Anda di halaman 1dari 5

SEJARAH MASJID AGUNG DEMAK

UNTUK MEMENUHI TUGAS PORTOFOLIO


IMADE UNNES2020
Masjid Agung Demak masuk dalam salah satu jajaran masjid tertua di Indonesia.
Lokasi Masjid Agung Demak terletak di Kampung Kauman, Kelurahan Bintoro,
Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Berada di tepat di alun-alun dan pusat
keramaian Demak.

Sejarah
Masjid ini dipercayai pernah menjadi tempat berkumpulnya para ulama (wali)
yang menyebarkan agama Islam di tanah Jawa yang disebut dengan Walisongo.
Pendiri masjid ini diperkirakan adalah Raden Patah, yaitu raja pertama dari
Kesultanan Demak sekitar abad ke-15 Masehi.

Raden Patah bersama Wali Songo mendirikan masjid yang karismatik ini pada
tahun yang ditampilkan dalam bentuk gambar serupa bulus yang terdapat di
depan kubah tempat pengimaman. Ini merupakan Surya sengkala memet, dengan
arti Sarira Sunyi Kiblating Gusti yang bermakna tahun 1401 Saka.

Gambar bulus terdiri atas kepala yang berarti angka 1 (satu), 4 kaki berarti angka
4 (empat), badan bulus berarti angka 0 (nol), ekor bulus berarti angka 1 (satu).
Dari simbol ini diperkirakan Masjid Agung Demak berdiri pada tahun 1401 Saka.
Masjid ini didirikan pada tanggal 1 Shofar.

Sebagai Pusat Islam di Jawa Masjid Agung Demak tidak hanya sebagai simbol
naiknya pengaruh Islam di Pulau Jawa. Dalam Writing the Past, Inscribing the
Future: History as Prophecy in Colonial Java (1995: hlm. 321), Nancy Florida
mengutip manuskrip Babad Jaka Tingkir yang menyebutkan bahwa Masjid Agung
Demak merupakan pusat dari seluruh pusaka para raja Jawa.

“Berbeda dari apa yang dialami ‘pahlawan’ Babad lainnya, Masjid Agung Demak
sebagai pusaka sejati jelas sengaja dijadikan sebagai pusat oleh para wali," tulis
Florida.

Ia menambahkan, sejak awal para wali sengaja menjadikan Masjid Agung Demak
sebagai simbol kebesaran raja-raja Jawa dan para kawulanya yang mulai memeluk
Islam.

Demak merupakan salah satu tempat bertumbuhnya Islam untuk pertama kali di
Pulau Jawa. Fenomena penyebaran ini terjadi sekitar abad ke-11, bersamaan
dengan gerakan penyebaran Islam oleh para wali di beberapa wilayah di pesisir
utara Jawa.

Dalam Babad Tanah Jawi yang disunting oleh W.L. Olthof (2017: hlm. 38)
dikisahkan bahwa sebelum Masjid Agung Demak didirikan pada pengujung abad
ke-15, kawasan di sekitarnya sudah menjadi pusat pengajaran agama Islam di
bawah bimbingan Sunan Ampel. Suatu ketika, ia kedatangan dua bersaudara asal
Palembang yang ingin menjadi abdi Kerajaan Majapahit.

Sang kakak yang bernama Raden Patah kemudian masuk Islam. Ia memutuskan
untuk menetap serta membantu Sunan Ampel menyebarkan Islam dari Hutan
Bintara. Sementara adiknya yang bernama Raden Husen, menuntaskan perjalanan
sampai akhirnya diberi gelar Adipati Terung oleh Raja Majapahit.

Sumber babad juga menyebut Raden Patah berjumpa kembali dengan adiknya
saat mendapat undangan dari Prabu Brawijaya, raja terakhir Majapahit. Sang
Prabu sangat menyukai Raden Patah hingga rela memberinya hak atas Bintara
yang kemudian dikenal dengan sebutan Demak.

Melalui tulisan bertajuk “Spiritual Phenomena in the Town of Demak," Marwoto


menuturkan bahwa pada akhirnya Demak menjadi sangat makmur berkat
pertemuan dua kebudayaan, yakni Islam dan Hindu. Surplus beras yang dihasilkan
oleh komunitas Hindu di wilayah yang dikuasai Majapahit sebagian besar dijual
melalui Demak.

Kelancaran aktivitas perdagangan ini menjadikan Demak ibarat magnet bagi


pedagang-pedagang Muslim dari Malaka, Cina, India, dan Arab. Marwoto
menandai kondisi ini sebagai fondasi awal pembentukan pemerintahan Demak
yang terjadi dari hasil kolaborasi istana, masjid, dan pelabuhan.

“Sistem perdagangan di Demak mengarah pada pembentukan kemampuan untuk


menciptakan kelembagaan, pertahanan, dan pengaturan konstitusional, yang
didasarkan pada Islam," tulisnya.

Atas restu Sunan Ampel, Raden Patah diangkat menjadi raja pertama Kesultanan
Demak. Pada periode yang sama, terbentuk sebuah lembaga bagi para ulama atau
para wali yang dipusatkan di Masjid Agung Demak. Selain Raden Patah, raja kedua
dan ketiga Demak yakni Adipati Unus dan Sultan Trenggono, juga berhasil
memanfaatkan lembaga ulama ini untuk mempertahankan stabilitas politik.

“Masjid [Agung Demak] adalah jaringan inti antara para pemimpin dengan orang-
orang yang dianggap suci karena raja perlu mendapatkan pendamping para ulama
untuk mengendalikan hukum Islam," lanjut Marwoto.

Hingga kini, Masjid Agung Demak dan kompleks makam para raja tidak pernah
lengang dari para peziarah yang mencari berkah. Bahkan tidak sedikit masyarakat
Jawa yang meyakini bahwa ziarah ke Masjid Agung Demak memiliki nilai sama
dengan menjalankan ibadah haji ke Makkah.

Sumber :

http:amp-tirto-id.cdn.ampproject.org/v/s/amp.tirto.id/sejarah-masjid-agung-
demak-simbol-kekuasaan-ilahiah-raja-jawa-emrp?
amp_js_v=a2&amp_gsa=1&usqp=mq331AQFKAGwASA%3D#referrer=https%3A
%2F%2Fwww.google.com&aoh=16000532037782&amp_tf=Dari
%20%251%24s&ampshare=https%3A%2F%2Ftirto.id%2Fsejarah-masjid-agung-
demak-simbol-kekuasaan-ilahiah-raja-jawa-emrp

https://id.m.wikipedia.org/wiki/Masjid_Agung_Demak

https://phinemo.com/sejarah-masjid-agung-demak/

Anda mungkin juga menyukai