disuapi.
Ibunya lagi sibuk. Sibuk mengubur diri hidup-hidup dalam lahannya yang akan jadi calon
gusuran. Sang ibu berharap, demonstrasi model baru itu akan bikin aparat urung main buldoser.
Dulu pernah ada di Sumatera Utara ibu-ibu kandidat tergusur kompak tampil telanjang.
Akibatnya aparat penggusur kaget, tutup mata, mungkur balik kanan. Tapi toh akhirnya lahan
tetap digusur juga. Sang ibu berharap, demo model mengubur diri lebih sakti ketimbang demo
blak-blakan aurat. Tapi anaknya yang masih kecil jadi terbengkalai. Bocah ini terus nangis
meronta-ronta.
Gampang kalau masih ada patung Semar di bawah jambu Pak Dunung, sebelah tiang burung
perkutut. Bocah yang rewel dan kakinya mancal-mancal itu tinggal digendong oleh tetangganya
dan telap-telep disuapi di sekeliling patung Semar. Beres.
Sebenarnya persoalan rekannya seangkatan bayi tersebut juga gampang diselesaikan andai
patung Semar masih ada di pekarangan depan Pak Dunung. Dia juga telantar. Menangis gero-
gero. Ibunya juga sedang sibuk. Sibuk ditempelengi oleh sang suami. Satpam bilang ke bocah
playgroup itu, ”Sudahlah, Adiiik…Mama masih mending cuma dikaploki bapakmu. Tabahkan
hatimu ya, Adiiiik…. Di Sulawesi, istri malah dijual ke broker rumah bordil. Tarifnya Rp 500 ribu
sekali kencan. Ini untuk membayar utang-utang suami yang gagal jadi anggota legislatif…”
”Oalah, Mas Antooook, Mas Antok,” tegur Watik kepada satpam. Pedagang sayur keliling yang
kebetulan lewat ini mengingatkan, anak kecil apa mudeng diajak ngomong model begitu. Sama
susahnya dengan omongan soal ”redenominasi” duit. Yang stres anak kecilnya apa satpamnya
kalau sudah begini ini. ”Mbok sana, Sampeyan bawa anak ini ke rumah Pak Dunung. Ajak main di
depan arca Semar…Pasti cekikikan bocah ini. Lupa masalah bahtera rumah tangga.”
Watik lupa, tugu Semar sudah raib dari halaman depan rumah Pak Dunung. Mungkin karena tiap
hari diomeli ibu-ibu kompleks perumahan lantaran harga sayur-mayur terus meningkat, Watik
sampek ndak bisa mikir lingkungannya sendiri bahwa patung Semar sudah tidak bercokol di
habitatnya sejak Desember tahun lalu.
Pak Dunung menyulap patung Semar jadi celengan di dalam rumah karena panik dengar kabar
”redenominasi” rupiah. Dia mendengar sas-sus bahwa nanti Rp 1000 akan tinggal jadi Rp 1.
Walau banyak dijelaskan bahwa ”redenominasi” adalah makhluk yang berbeda dibanding
”sanering” atau pemotongan nilai mata uang, tetap saja Pak Dunung dan yang lain-lain panik.
Ada yang paniknya malah membelanjakan uang secara jor-joran. Paniknya Pak Dunung malah
menarik uangnya dari bank. Dia cemplungkan ke dalam celengan Semar.
Problem Pak Dunung tidak diketahui oleh Watik. Makanya perempuan asal Wonogiri itu masih
saja ngeyel minta Mas Antok, satpam, agar membawa bocah rewel ke hadapan patung Semar
Pak Dunung.
***
Di kompleks permukiman itu juga tinggal seorang lelaki 50-an tahun. Para tetangga
memanggilnya Ki Joko Bodo, bukan lantaran ia mirip tokoh paranormal gondrong berkumis
berjenggot itu. Mereka berkasak-kusuk menamainya Ki Joko yang artinya perjaka, lantaran lelaki
sudah setengah abad ini memang masih belum menikah. Tinggal seorang diri tanpa sanak
tanpa pembantu tanpa kucing.
Ada yang bilang, meski sudah setengah abad hidup, lelaki gondrong yang ke mana-mana pergi
pakai ransel ini gemar pol ambek Agnes Monica. Dia suka banget Agnes, apalagi pas idolanya itu
lewat twitter nyindir masyarakat yang gampang menuhankan artis kagetan. Padahal artis
karbitan itu cuma lipsing lagu orang lain. Mestinya orang-orang lebih menghargai artis yang lahir
dari ketekunan dan kerja keras selama bertahun-tahun. Ki Joko sendiri yang sudah latihan
menari Hanuman selama puluhan tahun sampek sekarang nggak terkenal-terkenal. Sekadar
lingkup pesta seni 17 Agustusan di RT/RW-nya sendiri warga juga gak kenal.
Hidup sendiri, tapi setelah patung Semar tak ada di halaman depan rumah Pak Dunung, Ki Joko
mendapat langganan pengunjung kecil. Hampir setiap hari bocah perempuan seusia taman
kanak-kanak itu menjadi tamu sang perjaka tua dan minta didongengi.
Sebetulnya sudah nyaris habis bahan dongengan Ki Joko setelah hampir 8 bulan tiap hari sejak
Desember tahun lalu mendongeng pada bocah ayu ini. Untung siang itu Ki Joko masih punya
satu bahan yang tiba-tiba diingatnya. Bahannya soal perjumpaan Hanuman dan Dewi Trijata.
***
Hanuman itu kera yang baik. Ibunya, Ratna Anjani, sudah tidak ada di dunia. Bapaknya, Batara
Guru, juga sudah hidup di langit sana, di kahyangan. Hanuman hidup sendirian.
”Emang gak ada perempuan yang mau sama Oom. Kata mama, Oom Ki Joko itu sebetulnya
orangnya lucu lho…Mama juga bilang Ki Joko itu orangnya hmm…”
Jangan ngomong dulu…Sssttt…Walaupun hidup sendirian, Hanuman itu kera yang baik. Suka
menolong. Tanpa pamrih. Makanya Hanuman banyak dapat rezeki. Dia menolong Prabu Rama
untuk melihat-lihat istrinya yang sedang dipenjara oleh raksasa Rahwana di Taman Argasoka.
Namanya Dewi Sinta. Nah, pas Hanuman sukses menembus bahaya dan rintangan dan
pertahanan ketat para pengawal, berhasil masuk ke taman…taman hmmm…itu indahnya bagai
Taman Sriwedari … Hanuman bertemu dayang Dewi Sinta. Namanya Dewi Agnes Trijata. Dia ini
putrinya Raden Gunawan Wibisana, adik Rahwana.
Kamu suka boneka monyet-monyetan kan? Yang seluruh badannya ada bulunya itu? Lucu kan?
Nah, keponakan perempuan Prabu Rahwana sang Raja Alengka itu sebetulnya sudah jatuh cinta
mati pada Hanuman karena lucunya. Sudah cukup lucunya itu saja. Ndak usah Hanuman neko-
neko mau menunjukkan kemampuannya yang lain agar Dewi Trijata makin terpikat. Semar juga
sudah mengingatkan agar Hanuman tidak usah pamer-pamer kekuatannya. Wong Dewi Trijata
kesengsem sama Hanuman karena wujud Hanuman itu lucu.
”Oom Ki Joko, Pak De Semar itu patung yang dulu pringas-pringis di depan rumah Pak De
Dunung?”
Ya. Betul. Tapi peringatan Pak De Semar nggak direken Hanuman. Hanuman tetep nyari perhatian
Dewi Trijata. Dia merusak ibu kota Alengka. Penduduk Alengka sampai ke rajanya kalang kabut.
Raja Rahwana menyuruh anak-anaknya, Saksadewa, maju lengkap dengan senjata candrasa.
Saksadewa tewas. Surasekti yang sebesar gunung anakan juga tewas. Pasukan pengawal
Wilwirapa yang menunggang gajah membawa senjata limpung juga pontang-panting. Lalu anak
kesayangan Rahwana, Indrajit muncul mbarek keretanya. Kereta yang ditarik empat ekor singa
galak itu menerkam Hanuman, ndak mempan. Malah singa-singa sombong itu menggelepar-
gelepar kayak mujair kehilangan air, jadi korban kuku pancanaka Hanuman.
Ibu kota Alengka hancur. Taman-tamannya bubrah. Banyak perempuan menjadi janda. Sejak itu
Dewi Trijata semakin hari semakin berkurang rasa cintanya pada Hanuman.
”Nggak papa Oom. Pak De Semar sudah ndak ada…Tapi aku mau tetep makan…Pokoknya aku
mau terus didongengi…Oom Ki Joko bohong juga nggak papa… Kalau Oom nggak mau dongeng
lagi, tak bilangin mama…” (*)
© 2018 Sujiwotejo ↑