي‬
(maka bukan termasuk golongan rasulullah)
‫َوت َ َز َّو ُجوا فَ ِإنِي ُمكَاثِ ٌر بِ ُك ْم ْاِل ُ َم َم‬
(hendaklah kalian semua menikah karena menikah untuk memperbanyak umat
rosul)
‫َو َم ْن كَانَ ذَا َط ْو ٍل فَ ْل َي ْن ِك ْح‬
(barang siapa yang memiliki harta hendaklah segera menikah)

ِ ِ‫َو َم ْن لَ ْم يَ ِج ْد فَعَلَ ْي ِه ب‬
‫الصيَ ِام‬
(sedang barang siapa yang tidak meiliki harta dianjurkan untuk berpuasa)
َّ ‫فَ ِإنَّ ال‬
‫ص ْو َم لَهُ ِو َجا ٌء‬
(sebab berpuasa adalah tameng bagi umat muslim)

c. Hadis penguat
Tidak ada hadis penguatnya.

B. Keterkaikatan Hadist dengan Nilai dalam Al-Quran


Al-Qur’an menyatakan bahwa Allah menciptakan makhluk berpasang-
pasangan, tak terkecuali manusia sebagai makhluk termulia ciptaan Allah. Dengan kata
lain, berpasangan merupakan fitrah seluruh makhluk di muka bumi untuk memastikan
lestarinya keturunan guna memerankan diri sebagai pengelola bumi (khalifah).

Bahkan dorongan berpasangan sudah lahir sejak kecil. Hal ini karena mendambakan
pasangan merupakan fitrah manusia sebelum dewasa, dan dorongan yang sulit
dibendung setelah dewasa. Karena itu, agama mensyariatkan dijalinnya pertemuan
antara pria dan wanita dalam ikatan suci yang dinamakan pernikahan. Hal ini untuk
menghindari dorongan ke arah hubungan terlarang antara pria dan wanita.

Dorongan tersebut diarahkan dalam sebuah pertemuan sehingga terlaksananya


"perkawinan". Beralihlah kerisauan pria dan wanita menjadi ketenteraman
atau sakinah dalam istilah Al-Qur’an Surat Ar-Rum (30) ayat 21 Yang bunyinya :
َ‫س ُكنُوا إِلَ ْي َها َو َجعَ َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو َّدةً َو َرحْ َمةً ۚ إِنَّ فِي َٰذَ ِلك‬
ْ َ ‫س ُك ْم أ َ ْز َوا ًجا ِلت‬
ِ ُ‫َو ِم ْن آيَاتِ ِه أ َ ْن َخلَقَ لَ ُك ْم ِم ْن أ َ ْنف‬
َ‫ت ِل َق ْو ٍم يَت َ َفك َُّرون‬
ٍ ‫ََليَا‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-
isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya,
dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Sakinah terambil dari akar kata sakana yang berarti diam atau tenangnya sesuatu
setelah bergejolak.

Itulah sebabnya mengapa pisau dinamai sikkin karena ia adalah alat yang menjadikan
binatang yang disembelih tenang, tidak bergerak, setelah tadinya ia meronta. Sakinah
karena perkawinan adalah ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian
binatang.

Al-Qur’an antara lain menekankan perlunya kesiapan fisik, mental, dan ekonomi bagi
yang ingin menikah. Walaupun para wali diminta untuk tidak menjadikan kelemahan
di bidang ekonomi sebagai alasan menolak peminang.

"Kalau mereka (calon-calon menantu) miskin, maka Allah akan menjadikan mereka
kaya (berkecukupan) berkat Anugerah-Nya." (QS An-Nur [24]: 31)

Yang tidak memiliki kemampuan ekonomi dianjurkan untuk menahan diri dan
memelihara kesuciannya. "Hendaklah mereka yang belum mampu (kawin) menahan
diri, hingga Allah menganugerahkan mereka kemampuan." (QS An-Nur [24]: 33)

Di sisi lain perlu juga dicatat, walaupun Al-Qur’an menegaskan bahwa berpasangan
atau kawin merupakan ketetapan Ilahi bagi makhluk-Nya, dan walaupun Rasulullah
menegaskan bahwa "nikah adalah sunnahnya", tetapi dalam saat yang sama Al-Qur’an
dan Sunnah menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus diindahkan. Lebih-lebih
karena masyarakat yang ditemuinya melakukan praktik-praktik yang amat berbahaya
serta melanggar nilai-nilai kemanusiaan, seperti misalnya mewarisi secara paksa istri
mendiang ayah (ibu tiri). (QS Al-Nisa' [4]: 19)

Bahkan menurut Al-Qurthubi ketika larangan di atas turun, masih ada yang mengawini
mereka atas dasar suka sama suka sampai dengan turunnya surat Al-Nisa' [4]: 22 yang
secara tegas menyatakan.

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu tetapi
apa yang telah lalu (dimaafkan oleh Allah).”

Imam Bukhari meriwayatkan melalui istri Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi


wasallam, Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa pada masa jahiliah, dikenal empat
macam pernikahan. Pertama, pernikahan sebagaimana berlaku kini, dimulai dengan
pinangan kepada orang tua atau wali, membayar mahar dan menikah.

Kedua, adalah seorang suami yang memerintahkan kepada istrinya apabila telah suci
dari haid untuk menikah (berhubungan seks) dengan seseorang, dan bila ia telah hamil,
maka ia kembali untuk digauli suaminya; ini dilakukan guna mendapat keturunan yang
baik.

Ketiga, sekelompok lelaki kurang dari sepuluh orang, kesemuanya menggauli seorang
wanita, dan bila ia hamil kemudian melahirkan, ia memanggil seluruh anggota
kelompok tersebut --tidak dapat absen-- kemudian ia menunjuk salah seorang yang
dikehendakinya untuk dinisbahkan kepadanya nama anak itu, dan yang bersangkutan
tidak boleh mengelak.
Keempat, hubungan seks yang dilakukan oleh wanita tunasusila, yang memasang
bendera atau tanda di pintu-pintu kediaman mereka dan "bercampur" dengan siapa pun
yang suka kepadanya. Kemudian Islam datang melarang cara perkawinan tersebut
kecuali cara yang pertama.

C. Menikah Menurut Prespektif Psikologi Islam


Perkataan nikah berasal dari bahasa arab ‫ نكح – ينكح – نكا ًحا‬yang berarti
berkumpul atau bersetubuh. Kata ini dalam bahasa Indonesia sering disebut juga
dengan perkataan kawin atau perkawinan. Kata kawin adalah terjemahan kata nikah
dalam bahasa Indonesia. Kata menikahi berarti mengawini dan menikahkan sama
dengan kata mengawinkanyang berarti menjadikan bersuami. Dengan demikian
istilah pernikahan mempunyai arti yang sama dengan kata perkawinan. Perkataan
nikah dan kawin keduanya sama terkenal dikalangan masyarakat Indonesia. Dalam
Fiqih Islam perkataan yang sering dipakai adalah nikah atau ziwajyang juga banyak
terdapat dalam dalam Al Quran, kedua kata tersebut mempunyai persamaan yaitu
sama-sama berarti berkumpul.
Pengertian nikah atau ziwaj secara bahasa syariah mempunyai pengertian
secara hakiki dan pengertian secara majasi. Pengertian nikah atau ziwaj secara hakiki
adalah bersenggama (wathi’) sedang pengertian majsinya adalah akad, kedua
pengertian tersebut diperselisihkan oleh kalangan ulama’ fiqih karena hal tersebut
berimplikasi pada penetapan hukum peristiwa yang lain, misalnya tentang anak hasil
perzinaan namun pengertian yang lebih umum dipergunakan adalah pengertian bahasa
secara majasi, yaitu akad. Al-Qadhli Husain mengatakan bahwa arti tersebut adalah
yang paling shahih. Ada yang mengatakan bahwa pengertian bahasa dari kata nikah
dan ziwaj adalah musytarak (mengandung dua makna) antara wathi’ dan akad dan
keduanya merupakan makna hakiki.
Pengertian nikah atau perkawinan secara fiqhiyah atau istilah syar’iyyah terdapat
bermacam-macam pandangan.
1. Menurut sebagian fuqoha’ pengertian nikah atau ziwaj adalah
‫عقد يفيد حل استمتاع كل من العاقد ين باِلخر على الوجه المشروع‬
Artinya:”Suatu akad (perjanjian) yang berimplikasi kebolehan beristimta’
(bersenang-senang) antara dua orang yang berakad dengan tuntunan yang telah
ditentukan oleh syara’.”
1. Prof. Dr. Mahmud Yunus memberikan pengertian bahwa perkawinan adalah
akad antara
calon laki-laki dan perempuan untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur
oleh syari’at agama.
1. Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah
memberikan
pengertian nikah dengan
‫عقد يفيد حل العشرة بين الرجل والمرأة وتعاونها ويحدما لكليهما من حقوق وما عليه من‬
‫واجبات‬.
Artinya:”Akad yang memberikan faedah hukum kebolehan mengadakan hubungan
keluarga (suami istri) antara pria dan wanita dan mengadakan tolong menolong dan
memberi batas hak bagi pemiliknya serta pemenuhan kewajiban bagi masing-masing”

1. Hasby Ash-Shiddiqie memberikan pengertian, bahwa perkawinan adalah


melakukan akad antara laki-laki dengan perempuan atas kerelaan dan kesukaan
kedua belah pihak oleh seorang wali dari pihak perempuan menurut sifat yang
ditetapkan syara’ untuk menghalalkan cara percampuran antara keduanya dan
untuk menjadikan yang seorang condong kepada seorang lagi dan menjadikan
masing-masing daripadanya sekutu (teman hidup) bagi yang lain.
2. Menurut Idris Ramulya, perkawinan menurut islam adalah suatu perjanjian suci
yang kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seorang laki-laki
dengan seorang perempuan membentuk keluarga yang kekal, santun
menyantuni, kasih mengasihi, aman, tentram, bahagia dan kekal.
3. Prof. Subekti, SH. Memberikan pengertian perkawinan sebagai pertalian yang
sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.
Pemberian pengertian dari para pakar (ulama’) terhadap nikah atau perkawinan diatas
berbeda-beda, namun yang disepakati adalah bahwa perkawinan atau nikah adalah
akad yang menghalalkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan.

PERNIKAHAN DALAM ISLAM


Kebanyakan para ulama’ salaf (periode awal) memberikan pengertian nikah
dengan makna sekitar pemberian hak milik mut’ah (menikmati wanita) dan menjadikan
halal bagi si laki-laki untuk menikmatinya. Ini terlihat dari definisi nikah yang pertama
dan kedua, namun menurut syari’ah islam maksud dan tujuan esensial dari pernikahan
bukan sekedar itu, tetapi yang lebih utama adalah menyambung nasab dan menjaga
naluri kemanusiaan, kedua belah pihak mendapatkan pemenuhan kebutuhan psikologis
dan biologis yang merupakan karunia Allah kepada manusia.
Oleh karena itu pengertian yang lebih patut dan dapat dipertanggung jawabkan adalah
pengertian yang mencakup secara keseluruhan yaitu pengertian yang mencakup
tentang hakekat dan tujuan dari perkawinan tersebut, seperti yang diutarakan oleh
Muhammad Abu Zahrah, T. M. Hasbiy Ash-Shiddiqie, dan Idris Ramulya. Hal ini juga
seperti yang disebutkan dalam undang-undang perkawinan.
Dalam undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974, pengertian perkawinan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa.
Pengertian ini menjelaskan bahwa perkawinan tidaklah semata sebagai ikatan lahir saja
atau ikatan batin saja, akan tetapi mencakup keduanya. Pengertian tersebut sudah
merupakan arti dan tujuan perkawinan. Arti perkawinan adalah ikatan lahir dan batin
antara pria dan wanita sebagai suami istri, sedang tujuannya adalah membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. Ikatan lahir
berarti ikatan formil, yakni hubungan hokum antara pria dan wanita sebagai suami istri,
dan ikatan batin merupakan ikatan non-formil yang tidak dapat dilihat, namun sangat
mempengaruhi terbentuknya keluarga bahagia, tentram dan kekal yang berarti seumur
hidup dan tidak boleh diputuskan begitu saja.

B. Dasar-Dasar Pernikahan dalam islam


Perkawinan atau pernikahan dalam islam merupakan ajaran yang berdasar pada dalil-
dalil naqli. Terlihat dalam dalil Al Qur’an dan As Sunnah dan dinyatakan dalam
bermacam-macam ungkapan. Ajaran ini disyariatkan mengingat kecenderungan
manusia adalah mencintai lawan jenis dan memang allah menciptakan makhluknya
secara berpasang-pasangan. Adapun dasar-dasar dalil naqli tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Al-Qur’an
Artinya:”Dan Sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan
Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”
Pensyariatan pernikahan adalah sudah ada sejak ummat sebelum Nabi Muhammad
SAW. Allah menjelaskan dalam ayat tersebut bahwa rasul sebelum Muhammad telah
diutus dan mereka diberi isteri-isteri dan keturunan.
Artinya:”Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”
Ayat ini adalah perintah agar menikahi wanita-wanita yang baik untuk dijadikan
pasangan hidupnya. Allah akan memberikan rizki kepada mereka yang melaksanakan
ajaran ini dan ini merupakan jaminan Allah bahwa mereka hidup berdua beserta
keturunannya akan dicukupkan oleh Allah.
Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui”(Qs. An Nur: 23)
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”
Dengan perkawinan antara wanita dan laki-laki yang menjadi jodohnya akan
menimbulkan rasa saling mencintai dan kasih saying, dan ini merupakan tanda-tanda
kebesaran Allah.
1. Hadits Nabi
‫ يا معشر الشباب من استطاع منكم‬: .‫ قال لنا رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن عبدهللا بن مسعود ض‬
‫ فإنه أغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجا ٌء‬,‫الباءة فليتزوج‬.
Artinya:”Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda
kepada kami: Hai para pemuda, barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk
kawin maka hendaklah ia kawin maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada yang
dilarang oleh agama) dan lebih menjaga kemaluan, dan barang siapa tidak sanggup
hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu merupakan tameng (perisai)
baginya”
Perintah kawin kepada anak muda dalam hadits ini karena mereka mempunyai
kecenderungan tertarik atau punya sahwat terhadap lawan jenis, oleh karena itu kalau
ia mampu baik dari segi fisik, materi, dan mental hendaklah ia kawin. Dan bagi yang
tidak memenuhi syarat kemampuan tersebut (segi fisik, materi dan mental) hendaklah
ia berpuasa, karena dengan puasa tersebut dapat menghilangkan bergejolaknya nafsu
sahwat sehingga terhindar dari zina dan dibalik itu ada hikmat Allah.
:‫ يأمرنابالباءة وينهى عن التبتل نهيًا شديدا ويقول‬.‫ كان النبي ص‬:‫ قال‬.‫عن أنس ض‬
‫تزوجواالودود الولود فإنى مكاثر بكم اِلمم يوم القيامة‬.
Artinya:”Diriwayatkan dari Anas r. a. ia berkata: Nabi SAW selalu memerintahkan
kita untuk kawin dan melarang membujang dengan larangan yang sangat dan beliau
bersabda: Nikahilah orang yang penuh kasih saying dan suka beranak karena
sesungguhnya aku akan bangga (berbesar hati) terhadap umat lain dihari kiyamat
karena dirimu (banyak keturunan)”
‫ يسألون عن عبادة‬.‫ يقول جاء ثالثة رهط إلى بيوت أزواج النبي ص‬.‫عن أنس بن مالك ض‬
‫ قد غفر له ما تقدم من‬.‫ فلما أخبروا كأنهم تقالوها فقالو وأين نحن من النبي ص‬.‫النبي ص‬
‫ذنبه وما تأخر قال أحدهم أما أنا فإنى أصلى الليل أبدا وقال أخر أنا أصوم الدهر وال أفطر وقال‬
‫ أما‬,‫ فقال انتم الذين قلتم كذا وكذا‬.‫أخر أنا أعتزل النساء فال أتزوج أبدًا فجاء رسول هللا ص‬
‫وهللا إنى ِلخشاكم هلل وأتقاكم له لكنى أصوم وأفطر وأصلى وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب‬
‫عن سنتى فليس منى‬.
Artinya:”Dari Anas r. a. ia berkata datang tiga orang kelompok kerumah para istri
Nabi saw, mereka menanyakan tentang ibadah Nabi, dimana posisi kami pada sisi
Nabi saw yang telah diampuni dosanya yang telah terdahulu dan yang akan datang.
Salah satu dari mereka berkata: “Adapun saya selalu shalat malam”, lainnya berkata:
“Saya puasa terus menerus tanpa berbuka (barang sehari)”, yang satunya lagi
berkata: “Saya menjauhi orang wanita, saya tidak akan menikah selamanya”, lalu
Rasulullah SAW datang dan berkata: “Apakah kamu sekalian yang mengatkan begini-
begini?, adapun aku Demi Allah sesungguhnya aku benar-benar orang yang paling
takut diantara kamu kepada Allah, orang yang paling taqwa diantara kamu kepadaNya
tetapi kamu aku puasa dan berbuka, aku shalat, bangun dimalam hari dan aku
mengawini wanita maka barang siapa yang benci kepada sunnahku bukanlah ia
termasuk ummatku”
Dari dalil-dali tersebut jelas bahwa pernikahan adalah syari’at Islam dan
termasuk sunnah nabi yang harus ditiru dan dilaksanakan apabila telah mampu dan
memenuhi persyaratan dan rukunnya.
C. Hikmah pernikahan dalam islam
Abu Hurairah r. a. berkata: Nabi bersabda:
‫من أحب فطرتى فليستن بسنتى وإن من سنتى النكاح‬
Artinya:“Siapa yang suka pada syari’atku maka hendaklah mengikuti sunnahku
(perjalananku) dan termasuk sunnahku adalah nikah”.

Nikah (kawin) dalam islam merupakan sunnatullah, dan mengandung beberapa


hikmah bagi manusia. Hikmah tersebut dapat dilihat dari segi psikologi, sosiologi, dan
kesehatan.
1. Hikmah Nikah Dari Segi Psikologi
Hikmah nikah dilihat dari segi psikologi diantaranya seperti yang diungkap oleh Sayyid
Sabiq, yaitu sebagai berikut:
1. Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang
selamanya menuntut adanya jalan keluar, bilamana jalan keluar tidak dapat
memuaskannya maka banyaklah mausia yang mengalami goncangan dan kacau
serta merobos jalan yang jahat.
Dan kawin adalah jalan yang alami dan penyaluran hasrat biologis yang paling baik,
dengan kawin badan jadi segar, tenang, mata terpelihara dari melihat yang haram dan
perasaan tenang menikmati barang yang halal.

Artinya:“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang


diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak,
kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”

Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i bahwa pandangan orang laki-laki
terhadap perempuan lain atau bukan muhrimnya tidak ada keperluan maka tidak
diperbolehkan (haram)
1. Naluri kebapakan dan keibuanakan tumbuh saling melengkapi dalam suasana
hidup dengan anak-anak dan akan tumbuh pula perasaan ramah, cinta dan
sayang yang merupakan sifat-sifat baik yang menyempurnakan kemanusiaan
seseorang.
Menurut Drs. Irfan Sidqan, hikmah nikah dari segi psikologi adalah:
1. Untuk menyalurkan naluri seksual dan menentramkan hati.
Perkawinan adalah suatu cara yang alamiah yang paling baik untuk menyalurkan naluri
seksual dengan demikian jasmani dan rohani tidak akan mengalami goncangan dan
penderitaan.
1. Untuk kebahagiaan dan rahmat.
Menurut pandangan ahli-ahli moral bahwa hidup bersama tanpa perkawinan hanya
membuahkan kesenangan semu dan hanya selintas waktu. Kebahagiaan hakiki hanya
diperoleh dalam hidup bersama yang diikat oleh perkawinan.
1. Menimbulkan rasa tanggung jawab.
Kesadaran akan tanggung jawab berumah tangga akan mendorong orang giat dan rajin
berusaha dan membangkitkan kemampuan pribadi dan bakat-bakat terpendam.
Menurut Dja’far Amir hikmah nikah dari segi psikologi adalah:
1. Untuk mendirikan rumah tangga yang suci dan bahagia.
2. Untuk membuktikan penghargaan terhadap wanita, agar wanita tidak
dipermalukan laki-laki semaunya sendiri.
3. Menuju persatu paduan jiwa antara suami istri dengan penuh kasih sayang dan
saling menghormati.
4. Mencari ketentraman jiwa dan hati, sehingga dapatlah terpelihara jiwa dan
kehormatan agamanya.
Sebagaimana firman Allah:
Artinya:“Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu
isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada
yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”

1. Hikmah Nikah Dari Segi Sosiologi


Hikmah nikah dilihat dari segi sosiologi diantaranya seperti yang diungkap oleh
Sayyid Sabiq yaitu sebagai berikut:

1. Kawin adalah jalan terbaik dalam rangka memperbanyak keturunan


dengan menjaga terpeliharanya nasab, membuat anak-anak menjadi mulia serta
melestarikan hidup manusia, sebagaimana disebutkan dalam firman Allah swt.

Artinya:”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah


menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak”.
Juga terlihat dalam hadits Nabi yang berbunyi:
‫تزوجواالودود الولود فإنى مكاثر بكم اِلنبياء يوم القيامة‬.
Artinya:”Kawinlah dengan perempuan pencinta lagi bisa banyak anak agar nanti aku
dapat membanggakan jumlahmu yang banyak dihadapan para Nabi pada hari kiyamat
nanti”
1. Menyadari tanggung jawab beristri dan menanggung anak-anak akan
menimbulkan sikap sungguh-sungguh dalam mengembangkan bakat dan rajin
dalam mencari penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
2. Pembagian tugas dimana yang satu mengurusi dan mengatur rumah tangga,
sedang yang lain bekerja diluar sesuai dengan batas-batas tanggung jawab
antara suami istri dalam menangani tugas-tugasnya.
3. Dengan perkawinan dapat membuahkan tali kekeluargaan, rasa cinta antar
keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan yang memang oleh islam
direstui, ditopang dan ditunjang.
Menurut Irfan Sidqon, hikmah nikah dari segi sosiologi adalah:
Untuk memelihara kemurnian keturunan.
Perkawinan sebagai bentuk mekanisme untuk mengurangi ketegangan menge-
mbangbiakkan keturunan yang bersih dan kedudukan sosial seseorang secara ayah.
1. Untuk mengikat hubungan sosial.
Perkawinan merupakan alat untuk menghubungkan manusia yang satu dengan yang
lainnya, maksudnya supaya bertambah banyak hubungan antara manusia yang
akhirnya terwujudlah suatu keluarga yang besar dan kuat.
1. Untuk menjamin ketertiban dalam masyarakat dan kesehatan mental.
Perkawinan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat karena masing-masing
telah memiliki istri atau suami tertentu dan tidak boleh mengganggu istri atau suami
orang lain yang menyebabkan kekacauan pada lingkungannya.
Dja’far Amir menerangkan bahwa hikmah nikah dari segi sosiologis adalah:
1. Untuk menuju pergaulan hidup yang syah sebagai suami istri dalam arti yang
sebenarnya.
2. Untuk mendapatkan keturunan yang syah dalam masyarakat.
Perkawinan disyari’atkan supaya manusia mempunyai keturunan yang syah menuju
kehidupan bahagia di dunia dan akhirat dibawa naungan cintah kasih dan ridho Allah.
1. Untuk membedakan mana yang istri dan yang bukan istri.
1. Hikmah Nikah Dari Segi Kesehatan
Sayyid Sabiq mengutip salah satu pernyataan hasil penelitian tentang nikah dan
kesehatan yang dilakukan PBB yang dimuat dalam Harian Nasional terbitan Sabtu
tanggal 6-6-1959 sebagai berikut, bahwa orang yang bersuami istri umurnya lebih
panjang dari pada orang yang tidak bersuami istri baik karena menjanda bercerai atau
sengaja membujang. Pernyataan itu selanjutnya menjelaskan: diberbagai Negara
orang-orang kawin pada umur yang masih muda, akan tetapi bagaimanapun juga umur
orang-orang yang bersuami istri umumnya lebih panjang.
(rangkuman).Pernyataan diatas sesuai dengan hadits Nabi:
‫ أما التى فى‬,‫يا معشر الناس إتقوا الزنى فإن فيه ست حصال ثالثا فى الدنيا و ثالثا فى اِلخرة‬
‫ وأما التى فى اِلخرة فسخط هللا وسؤ الحساب‬,‫الدنيا فيذهب البهاء ويورث الفقر وينقص العمر‬
‫وعذاب النار‬
Artinya:”Wahai ummat manusia takutlah terhadap perbuatan zina, karena perbuatana
zina akan mengakibatkan enam perkara, yang tiga didunia dan yang tiga diakhirat.
Adapun yang akan menimpa didunia ialah: Menghilangkan wibawa, Mengakibatkan
kefakiran, Mengurangi umur. Dan tiga lagi yang akan dijatuhkan diakhirat ialah:
Mendapatkan marah dari Allah, Hisab yang jelek (banyak dosa), dan Siksaan neraka.
Sedangkan menurut Irfan Sidqan, hikmah perkawinan dari segi kesehatan
adalah menyalurkan syahwat dengan teratur dan pada tempatnya. Penyaluran nafsu
syahwat oleh pria atau wanita yang tidak dalam suatu perkawinan amat berbahaya dan
tidak bertanggung jawab.
Sedangkan menurut Dja’far Amir, hikmah nikah dari segi kesehatan adalah
agar terhindar dari pada jatuh kedalam jurang perzinaan hingga terhindar dari penyakit
kotor yang berbahaya. Sebagaimana hadits Nabi:
‫ إذا أحدكم أعجبته المرأة فوقعت فى قلبه فليعمد إلى امرأته‬.‫ قال رسول هللا ص‬:‫عن جابر قال‬
‫فليواقعها فإن ذالك يرد ما فى نفسه‬
Artinya:”Dari Jabir r. a. berkata: Rasulullah SAW bersabda: Apabila seseorang
tertarik hatinya karena melihat seorang wanita dan perasaan itu masuk kedalam
hatinya maka hendaklah ia sengaja pulang kepada istrinya dan dilepaskan syahwatnya
kepada istrinya karena dengan itu terhalang nafsunya (keinginannya kepada
perempuan yang dilihatnya tadi).

Idris Ramulyo mengatakan bahwa perkawinan adalah suatu jalan yang halal
untuk melanjutkan keturunan dan dengan perkawinan itu akan terpelihara agama,
kesopanan dan kehormatan, banyak penyakit jiwa yang sembuh setelah perkawinan
umpamanya: Animea (kurang darah). Pendek kata perkawinan dapat menumbuhkan
kesungguhan, keberanian, kesabaran dan rasa tanggung jawab kepada keluarga,
masyarakat dan Negara. Perkawinan juga dapat menghubungkan silaturrahmi,
persaudaraan dan kegembiraan dalam menghadapi perjuangan hidup dan kehidupan
masyarakat dan sosial.
Lain dari pada itu hikmah perkawinan ialah memelihara diri seseorang supaya
jangan jatuh ke lembah kejahatan (perzinaan), karena bila ada istri disampingnya tentu
akan terhindarlah ia dari pada melakukan pekerjaan yang keji itu, begitu juga wanita
yang disamping suaminya tentu akan terhindar dari maksiat itu.
D. Hukum Pernikahan dalam islam
Hukum asal dari pernikahan atau perkawinan adalah mubah boleh
mengerjakannya tidak diwajibkan dan tidak diharamkan. Ini sesuai dengan firman
Allah SWT:
Artinya:“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-
orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-
hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan
mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha
mengetahui”
Artinya:“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-
wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat”
(rangkuman).Berdasarkan nas Al Qur’an dan Sunnah, islam sangat menganjurkan
kaum muslimin yang mampu untuk melangsungkan perkawinan, akan tetapi dilihat
dari segi orang yang akan melaksanakan serta tujuan melaksanakannya maka mungkin
saja hukum nikah itu menjadi wajib, sunah, haram, makruh ataupun mubah.
1. Wajib
Orang yang diwajibkan kawin adalah orang yang sanggup untuk kawin dan ia khawatir
terhadap dirinya akan melakukan perbuatan yang dilarang Allah, yaitu zina.
Melaksanakan perkawinan merupakan satu-satunya jalan baginya untuk
menghindarkan diri dari perbuatan yang dilarang Allah, ini berdasar pada hadits Nabi
SAW:
‫ يا معشر الشباب من استطاع منكم‬: .‫ قال لنا رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن عبدهللا بن مسعود ض‬
‫ فإنه أغض للبصر واحصن للفرج ومن لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له‬,‫الباءة فليتزوج‬
‫وجا ٌء‬.
Artinya:”Dari Abdullah bin Mas’ud r. a. ia berkata: Rasulullah saw pernah bersabda
kepada kami: Hai para pemuda barang siapa diantara kamu telah sanggup untuk
kawin, maka hendaklah ia kawin. Maka kawin itu menghalangi pandangan (kepada
yang dilarang oleh agama) dan lebih menjaga kemaluan dan barang siapa tidak
sanggup hendaklah ia berpuasa karena sesungguhnya puasa itu merupakan tameng
(perisai) baginya”
Pertimbangan lainnya adalah bahwa setiap muslim diwajibkan untuk menjaga diri agar
tidak berbuat yang terlarang. Jika penjagaan diri itu harus dengan melaksanakan
perkawinan penjagaan diri itu wajib, maka hukum melaksanakan perkawinan itu
menjadi wajib. Hal ini sesuai dengan kaidah Ushul Fiqih:
‫ماال يتم الواجب إال به فهو واجب‬
Artinya:”Suatu kewajiban yang tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan
melakukan sesuatu, maka melakukan sesuatu itu hukumya wajib”
Ulama Hanafiyah memberikan hokum Fardhu bila terdapat beberapa persyaratan yaitu:
1. Ia yakin kalau tidak menikah akan terjerumus dalam perzinaan, kalau sekedar
takut akan terjerumus saja ini tidak dihukumi fardhu.
2. Ia tidak mampu melaksanakan puasa untuk menahan nafsunya, jika ia masih
mampu untuk berpuasa, maka hukumnya tidak fardhu karena ia masih
mempunyai dua pilihan yaitu antara puasa dan nikah.
3. Ia mampu memberikan mahar dan nafkah dari jalan yang halal dan tidak
melanggar aturan.
4. Sunnah
.Orang yang disunnahkan kawin adalah orang yang mempunyai kesanggupan untuk
kawin dan sanggup memelihara diri dari kemungkinan melakukan perbuatan terlarang
sekalipun demikian melaksanakan perkawinan adalah lebih baik baginya, karena
rasulullah saw melarang hidup sendirian sebagaimana sabdanya:
:‫ يأمرنابالباءة وينهى عن التبتل نهيًا شديدا ويقول‬.‫ كان النبي ص‬:‫ قال‬.‫عن أنس ض‬
‫تزوجواالودود الولود فإنى مكاثر بكم اِلمم يوم القيامة‬.
Artinya:”Diriwayatkan dari Anas r. a. ia berkata: Nabi saw selalu memerintahkan kita
untuk kawin dan melarang membujang dengan larangan yang sangat dan beliau
bersabda: Nikahilah orang yang penuh kasih sayang dan suka beranak, karena
sesungguhnya aku akan bangga (berbesar hati) terhadap ummat lain dihari kiyamat
karena dirimu (banyak keturunannya”
Menurut Syafi’iyah sekedar untuk menjaga diri dan agar memperoleh anak adalah hal
yang menjadikan nikahnya sunnah, dan hal itu dianjurkan waktu untuk memperbanyak
ummat Muhammad. Dalam ahl ini disyaratkan pula agar ia mampu memenuhi hak dan
kewajibannya.
1. Makruh
Orang-orang yang makruh melakukan nikah adalah orang yang tidak mempunyai
kesanggupan untuk kawin, pada hakikatnya orang yang tidak mempunyai kesanggupan
untuk kawin dibolehkan untuk melakukan pernikahan, tetapi karena dikhawatirkan ia
tidak dapat mencapai tujuan perkawinannya, maka dianjurkan sebaiknya ia tidak
melakukan perkawinan. Dari segi jasmaniyah ia belum mampu untuk melakukan kawin
dan mempunyai kesanggupan untuk menahan diri dari perbuatan zina. Dari segi biaya
ia tidak siap, sehingga kalaupun ia kawin diduga kehidupan keluarganya dari segi
materi akan kurang terurus. Andaikan ia kawin ia tidak berdosa dan juga tidak
mendapatkan pahala, tetapi kalau tidak kawin ia akan mendapatkan pahala.
Allah berfirman:
Artinya:“Dan orang-orang yang tidak memperoleh (alat-alat) untuk nikah, hendaklah
menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah mencukupkan dengan karunia-Nya”
Yang dimaksud dengan “alat-alat perkawinan” dalam ayat tersebut adalah semua
peralatan atau perlengkapan yang diperlukan untuk melaksanakan pernikahan dan
melangsungkan kehidupan suami istri seperti mahar, nafkah dan sebagainya.
1. Haram
(rangkuman).Perkawianan hukumnya menjadi haram bagi orang yang tidak
mempunyai keinginan dan tidak mempunyai tanggung jawab untuk melaksanakan
kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila ia melangsungkan
perkawinan dirinya dan istrinya akan terlantar. Demikian juga apabila seseorang baik
pria maupun wanita yang mengetahui bahwa dirinya mempunyai penyakit atau
kelemahan yang mengakibatkan tidak bias melaksanakan tugasnya sebagai suami/istri
dalam perkawinan, sehingga mengakibatkan salah satu pihak menjadi menderita atau
karena penyakitnya itu tidak bias mencapai tujuannya misalnya rumah tangga tidak
tentram, tidak bias memperoleh keturunan dan lain-lain. Maka bagi orang yang
demikian itu haram hukumnya untuk kawin, termasuk hal-hal yang menyebabkan
haram adalah penyakit gila, orang yang suka membunuh, atau mempunyai sifat-sifat
yang dapat membahayakan pihak yang lain dan sebagainya.
Perkawinan disyari’atkan untuk memberikan maslahat kepada manusia, menjaga jiwa
dan mengharap pahala, oleh karena itu jika perkawinan itu lebih menjadikan madharat
pada orang lain maka hukumnya menjadi haram. (makalah)
1. Mubah
(rangkuman).Perkawinan hukumnya menjadi mubah bagi orang yang mempunyai
kemampuan untuk kawin, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan
berbuat zina. Hukum mubah juga bagi orang yang antara pendorong dan penghambat
untuk kawin adalah sama, sehingga menimbulkan keraguan bagi orang yang
melakukannya seperti orang yang mempunyai keinginan tetapi belum mempunyai
kemampuan, sebaliknya bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk kawin tetapi
belum mempunyai kemauan yang kuat. Menurut Hanafiyah perbedaannya dengan
perkawinan yang dihukumi sunnah adalah tergantung pada niatnya, jika kawinnya
hanya untuk melepas nafsu seksual saja maka hukumnya menjadi mubah, akan tetapi
kalau niatnya untuk menghindarkan diri dari zina dan untuk mendapatkan keturunan
maka hukumnya menjadi sunnah.
E. Rukun dan Syarat Pernikahan dalam islam
Rukun menurut bahasa adalah bagian yang kuat yang mempunyai fungsi menahan pada
sesuatu. Menurut Hanafiyah rukun adalah bagian dari sesuatu yang sesuatu itu tidak
akan ada kecuali dengan adanya bagian itu. Kelompok selain Hanafiyah
mendefinisikan rukun sebagai bagian atau bagian tertentu yang mesti dari sesuatu,
karena tergambarnya dan wujudnya sesuatu itu mesti dengan adanya bagian itu. Jadi
dalam perkawinan apabila dikatakan rukun nikah maka apabila salah satu rukun itu
tidak ada maka nikah itu tidak terwujud atau tidak terjadi dan tidak mungkin
dilaksanakan dan rukun pernikahan itu adalah hakekat pernikahan itu sendiri.
Sedangkan syarat adalah sesuatu yang harus ada dalam perkawinan, tetapi tidak
termasuk dari hakikat dari pernikahan itu sendiri. Kalau ada salah satu dari syarat
pernikahan itu tidak dipenuhi maka pernikahan itu tidak syah, misalnya syarat-syarat
yang harus dipenuhi oleh masing-masing rukun pernikahan. Dengan demikian maka
kalau pelaksanaan pernikahan itu merupakan pelaksanaan hukum agama, maka harus
diingat bahwa dalam melaksanakan pernikahan itu oleh agama ditentukan unsur-
unsurnya yang menurut istilah hukumnya disebut rukun-rukun dan masing-masing
rukun memerlukan syarat-syarat sahnya.
1. Rukun Nikah, pernikahan dalam islam
Pada pokoknya suatu pernikahan harus memenuhi dua rukun yang harus ada, yaitu
pertama ijab, yaitu perkataan yang berasal dari wali atau orang yamg
menggantikannya, dan kedua qabul, yaitu perkataan yang berasal dari suami atau yang
menggantikannya. Nikah itu sendiri adalah sebenarnya ungkapan dari adanya ijab dan
qabul tersebut. Kemudian apakah makna syara’ tersebut adalah seperti itu saja, yaitu
sekedar ada ijab dan qabul, atau masih ada tambahan yang lain lagi. Dan ternyata ada
tambahan terhadap dua hal tersebut, yaitu adanya ikatan atau kaitan antara ijab dan
qabul.
Aqad dalam syari’at islam terdiri dari tiga hal. Yaitu dua masuk dalam inderawi (hissy),
yaitu ijab dan qabul dan satu masuk ma’nawi, yaitu kaitan atau ikatan antara ijab dan
qabul. Namun demikian dalam perkawinan khususnya, para ulama memberikan rukun
yang lebih dari itu dan itu dianggap perlu karena diangggap merupakan hakekat dari
pernikahan tersebut disamping ijab dan qabul.
Ulama’ Syafi’iyah menetapkan lima rukun nikah, yaitu:
1. Suami
2. Istri
3. Wali
4. Dua saksi
5. Shighat
Ulama’ Malikiyah tidak memasukkan dua orang saksi dalam rukun nikah tapi diganti
dengan mahar sebagai rukun.
1. Syarat-syarat Nikah, pernikahan dalam islam
Pembicaraan mengenai syarat-syarat nikah sangat berhubungan dengan rukun-rukun
nikah. Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa syarat-syarat ini adalah syarat-syarat sah
dari rukun tersebut.
Sebelum membahas tentang syarat-syarat sah dari rukun-rukun tersebut perlu
dijelaskan syarat-syarat sah ijab qabul dalam perkawinan, yaitu:
1. Antara dua orang yang yang beraqad tersebut harus orang yang sudah
mumayyiz atau baligh. Jika salah satu tidak mumayyiz seperti gila atau masih
kecil maka ijab qabul tersebut tidak sah.
2. Tempat ijab qabul tersebut harus berada pada satu majlis, antara ijab qabul tidak
ada sela perkataan atau sesuatu yang lain yang menurut kebiasaan dianggap
mengganggu atau penolakan terhadap aqad. Walaupun antara ijab dan qabul
selang beberapa waktu yang agak panjang asal tidak menunjukkan adanya
gangguan atas penolakan terhadap aqad maka tetap sah dan dianggap masih
satu majlis.
3. Antara lafadz ijab dan qabul tidak saling bertentangan atau tidak ada kaitannya,
kecuali jika perbedaan atau pengembangan kalimat qabul tersebut membawa
pada kebaikan.
4. Antara dua orang yang beraqad harus saling mendengar antara satu dengan
yang lainnya dan mengetahui yang dimaksudkan dalam aqad nikah tersebut.
1) Syarat-syarat calon suami, pernikahan dalam islam
Syariat islam menetukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh seorang calon suami
berdasarkan ijtihad para ulama’, yaitu:
a) Calon suami beragama islam
Ketentuan ini ditetapkan Karena dalam hukum islam laki-laki dalam rumah tangga
merupakan pengayom, maka pokok hukum islam itu dikembalikan pada hukum
pengayom. Karena pernikahan itu berdasarkan pada hukum islam, maka laki-laki calon
suami itu yang menjadi dasar ancar-ancar hukumnya. Dalam hukum umum pun berlaku
kebiasaan, hukum istri mengikuti hukum suami, sebagaimana hukum anak mengikuti
hukum ayahnya.
Oleh karena itu, wanita muslimah haram hukumnya kawin dengan laki-laki yang tidak
muslim, sebagaimana firman Allah dalam surat al-Mumtahanah ayat 10.
b) Calon suami benar-benar seorang lelaki
Tentang kejelasan bahwa suami harus benar-benar lelaki, hal ini diisyaratkan agar
pelaksanaan hukum itu lancar dan tidak mengalami hambatan-hambatan. Dalam hal
perikatan, hukum islam menghendaki agar masing-masing pihak mendapat hak dan
kewajiban yang seimbang. Salah satu hambatan dalam aqad perkawinan adalah kurang
jelasnya calon pengantin. Karena itulah diperlukan penegasan calon suami bahwa ia
benar-benar laki-laki.
c) Orangnya harus diketahui dan tertentu
d) Calon suami itu jelas boleh dinikahkan dengan calon istri.
Syarat ini diperlukan sebagai landasan agar jangan sampai terjadi suatu perkawinan itu
merupakan pelanggaran hukum. Kalau antara calon suami dan calon istri ada hubungan
mahram maka pelaksanaan perkawinannya adalah perbuatan dosa dan hukumnya tidak
sah karena larangan itu termasuk haram lidzatih.
e) Calon mempelai laki-laki tahu dan kenal pada calon istri serta tahu bahwa calon
istrinya halal baginya. Sebagaimana juga syarat yang diatas, syarat ini menghindari
adanya perkawinan yang melanggar hukum dan akan menimbulkan perbuatan dosa.
f) Calon suami rela atau tidak dipaksa untuk melakukan perkawinan tersebut.
Perkawinan adalah suatu perbuatan hukum, sedangkan suatu perbuatan hukum harus
berdasar pada azaz kebebasan para pelakunya, sehingga suatu perkawinan menjadi
tidak sah apabila dilakukan dengan paksaan.
g) Tidak sedang melakukan ihram
Orang sedang ihram tidak dibolehkan melakukan perkawinan dan juga tidak boleh
mengawinkan orang lain bahkan melamar juga tidak boleh. Ini didasarkan pada sbada
Rasulluah SAW menurut riwayat Imam Muslim dari sahabat Utsman bin Affan:
Artinya:“Tidak boleh kawin orang yang sedang dalam ihram dan tidak boleh
mengawinkan serta tidak boleh melamar”
‫ ال ينكح المحرم وال ينكح وال يخطب‬:‫ قال‬.‫عن عثمان بن عفان أن رسول هللا ص‬
h) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya:“Dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara,
kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”
i) Tidak mempunyai empat istri.
Hal ini didasarkan pada firman Allah:
Artinya:“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau
empat.
2) Syarat-syarat calon istri, pernikahan dalam islam
a) Beragama Islam
Mengenai wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat para ulama, diantara mereka
ada yang membolehkan dan diantara mereka ada yang tidak membolehkan, namun
hukum asalnya adalah boleh sebagaimana firman Allah:
Artinya:“Dan Dihalalkan mangawini wanita yang menjaga kehormatan diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara
orang-orang yang diberi Al kitab sebelum kamu”
b) Jelas bahwa ia benar-benar wanita dan bukan banci (huntsa).
c) Wanita itu orangnya jelas dan tertentu.
d) Halal bila dinikahkan dengan calon suami.
e) Wanita itu tidak dalam ikatan perkawinan dengan orang lain dan tidak dalam masa
iddah.
Iddah ialah waktu tunggu bagi wanita yang dicerai oleh suaminya, baik cerai hidup
atau karena ditinggal mati untuk dapat kawin lagi dengan laki-laki lain.
f) Tidak dipaksa
Wanita harus mempunyai kebebasan memilih untuk menentukan sikap dalam
perkawinannya. Yang dimaksud paksaan disini ialah paksaan dengan ancaman yang
mengakibatkan terancamnya keselamatan jiwa. Masalah ini harus dibedakan antara
paksaan dengan hak ijbar bagi ayah sebagai wali mujbir, untuk menentukan pilihan
calon suami bagi anak perempuannya yang sangat pantas dan sesuai serta wanita itu
tidak mengadakan penolakan secara kasar.
g) Tidak dalam keadaan ihram haji ataupun umrah.
3) Syarat-syarat wali nikah, pernikahan dalam islam
(rangkuman).Para ulama’ sepakat bahwa orang yang akan menjadi wali harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a) Orang mukallaf/baligh, karena orang mukallaf adalah orang yang dibebani hokum
dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini didasarkan pada sabda
Nabi saw:
‫ عن النائم حتى يستيقظ وعن الصبى حتى يحتلم وعن المجنون حتى يفيق‬:‫رفع القلم عن ثالث‬
Artinya:”Diangkat kalam (dibebaskan dari ketentuan-ketentuan hokum) dari tiga
golongan yaitu: orang yang sedang tidur sampai ia bangun, dari anak-anak sampai ia
bermimpi dan dari orang gila sampai ia berakal (sembuh)”
b) Muslim
Apabila yang kawin itu seorang muslim maka disyaratkan walinya juga seorang
muslim. Hal ini berdasarkan firman Allah dalam surat Al Imran ayat 28:
Artinya:“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi
wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin”
c) Berakal sehat
Hanya orang yang berakal sehat saja yang dapat dibebani hukum karena dianggap
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw
sebagaimana disebutkan diatas tentang diangkatnya kalam.
d) Laki-laki
Imam Maliki, Syafi’I dan Hanbali berpendapat bahwa wanita tidak boleh
mengawinkan dirinya. Hal ini berdasarkan sabda Nabi SAW:

‫ ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج المرأة نفسها‬: .‫ قال رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن ابى هريرة رض‬
Artinya:”Dari Abu Hurairah r. a. ia berkata: Rasulullhah SAW bersabda: wanita itu
tidak sah menikahkan wanita lainnya dan tidak sah pula menikahkan dirinya sendiri”
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita boleh atau sah menjadi wali dari
perkawinan wanita lainnya atau menikahkan dirinya sendiri. Ia beralasan pada hadits
Nabi:
‫ اِليم أحق بنفسها من وليها والبكر تستأمر‬: .‫ قال رسول هللا ص‬:‫ قال‬.‫عن ابن عباس ر ض‬
‫فى نفسها وإذنها صماتها‬
Artinya:“Dari Ibn Abbas r. a. ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Janda itu lebih
berhak atas dirinya, sedang seorang gadis hendaklah diminta izinnya dan izin si gadis
adalah diamnya itu”
Hadits Ibn Abbas tersebut menerangkan bahwa orang yang akan kawin itu termasuk
wanita, lebih berhak atas perkawinan dirinya sendiri daripada walinya karena haknya
itu ia dibolehkan menikahkan dirinya sendiri sebagaimana hak wali yang boleh pula
melaksanakan perkawinannya. Selain itu wanita boleh menikahkan orang lain yang
dibawah perkawinannya.
e) Adil
Madzhab Syafi’I mensyaratkan wali itu seorang yang cerdas berdasar hadits:
‫ النكاح إال بولى مرشد‬: .‫عن ابن عباس قال قال رسول هللا ص‬.
Artinya:”Dari Ibn Abbas ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tidak (sah)
pernikahan kecuali dengan wali yang cerdas”
Menurut Imam Syafi’I yang dimaksud dengan cerdas dalam hadits tersebut adalah adil.
Imam Abu Hanifah tidak mensyaratkan seorang wali itu harus adil, karena beliau
berpendapat bahwa hadits Ibn Abbas diatas adalah Hadits Dha’if.
4) Syarat-syarat saksi, pernikahan dalam islam
Syarat-syarat saksi adalah sebagai berikut:
a) Mukallaf atau Dewasa, karena hanya orang yang sudah dewasa yang dapat dan
mampu mempertanggung jawabkan perbuatannya dalam persaksian.
b) Muslim, orang bukan muslim tidak boleh menjadi saksi dari pernikahan Islam.
c) Saksi harus mengerti dan mendengar perkataan-perkataan yang diucapkan pada
waktu akad nikah dilaksanakan, orang-orang yang bisu dan tuli boleh juga diangkat
menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang melakukan akad.
d) Adil, yaitu orang yang taat beragama dan menjalankan perintah Allah dan
meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Imam Syafi’I syarat adil
bagi seorang saksi merupakan suatu keharusan, sedangkan menurut Imam Hanafi saksi
tidak mesti harus adil, ia membolehkan orang fasik menjadi saksi asal kehadirannya
dapat mencapai tujuan adanya saksi dalam akad nikah.
e) Saksi yang hadir minimal dua orang, saksi itu harus laki-laki tetapi apbila tidak
ada dua orang saksi laki-laki maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua
orang perempuan.
Hal ini berdasarkan Firman Allah:
Artinya:“Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang
seorang mengingatkannya”
5) Syarat shighat akad, pernikahan dalam islam
Adapun Shighat akad nikah mempunyai syarat-syarat:
a) Hendaklah dengan perkataan yang berarti “perkawinan”, “pernikahan” serta
kerelaan dari pihak-pihak calon suami dan calon istri yang melakukan perkawinan.
Dalam perkataan “Ijab” disamping menggunakan perkataan “perkawinan” atau
“pernikahan” dalam arti yang sebenarnya (hakikat) boleh pula dipakai perkataan yang
berarti kiasan (majaz), asal saja maksud perkataan tersebut tidak berbeda dengan
maksud perkataan “perkawinan” atau “pernikahan”, seperti seorang ayah yang menjadi
wali bagi anak perempuannya berkata: Aku serahkan anak perempuanku
yang bernama A kepada kamu (laki-laki yang bernama B) untuk dijadikan sebagai
istrimu.
b) Perkataan “Qabul” haruslah memakai perkataan yang menegaskan bahwa pihak
calon suami telah menerima “Ijab” yang diucapkan oleh calon istri.
Keragu-raguan dalam perkataan “Qabul” haruslah dihindarkan, keragu-raguan dapat
dihindarkan apabila dalam perkataan “Ijab” dipakai bentuk “madhi” (bentuk masa
lampau), seperti perkataan “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha” perkataan “Qabul”
dalam bahasa Indonesia tidak memakai bentuk lampau karena tidak ada pembagian
waktu dalam kata kerjanya.
Perkataan “Qabul” dalam bahasa Indonesia cukup dengan perkataan yang mengandung
penegasan dan tidak ada keragu-raguan. Perkataan yang bisa dipakai ialah pihak calon
suami menjawab “Ijab” dari wali calon istri dengan perkataan: “Aku terima nikah si A
dengan maharnya Rp. 250,- (dua ratus lima puluh rupiah).
Sighat akad nikah tidak diharuskan menggunakan bahsa Arab, boleh dengan bahasa
lain, yang penting ialah pihak-pihak yang ikut dalam akad nikah mengerti dan
memahami apa yang diucapkan oleh orang-orang yang berakad.
c) “Ijab” dan “Qabul” haruslah sesuai dan ada kecocokan.
“Ijab” dan “Qabul” dikatakan tidak sesuai dan tidak ada kecocokan ialah apabila “Ijab”
yang diucapkan tidak sesuai dengan “Qabul” yang diucapkan, seperti wali dari calon
istri berkata: ”Aku nikahkan engkau (A) dengan putriku Ftimah . . .” dan dijawab oleh
calon suami: “Aku terima nikah anakmu yang bernama Zainab . . .“ atau jumlah mahar
yang disebut didalam “Ijab” berlainan dengan jumlah mahar yang disebut di dalam
“Qabul”.
d) Masing-masing pihak harus mendengar dan memahami perkataan atau isyarat-
isyarat yang diucapkan atau dilakukan oleh masing-masing pihak diwaktu akad nikah.
e) “Ijab” dan “Qabul” haruslah diucapkan ditempat yang sama dan dalam waktu yang
sama.
f) Shighat akad harus mengandung pengertian bahwa perkawinan antara calon suami
dengan calon istri telah berlangsung dalam arti yang sebenarnya setelah selesai
diucapkan.
Tidak boleh ada dalam shighat akad nikah pengertian bahwa kelangsungan perkawinan
dihubungkan dengan waktu yang akan datang atau kejadian-kejadian yang akan datang,
seperti perkataan wali: “Aku nikahkan engkau dengan putriku A besok pagi . .
.” atau “Aku nikahkan engkau dengan putriku B setelah engkau mempunyai
penghasilan . . .” Kedua bentuk shighat tersebut menyebabkan tidak sahnya nikah,
karena ijab mengandung pengertian menangguhkan pernikahan yang seharusnya
berlaku sekarang kepada waktu yang akan datang atau kejadian yang akan datang
sesuai dengan kaidah
‫أن كل ما يفيد الملك فى الحال ال يجوز إضا فته إلى زمن مستقبل‬.
Artinya:“Semua pemilikan yang memberi faedah berlaku pada masa sekarang tidak
boleh dihubungkan (ditangguhkan berlakunya) kepada masa yang akan datang”.
Mengenai sighat ta’lik talak yang berlaku di Indonesia bukanlah termasuk sighat akad
nikah, karena sighat ta’lik talak itu diucapkan setelah selesai membaca sighat akad
nikah.
g) Hendaklah shighat akad nikah itu “muabbad” (tidak ada pembatasan waktu)

Kesimpulan
Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang lelaki dan seorang
perempuan untuk hidup bersama. Dalam bahasa agama Islam, ia dinamai ’aqd nikah.
Perkawinan yang merupakan ikatan batin itu memiliki tali temali dari tiga rangkaian
pengikat: Cinta (mawaddah), Rahmah (kondisi psikologis yang muncul di dalam hati
untuk melakukan pemberdayaan), & Amanah (ketenteraman)(Oleh Dr Quraish shihab)
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang
diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih
sayang), Allah berfirman: “Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram
bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan diantaramu (suami, istri) rasa cinta dan
kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi kaum yang berpikir”.
Dan dalam Hadist menikah itu sangat dianjurkan dalam agama, dengan
beberapa alasan salah satunya untuk mempertahankan manusia dari kepunahan
menghindari zina dan lain" . Adapun beberapa kriteria wanita yang seharusnya dinikahi
itu adalah agamanya .

Daftar Rujukan
Lidwa hadist 9 imam
Disunting dari M. Quraish Shihab dalam buku karyanya “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir
Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat” (Mizan, 2000).

Anda mungkin juga menyukai