Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PEREKONOMIAN INDONESIA

“PENDAPATAN PERKAPITA PADA MASA


PANDEMI”

Dosen Pengampu
HERI KUSAIRISE., MM

DISUSUN OLEH :

Maria Melania N.Z 1812321011 Akuntansi E

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS


BHAYANGKARA SURABAYA
Jl. Ahmad Yani No.14, Ketintang, Kec. Gayungan, Kota SBY, Jawa Timur 60231
TAHUN AJARAN 2018/2019

I
KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan YME atas berkat rahmat dan
karuniaNya yang diberikan kepada kita semua sebagai umatnya. saya dapat menyusun
makalah dengan judul “Pendapatan Perkapita Pada Masa Pandemi” untuk memenuhi
mata kuliah Perekonomian Indonesia.

Dalam kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih, semoga makalah ini dapat
memberikan kontribusi positif dan memberikan manfaat untuk kita nantinya . Dari lubuk
hati yang paling dalam, sangat disadari bahwa makalah yang saya buat masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu saya mengharapkan berbagai kritik dan saran yang membangun
untuk lebih baik kedepannya.

Sidoarjo, 20 September 2020

Penulis

II
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL....................................................................................... I

KATA PENGANTAR.................................................................................... II

DAFTAR ISI................................................................................................... III

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ........................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Pendapatan Perkapita............................................................. 4
2.2. Pengertian Pendapatan Nasional.............................................................. 4
2.3. Perekonomian Indonesia di Tengah Wabah Covid-19............................ 5
2.4. Ekonomi di tengah Pandemi, Akan Terjadi lagi Depresi Besar.............. 6

BAB III PENUTUP


3.1. Kesimpulan.............................................................................................. 16
3.2. Saran ....................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 18

III
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendapatan perkapita merupakan besarnya pendapatan rata-rata penduduk


suatu negara pada suatu periode tertentu, yang biasanya satu tahun. Pendapatan
perkapita diperoleh dari hasil pembagian pendapatan nasional pada tahun tertentu
dibagi dengan jumlah penduduk suatu negara pada tahun tersebut. Pendapatan
perkapita sering digunakan sebagai tolak ukur kemakmuran suatu negara.
Semakin besar pendapatan perkapita, maka negara tersebut akan dinilai semakin
makmur.
Pendapatan menjadi aspek yang sangat penting dari setiap bentuk usaha. Di
Negara kita ini, berbagai sektor usaha seperti pertanian, perkebunan, industri,
pariwisata, perbankan dan masih banyak sektor yang lain berlomba-lomba
menghasilkan pendapatan yang tinggi guna menghidupi usaha yang mereka jalani
agar tetap bisa bertahan. Di lain sisi, kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh
berbagai sektor tersebut juga akan memberikan pendapatan nasional bagi Negara.
Pendapatan nasional adalah ukuran nilai output berupa barang dan jasa yang
dihasilkan suatu Negara dalam periode tertentu atau jumlah seluruh pendapatan
yang diterima oleh masyarakat dalam suatu Negara dalam satu tahun. Pendapatan
nasional memiliki peran yang sangat vital bagi sebuah Negara, karena pendapatan
nasional merupakan salah satu tolak ukur keberhas ilan perekonomian suatu
Negara. Dengan pendapatan nasional, akan terlihat tingkat kemakmuran suatu
Negara, semakin tinggi pendapatan nasional suatu Negara maka dapat dikatakan
semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan rakyatnya.
Suatu perekonomian dapat dikatakan berkembang apabila pendapatan
perkapita dalam jangka panjang cenderung naik. Namun bukan berarti bahwa
pendapatan perkapita akan selalu mengalami kenaikan. Adanya resesi ekonomi,
kekacauan politik dan penurunan ekspor dapat mengakibatkan menurunnya
tingkat kegiatan perekonomian suatu negara. Jika keadaan demikian hanya
bersifat sementara dan kegiatan ekonomi secara rata -rata meningkat dari tahun ke
tahun, maka masyarakat tersebut dapatlah dikatakan menjalankan pembangunan
ekonomi (Arsyad, 92:16 ).

1|Page
Bagi negara– negara berkembang termasuk Indonesia yang ingin mempercepat
laju pertumbuhan ekonominya yang kemudian dapat mengenai tingkat hidup di
negara-negara maju, investasi dalam jumlah yang besar perlu dijalankan.
Sehingga hasilnya tidak hanya diserap oleh pertambahan penduduk saja. Di
negara berkembang umumnya tingkat investasi begitu rendah, sehingga sering
kali terperangkap pada pendapatan yang rendah (Suparmoko, 86:267).
Beberapa faktor penting yang mempengaruhi pendapatan perkapita adalah
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), baik Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas Dasar Harga Berlaku maupun Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) atas Dasar Harga Konstan dan juga jumlah penduduk. Pemahaman
tentang faktor- faktor yang mempengaruhi pendapatan perkapita sangat penting
sehingga dapat dijadikan acuan dalam pengambilan keputusan dalam menentukan
faktor mana yang lebih memberikan kontribusi yang lebih besar terhadap
pendapatan perkapita. Hal itu dapat dijadikan dasar yang kuat dalam menentukan
suatu kebijakan yang akan diambil dan diharapkan akan dapat mempermudah
pengambilan suatu kebijakan, sehingga berbagai kemungkinan yang terjadi dari
segi kerugian maupun kelemahan dapat ditanggulangi. Dapat diharapkan
kebijakan yang diambil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
merata.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi
perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih
baik selama periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan juga
sebagaiproses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan
dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional (Eva, 2013).
Definisi pertumbuhan ekonomi yang lain adalah bahwa pertumbuhan ekonomi
terjadi bila ada kenaikan output perkapita. Pertumbuhan ekonomi
menggambarkan kenaikan taraf hidup diukur dengan output riil per orang
(Boediono, 1981:2).
Menurut Lincolin Arsyad (2004), pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai
kenaikan GDP/GNP tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk atau apakah perubahan struktur ekonomi
terjadi atau tidak.

2|Page
Menurut Tambunan (2001) pertumbuhan ekonomi adalah penambahan Produk
Domestik Bruto (PDB) yang berarti penambahan Pendapatan Nasional (PN).
Pertumbuhan ekonomi merupakan suatu proses peningkatan kapasitas produksi
dari perekonomian secara komprehensif dan terus menerus atau
berkesinambungan sepanjang waktu, sehingga menghasilkan tingkat pendapatan
nasional yang semakin lama semakin besar (Todaro, 2000). Pertumbuhan
ekonomi menurut Suparmoko (1998) merupakan salah satu tujuan penting dari
kebijakan ekonomi makro yang berkaitan ukuran fisik berupa peningkatan
produksi barang dan jasa.
Dalam hal ini berdasarkan uraian penjelasan di atas dapat di indentifikasi
beberapa masalah salah satunya dimasa saat ini Pandemi corona membuat
pertumbuhan ekonomi global tumbuh negatif tahun ini. Dana Moneter
Internasional atau IMF memperingatkan situasinya bakal lebih buruk dari Depresi
Besar alias Great Depression pada 1930an. Padahal, baru tiga bulan lalu IMF
mengeluarkan perkiraan pertumbuhan pendapatan per kapita yang positif di lebih
160 negara anggotanya. Sekarang, proyeksinya berbalik arah bahkan berdampak
ke 170 negara. Maka dari itu beberapa pembahasan untuk mengidentifikasi suatu
masalah pendapatan pada masa pandemi akan diuraikan pada bab II, maka untuk
menyusun makalah penulis mengambil judul ”PENDAPATAN PER KAPITA
PADA MASA PANDEMI”.

3|Page
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pengertian Pendapatan Perkapita

Pendapatan perkapita merupakan sebuah tolak ukur untuk melihat kesejahteraan


dan pembangunan di sebuah negara. Sering disebut juga sebagai pendapatan rata-
rata penduduk di suatu negara. Pendapatan perkapita ini juga merefleksikan PDB
per kapita. Oleh karena itu, baik pendapatan nasional maupun perkapita keduanya
memiliki keterikatan yang kuat.
PDB atau Produk Domestik Bruto yang disebutkan sebelumnya, juga bisa
dijadikan salah satu alat untuk mencari pendapatan nasional. Di mana dalam
bidang ekonomi PDB ini merupakan nilai pasar semua barang dan jasa yang
diproduksi oleh suatu negara pada periode tertentu. Untuk itulah, PDB ini juga
memiliki hubungan yang berkaitan erat dengan pendapatan perkapita.

2.2. Pengertian Pendapatan Nasional

Pendapatan nasional adalah ukuran nilai output berupa barang dan jasa yang
dihasilkan suatu Negara dalam periode tertentu atau jumlah seluruh pendapatan
yang diterima oleh masyarakat dalam suatu Negara dalam satu tahun. Pendapatan
nasional memiliki peran yang sangat vital bagi sebuah Negara, karena pendapatan
nasional merupakan salah satu tolak ukur keberhasilan perekonomian suatu
Negara. Dengan pendapatan nasional, akan terlihat tingkat kemakmuran suatu
Negara, semakin tinggi pendapatan nasional suatu Negara maka dapat dikatakan
semakin tinggi juga tingkat kesejahteraan rakyatnya. Namun, sesungguhnya
pendapatan nasional suatu Negara tidak dapat sepenuhnya dijadikan sebagai
indikator naiknya tingkat kesejahteraan rakyat di suatu Negara. Sebagai contoh,
meskipun pendapatan nasional Indonesia pada tahun 2010 naik dari tahun
sebelumnya, tetapi tetap saja masih (sangat) banyak rakyat Indonesia yang sampai
saat ini hidup di bawah garis kemiskinan.

4|Page
2.3. Perekonomian Indonesia di tengah Wabah Covid-19

Dampak langsung pandemi Virus Corona atau disebut juga dengan COVID-19
telah dapat dirasakan secara global. Lembaga Internasional Dana Moneter
Internasional (IMF) pada awal tahun 2020 mengeluarkan data perkiraan
pertumbuhan pendapatan per kapita cenderung positif dari negara-negara
anggotanya. Akan tetapi data proyeksi tersebut berbalik arah dengan adanya
pandemi, dan mengeluarkan pernyataan bahwa IMF sedang mengantisipasi
terpuruknya ekonomi yang lebih buruk dari masa Depresi Besar (The Great
Depression) pada tahun 1930.
The Economist Intelligence Unit (EIU), divisi riset dan analisis dari grup
media asal Inggris, The Economist, memperkirakan bahwa negara-negara maju
dan berkembang yang menjadi anggota G20 akan mengalami resesi pada tahun
2020. Disebutkan bahwa negara-negara di Eropa yang menjadi wilayah yang
paling terdampak COVID-19 seperti Jerman, Perancis dan Italia akan mengalami
resesi sepanjang tahun  2020 dengan angka pertumbuhan ekonomi minus 6,8%,
minus 5% dan minus 7% di masing-masing negara.
Bagaimana dengan Indonesia? EIU menyebutkan bahwa perekonomian
Indonesia akan melambat sebesar 4 % dari sebelumnya (5,1% akan menjadi 1 %).
Secara kasat mata, perlambatan ini sudah terasa dalam kurun waktu sebulan pada
saat penyebaran Covid-19 dimulai. Mobilitas manusia/jasa berkurang secara
drastis karena penerapan social distancing yang diikuti dengan Pengurangan
Sosial Berskala Besar (PSBB). Dunia usaha di berbagai bidang sebagai pengguna
jasa tidak dapat terpenuhi demand-nya karena supply yang berkurang. Para pelaku
usaha tidak bisa memutar uang karena ketiadaan income terutama untuk pelaku
usaha yang masih menjalankan proses produksi-jual-beli secara konvensional.
Dalam menghadapi situasi seperti ini bukan berarti tidak ada yang dapat
dilakukan. Sebagai masyarakat awam, situasi ini perlu dipahami dengan merujuk
kepada informasi yang dapat diandalkan untuk menyusun langkah ke depan.
Keperluan atau kebutuhan untuk memahami situasi tersebut adalah bagian konsep
akuntabilitas dalam Tata Kelola Pemerintahan yang baik atau disebut juga dengan
Good Governance.

5|Page
IAP2 Indonesia melihat pentingnya akuntabilitas dalam penanggulangan
Pandemi ini (silahkan baca Artikel “Akuntabilitas Penanganan COVID-19”).
Seluruh masyarakat perlu mendapatkan informasi secara benar mengenai proses
yang sedang berjalan dalam menangani COVID-19 dari pihak yang berwenang
(dalam hal ini Pemerintah), agar masyarakat dapat menyusun berbagai strategi
terkait dengan perekonomian. Sebagai contoh, saat ada data terkait APD (Alat
Pelindung Diri) untuk tenaga medis pada sebuah institusi kesehatan yang
termasuk zona merah masih kurang, maka situasi ini menjadi peluang bagi
masyarakat untuk menggerakkan donasi guna membiayai pembuatan APD dengan
mengaktifkan usaha-usaha konveksi sekitar yang terancam gulung tikar karena
tidak ada orderan. Atau ketika diketahui jumlah “Orang Dalam Pengawasan”
(OPD) yang sedang menjalani isolasi mandiri, peluang untuk membuat usaha
kuliner makanan sehat terjangkau dengan menggunakan transportasi daring
(online) dalam distribusinya bisa dilakukan.
Pemerintah dalam pelaksanaan prinsip akuntabilitas tersebut dapat menerapkan
Lima Spektrum Partisipasi Publik, yaitu Inform (Menginformasikan), Consult
(Mengkonsultasikan), Involvement (Keterlibatan), Collaborate (Berkolaborasi)
dan Empowerment (Memberdayakan) dalam penyampaian informasi terkait
penanganan COVID-19. Dengan cara ini publik dapat langsung memgambil
sikap; apakah cukup tahu saja, menyebarkan informasi tersebut kepada kelompok
lain atau menjadi bagian dari penanggulangan dengan memberdayakan potensi
ekonomi sekitar.

2.4. Ekonomi ditengah Pandemi, Akan terjadi lagi Depresi Besar

Ekonomi di Tengah Pandemi, Apakah Akan Terjadi Lagi Depresi Besar? IMF
memperingatkan dampak pandemi corona ke perekonomian dunia bakal lebih
buruk dari Depresi Besar pada 1930an. Image title Oleh Sorta Tobing 14 April
2020, 17:37 apa itu depresi besar, depresi hebat 1930-an, great depression, apa
akibat depresi besar, dampak depresi besar, virus corona, virus korona, pandemi
corona, covid-19 ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww. Seorang warga duduk di
antara pertokoan yang tutup di Pasar Baru, Jakarta, Jumat (3/4/2020). IMF

6|Page
memperingatkan banyaknya aktivitas usaha yang terganggu karena pandemi
corona bakal membuat perekonomian dunia jatuh lebih buruk dari Depresi Besar
1930-an. Pantau Data dan Informasi terbaru Covid-19 di Indonesia pada microsite
Katadata ini. Pandemi corona akan membuat pertumbuhan ekonomi global
tumbuh negatif tahun ini. Dana Moneter Internasional atau IMF memperingatkan
situasinya bakal lebih buruk dari Depresi Besar alias Great Depression pada
1930an. Padahal, baru tiga bulan lalu IMF mengeluarkan perkiraan pertumbuhan
pendapatan per kapita yang positif di lebih 160 negara anggotanya. Sekarang,
proyeksinya berbalik arah bahkan berdampak ke 170 negara. “Faktanya, kami
mengantisipasi kejatuhan ekonomi terburuk sejak Depresi Besar,” kata Ketua IMF
Kristalina Georgeiva, seperti dikutip dari BBC, Kamis (9/4). The Economist
Intelligence Unit (EIU) memprediksi negara-negara maju dan berkembang yang
tergabung dalam G20 akan mengalami resesi pada 2020. Negara-negara di Eropa
termasuk menjadi wilayah yang paling terdampak Covid-19. Jerman (-5%),
Prancis (-5%), dan Italia (-7%) akan mengalami resesi sepanjang tahun ini. Grafik
Databoks di bawah ini menunjukkan angkanya. Pemulihan parsial diperkirakan
baru akan terjadi pada 2021. Pasalnya, keputusan isolasi penuh atau lockdown di
sejumlah negara untuk menghentikan penyebaran virus corona telah memaksa
banyak perusahaan untuk menutup usaha dan memberhentikan karyawannya.
Sebuah studi Organisasi Buruh International atau ILO menuliskan empat dari lima
pekerja di dunia terdampak penyebaran virus corona. Sebanyak 81% dari 3,3
miliar orang mengalami penutupan tempat kerja secara penuh atau sebagian.
(Baca: Sri Mulyani Ungkap Ancaman Ekonomi Kuartal II Tumbuh Minus 2,6%)
Sektor-sektor yang terdampak termasuk akomodasi dan jasa makanan;
perdagangan retail dan besar; manufaktur; dan properti. "Para pekerja dan bisnis
menghadapi bencana, baik di negara maju maupun berkembang," kata Direktur
Jenderal ILO Guy Ryder. Di Indonesia, gelombang pemutusan hubungan kerja
atau PHK sudah mulai terasa. Data Kementerian Ketenagakerjaan, lebih dari 1,5
juta orang telah kehilangan pekerjaan imbas pandemi corona. Sebanyak 10,6% di
antaranya atau sekitar 160 ribu orang kehilangan pekerjaan karena PHK,
sedangkan 89,4% lainnya karena dirumahkan. Menteri Ketenagakerjaan Ida
Fauziyah mengatakan telah meminta pelaku usaha agar PHK menjadi opsi

7|Page
terakhir. Para pengusaha diminta untuk lebih dulu mengurangi upah dan fasilitas
bagi pekerja tingkat atas, mengurangi shift kerja, menghapuskan kerja lembur,
mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, dan meliburkan atau merumahkan
pekerja secara bergilir. Apa itu Depresi Besar? Depresi, mengutip dari situs
Otoritas Jasa Keuangan, merupakan keadaan ekonomi yang ditandai oleh
menurunnya harga, menurunnya daya beli, dan jumlah penawaran yang jauh
melebihi permintaan. Kondisi itu juga menyebabkan angka pengangguran
meningkat secara tajam dan dunia usaha mengalami kelesuan yang mengarah
kepada likuidasi perusahaan (depression). Depresi Besar atau Great Depression
adalah periode kelesuan ekonomi dan pengangguran secara besar-besaran pada
1929 hingga masa sebelum Perang Dunia II. Apa Pemicu Depresi Besar 1930-an?
Depresi Besar 1930-an berawal dari kejatuhan pasar saham Amerika Serikat pada
Oktober 1929. Pelaku pasar modal langsung panik dan menyapu bersih jutaan
dana investor. Selama beberapa tahun berikutnya, kondisi tak kunjung membaik.
Penyebab kejatuhan itu, mengutip dari situs History, karena spekulasi sembrono
dari mulai taipan hingga petugas kebersihan dalam menginvestasikan uangnya di
pasar saham. Masyarakat dari semua lapisan ketika itu menikmati masa emas
ekonomi AS yang berlangsung sejak awal 1920-an. Era kejayaan itu disebut The
Roaring Twenties. Industri manufaktur dan pertanian meningkat pesat, ekonomi
dan konsumsi pun turut terdorong. (Baca: Jaga Rupiah di Tengah Gejolak Corona,
BI Tahan Bunga Acuan 4,5%) Pasar saham ketika itu mengalami ekspansi cepat
dan mencapai puncaknya pada Agustus 1929. Namun, pada saat bersamaan,
produksi di pabrik telah turun dan pengangguran meningkat. Hal ini membuat
harga saham jauh lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Akhirnya, pada 24 Oktober
1929, Wall Street tak sanggup lagi menahan spekulasi, lalu jatuh dan
memusnahkan kekayaan banyak perusahaan. Ekonom dan pelaku sejarah
menyebut Depresi Besar sebagai kejatuhan ekonomi terbesar dan terpanjang
dalam sejarah era industri. Ada pula yang menganggapnya bencana ekonomi
terdahsyat pada abad ke-20. Apa Akibat Depresi Besar 1930-an? Situs
Investopedia menuliskan, kejatuhan pasar saham yang disebut Black Thursday itu
menjadi penanda AS masuk ke dalam krisis. Tingkat pengangguran yang awalnya
3,2% langsung terjun bebas menjadi 24,9% pada 1933. Di tahun ini sebanyak 15

8|Page
juta rakyat AS pengangguran dan hampir setengah jumlah bank di sana
mengalami pailit. Intervensi dari dua pemerintahan Presiden AS kala itu, yaitu
Herbert Hoover dan Franklin Delano Roosevelt, tak mampu mengatasi masalah
pengangguran. Pada 1938 angkanya masih di 18,9%. Bahkan ketika Jepang
mengebom Pearl Harbor pada akhir 1941, angka produk domestik bruto AS masih
di bawah level pada 1929. Yang membuat keadaan sangat buruk adalah ketika itu
belum ada jaminan sosial untuk tenaga kerja. Banyaknya PHK membuat sebagian
besar penduduk jatuh miskin dan kelaparan terjadi di mana-mana. Beberapa foto
yang diterbitkan oleh media pada saat itu menunjukkan bagaimana warga AS
harus mengantri panjang untuk mendapatkan jatah makan dari pemerintah. (Baca:
Dampak Penetapan Status Bencana Nasional Covid-19 terhadap Anggaran) Pada
hari pelantikan Roosevelt, yaitu 4 Maret 1933, Departemen Keuangan AS tidak
memiliki cukup uang tunai untuk membayar pekerja pemerintah. Ia merupakan
Presiden AS yang paling lama memegang jabatan itu. Di tengah krisis, ia selalu
menebar optimisme. Satu kalimatnya yang terkenal sampai sekarang adalah “satu-
satunya hal yang harus kita takuti adalah ketakutan itu sendiri.” Pemerintahannya
kemudian melahirkan jaminan sosial untuk tenaga kerja. Ia juga mereformasi
sistem keuangan dengan menciptakan Federal Deposit Insurance Corporation
(FDIC) untuk melindungi rekening para penabung. Lalu, Badan Otoritas Sekuritas
dan Bursa (SEC) juga terbentuk untuk mengatur pasar saham dan mencegah
spekulasi. Masuk ke Perang Dunia II, kondisi berangsur pulih. Perang telah
membuat mesin-mesin di pabrik bekerja kembali. Tingkat pengangguran kembali
di bawah sebelum Depresi terjadi. Masa suram itu pun berakhir dan AS
mengalihkan fokusnya ke konflik global. PERPANJANGAN PENUTUPAN
MALL DI BANJARMASIN Perpanjangan penutupan sebuah mal di Banjarmasi,
Kalimantan Selatan, akibat pandemi corona. (ANTARA FOTO/Makna
Zaezar/hp.) Apakah Depresi Besar Bakal Terjadi Lagi? Pemenang Nobel bidang
ekonomi Robert Shiller dalam wawancaranya dengan CNBC mengatakan apa
yang terjadi sekarang tak sama dengan Depresi Besar 1930-an. “Ini adalah
pandemi, tidak akan bertahan hingga sepuluh tahun. Ini akan berakhir dalam satu
atau dua tahun,” katanya. Yang membuat ekonomi terlihat suram adalah ketakutan
itu sendiri. Shiller, yang mempelajari bagaimana emosi manusia mengendalikan

9|Page
keputusan keuangan, menemukan banyaknya obrolan seputar risiko depresi akibat
virus corona sangat merugikan perekonomian. Tapi ia tidak meragukan kondisi
sekarang mungkin lebih buruk dari Depresi. Krisis di pasar modal masih jauh dari
selesai. “Kekurangan pasokan membuat kita semua gelisah,” ucapnya. (Baca:
Pandemi Corona, IMF Beri Keringanan Cicilan Utang ke 25 Negara Miskin)
Sebuah artikel di Washington Post pada 12 April lalu menyebut prospek ekonomi
di tengah pandemi corona sudah pasti suram. Lebih dari 17 juta pekerja di AS
telah melamar tunjangan pengangguran dalam empat minggu terakhir. Prediksi
angka pengangguran di AS tahun ini akan mencapai 30%, lebih tinggi dari
Depresi Besar. Tapi rekor jumlah pengangguran tidak serta-merta akan membuat
depresi. Intervensi agresif pemerintah dapat mencegah hal tersebut terjadi.
Depresi Besar 1930-an, menurut artikel itu, terjadi karena kesalahan kebijakan
Presiden Hoover. Ia melakukan proteksionisme terhadap pasar tenaga kerja.
Ketika masa sulit, ia melarang penurunan upah tenaga kerja. Harapannya, upah
tinggi akan merangsang konsumsi dalam negeri. Upaya melindungi pasar tenaga
kerja itu dibalas dengan kebijakan tarif dari mitra dagangnya. Ekspor dan impor
pun terganggu, perdagangan internasional hancur. Tapi kebijakan Presidek
Roosevelet juga tak sepenuhnya sempurna. Tingkat pengangguran tak mampu ia
turunkan di bawah 10%. Belajar dari pengalaman ini semua, Depresi Besar dapat
terhindari di tengah pandemi corona kalau pemerintah dapat memberikan
dukungan yang tepat bagi dunia ekonomi. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk
bermain-main dengan kebijakan fiskal dan moneter. Pemerintah di banyak negara
saat ini diuji untuk menemukan obat yang tepat untuk menyembuhkan
perekonomiannya

10 | P a g e
11 | P a g e
Pandemi Covid-19 membawa kemerosotan ekonomi bagi banyak negara, tak
terkecuali yang tergabung dalam kelompok G20. The Economist Intelligence Unit
(EIU) memprediksi negara-negara tersebut akan mengalami resesi pada 2020.

12 | P a g e
Meski merosot, perekonomian India, Tiongkok, dan Indonesia diprediksi masih
bisa tumbuh positif. Masing-masing diperkirakan tubuh 2,1%, 1% dan 1%. 
Negara-negara di Eropa termasuk menjadi wilayah yang paling terdampak Covid-
19. Jerman (-5%), Prancis (-5%), dan Italia (-7%) akan mengalami resesi
sepanjang tahun ini. Sektor manufaktur yang besar di Jerman, sekaligus eksportir
besar terganggu akibat rantai suplai dan permintaan yang melemah akibat
pandemi Covid-19.

2.4. Saran untuk Pemerintah Dalam Menangulangi Merosotnya Ekonomi Karna


Masa Pandemi

Wabah virus corona memberikan dampak yang cukup besar bagi


perekonomian Indonesia. Dampak itu bisa saja diminimalisir, namun hal itu
tergantung dari kebijakan yang diambil pemerintah untuk mengatasinya.
Pemerintah sendiri sudah mengeluarkan beberapa stimulus baik fiskal maupun
moneter. Termasuk kebijakan yang berkaitan dengan antisipasi dampak penularan
COVID-19 pada ekonomi domestik (Stimulus Ekonomi I, II dan III) patut
diapresiasi.
Namun Center Of Reform On Economics (CORE) merilis kajian yang bertajuk
Tujuh Poin Penting Menghadapi Badai Ekonomi Pandemi COVID-19. Isinya
tentang beberapa kebijakan ekonomi yang perlu diperkuat, yaitu :
Pertama, untuk mempercepat pengobatan dan pencegahan penularan yang
lebih luas, pemerintah harus menerapkan kebijakan at all cost seperti pengadaan
alat kesehatan penunjang pemeriksaan, ruang isolasi, dan Alat Pelindung Diri
(APD), menggratiskan biaya pemeriksaan baik yang terbukti maupun tidak,
ataupun hal-hal yang bersifat pencegahan seperti pembagian masker murah dan
sebagainya. Konsekuensi pembengkakan defisit anggaran, sejalan dengan
pendapatan APBN yang juga turun tajam, memang akan membebani pemerintah.
Namun, perhitungan kemanusiaan semestinya harus lebih dikedepankan
dibandingkan dengan kalkulasi ekonomi yang masih dapat ditanggulangi sejalan
dengan pulihnya ekonomi masyarakat.

13 | P a g e
Kedua, untuk menjaga daya beli masyarakat sebagai dampak perlambatan
putaran roda ekonomi, pemerintah dituntut untuk dapat mengurangi beban biaya
yang secara langsung dalam kendali pemerintah, di antaranya tarif dasar listrik,
BBM, dan air bersih. Penurunan tarif listrik dan BBM tentu tidak akan terlalu
membebani keuangan BUMN dan BUMD, mengingat harga minyak mentah yang
turun ke kisaran US$20 per barrel diperkirakan masih akan berlangsung lama
sejalan dengan potensi resesi global.
Ketiga, kebijakan pemerintah yang melakukan relaksasi Pajak Penghasilan
baik pekerja industri manufaktur (penghapusan PPh 21 selama enam bulan)
ataupun pajak badan untuk industri manufaktur (pembebasan PPh Impor 22 dan
diskon PPh 25 sebesar 30%) semestinya diperluas. Pasalnya, perlambatan
ekonomi saat ini tidak hanya dirasakan oleh sektor industri manufaktur, tetapi
juga sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan relaksasi
pajak seperti pemberian potongan pajak, percepatan pembayaran restitusi, dan
penundaan pembayaran cicilan pajak kepada sektor-sektor lain, khususnya yang
terkena dampak paling parah, seperti sektor transportasi dan pariwisata.
Keempat, upaya pemerintah untuk menjaga daya beli masyarakat bawah
dengan memberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang
mengalami penurunan pendapatan dan mengalami Pemutusan Hubungan Kerja,
perlu didukung oleh kebijakan untuk menjamin kelancaran pasokan dan distribusi
barang khususnya pangan.
Di saat seperti ini, potensi panic buying dan penimbunan sangat besar,
sehingga pengamanan aspek distribusi perlu diperketat. Dalam situasi seperti ini,
sebagaimana di Tiongkok, aparat militer
dapat dioptimalkan dalam membantu penanganan korban dan pencegahan
perluasannya, termasuk membantu proses pengamanan supply dan distribusi
barang.
Kelima, penyaluran BLT juga perlu diikuti dengan ketepatan data penerima
bantuan dan perbaikan mekanisme dan kelembagaan dalam penyalurannya
sehingga dana BLT tidak salah sasaran dan diterima oleh seluruh masyarakat yang
semestinya mendapatkannya.

14 | P a g e
Ini belajar dari pengalaman penyaluran bantuan sosial selama ini yang belum
terdistribusi secara merata khususnya bagi masyarakat yang justru membutuhkan.
Oleh karena koordinasi untuk validitas data sampai dengan level kecamatan perlu
dilakukan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah agar tujuan BLT untuk
menjaga daya beli masyarakat bisa tercapai.
Keenam, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar memberlakukan kebijakan yang
mendorong lembaga keuangan untuk melakukan rescheduling dan refinancing
utang-utang sektor swasta, selain untuk UMKM, juga untuk usaha-usaha yang
menghadapi risiko pasar dan nilai tukar yang tinggi. Selain itu, Bank Indonesia
(BI) dan OJK perlu merumuskan kebijakan yang bersifat strategis untuk
mengatasi tingginya tingkat suku bunga perbankan yang menjadi salah satu beban
pelaku ekonomi, khususnya di saat perlambatan ekonomi seperti saat ini.
Saat ini, meskipun BI telah melakukan pelonggaran moneter, tingkat suku
bunga kredit perbankan belum mengalami penurunan yang signifikan
sebagaimana halnya suku bunga simpanan. Pada periode Juni 2019 - Februari
2020, saat suku bunga acuan BI telah turun 125 bps, suku bunga kredit perbankan
hanya turun 27 bps, lebih rendah dibandingkan penurunan suku bunga deposito
sebesar 44 bps.
Ketujuh, membuka peluang untuk membuat terobosan kebijakan baru. Di sisi
fiskal, opsi pelebaran defisit anggaran melebihi yang batas yang ditetapkan
Undang-Undang Keuangan Negara diperlukan di tengah semakin banyaknya
kebutuhan belanja negara untuk memberikan insentif kepada perekonomian.
Di sisi moneter, perlu mencontoh otoritas moneter beberapa negara yang aktif
terjun memberikan insentif, khususnya ketika kebijakan suku bunga acuan dan
beragam kebijakan konvensional tidak bekerja secara optimal seperti saat ini.
The Fed sendiri misalnya mempunyai kebijakan Quantitative Easing untuk
menginjeksi likuiditas ke masyarakat. Terobosan yang bisa dilakukan BI dan
pemerintah yaitu merevisi Peraturan Bank Indonesia no/10/13/PBI/2008 ataupun
Undang-Undang Nomor 24 tahun 2002 tentang Surat Utang Negara dengan
memberikan keleluasaan BI untuk membeli SUN di pasar keuangan primer untuk
mengakomodasi kepentingan pembiayaan negara.

15 | P a g e
16 | P a g e
BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Disimpulkan bahwa dampak dari Covid-19 bagi perekonomian Indonesia


saat ini yang lebih komprehensif dari berbagai alternatif skenario
penanganan pandemi Covid-19. Hasil analisis menyimpulkan bahwa, betul
intervensi kuat untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19 dapat
menurunkan pertumbuhan ekonomi lebih parah dibandingkan skenario minimal
intervension. Akan tetapi, kesimpulan ini hanya berbasis variabel yaitu
pertumbuhan ekonomi, yang tentunya, bukan satu-satunya faktor ekonomi
penting dalam analisis ekonomi. Kedua, kesimpulan yang berbeda
didapatkan dalam konteks jangka panjang, dimana justru pertumbuhan ekonomi
jangka panjang dapat lebih tertekan kalau skenario yang terjadi adalah
intervensi minimal. Dapat disimpulkan bahwa kerugian ekonomi dari strategi
intervensi kuat (supression jauh lebih rendah daripada kerugian ekonomi
skenario intervensi minimal. dari mortalitas. Tentunya banyak ketidak
sempurnaan dalam analisis ini. Hasilnya sangat mungkin sensitif terhadap
asumsi-asumsi yang digunakan. dalam makalah ini penulis telah mencoba
untuk membuat asumsi se-plausible mungkin dan juga mengandalkan
referensi-referensi yang sudah ada. Kritik dan saran untuk penyempurnaan
dari analisis ini akan disambut dengan tangan terbuka dan apresiasi.
Kemudian, analisis ini juga tidak dimaksudkan untuk meramalkan apa
yang akan terjadi. Terlalu banyak ketidakpastian dalam tahapan krisis
Covid-19 ini dan informasi berubah cepat. Akan tetapi analisis ini mudah-
mudahan bisa memberikan gambaran yang lebih utuh bagaimana
sebaiknya aspek ekonomi ditempatkan dalam memilih strategi terbaik
dalam mengelola kebijakan di era krisis Covid-19 yang sekarang
masih berlangsung. Sudutpandang perekonomian Indonesia saat ini
demikian juga pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat.

17 | P a g e
3.2. Saran

tentunya perekonomi sangat penting sebagai implikasi dari strategi supresi


dapat sebagian diredam oleh stimulus fiskal. Akan tetapi seperti yang dibahas
di makalah ini, Oleh karena itu kita, bersama pemerintah, harus sebaik-
baiknya melindungi perekonomian dari dampak Covid-19 tersebut. Indonesia bisa
melakukannya karena mempunyai sistem perlindungan sosial yang relatif
majudibandingkan negara-negara berkembang lainnya. Mari bergandengan
tanggan bersama-sama untuk memelihara perekonomian kita jangan
egois karena sekarang ini dibutuhkan kerjasama sehingga masalah yang di
alami oleh bngsa kita dapat diselesaikan dengan baik danbersama-sama
mematuhi perturan dari pemerintah sehingga Covid-19 dapat berakhir
pada waktunya karena ketika kita tidak patuh maka pandemic akan terus
berlangsung karena kurangya kesadaran untuk menaati peraturan pemerintah.

18 | P a g e
Daftar Pustaka

https://www.kominfo.go.id, diakses pada tanggal 20 September


2017.https://percikaniman.id/2020/03/16/social-distancing-
adalahhttps://hbr.org/2020/03/what-coronavirus-could-mean-for-the-
globaleconomyatauhttps://www.travelweekly.com/Travel-News/Travel-Agent-
Issues/Oxford-Economics-predicts-rapid-economic-recoverSri
Pudyatmoko,2009,Perizinan Problem dan Upaya Pembenahan, Jakarta: Grasindo,
Kramer, Erik. 2020. Cara Mencegah Virus Corona.
https://id.wikihow.com/Mencegah-Virus-CoronaSuci, Fellyanda. 2020. Cerita
Lengkap Asa Mula Munculnya Virus Corona di Wuhan

https://iap2.or.id/perekonomian-indonesia-di-tengah-wabah-covid-19/

https://katadata.co.id/sortatobing/finansial/5e9a41c96a480/ekonomi-di-tengah-pandemi-
apakah-akan-terjadi-lagi-depresi-besar

19 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai