Anda di halaman 1dari 7

Bahasa

Indonesia
dalam
perkembangan
rasialisme

Oleh Nila Mega Marahayu, S.S., M.


A.
Bahasa Indonesia
❑ Mengapa bahasa menjadi sangat penting? Karena bahasa
merupakan medan makna (bukan sekadar arti). Melalui bahasalah
kenyataan (realitas) dapat dipahami.
❑ Bahasa Indonesia dalam sejarah mengalami merasis dan dirasiskan.
Akibatnya, sebagian besar masyarakat Indonesia terjebak dalam
bahasa yang rasis tersebut.
❑ Dalam sejarahnya, bahasa Indonesia mengalami perasisan. Sejarah
kolonisasi, sejarah politik identitas, sejarah politik kekuasaan,
sejarah kontestasi agama, ras, dan suku menyebabkan bahasa
secara bertumpang tindih mengalami perasisan, dirasiskan, dan
merasis.
– Kata (Bahasa Indonesia) membawa sejarah politiknya masing-masing,
dan sejarah itu sebagian diwariskan.
– Politik kolonisasi : Barat, warga peranakan, pribumi, dan
berbagai turunannya (fisik tubuh)
– Politik kekuasaan : putra daerah, pendatang, warga asli
– Politik identitas : islam non islam, China, keturunan, dll
– Politik agama : kafir, sekuler, abangan, keturunan nabi.
– Politik suku : Dayak non dayak, papua non papua
– Secara umum rasisme adalah paham yang menganggap diri ras
sendiri lebih tinggi dan ada yang rendah. Dalam sejarahnya,
rasisme adalah sekelompok manusia yang merasa rasnya lebih
tinggi dan melihat orang lain rasnya lebih rendah.

– Kategori rasis pun beragam, mulai dari superioritas ras itu sendiri,
kecurigaan terhadap orang di luar dirinya yang berbeda, menolak
percampuran dan penyamaan, hingga stereotipikasi atau
generalisasi terhadap kecenderungan, pola, atau sifat tertentu,
terkait dengan hal-hal penampakan tubuh.
– Bagaimana menggunakan bahasa di ruang publik sehingga berbahasa dalam konteks
tersebut, akan ada pihak yang tersinggung, sakit hati, merasa direndahkan, terhina, dan
sebagainya?
– Secara umum (juga sesuai dengan pengertian dasar rasisme), banyak hal bahasa rasis
berbasis tubuh (manusia).
– Beberapa contoh kata-kata sehari-hari yang masih sering dipakai, namun sebenarnya
secara kesejarahan menjadi rasis, merasis, atau dirasiskan.
– Misalnya: pribumi, hitam, putih, sipit, gemuk, pendek, kerdil, kurus, pesek, mancung,
besar, kecil, idiot, banci, tampang, gendut, bucit, dan sebagainya.
– Salah satu yang terkenal (waktu musim pemilu 2019): Tampang Boyolali, Tampang
Tukang Kayu.
– Varian gender dalam penampilan tubuh: daster, rok, gemuk, kurus, tinggi, rendah, dll.
– Selain itu, penyamaan atau ungkapan manusia ketika dinamai, disamakan dengan
binatang sehingga nama binatang banyak dipakai sebagai kata atau bahasa umpatan,
makian.
– Memang, penggunaan kata-kata tersebut tergantung situasi, kondisi, dan
konteksnya. Terdapat situasi-situasi yang berbahaya jika kata-kata tersebut
digunakan justru dalam arena kontestasi. Karena dalam situasi dan kondisi
tertentu itulah kata-kata dimaknai dan meresap ke dalam pikiran dan perasaan,
sehingga akan ada pihak-piah yang tersinggung.
– Saat ini, terutama di media sosial (sebagai ruang publik), banyak pihak secara
sengaja atau tidak sengaja melakukan dan bersikap rasis.
– Rasisme merupakan salah satu substansi penting dalam ujaran kebencian;
pencemaran nama baik, penghinaan dan pelecehan, pembohongan, dll, yang
sudah ada pasal-pasanya di KUHP.
– Perlawanan terhadap rasisme, atau kemudian disebut sebagai anti rasisme,
adalah semua hal yang melawan rasisme, bahwa manusia itu sama, setara, dan
sederajat.
– Perlawanan terhadap rasisme yang penting adalah membantu dan melakukan
proses-proses pencerdasan dan penyantunan berbahasa.
Sumber Pustaka

– Materi ini diambil dari materi Dr.Aprinuss Salam dalam pemaparan dan diskusi
Humanika

Anda mungkin juga menyukai