Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

BUDAYA HUKUM DAN LEMBAGA PERADILAN DI INDONESIA

Untuk Memenuhi Tugas Pada Mata Kuliah Sosiologi Hukum


Dosen Pengampu : Pradjarta Dirjosanjoto, S.H, Ph.D

Dibuat Oleh :

ACHMAD ASHARI,S.H.
A.312.0919.055

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SEMARANG

2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Penggunaan sistem peradilan moderen sebagai sarana pendistribusi keadilan terbukti
menjumpai sangat banyak hambatan. Adapun yang menjadi penyebab adalah karena
peradilan moderen sarat dan beban formalitas, prosedur, birokrasi, serta metodologi yang
ketat. Oleh karena itu, keadilan yang didistribusikan melalui lembaga peradilan diberikan
melalui keputusan birokrasi bagi kepentingan umum karena cenderung berupa keadilan yang
rasional. Maka tidak heran jika keadilan yang diperoleh masyarakat moderen tidak lain
adalah keadilan birokratis.
Penyelesaian sengketa menggunakan pengadilan telah terbukti banyak menimbulkan
ketidak puasan pada pihak-pihak yang bersengketa maupun masyarakat luas. Ketidak puasan
masyarakat dilontarkan dalam bentuk pandangan sinis, mencemooh, dan mengujat terhadap
kinerja pengadilan karena dianggap tidak memanusiakan pihak-pihak yang bersengketa,
menjauhkan pihak-pihak bersengketa dari keadilan, tempat terjadinya perdagangan putusan
hakim, dan lain-lain hujatan yang ditujukan kepada lembaga peradilan. Kalangan masyarakat
bisnis yang memerlukan kepastian hukum serta keamanan di dalam investasi maupun
aktivitas perdagangannya takala terjadi sengketa menyangkut bisnis mereka, sangat kuatir
terhadap kondisi badan peradilan yang dianggap telah carut marut semacam itu.
Dilatar belakangi oleh kondisi semacam itulah, muncul keinginan dari komunitas
bisnis khususnya, untuk kemudian berpaling dan memiih model lain dalam penyelesain
sengketa. Meskipun bentuk penyelesain yang dipilih itu tergolong masi serumpun dengan
mekanisme pada badan peradilan, namun forum lain yang dipilih itu dianggap dapat
memberikan alternatif serta ruang kebebasan kepada pihak-pihak dalam menentukan
penyelesaian sengketa bisnis mereka. Pada gilirannya model yang dipilih tersebut
memberikan peluang untuk mendapatkan rasa keadilan yang lebih manusiawi dan
bermartabat.

B.        Rumusan Masalah
Dari paparan latar belakang dan tujuan makalah di atas, maka dapat di tarik beberapa
rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, antara lain :

2
1.      Apa Pengertian Keadilan ?
2.      Jelaskan Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan?
3.      Apa Kondisi Lembaga peradilan ?
BAB II
PEMBAHASAN

1. Pengertian Keadilan
Keadilan berasal dari bahasa Arab adil yang artinya tengah. Keadilan berarti
menempatkan sesuatu di tengah-tengah, tidak berat sebelah atau dengan kata lain keadilan
berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya.
Adil adalah sifat perbuatana manusia. Menurut arti katanya “adil” artinya tidak
sewenang-wenang pada diri sendiri maupun kepada pihak lain. Maksud dari ketidak
sewenang-wenangnya dapat berupa keadaan :
 Sama (seimbang), Nilai yang tidak berbeda
 Tidak berat sebelah, perlakukan yang sama dan tidak pilih kasih
 Wajar, seperti apa adanya, tidak menyimpang, tidak lebih dan tidak kurang
 Patut / layak, dapat diterima karena sesuai, harmonis dan proporsional
 Perlakuan pada diri sendiri sama seprti perlakuan kepada pihak lain dan sebaliknya
Dalam konsep adil berlaku tolak ukur yang sama kepada pihak yang berbuat dan
kepada pihak lain yang berbuat dan kepada pihak lain terhadap mana perbuatan itu ditujukan.
Implikasinya, perlakuan kepada diri sendiri, seharusnya sama pula dengan perlakuan kepada
pihak lain. Bagaimana berbuat adil kepada pihalk lain jika kepada diri sendiri saja tidak adil.
Konsep adil (tidak sewenang-wenang) baru jelas bentuknya apabila sudah diwujudkan dalam
perbautan nyata dan nilai yang di hasilkan atau akibat yang ditimbulkannya. Situasi dan
kondisi juga ikut melakuakn perbuatan adil manusia.
Keadilan adalah pengakuan dan perilaku seimbang antara hak dan kewajiban.
Keadilan terletak pada keserasian menuntut Hak dan Kewajiban atau dengan kata lain adalah
keadilan adalah keadaan dimana setiap orang mendapatkan atau memperoleh bagian yang
sama dari kekayaan bersama.  Ada hubungan timbal balik antara hak dan kewajiban, hak
haruslah di sertai dengan kewajiban begitu juga sebaliknya kewajiban haruslah disertai
dengan hak.
Keadilan itu merupakan suatu perlakuan antara hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan
secara bersamaan dan seimbang. Setiap orang ingin merasakan keadilan yang sama antar

3
sesamanya. Adil dalam melaksanakan suatu situasi dan kondisi atau masalah jiwa seseorang
yang  memiliki jiwa sosial tinggi. Setiap warga Negara Indonesia wajib dan layak menerima
atau memperoleh keadilan yang merata satu dengan yang lain sesuai dengan Hak Asasi
Manusia baik dalam berbagai bidang.
  Keadilan dan ketidakadilan tidak dapat di pungkiri karena dalam kehidupan manusia
itu sendiri sering kali dan hampir setiap hari merasakan keadilan dan ketidakadilan. Oleh
sebab itu keadilan dan ketidakadilan menimbulkan banyak perbincangan dan menjadi
kreativitas tersendiri. Maka dari itu keadilan sangatlah penting dan untuk kehidupan sehari –
hari karena akan menciptakan kesejahteraan untuk semua masyarakat bumi.
Keadilan tercantum dalam Pancasila dan yang paling utama ada dalam sila kelima yang
berbunyi “ keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Yang memiliki arti dan makna
bahwa warga negara Indonesia berhak dan layak untuk mendapatkan keadilan yang merata
dari pihak yang berwenang.
Pengadilan di sini bukan diartikan semata-mata sebagai badan untuk mengadili,
melainkan sebagai pengertian yang abstrak, yaitu “hal memberikan keadilan.” Hal
memberikan keadilan berarti yang bertalian dengan tugas badan pengadilan atau hakim dalam
memberi keadilan, yaitu memberikan kepada yang bersangkutan konkritnya kepada yang
mohon keadilan – apa yang menjadi haknya atau apa hukumnya.
Eksistensi pengadilan sebagai lembaga yang berfungsi menyelenggarakan proses
peradilan dalam menerima, memeriksa, dan mengadili sengketa masyarakat, tugas-tuganya
diwakili oleh hakim. Oleh karena itu, kepercayaan masyarakat terhadap hukum serta institusi
peradilan dinegara ini ditentukan oleh kredibilitas dan profesionalitas hakim dalam
menjalankan tugasnya menyelesaikan sengketa serta menegakkan keadilan.
Jadi, para hakim dituntut untuk secara total melibatkan dirinya pada saat membuat
putusan, bukan hanya mengandalkan kemahirannya mengenai perundang-undangan. Menurut
Roeslan Saleh, seorang hakim diharapkan senantiasa menempatkan dirinya dalam hukum,
sehingga hukum baginya merupakan hakekat dari hidupnya. Hakim tidak boleh menganggap
hukum sebagai suatu rangkaian dari larangan dan perintah yang akan mengurangi
kemerdekaannya, melainkan sebaliknya hukum harus menjadi sesuatu yang mengisi
kemerdekaannya. Oleh karena “hukum itu bukan semata-mata peraturan atau undang-undang,
tetapi lebih daripada itu: “perilaku.‟ Undangundang memang penting dalam negara hukum,
akan tetapi bukan segalanya dan proses memberi keadilan kepada masyarakat tidak begitu
saja berakhir melalui kelahiran pasal-pasal undang-undang.”

4
Seperti telah diutarakan di muka, bahwa dalam sistem hukum di mana pun di dunia,
keadilan selalu menjadi objek perburuan melalui lembaga pengadilannya. Namun demikian
kerusakan dan kemerosotan dalam perburuan keadilan melalui hukum modern disebabkan
permainan prosedur yang menyebabkan timbul pertanyaan “apakah pengadilan itu tempat
mencari keadilan atau kemenangan?”
Keadilan memang barang yang abstrak dan karena itu perburuan terhadap keadilan
merupakan usaha yang berat dan melelahkan. Sementara itu, pengadilan sebagai institusi
pendistribusi keadilan telah menjadi institusi modern yang dirancang secara spesifik
bersamaan dengan munculnya negara modern sekitar abad ke delapan belas. Oleh sebab itu,
pekerjaan mengadili tidak lagi hanya bersifat mengadili secara substansial seperti pada masa
lampau ketika Khadi Justice, yaitu suatu peradilan yang tidak berorientasi kepada “fixed rules
of formally rational law,” melainkan kepada hukum substantif yang bertolak dari postulat-
postulat etika, religi, politik, dan lain-lain pertimbangan kemanfaatan. Setelah menjadi
institusi modern, pengadilan merupakan penerapan dari prosedur yang ketat.
Berdasarkan optik sosiologi hukum yang lebih memperhatikan fungsi dari badan yang
menjalankan fungsi mengadili, maka dalam rangka menemukan keadilan serta dimana
keadilan diputuskan, faktor lembaga atau badan pemutus keadilan yang diakui menjadi tidak
penting. Putusan tentang keadilan dapat dilakukan dimana saja dalam masyarakat, tidak perlu
harus di pengadilan.
Secara teori Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu
hal, baik menyangkut benda atau orang. Menurut sebagian besar teori keadilan memiliki
tingkat kepentingan yang besar. JohnRawls, filsuf Amerika Serikat yang dianggap salah satu
filsuf politik terkemuka abad ke-20, menyatakan bahwa  “Keadilan adalah kelebihan (virtue)
pertama dari institusi sosial, sebagaimana halnya kebenaran pada sistem pemikiran” Keadilan
juga dapat diartikan sebagai makin sempitnya kesenjangan yang terjadi. Maka keadilan dalam
masyarakat adalah terciptanya keseimbangan dan makin sempitnya kesenjangan yang terjadi
dalam kehidupan. Jika makin sempitnya kesenjangan yang terjadi adalah kesejahteraan
bersama. Ketenangan, ketentraman dan kebahagiaan dalam kehidupan setiap insan.
“Giving to each what he or she is due”, memberikan kepada siapa yang memang
pantas mendapatkannya.  Kenapa  manusia  harus  berbuat  adil?  Kenapa  harus  berusaha
juga  menegakkan  keadilan di muka bumi ini? Tuhan Maha Adil, manusia sebagai ciptaan
Tuhan dituntut untuk menegakkan keadilan di dunia ini. Dirinya harus mencoba
merealisasikan keadilan sebagaisifat Tuhan, menjadikannya sebagai sifat dirinya.Keadilan
sosial mengandung arti memelihara hak-hak individu dan memberikan hak-hak kepada setiap

5
orang yang berhak menerimanya. Karena manusia adalah makhluk sosial, makhluk yang
tidak bisa berdiri sendiri dalam memenuhi segala kebutuhannya.Inilah salah satu alasan
Tuhanmenciptakan manusia dalam beragam warna kulit danbahasa, suku dan ras, agar
tercipta sebuah kebersamaan dan keharmonisan di antaramanusia. Dengan manusia saling
memenuhi kebutuhan masing-masing, makakebersamaan dan saling ketergantunganpun
tercipta, dan ini merupakan keadilan Tuhan yang Maha Adil.Ketika manusia sebagai
makhluk sosial, maka secara otomatis pula ada hak dankewajiban di antara mereka. Hak dan
kewajiban adalah dua hal timbal balik, yang tidak mungkin ada salah satunya jika yang
satunya lagi tidak ada. Ketika ada hak yang harusdierima, otomatis juga ada kewajiban yang
harus diberikan.Keadilan merupakan pokok terpenting untuk menciptakan tatanan dunia yang
damaidan makmur, tanpa ada diskriminasi dan pelanggaran HAM di antara sesama.
Plato berpendapat bahwa keadilan legal atau keadilan moral adalah keadilan
yangmengikuti penyesuaian atau pemberian tempat seseorang dalam masyarakat
sesuaidengan kemampuannya, dan yang dianggap sesuai dengan kemampuan
yangbersangkutan. Keadilan dan hukum merupakan substansi rohani umum darimasyarakat
yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarakatyang adil setiap orang
menjalankan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya (Than man behind
the gun). Pendapat Plato itu disebut keadilanmoral, sedangkan Sunoto menyebutnya keadilan
legal.
Rani saat ini duduk di kelas 1 SMA dan adiknya Leni saat ini duduk di kelas 4 SD.
Namun kedua orang tua mereka memberikan uang jajan yang sama besar. Hal tersebut tidak
adil karena seharusnya uang jajan Rani dan Leni dibedakan karena usia mereka yang terpaut
jauh dan kebutuhan sekolah yang berbeda. Itu adalah contoh dari keadilan distributif seperti
Aristoles berpendapat bahwakeadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama
diperlakukan secara samadan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when
equals aretreated equally).
Keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang
samabanyaknya, tanpa mengingat berapa besar jasa-jasa yang telah diberikan (dari
katacommute = mengganti, menukarkan, memindahkan). Keadilan ini bertujuanmemelihara
ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristotelespengertian keadilan itu
merupakan asas pertalian dan ketertiban dalammasyarakat. Semua tindakan yang bercorak
ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan
pertalian dalam masyarakat.

6
2. Budaya Hukum dan Perolehan Keadilan
Membicarakan mengenai perilaku hukum dan budaya hukum tentu tidak dapat
menghidarkan diri dari pembicaraan tentang sistem hukum, karena perilaku dan budaya
hukum keduanya merupakan unsur dari sistem hukum. Di samping kedua unsur tersebut,
Kees Schuit menguraikan unsur-unsur yang termasuk dalam suatu sistem hukum, yaitu:
 Unsur idiil. Unsur ini terbentuk oleh sistem makna dari hukum, yang terdiri atas aturan-
aturan, kaidah-kaidah, dan asas-asas. Unsur inilah yang oleh para yuris disebut “sistem
hukum.”
 Unsur operasional. Unsur ini terdiri atas keseluruhan organisasiorganisasi dan lembaga-
lembaga, yang didirikan dalam suatu sistem hukum. Yang termasuk ke dalamnya adalah
juga para pengemban jabatan (ambtsdrager), yang berfungsi dalam kerangka suatu
organisasi atau lembaga.
 Unsur aktual. Unsur ini adalah keseluruhan putusan-putusan dan perbuatan-perbuatan
konkret yang berkaitan dengan sistem makna dari hukum, baik dari para pengemban
jabatan maupun dari para warga masyarakat, yang di dalamnya terdapat sistem hukum itu.

Sementara itu L.M. Friedman mengungkapkan tiga komponen dari sistem hukum. Ketiga
komponen dimaksud adalah: (1) struktur, (2) substansi, dan (3) kultur atau budaya. Pertama,
sistem hukum mempunyai struktur, yaitu kerangka bentuk yang permanen dari sistem hukum
yang menjaga proses tetap berada di dalam batas-batasnya. Struktur terdiri atas: jumlah serta
ukuran pengadilan, jurisdiksinya (jenis perkara yang diperiksa serta hukum acara yang
digunakan), termasuk di dalam struktur ini juga mengenai penataan badan legislatif. Kedua,
substansi, yaitu aturan, norma, dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Termasuk ke dalam pengertian substansi ini juga “produk” yang dihasilkan oleh orang yang
berada di dalam sistem hukum itu keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang
mereka susun. Ketiga, adalah kultur atau budaya hukum, yaitu sikap manusia terhadap
hukum dan sistem hukum–kepercayaan, nilai, pemikiran, serta harapannya. Budaya hukum
ini pun dimaknai sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum digunakan, dihindari, atau disalahgunakan.
Selanjutnya Friedman merumuskan budaya hukum sebagai sikapsikap dan nilai-nilai
yang ada hubungan dengan hukum dan sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai
yang memberikan pengaruh baik positif maupun negatif kepada tingkah laku yang berkaitan
dengan hukum. Demikian juga kesenangan atau ketidak senangan untuk berperkara adalah

7
bagian dari budaya hukum. Oleh karena itu, apa yang disebut dengan budaya hukum itu tidak
lain dari keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum memperoleh
tempatnya yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat umum. Maka secara singkat
dapat dikatakan bahwa yang disebut budaya hukum adalah keseluruhan sikap dari warga
masyarakat dan sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang akan menentukan bagaimana
seharusnya hukum itu berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Friedman juga membedakan budaya hukum menjadi external and internal legal
culture. Esmi Warassih Pujirahayu mengelaborasi hal ini lebih lanjut yaitu bahwa, budaya
hukum seorang hakim (internal legal culture) akan berbeda dengan budaya hukum
masyarakat (external legal culture). Bahkan perbedaan pendidikan, jenis kelamin, suku,
kebangsaan, pendapatan, dan lain-lain dapat merupakan faktor yang mempengaruhi budaya
hukum seseorang. Budaya hukum merupakan kunci untuk memahami perbedaan-perbedaan
yang terdapat di dalam sistem hukum yang lain. Selanjutnya dikemukakan bahwa,
“penerapan suatu sistem hukum yang tidak berasal atau ditumbuhkan dari kandungan
masyarakat merupakan masalah, khususnya di negara-negara yang sedang berubah karena
terjadi ketidakcocokan antara nilai-nilai yang menjadi pendukung sistem hukum dari negara
lain dengan nilai yang dihayati oleh anggota masyarakat itu sendiri.”
Mengacu pada pendapat tersebut, tidak ada keraguan kalau penggunaan lembaga
pengadilan sebagai tempat menyelesaikan sengketa sesungguhnya tidak cocok dengan nilai-
nilai yang hidup dan dihayati masyarakat pribumi Indonesia. Masalahnya, seperti telah
diungkapkan di muka dilihat dari optik sosio kultural, hukum modern yang digunakan
dewasa ini merupakan hasil transplantasi sistem hukum asing (Eropa) ke tengah tata hukum
(legal order) masyarakat pribumi Indonesia, sehingga sangat wajar apabila lembaga
pengadilan yang merupakan bagian sekaligus penyangga dari sistem hukum modern itu
meski telah dintroduksikan ke dalam sistem hukum Indonesia selama enam dekade sejak
tahun 1942, namun tetap saja merupakan semacam “benda asing dalam tubuh kita.”

3. Kondisi Lembaga Peradilan


     Di era reformasi ini, kekuasaan kehakiman (lembaga yudikatif), yang sudah lebih
dimandirikan berdasarkan UU Nomor 35 Tahun 1999, justru menjadi lebih korup
dibandingkan dengan lembaga eksekutif dan legislatif. Kebebasan lebih luas yang oleh UU
kepada para hakim untuk bebas melakukan korupsi peradilan dengan berbagai variasinya
(Moh. Mahfud MD, 2010:166).

8
Pada akhir Juni 2006 yang lalu, hakim Herman Alositandi dijatuhi hukuman 4,5 tahun
penjara oleh pengadilan karena terbukti ia menyuruh seorang panitera untuk memeras
seorang saksi kasus Jamsostek dengan ancaman saksi tersebut akan dijadikan tersangka. Pada
pekan yang sama, mantan Hakim Tinggi, Harini Wijoso, juga divonis 4 tahun penjara karena
terbukti berusaha menyuap majelis Hakim Agung (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Harini Wijoso terbukti melakukan permufakatan jahat dengan melakukan percobaan
suap terhadap hakim agung di MA untuk memengaruhi putusan kasasi kasus Probosutedjo.
Harini dikenai Pasal 6 ayat 1 huruf a UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU
Nomor 20/2001 tentang Tipikor. Selain itu, Harini juga dijerat dengan Pasal 15 dan 13
undang-undang tersebut karena telah berusaha memengaruhi para penyelenggara negara
dengan cara memberi hadiah kepada para pejabat atau penyelenggara negara tersebut (Ramli
dalam Deni Setyawati, 2008:75)
Tak ada yang membantah tentang bobroknya dunia peradilan sekarang ini. Padahal
lembaga peradilan adalah harapan utama untuk tampil sebagai leading sector dalam
pemberantasan KKN, dengan logikanya: Indonesia hancur atau terperosok ke dalam krisis
karena korupsi, korupsi subur dan sulit diberantas karena lembaga peradilan juga korupsi.
Dengan demikian, salah satu persoalan utama terletak di korupnya dunia peradilan. Karena
korupnya lembaga kekuasaan kehakiman, maka lembaga-lembaga penegak hukum yang lain
seperti kejaksaan, kepolisian, dan pengacara juga menjadi semakin korup. Misalnya, banyak
pengacara yang lebih mengandalkan lobi dalam menangani kasus, bukan mengandalkan
kelihaian dalam membangun argumen yuridis untuk memenangkan perkara. Bahkan untuk
kasus-kasus yang melibatkan orang penting, tim pengacaranya dilengkapi juga dengan tim
lobi yang mencari peluang-peluang untuk memenangkan perkara secara manipulatif. Lebih
buruk lagi, ditengara bahwa sekarang ini saksi ahli pun bisa dipesan untuk mengatakan hal
tertentu dengan tarif imbalan tertentu pula (Moh. Mahfud MD, 2010:166).
Beberapa contoh di atas, yang menunjukkan bahwa berbagai peraturan selalu bisa
diakali, memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa korupsi di Indonesia adalah budaya.
Namun, Sabastian Pompe, penulis buku The Indonesian Supreme Court, A Study of
Institutional Collapse, mengatakan “nonsens” menyebut korupsi sebagai budaya bangsa
Indonesia. Dalam kaitannya dengan dunia peradilan, menurut Pompe, judicial corruption
baru muncul setelah peristiwa Malari tahun 1974 ketika lembaga peradilan dibina dengan
sistem (dan mulai dimasuki oleh) kepemimpinan militer. Itu terjadi ketika Soeharto mulai
melangkah unuk mengokohkan kekuasaannya dengan mengkooptasi kekuasaan kehakiman.

9
Sejak itu, kata Pompe, terjadilah kebiasaan melayani (pemberian amplop atau upeti) di
kalangan hakim (Sebastian Pompe dalam Moh. Mahfud MD, 2010).
Pendapat Pompe itu sejalan dengan hasil studi yang pernah penulis (Moh. Mahfud
MD) lakukan yang menunjukkan bahwa dalam periode tertentu sejarah Indonesia, tepatnya
pada tahun 1950-an, ternyata hukum dapat ditegakkan dengan baik melalui pimpinan yang
tegas dan penuh integritas dalam menegakkab hukum. Pada masa itu, tercatat nama harum
Jaksa Agung, Soeprapto, yang tegas mengajukan siapapun, termasuk menteri, ke pengadilan
karena tindak pelanggaran hukum. Selain itu, pada saat itu muncul hakim-hakim yang jujur
dan berani menghukum pejabat yang terbukti melakukan tindak pidana.
Dengan demikian, pandangan bahwa korupsi adalah budaya bangsa tidak dapat
diterima atas dasar dua hal. Pertama, pandangan itu bertentangan dengan fakta sejarah.
Kedua, mempercayai pandangan itu berarti percaya pula bahwa apa pun yang akan
mengalami kegagalan mengingat budaya itu sangat sulit untuk diubah.
Setiap manusia berhak memperoleh keadilan, baik itu dari masyarakat maupun dari
negara. Seperti yang tercantum dalam pancasila, sila ke-5 yang berbunyi : “keadlian bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Hal ini sangat jelas bahwa seluruh rakyat indonesia berhak
mendapat keadilan tanpa terkecuali. Tidak pandang bulu, entah itu pejabat, rakyat kecil,
orang kaya atau miskin. Semua berhak mendapat keadilan yang merata, maka dari itu
keadilan sangat berkaitan dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Hak asasi manusia dianggap
sebagai hak dasar yang sangat penting untuk dilindungi dan dilaksanakan dalam kehidupan
sehari-hari. Agar terwujud dengan baik, maka perlu diberlakukan sanksi bagi siapa saja yang
telah melanggar hak asasi manusia dan di sinilah peran hukum sangat dibutuhkan.
Hukum keadilan adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian
kekuasaan kelembagaan. dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik,
ekonomi dan masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam
hubungan sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana
yang berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas
kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih. Administratif
hukum digunakan untuk meninjau kembali keputusan dari pemerintah, sementara hukum
internasional mengatur persoalan antara berdaulat negara dalam kegiatan mulai dari
perdagangan lingkungan peraturan atau tindakan militer.
Pengertian Sistem Peradilan Nasional Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
peradilan adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan. Nasional adalah bersifat

10
kebangsaan, berkenaan atas berasal dari bangsa sendiri, meliputi suatu bangsa.
Jadi, peradilan nasional adalah segala sesuatu mengenai perkara pengadilan yang bersifat
kebangsaan atau segala sesuatu mengenai perkara pengailan yang meliputi suatu bangsa,
dalam hal ini adalah bangsa Indonesia.
Dengan demikian, yang dimaksud disini adalah sistem hukum Indonesia dan
peradilan negara Indonesia yang berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945, yaitu sistem
hukum dan peradilan nasional yang berdasar nilai-nilai dari sila-sila Pancasila.
Peradilan nasional berdasarkan pada Pasal 24 dan Pasal 25 UUD 1945. untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan dibentuk kekuasaan
kehakiman yang merdeka. Dalam hal ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan peradilan lain.
Berikut ini adalah komponen-komponen dalam sistem peradilan:
a. Materi Hukum
Materi hukum mencakup didalamnya hukum materiel dan hukum formal (hukum acara).
Hukum materiel adalah hukum yang berisi tentang perintah dan larangan (terdapat dalam
KUHP, KUHPdt, dan sebagainya). Adapun yang dimaksud dengan hukum formal adalah
hukum yang berisi tentang tata cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiel
(terdapat dalam KUHAP, KUHAPdt, dan sebagainya).
b. Prosedur Peradilan (Kopomen yang bersifat Prosedural)
Prosedural pengadilan adalah proses pengajuan perkara mulai dari penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, sampai pada pemeriksaan di sidang pengadilan. Berikut ini
adalah prosedur peradilan yang berlaku.
1. Penyelidikan merupakan serangkaian tindakan penyelidik dalam rangka mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pelanggaran hukum guna
menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan.
2. Penyidikan merupakan serangkaian tindakan penyidik dalam rangka mencari serta
mengumpulkan bukti dan melalui bukti tersebut dapat ditemukan titik terang atas
pelanggaran yang terjadi serta siapa orang yang menjadi tersangka.
3. Penuntutan merupakan tindakan penuntut hukum dalam rangka melimpahkan perkara
ke pengadilan yang berwenang menurut cara yang ditentukan oleh undang-undang
dengan permintaan agar diperiksa dan diputuskan oleh hakim di sidang pengadilan.
4. Mengadili merupakan tindakan hakim dalam rangka menerima, memeriksa, dan
memutuskan perkara di sidang pengadilan berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak
memihak

11
Hierarki kelembagaan peradilan merupakan susunan lembaga peradilan yang
secara hierarki memiliki fungsi dan kewenangan sesuai dengan lingkungan peradilan
masing-masing. Di Indonesia, pengadilan yang paling bawah disebut pengadilan tingkat
pertama yaitu Pengadilan Negeri yang berkedudukan di kabupaten/kota. Jika seseorang
yang diproses dalam pengadilan tidak puas atau tidak dapat menerima keputusan
Pengadilan Negeri, ia bias mengajukan perkaranya untuk diadili di tingkat pengadilan
yang lebih tinggi, yaitu Pengadilan Tinggi. Pengajuan perkara karena tidak puas terhadap
keputusan Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tinggi disebut banding.
Jika perkara tersebut kemudian diputus oleh Pengadilan Tinggi dan terdakwa tetap
tidak puas, ia bisa mengajukan lagi perkaranya ke tingkat lebih tinggi, yaitu MA.
Pengajuan perkara dan pengadilan Tinggi ke Mahkamah Agung dinamakan kasasi.
Berikut ini hirarki pengadilan dan empat jenis peradilan.
1. Peradilan Umum
Tingkat pertama di Pengadilan Negeri berkedudukan di kabupaten/kota.
Tingkat banding di Pengadilan Tinggi berkedudukan di provinsi.
Tingkat kasasi di Mahkamah Agung berkedudukan di pusat.
2. Peradilan Agama
Tingkat pertama di Pengadilan Agama berkedudukan di kabupaten/kota.
Tingkat banding di Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di provinsi.
Tingka kasasi di Mahkamah Agung.
3. Peradilan Militer
Tingkat pertama di Pengadilan Iniliter dan Pengadilan Iniliter Tinggi.
Tingkat banding di Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama.
Tingkat kasasi di Mahkamah Agung.
Jika membahas mengenal sistem peradilan nasional, kita mengenal beberapa alat
kelengkapan peradilan yang bisa pula disebut sebagai aparat penegak hukum yang meliputi
sebagai berikut:
A. KEPOLISIAN
Kepolisian negara Republik Indonesia mempunyai tugas pokok sebagai berikut:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
2. Menegakan hukum.
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam menyelenggarakan tugasnya di bidang proses pidana, kepolisian negara
Republik Indonesia berwenang untuk sebagai berikut:

12
a. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
b. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan.
c. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan.
d. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri.
e. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat.
f. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi.
g. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara
h. Mengadakan penghentian penyidikan.
i. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum.
j. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang
di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk
mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana.
k. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil
serta menerima hasil penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada
penuntut umum.
l. Mengadakan tindakan lain menrut hukum yang bertanggung jawab.
B. KEJAKSAAN
Pelaksanaan tugas kejaksan dilakukan oleh jaksa. Jaksa adalah pejabat fungsional yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan
pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta
wewenang lain berdasarkan undang-undang. penuntut umum adalah jaksa yang diberi
wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan
penetapan hakim. Jaksa senantiasa bertindak berdasarkan hukum dengan mengindahkan
norma-norma keagamaan, kesponan, kesusilaan, serta wajib menggali dan menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam masyarakat, serta senantiasa menjaga
kehormatan dan martabat profesinya. Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga
pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara secara merdeka terutama
pelaksanaan tugas dan kewenangan di bidang penuntutan dan melaksanakan tugas dan
kewenangan di bidang penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi dan
Pelanggaran HAM berat serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. Pelaksanaan
kekuasaan negara tersebut diselenggarakan oleh:

13
1. Kejaksaan Agung
Kejaksaan Agung, berkedudukan di ibukota negara Indonesia dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kekuasaan negara Indonesia. Kejaksaan Agung dipimpin oleh
seorang Jaksa Agung yang merupakan pejabat negara, pimpinan dan penanggung
jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan
wewenang Kejaksaan Republik Indonesia. Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan
oleh presiden.
2. Kejaksaan Tinggi
Kejaksaan tinggi, berkedudukan di ibukota provinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah provinsi. Kejaksaan Tinggi dipimpin oleh seorang kepala kejaksaan tinggi
yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang memimpin,
mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah hukumnya
3. Kejaksaan Negeri
Kejaksaan negeri, berkedudukan di ibukota kabupaten/kota dan daerah hukumnya
meliputi wilayah kabupaten/kota. Kejaksaan Negeri dipimpin oleh seorang kepala
kejaksaan negeri yang merupakan pimpinan dan penanggung jawab kejaksaan yang
memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan di daerah
hukumnya. Pada Kejaksaan Negeri tertentu terdapat juga Cabang Kejaksaan Negeri
yang dipimpin oleh Kepala Cabang Kejaksaan Negeri.
C. KEHAKIMAN
Tugas dan wewenang lembaga kehakiman berada di tangan hakim. Hakim adalah pejabat
yang melaksanakn tugas menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila dengan
cara menafsirkan hukum serta mencari dasar-dasar dan asas-asas yang menjadi landasan
penentuan keputusan atas perkara-perkara yang ada. seorang hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Hakim dapat melakukan hal-hal berikut:
1. Menceraikan suami istri.
2. Memasukan orang kedalam penjara.
3. Merampas kekayaan seseorang menyita dan melelang harta orang.
4. Menyuruh orang membayar denda atau ganti rugi.
5. Menghukum mati orang
6. Memenjarakan seseorang.
7. Memvonis seseorang.

14
Menurut pasal 24 UUD 1945, kekuasaan kehakiman adalah merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam Lingkungan Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan
Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Menurut Pasal 1 UU No. 48 tahun 2009 tentang Kakuasaan Kehakiman, bahwa
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan pancasila, demi terselenggaranya
Negara Hukum Republik Indonesia.
Yang dimaksud dengan peradilan adalah tugas yang dibebankan kepada pengadilan.
Tugas utama pengadilan adalah sebagai tempat untuk mengadili atau memberikan
putusan hukum dalam perkara-perkara yang diajukan kepadanya. Tindakan khusus dari
hakim (pengadilan) adalah memberikan putusan atau vonis dan penetapan hakim.
Dalam undang-undang tentang kekuasaan kehakiman, dibedakan antara peradilan umum
dan peradilan khusus. Peradilan umum adalah peradilan bagi rakyat pada umumnya yang
menyangkut perkara perdata maupun perkara pidana yang diajukan ke pengadilan.
Peradilan khusus adalah peradilan yang mengadili orang-orang atau golongan rakyat
tertentu misalnya , kasus perceraian bagi yang beragama Islam diselesaikan di pengadilan
agama, tindak pidana militer menjadi wewenang peradilan militer, sengketa administrasi
negara menjadi wewenang peradilan tata usaha negara.
D. ADVOKAT
Pengacara, advokat atau kuasa hukum adalah kata benda, subyek. Dalam praktik
dikenal juga dengan istilah Konsultan Hukum. Dapat berarti seseorang yang melakukan
atau memberikan nasihat (advis) dan pembelaan “mewakili” bagi orang lain yang
berhubungan (klien) dengan penyelesaian suatu kasus hukum. Istilah pengacara
berkonotasi jasa profesi hukum yang berperan dalam suatu sengketa yang dapat
diselesaikan di luar atau di dalam sidang pengadilan. Dalam profesi hukum, dikenal
istilah beracara yang terkait dengan pengaturan hukum acara dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata. Istilah
pengacara dibedakan dengan istilah Konsultan Hukum yang kegiatannya lebih ke
penyediaan jasa konsultasi hukum secara umum. Pembelaan dilakukan oleh pengacara
terhadap institusi formal (peradilan) maupun informal (diskursus), atau orang yang
mendapat sertifikasi untuk memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar

15
pengadilan. Di Indonesia, untuk dapat menjadi seorang pengacara, seorang sarjana yang
berlatar belakang Perguruan Tinggi hukum harus mengikuti pendidikan khusus dan lulus
ujian profesi yang dilaksanakan oleh suatu organisasi pengacara. Mereka adalah ahli
dalam seni advokasi, yang melibatkan presentasi kasus di pengadilan dan pemberian
saran pada setiap aspek litigasi.
Advokat menerima pekerjaan dan biaya mereka dari pengacara, yang mentransfer klien
mereka dalam kasus-kasus yang masuk ke pengadilan. Sementara pendukung berlatih di
pengadilan Skotlandia sebagai anggota Fakultas Advokat, mereka juga memiliki hak
penonton sebelum Mahkamah Agung Inggris dan sejumlah badan pengambilan keputusan
lain seperti pengadilan dan arbitrase. Tugas & Tanggung jawab Advokat
a. Mewawancarai klien dan menyediakan mereka dengan nasihat hukum ahli
b. Meneliti dan mempersiapkan kasus dan menghadirkan mereka di pengadilan
c. Menulis dokumen hukum dan menyiapkan pembelaan tertulis untuk kasus perdata
d. Penghubung dengan profesional lain seperti pengacara
e. Mengkhususkan diri dalam bidang hukum tertentu
f. Mewakili klien di pengadilan, pertanyaan publik, arbitrase dan pengadilan
g. Mempertanyakan saksi
h. Negosiasi

16
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1. Dalam menegakkan hukum dan keadilan sudah seyogianya hal-hal berikut ini menjadi
pemandu aparatur yang terlibat dalam penegakan hukum terutama hakim sebagai ujung
tombak pendistribusi keadilan kepada masyarakat. Pertama, berani mencari jalan baru (rule
breaking) dan tidak membiarkan diri terkekang cara menjalankan hukum yang “lama dan
tradisional” yang jelas-jelas lebih banyak melukai rasa keadilan; Kedua, dalam kapasitas
masing-masing penegak hukum (apakah sebagai hakim, jaksa, birokrat, advokat, pendidik,
dan lain-lain) didorong untuk selalu bertanya kepada nurani tentang makna hukum lebih
dalam. Apa makna peraturan, prosedur, asas, doktrin, dan lainnya itu? Ketiga, hukum
hendaknya dijalankan tidak menurut prinsip logika saja, tetapi dengan perasaan kepedulian
dan semangat keterlibatan (compassion) kepada bangsa kita yang sedang menderita.
2. Perasaan kepedulian dan semangat keterlibatan dalam proses penegakan hukum dan
keadilan terutama harus dimiliki oleh seorang hakim, karena abatan hakim adalah jabatan
terhormat, sehingga hakim merupakan anggota masyarakat yang terkemuka dan terhormat.
Melekat pada predikatnya sebagai insan yang terhormat, suatu keniscayaan bagi seorang
hakim untuk memayungi dirinya dengan “etika spiritual dan moral” dalam melaksanakan
tugasnya sebagai wakil Tuhan di dunia dalam memberikan keadilan. Etika spiritual dan moral
ini tercitrakan ada jiwa, semangat, dan nilai „mission sacre‟ kemanusiaan. Suatu
keterpanggilan dan pertanggungjawaban suci dari umat manusia dalam menegakkan keadilan
dan hukum (law enforcement), toleran, sehingga dapat menerima dan memberi di dalam
perbedaan budaya (multicultural), serta mendasarkan diri pada kehidupan beragama.

17
DAFTAR PUSTAKA

Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,
Yogyakarta, 2010.

Mahfud  Md, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta,
1999.

Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007.

Soerjono Soekanto, “Pokok – Pokok Sosiologi Hukum”, Rajawali Pers, Jakarta, 1988.

Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah,  Genta
Publishing, 2010.

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010.

Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.

18

Anda mungkin juga menyukai