Anda di halaman 1dari 46

LAPORAN PRAKTIK KERJA LAPANGAN

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIENT DI BALAI BESAR TEKNIK


KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT JAKARTA

Diajukan untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan studi di


Universitas Sahid Jakarta

Disusun Oleh:

Muhammad Febriady Ikhwan


2017330028

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS SAHID JAKARTA

2020
LEMBAR PENGESAHAN

PRAKTIK KERJA LAPANGAN

PEMANTAUAN KUALITAS UDARA AMBIENT DI BALAI BESAR TEKNIK


KESEHATAN LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT JAKARTA

Pemohon

Muhammad Febriady Ikhwan


2017330028

Mengetahui,

Dekan Fakultas Teknik Ketua Jurusan Teknik Lingkungan

( Dr. Ninin Gusdini, ST. MT) (Laila Febrina, ST, M.Si)


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Udara sendiri sangat dibutuhkan dalam kehidupan, baik itu manusia, hewan dan
tumbuhan. Agar dapat dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, udara harus tetap dijaga
kualitasnya. Pertumbuhan aktivitas ekonomi dan urbanisasi yang cukup tinggi memiliki
potensi untuk meningkatkan penggunaan konsumsi energi, seperti kebutuhan bahan bakar
untuk pembangkit tenaga listrik, tungku-tungku industri dan transportasi. Pemakaian
konsumsi energi inilah yang dapat menyumbangkan bahan-bahan pencemar yang dilepaskan
ke udara seperti, CO, CO2, NO2, SO2, Suspended Particulate Matter (SPM), O3, dan berbagai
logam berat (Budiyono 2002). Pencemaran udara ini akan terjadi apabila zat-zat tersebut
terkandung dalam udara dengan konsentrasi yang melebihi nilai ambang batasanya.
Pencemaran udara sudah menjadi masalah yang serius pada kota-kota besar di dunia.
Polusi udara perkotaan yang berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan telah
dikenal secara luas selama kurang lebih 50 tahun terakhir (Azmi et al., 2010; Gurjar et al.,
2008; Ozden et al., 2008). Gas-gas seperti NO2, SO2, formaldehida, ozon, dan partikel debu
ini dapat mengakibatkan gangguan saluran pernapasan. Pencemar udara tersebut akan
mengiritasi saluran pernapasan dan mengakibatkan gangguan fungsi paru-paru (Sandra
2013). Kadar debu merupakan salah satu indikator pencemar udara untuk melihat tingkat
bahaya pencemar udara terhadap lingkungan (KPPL 1998). Tingginya kadar debu dalam
udara ini akan menunjukkan bahwa semakin tercemar pula udara dilingkungan tersebut.
Padatan tersuspensi total dalam udara merupakan debu yang terkandung dalam udara dengan
ukuran partikel 0.1-100 µm.
Analisis kualitas udara yang dilakukan dengan menganalisis adanya pencemaran
terhadap CO, NO2, SO2, O3, dan partikel tersuspensi total (TSP) dalam udara. Analisis
kualitas udara ini dilakukan berdasarkan instruksi kerja Standar Nasional Indonesia (SNI)
untuk masing-masing parameter dan hasilnya dikeluarkan menurut baku mutu Gubernur DKI
No 551 tahun 2001. Penentuan kualitas udara perlu dilakukan karena BBTKLPP Jakarta
secara langsung berdekatan dengan pemukiman warga. Sehingga perlu diketahui adanya
sumber pencemaran, bahaya pencemar bagi kehidupan sekitar kawasan tersebut dan cara
mencegah maupun menanggulanginya.
Untuk memastikan pencemaran udara masih dalam batas normal perlu dilakukannya
pengukuran, data kualitas udara ambien, kemudian sampel yang diperoleh akan di analisis
untuk diketahui tingkat pencemar dari zat-zat tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas,
penulis melakukan Kerja Praktek di Balai Besar Teknik Kesehatan dan Pengendalian
Penyakit Jakarta, dan menyusun laporan Kerja praktek yang berjudul PEMANTAUAN
KUALITAS UDARA AMBIENT DI BALAI BESAR TEKNIK KESEHATAN
LINGKUNGAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT JAKARTA

1.2 Maksud dan Tujuan


Adapun tujuan dalam praktik kerja lapangan ini adalah :
a. Menambah pengetahuan dalam mengaplikasi ilmu teknik lingkungan dalam dunia
kerja.
b. Meningkatkan pengetahuan, sikap, dan kemampuan profesi mahasiswa melalui
latihan kerja dan aplikasi ilmu yang telah diperoleh sesuai dengan bidangnya.
c. Melihat penerapan dalam pengambilan, pemeriksaan, dan pengolahan data. Serta
untuk mengetahui kualitas udara ambien di sekitar BBTKLPP Jakarta.

1.3 Ruang Lingkup


Dalam praktik kerja lapangan ini difokuskan pada pengamatan kualitas udara ambien di
BBTKLPP Jakarta dengan jenis parameter pemeriksaan meliputi parameter CO, NO2, SO2,
O3, dan TSP. Sampel diambil di dua titik yang berbeda yaitu di halaman belakang BBTKLPP
dan di halaman depan BBTKLPP

1.4 Waktu dan Pelaksanaan


Tempat dan waktu pelaksanaan kerja praktek adalah sebagai berikut:
1. Lokasi Pelaksanaan Kerja praktek
Nama Instansi : Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan
Pengendalian Penyakit Jakarta
Alamat Instansi : Jln. Bambu Apus Raya No.6 RT.012 RW:003,
Kelurahan. Bambu Apus, Kecamatan. Cipayung,
Kota Jakarta Timur

2. Waktu Pelaksanaan Kerja Praktek


Kerja praktek dilaksanakan mulai tanggal 07 September 2020 dan berakhir pada 18
September 2020.
1.5 Manfaat
1.5.1 Manfaat Bagi Mahasiswa
Agar mahasiswa dapat mengaplikasikan ilmu yang di peroleh saat kegiatan akedemik
dikampus melalui praktek kerja lapangan, serta menambah wawasan mahasiswa
mengenai pemantauan kualitas udara ambien

1.5.2 Manfaat Bagi Akademik


Mampu menghasilkan lulusan teknik lingkungan yang terampil, handal dan mampu
bersaing dalam dunia kerja, dan membawa nama baik universitas

1.5.3 Manfaat Bagi Instansi


Dengan dilakukannya pemantauan kualitas udara, maka instansi Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP) Jakarta ini dapat
memperhatikan sistem safety dalam ruang instalasi, dan apabila diketahui ada
kandungan pencemaran udara yang melebihi nilai baku mutu dapat segera
ditanggulangi, serta dengan adanya kegiatan PKL ini, BBTKLPP Jakarta dapat
menyalurkan ilmu kepada mahasiswa yang siap memasuki dunia kerja
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara dan Udara Ambien


Udara merupakan suatu kesatuan ruangan, dimana mahluk hidup berada didalamnya
(Prayudi dan Joko 2001). Udara secara normal mengandung kira-kira 78% nitrogen (N) ,
21% oksigen (O), 0.93% argon (Ar), 0.038% karbondioksida (CO) dan beberapa gas
penyusun lain (Chauhan 2010). Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan.
Kualitas dari udara yang telah berubah komposisinya dari komposisi udara alamiahnya
adalah udara yang sudah tercemar sehingga tidak dapat menyangga kehidupan. Udara
merupakan komponen kehidupan yang sangat penting untuk kelangsungan hidup manusia
maupun makhluk hidup lainnya seperti tumbuhan dan hewan (Fardiaz 1992). Pencemaran
udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan komponen lain ke dalam udara
ambien oleh kegiatan manusia, sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang
menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya (PP No. 41 1999).
Pencemaran udara merupakan masuknya zat-zat kimia kedalam komposisi udara
normal. Udara dapat dikatakan tercemar apabila konsentrasi zat-zat pencemarnya melebihi
nilai ambang batasnya sesuai pada baku mutu. Pencemaran udara yang terjadi dilingkungan
sekitar dapat disebabkan oleh pencemar indikatif dan spesifik. Pencemar indikatif ini telah
banyak dijabarkan dalam praturan kualitas udara. Kelompok pencemar udara indikatif ini
dapat berupa bahan partikulat (TSP, PM 10, PM 2.5), karbon monoksida (CO), total
hidrokarbon (THC), oksida-oksida nitrogen (NOx), sulfur dioksida (SO2), oksigen fotokimia
(ozon), serta logam berat seperti Timah hitam (PB). Sedangkan pencemar spesifik dapat
dikategorikan sebagai bahan pencemar udara yang bersifat spesifik diemisikan dari
sumbernya seperti gas klor, amonia, hidrogen sulfida, merkaptan, formaldehida, total flourin,
dan lain-lain. Total Syarat suatu udara lingkungan perindustrian daerah Jakarta berdasarkan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 551 tahun 2001.
2.2 Nitrogen Dioksida (NO2)
Menurut Pohan (2002), pencemaran gas NO2 di udara terutama berasal dari gas
buangan hasil pembakaran yang keluar dari generator pembangkit listri stasioner atau mesin-
mesin yang menggunakan bahan bakar gas alami. Menurut Anonim (2004), dari seluruh
jumlah oksigen nitrogen (NO2) yang dibebaskan ke udara, jumlah yang terbanyak adalah
dalam bentuk NO yang diproduksi oleh aktivitas bakteri. Akan tetapi pencemaran NO dari
sumber alami ini tidak merupakan masalah karena tersebar secara merata sehingga jumlahnya
menjadi kecil. Yang menjadi masalah adalah pencemaran NO yang diproduksi oleh kegiatan
manusia karena jumlahnya akan meningkat pada tempat-tempat tertentu. Kadar NO 2 diudara
perkotaan biasanya 10–100 kali lebih tinggi dari pada di udara pedesaan. Kadar NO 2 di udara
daerah perkotaan dapat mencapai 0,5 ppm (500 ppb). Seperti halnya CO, emisi NO 2
dipengaruhi oleh kepadatan penduduk karena sumber utama NO 2 yang diproduksi manusia
adalah dari pembakaran dan kebanyakan pembakaran disebabkan oleh kendaraan bermotor,
produksi energi dan pembuangan sampah. Sebagian besar emisi NO 2 buatan manusia berasal
dari pembakaran arang, minyak, gas, dan bensin. Adapun efek negatif yang ditimbulkan
pencemaran NO2 adalah sebagai berikut :
a. Efek Terhadap Kesehatan Manusia
Udara yang mengandung gas NO dalam batas normal relatif aman dan tidak
berbahaya, kecuali jika gas NO berada dalam konsentrasi tinggi. Konsentrasi gas NO
yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada system saraf yang mengakibatkan
kejang-kejang. Bila keracunan ini terus berlanjut akan dapat menyebabkan
kelumpuhan. Gas NO akan menjadi lebih berbahaya apabila gas itu teroksidasi oleh
oksigen sehinggga menjadi gas NO2 (Pohan, 2002). Percobaan pada manusia
menyatakan bahwa kadar NO2 sebsar 250 μg/m3 dan 500 μg/m3 dapat mengganggu
fungsi saluran pernafasan pada penderita asma dan orang sehat.
b. Efek Terhadap Lingkungan Sekitar
Pencemaran oksida nitrogen bagi tumbuhan menyebabkan bintik-bintik pada
permukaan daun, bila konsentrasinya tinggi mengakibatkan nekrosis (kerusakan
jaringan daun), sehingga fotosintesis terganggu. Dalam keadaan seperti ini daun tidak
dapat berfungsi sempurna sebagai temapat terbentuknya karbohidrat melalui proses
fotosintesis. Akibatnya tanaman tidak dapat berproduksi seperti yang diharapkan.
Konsentrasi NO sebanyak 10 ppm sudah dapat menurunkan kemampuan fotosintesis
daun sampai sekitar 60% hingga 70% (Pohan, 2002).
Di udara oksida nitrogen dapat menimbulkan PAN (Peroxy Acetyl
Nitrates) yang dapat menyebabkan iritasi mata (pedih dan berair). PAN bersama
senyawa yang lain akan menimbulkan kabut foto kimia (Photo Chemistry Smog) yang
dapat mengganggu lingkungan dan dapat merusak tanaman. Daun menjadi pucat
karena selnya mati. Jika hidrokarbon bercampur bahan lain toksitasnya akan
meningkat (Anonim, 2008). Berdasarkan studi menggunakan binatang percobaan,
pengaruh yang membahayakan seperti misalnya meningkatnya kepekaan terhadap
radang saluran pernafasan, dapat terjadi setelah mendapat pajanan sebesar 100 μg/m 3
(Tugaswati, 2004).

2.3 Sulfur Dioksida (SO2)


Gas Sulfur Dioksida (SO2), merupakan gas polutan yang banyak dihasilkan dari
pembakaran bahan bakar fosil yang mengandung unsurbelerang seperti minyak, gas,
batubara, maupun kokas. Disamping SO2, pembakaran ini juga menghasilkan gas SO3, yang

secara bersama-sama dengan gas SO2 lebih dikenal sebagai gas SOx (sulfur oksida) (Wiharja
2002). Secara umum, proses pembentukan gas sulfur oksida hasil pembakaran bahan bakar
fosil mengikuti mekanisme reaksinya.
S + O2 SO2

2 SO2 + O2 2SO3

Paparan gas SO2 dalam konsentrasi yang kecil sekalipun dapat menyebabkan gangguan
paru, apalagi paparan tersebut secara terus menerus seperti yang diterima oleh polantas
selama bekerja. Namun perlu diperhatikan pula gas-gas iritan lain seperti gas NO2 yang dapat

menyebabkan efek kombinasi apabila terpapar pada saat bersamaan (Siswanto, 1991).
Paparan gas dan debu tersebut dapat mengiritasi saluran pernafasan yang makin lama akan
berakibat penurunan fungsi paru (Sandra 2013). Pencemar SOx dan NOx ini berperan penting
dalam terjadinya hujan asam. Kedua pencemar ini merupakan pencemar utama adanya hujan
asam. Kedua polutan ini dengan adanya oksidan di atmosfir dan awan terkonversi menjadi
asam nitrat dan asam sulfat (Sutanto dan Ani 2011).
Gas SO2 ini diperiksa menggunakan metode pararosanilin secara spektrofotometri.
Penentuan ini didasarkan pada penjerapan gas SO2 dalam larutan penjerap tetrakoromerkurat
yang membentuk senyawa kompleks diklorosulfonatomerkurat. Senyawa kompleks ini
kemudian direaksikan dengan formaldehida dan pararosanilin membentuk senyawa kompleks
berwarna ungu pararosanilin metil sulfonat, yang diukur pada panjang gelombang 550 nm
(SNI 19-7119.7 2005).

2.4 Karbon Monoksida (CO)


Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senjawa karbon monoksida (CO)
sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon dioksida (CO 2) sebagai hasil
pembakaran sempurna. Karbon monoksida merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak
berasa dan pada suhu udara normal berbentuk gas yang tidak berwarna. Tidak seperti
senyawa CO mempunyai potensi bersifat racun yang berbahaya karena mampu membentuk
ikatan yang kuat dengan pigmen darah yaitu haemoglobin.

2.5 Ozon (O3)


Menurut Moefthi dan Sri (2005) juga menyebutkan bahwa penipisan ozon disebabkan
penggunaan unsur-unsur yang memiliki stabilitas yang sangat tinggi berupa zat-zat kimia,
unsur-unsur bahan pendingin seperti: ODS (Ozone-Depleting Substances), Chloro Fluoro
Carbons (CFCs), Hydro Chloro Fluoro Carbons (HCFCs), Halons, Methyl Bromide,
Carbon Tetra Chloride, dan Methyl Chloroform. Zat Kloro Floro Carbon atau Chloro Fluoro
Carbon (CFC) mengandung Klorin (Chlorine),  Florin (Fluorine) dan Karbon (Carbon).
Semua zat tersebut dihasilkan dari alat-alat rumah tangga yang digunakan sehari-hari
misalnya lemari pendingin, pestisida, kosmetik (hair spray) dan lain sebagainya. Efek negatif
yang ditimbulkan adalah :
a.Efek Terhadap Kesehatan Manusia
Ozon merupakan senyawa oksidan yang paling kuat dibandingkan NO 2 dan
bereaksi kuat dengan jaringan tubuh. Evaluasi tentang dampak ozon dan oksidan
lainnya terhadap kesehatan yang dilakukan oleh WHO task group menyatakan
pemajanan oksidan fotokimia pada kadar 200-500 μg/m³ dalam waktu singkat dapat
merusak fungsi paru-paru anak, meningkat frekuensi serangan asma dan iritasi mata,
serta menurunkan kinerja para olaragawan (Tugaswati, 2004). Beberapa gejala yang
dapat diamati pada manusia yang diberi perlakuan kontak dengan ozon, sampai
dengan kadar 0,2 ppm tidak ditemukan pengaruh apapun, pada kadar 0,3 ppm mulai
terjadi iritasi pada hidung dan tenggorokan. Kontak dengan Ozon pada kadar 1,0–3,0
ppm selama 2 jam pada orang-orang yang sensitif dapat mengakibatkan pusing berat
dan kehilangan koordinasi. Pada kebanyakan orang, kontak dengan ozon dengan
kadar 9,0 ppm selama beberapa waktu akan mengakibatkan edema pulmonari
(Anonim. 2004).
b. Efek Terhadap Lingkungan Sekitar
Adanya bahan-bahan seperti CFC dan lain sebagainya maka dapat
mengakibatkan penipisian ozon yang merupakan pelindung bumi. Efek yang terjadi
adalah pemanasan global yang dapat mengakibatkan perubahan iklim, perubahan
habitat hidupan liar, kegagalan panen pertanian, kenaikan muka air laut, mencairnya
daerah kutub (WWF-Indonesia, 2007).
2.6 Partikel Tersuspensi Total (TSP)
Partikel adalah pencemar udara yang dapat berada bersama-sama dengan bahan atau
bentuk pencemar lainnya. Partikel dapat diartikan secara murni atau sempit sebagai bahan
pencemar udara yang berbentuk padatan.Debu adalah zat padat yang dihasilkan oleh manusia
atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan. Debu adalah zat padat
yang berukuran 0,1 – 25 mikron. Debu termasuk kedalam golongan partikulat. Yang
dimaksud dengan partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi diudara,
misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog.Partikel di atmosfer dalam bentuk suspensi, yang
terdiri atas partikel– partikel padat cair. Ukuran partikel dari 100 mikron hingga kurang dari
0,01 mikron. Terdapat hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel
sebagai pencemar udara mempunyai waktu hidup yaitu pada saat partikel masih melayang-
layang sebagai pencemar di duara sebelum jatuh ke bumi. Waktu hidup partikel berkisar
antara beberapa detik sampai beberapa bulan. Sedangkan kecepatan pengendapannya
tergantung pada ukuran partikel, massa jenis partikel serta arah dan kecepatan angin yang
bertiup.

2.7 Air Sampler Imfinger


Air Sampler Imfinger merupakan suatu alat yang digunakan untuk mengambil sampel
gas diudara bebas. Alat ini berisikan botol imfinger, pompa vakum, moisture adsorber, dan
flow meter. Alat ini bekerja dengan menghisap gas yang dengan adanya bantuan pompa
vakum. Flow meter ini akan membantu pompa vakum untuk menjerap gas kedalam botol
imfinger.

Gambar 2.1 Gas air sampler


Gambar 2.2 Penangkapan gas NO2

Keterangan gambar :
A : botol penjerap (fritted bubbler) D : flow meter
B : perangkap uap (mist trap) E : kran pengatur
C : arang aktif atau soda lime F : pompa

Gambar 2.3 Penangkapan gas SO2 dan O3

Keterangan gambar :
A : botol penjerap D : flow meter
B : perangkap uap E : kran pengatur
C : serat kaca (galss wool) F : pompa

2.8 High Volume Sampler (HVS)


High Volume Sampler (HVS) merupakan alat yang digunakan untuk mengumpulkan
debu pada udara bebas. Alat ini akan menghisap udara melalui filter di dalam shelter dengan
menggunakan pompa vakum laju alir tinggu sehingga partikel terkumpul di permukaan filter.
Jumlah partikel yang terakumulasi dalam filter selam periode waktu tertentu dianalisa secara
gravimetri. Laju alir dipantau saat priode pengujian hasilnya akan ditampilkan dalam bentuk
satuan massa partikulat yang terkumpul per satuan volume uji udara diambil sebagai µg/m3.
Laju alir dalam HVS ini berada pada 40 CFM (cubic feetminute). Prinsip dari metode ini
adalah menentukan konsentrasi debu yang ada di udara dengan menggunakan pompa isap.
Udara yang terhisap disaring dengan filter, sehingga debu yang ada di udara akan menempel
pada filter tersebut. Berdasarkan jumlah udara yang terhisap dan berat debu yang menempel
pada filter, akan diketahui konsentrasi debu yang ada di udara (Prayudi dan Susanto 2001).

Gambar 2.4 Peralatan High Volume Sampler (HVS) 2000

Keterangan gambar :
A : shelter
B : penyangga media filter
C : pompa vakum
D : media filter

2.9 Spektrofotometer UV-VIS


Spektrofotometer merupakan alat yang digunakan dalam metode spektrofotometri.
Metode spektrofotometri merupakan metode yang berdasarkan pada interaksi materi dengan
radiasi elektromagnetik. Spektrofotometri dapat digunakan untuk analisis kualitatif maupun
kuantitatif. Hukum Lambert-Beer juga mendasari metode ini, yaitu bila seberkas cahaya
polikromatik atau monokromatik dialirkan melalui suatu media yang transparan (gas, padat,
atau cair) maka sebagian cahaya akan dipantulkan, diserap, dan diteruskan. Penyerapan sinar
akan sebanding dengan tebalnya media dan kepakatan larutan (Day dan Underwood 2003).
Adapun spektrofotometer sendiri merupakan alat yang terdiri dari spektrometer dan
fotometer. Spektrometer akan menghasilkan sinar dari spektrum dengan panjang gelombang
tertentu dan fotometer akan mengukur intensitas cahaya yang ditransmisikan atau diabsorpsi
(Khopkar 2008). Prinsip kerja dari spektrofotometer, yaitu cahaya dari sumber cahaya masuk
ke monokromator dan didispersikan menjadi cahaya monokromatis. Cahaya monokromatis
ditransmisikan melalui sel sampel dalam tempat sampel dan jatuh pada detektor, kemudian
dikonversikan menjadai sinyal listrik yang diperkuat dan tercatat pada rekorder (Day dan
Underwood 2003). Skema kerja spektrofotometer dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 2.5 Skema Kerja Spektrofotometer (Day dan Underwood 2003)

2.10 Sumber-sumber Pencemaran Udara


2.10.1 Sumber alamiah
Pencemaran yang berasal dari sumber alamiah adalah pencemaran yang
terjadi dikarenakan aktivitas alam tanpa adanya campur tangan dari manusia.
A. Akibat letusan gunung berapi
Erupsi dari gunung berapi menghasilkan gas-gas pencemar udara seperti
sulfur dioksida (SO2), karbon dioksida (CO2), dan asam florida (HF). Sulfur
dioksida dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Selain itu, abu dari
letusan gunung berapi juga berbahaya jika terhirup oleh manusia karena
mengandung pasir dan bebatuan serta bersifat korosif sehingga dapat memicu
tejadinya penyakit pernafasan.
B. Akibat kebakaran hutan
Kebakaran hutan menghasilkan karbon monoksida (CO), sulfur dioksida
(SO2), nitrogen dioksida (NO2), ozon (O3), dan bahan partikulat. Karbon
monoksida yang merupakan gas beracun dilepas dalam jumlah yang sangat
besar selama terjadinya kebakaran hutan. Begitu juga dengan partikulat yang
berupa jelaga, tar dan senyawa volatil organik. Partikulat yang ukuran
diameternya lebih kecil dari 2,5 mikrometer, apabila terhisap ke paru-paru,
dapat merusak jaringan otot paru-paru dan menyebabkan penyakit pernafasan
dan gangguan pada aliran darah.
C. Sumber air panas
Zat pencemar udara yang dihasilkan antara lain asam sulfide, arsenic dan
logam berat lainnya.
D. Gas-gas hasil pencernaan
Gas metana dan gas-gas lain yang dihasilkan melalui pencernaan
makanan dari hewan ternak seperti sapi.
E. Samudra, Sungai dan Muara
Merupakan sumber-sumber pembuangan gas metana hasil dari sistem
pencernaan dari hewan-hewan laut, metanogenesis dalam endapan dan area di
sepanjang pesisir, dan mungkin aliran dari hidrat metan di atas permukaan
laut.
F. Debu
Angin berdebu yang berasal dari daerah tanpa  tumbuh-tumbuhan seperti
padang pasir.
G. Garam Laut
Hembusan angin dari air laut yang terevaporasi  di udara melepaskan
natrium klorida serta partikulat lainnya ke udara.
H. Pelepasan radioaktif
Gas radon dilepaskan ke udara selama pelepasan radioaktif terjadi di
permukaan bumi.
I. Tumbuh-tumbuhan dan pepohonan.
Sumber biogenik seperti pohon cemara dan beberapa jenis tumbuhan lain
melepaskan senyawa volatil organik. Sekitar 80% dari keseluruhan emisi
senyawa volatil organik berasal dari sumber biogenik.
J. Lahan gambut
Reaksi dari bakteri yang ada di lahan gambut menghasilkan gas metana
dan melepaskannya ke udara. Lahan gambut merupakan sumber emisi gas
metana terbesar.
K. Rayap
Rayap merupakan sumber emisi gas metana terbesar kedua, gas metana
dihasilkan dari proses pencernaan rayap.
L. Petir
Petir mengubah nitrogen di udara menjadi nitrogen oksida.
M. Pembukaan lahan baru
Merupakan sumber pencemar gas yang diakibatkan oleh reaksi bakteri
sehingga melepaskan nitrogen oksida dalam jumlah yang besar.

2.10.2 Sumber Antropogenik


Sumber antropogenik merupakan pencemaran udara yang diakibatkan oleh
aktivitas manusia. Kebanyakan berasal dari aktivitas transportasi, industry,
pembakaran, persampahan, dan lain-lain.
A. Sumber tidak bergerak
Merupakan sumber pencemar yang tidak mengalami perubahan posisi
selama menghasilkan zat pencemar. Sumber pencemar yang termasuk ke
dalam kategori ini yaitu kegiatan industri, pembangkit tenaga listrik,
pembakaran insinerator, furnace, dan lain-lain. Sumber tidak bergerak dapat
dikategorikan menjadi :
1. Sumber titik
Merujuk kepada sebuah sumber yang berada pada titik yang tetap.
Contohnya cerobong asap, atau tangki penyimpanan yang memancarkan
zat pencemar udara.

2. Sumber area
Mengacu pada serangkaian sumber kecil yang bersama-sama dapat
mempengaruhi kualitas udara di suatu daerah. Contohnya adalah
penggunaan perapian di rumah untuk penghangat akan berdampak pada
satu area, meskipun masing-masing rumah menyumbang berbagai jenis zat
pencemar dalam jumlah yang kecil.

B. Sumber bergerak
Merupakan sumber pencemar yang mengalami perubahan posisi selama
menghasilkan zat pencemar. Sumber pencemar yang termasuk ke dalam
kategori ini yaitu mobil, truk, bus, kereta api, kapal laut dan pesawat terbang.
C. Debu zat kimia dan partikulat-partikulat hasil kegiatan pertanian dan
perkebunan.
Kegiatan pertanian dan perkebunan juga turut menyumbangkan emisi
gas pencemar di atmosfer sebagai hasil dari reaksi alamiah dari tumbuhan
tersebut.
D. Suspensi dari penggunaan zat larutan kimia, seperti cat, hair spray, dan lain-
lain.
Pengunaan hair spray mengemisikan ozon yang juga berkontribusi
sebagai zat pencemar di udara.
E. Tempat pemrosesan akhir (TPA) sampah
Reaksi dari mikroorganisme dan reaksi kimia yang terjadi
pada landfill menghasilkan gas metana, karbon dioksida, ammonia, gas sulfida
dan gas pencemar lainnya yang diemisikan ke udara.
F. Kegiatan militer
Kegiatan militer juga berdampak dalam terjadinya pencemaran di
atmosfer, contohnya adalah penggunaan senjata nuklir, bom, gas beracun,
rudal maupun senjata biologis.

2.11 Pemantauan Kualitas Udara


Pemantauan kualitas udara adalah salah satu upaya yang dilakukan dalam pengendalian
pencemaran lingkungan. Faktor utama yang harus diperhatikan dalam pemantauan udara
adalah aspek pengambilan contoh (sampling), analisis di laboratorium dan pengolahan data
Pemantauan pencemaran udara dibedakan menjadi dua yaitu pemantauan sumber emisi
dan pemantauan udara ambien. Pemantauan sumber emisi dilakukan terutama untuk
mengetahui tingkat emisi dan unsur pencemaran spesifik (pencemar yang bersifat spesifik di
daerah tertentu). Pemantauan udara ambien dilakukan untuk mengetahui tingkat pencemaran
udara yang didasarkan atas pencemar indikatif (unsur pencemar yang telah dijadikan indikasi
pencemar udara secara umum yang tercantum dalam baku mutu udara)
Dalam perencanaan pemantauan kualitas udara ambien harus mempertimbangkan
mengenai :
 Tujuan pemantauan
 Parameter zat pencemar yang akan diukur
 Jumlah dan lokasi sampling
 Lamanya periode sampling
 Metode pengambilan contoh dan pengukuran

2.12 Tujuan Pemantauan Kualitas Udara


Adapun tujuan dari pemantauan kualitas udara ambien ini adalah :
 Mengetahui tingkat pencemaran udara yang ada di suatu daerah dengan
mengacu kepada ketentuan dan peraturan mengenai kualitas udara
 Menyediakan pengumpulan data yang diperlukan untuk mengevaluasi pengaruh
pencemaran dan sebagai pertimbangan perencanaan dalam mengevaluasi
 Mengetahui tingkat pencemaran di suatu daerah
 Menilai keefektifan kebijakan-kebijakan pengelolaan kualitas udara yang
diterapkan

2.13 Frekuensi dan Periode Pengambilan Contoh


Dalam penentuan frekuensi serta periode pengambilan contoh harus memperhatikan
beberapa hal, yaitu :
Pengambilan contoh (sampling) udara ambien dapat dilakukan secara terus-menerus
(kontinu), semi kontinu dan sampling sesaat (grab sampling). Sampling kontinu adalah
cara yang paling ideal dalam suatu program pemantauan, khusus nya didaerah
perkotaan, mengingat biaya serta pelaksanaan teknisnya. Daerah-daerah yang diduga
tercemar berat memerlukan sampling secara kontinu untuk mengawasi fluktuasi tingkat
pencemarannya.
Sampling semi kontinu dapat diterapkan untuk daerah yang agak tercemar, yang tidak
terlalu ditandai dengan fluktuasi tingkat pencemaran yang tinggi. Sampling sesaat
hanya dilakukan untuk tujuan-tujuan tertentu saja, misalnya menguji keabsahan data
dari sampling kontinu, atau sebagai langkah awal menentukan titik sampling yang
digunakan dalam pemantauan dan pengawasan kualitas udara.
BAB III
INSTITUSI TEMPAT PRAKTEK KERJA LAPANGAN

3.1 Profil Balai Besar Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit
(BBTKLPP) Jakarta
Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL PP)
Jakarta adalah sebuah institusi dibawah Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Kementrian Kesehatan RI. Sesuai dengan UU Kesehatan
NO.36/2009, BBTKL PP bertanggung jawab terhadap pengelolaan dan pemantauan kualitas
lingkungan sehingga menjadi lingkungan yang berkualitas sehat. Lingkungan berkualitas
sehat adalah lingkungan yang terbebas dari risiko yang membahayakan kesehatan dan
keselamatan hidup manusia.
BBTKL PP Jakarta merupakan unit pelaksana teknik (UPT) Direktorat Jendral
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP-PL) Depkes RI sesuai
Keputusan Menteri Kesehatan RI. Nomor 1405/Menkes/SK/XI/2012.
Manajemen BBTKL PP Jakarta menetapkan memberikan pelayanan prima dalam
melaksanakan Pengujian dan Kalibrasi. Manajemen BBTKL PP Jakarta menjalankan system
komunikasi antara seluruh personel dalam mencapai tujuan system manajemen mutu
laboratorium sesuai ISO/IEC 17025:2005.

3.2 Visi dan Misi


Balai Besar Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit memiliki Visi
yaitu menjadi pusat unggul regional surveilans faktor resiko penyakit dan penyehatan
lingkungan berbasis laboratorium. Hal tersebut dapat diwujudkan melalui misi yakni
melakukan pengujian dan pengkajian faktor resiko dan penyehatan lingkungan,
mengembangkan laboratorium yang handal dan prima, merekayasa teknologi tepat guna guna
dan penerapannya, mendorong kemampuan wilayah layanan dalam melakukan surveilans
faktor resiko berbasis laboratoriun, serta menjalin kerjasama kemitraan dalam surveilans dan
penyehatan lingkungan berbasis laboratorium.

3.3 Struktur Organisasi BBTKL PP Jakarta


Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL PP)
Jakarta berada dibawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup ini dipimpin oleh
seorang kepala BBTKL PP yang memimpin bagian tata usaha, bidang-
bidang,kelompok jabatan fungsional serta instalasi yang dibagi menjadi beberapa
bagian, yaitu: instalasi udara, instalasi instrument, instalasi B3, instalasi kalibrasi,
instalasi biologi, instalasi kimia, instalasi entomonologi.

3.4 Tugas dan Fungsi


Balai Besar Tehnik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKLPP)
memiliki tugas pokok melaksanankan surveilans epidemologi, kajian dan penapisan
teknologi, laboratorium rujukan, kendali mutu, kalibrasi, pendidikan dan pelatihan,
pengembangan model dan teknologi tepat guna, kewaspadaan dini, dan penanggulangan
Kejadian Luar Biasa (KLB) di bidang pengendalian penyakit dan kesehatan lingkungan serta
kesehatan matra.
Adapun untuk mendukung tugas-tugas pokoknya Sesuai Keputusan Menteri Kesehatan
RI. NOMOR 267/Menkes/SK/III/2004, BBTKLPP menjalankan fungsi sebagai berikut:
 pelaksanaan surveilans epidemiologi
 pelaksanaan analisis dampak kesehatan lingkungan (ADKL)
 pelaksanaan laboratorium rujukan, pelaksanaan pengembangan model dan
teknologi tepat guna
 pelaksanaan uji kendali mutu dan kalibrasi
 pelaksanaan penilaian dan respon cepat, kewaspadaan dini, dan penanggulangan
kejadian luar biasa (KLB) atau wabah dan bencana;
 pelaksanaan surveilans faktor resiko penyakit tidak menular;
 pelaksannan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan kajian dan pengembangan
teknologi
 pelaksanna kajian dan pengembangan; serta teknologi pengendalian penyakit,
kesehatan lingkungan, kesehatan matra,
 pelaksanaa ketatausahaan dan kerumahtanggaan.

3.5 Pelayanan Instalasi BBTKL PP Jakarta


Jumlah instalasi BBTKL PP Jakarta sampai dengan tahun 2016 sebanyak 15 instalasi
yang merupakan fasilitas penunjang pelayanan laboratorium klinik dan laboratorium
kesehatan masyarakat, serta penunjang administrasi. Instalasi yang berkembang sampai
tahun 2016 sebagai berikut:
 Instalasi Laboratorium Fisika Kimia Media Cair
 Instalasi Laboratorium Fisika Kimia Padat, B3, dan Instrumen
 Instalasi Laboratorium Fisika Kimia Udara dan Radiasi
 Instalasi Laboratorium Biologi Lingkungan
 Instalasi Laboratorium Klinis
 Instalasi Laboratorium Media dan Regensia
 Instalasi Laboratorium Pengendalian Mutu Laboratorium Penguji dan Kalibrasi
 Instalasi Laboratorium Sarana dan Prasarana
 Instalasi Pengkajian dan Penerapan dan Pengembangan Teknologi
 Instalasi K3 dan Pengelolaan Limbah
 Instalasi Pendidikan dan Pelatihan
 Instalasi Pelayanan Teknis
 Instalasi Laboratorium Virologi dan Imunoserologi
 Instalasi Laboratorium Entomologi
 Instalasi Laboratorium Kalibrasi
3.6 Lokasi BBTKLPP Jakarta
BBTKLPP Jakarta berlokasi di Jln. Bambu Apus Raya No.6 RT.012 RW:003,
Kelurahan. Bambu Apus, Kecamatan. Cipayung, Kota Jakarta Timurr, Daerah Khusus
Ibukota Jakarta. Peta Lokasi kegiatan disajikan pada gambar 1.1
BAB IV
METODOLOGI

4.1 Metode Analisis


Metode yang digunakan untuk pengujian sampel dengan parameter NO2, SO2, O3,
CO dan TSP di Laboratorium BBTKL PP Jakarta menggunakan metode yang telah
tervalidasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN).
Analisis gas NO2 dengan menggunakan metode Griess Saltzman secara
Spektrofotometri UV-Vis yang mengacu pada SNI 7119.2-2017. Analisis gas SO2
dilakukan dengan menggunakan metode pararosanilin secara Spektrofotometri UV-Vis
yang mengacu pada SNI 7119.7-2017. Analisis gas O3 dengan menggunakan metode
Neutral Buffer Kalium Iodida ( NBKI ) secara Spektrofotometri UV-Vis yang mengacu
pada SNI 7119.8-2017. Analisis gas CO dengan menggunakan alat direct reading yang
merupakan alat ukur lapangan (portable). Analisis TSP menggunakan peralatan High
Volume Air Sample (HVAS) dengan metode Gravimetri yang mengacu pada SNI 7119-
3:2017.

4.2 Waktu dan Tempat Pemantauan


Praktek Kerja Lapangan ini dilakukan di Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan
(BBTKL) Jln. Bambu Apus Raya No.6 RT.012 RW:003, Kelurahan Bambu Apus,
Kecamatan Cipayung, Kota Jakarta Timur di bagian Laboratorium Udara terhitung
mulai tanggal 07 September 2020 sampai 18 September 2020.
4.3 Bagan Rencana Kerja

Persiapan Alat dan


Bahan

Pengambilan Sampel

Penanganan Sampel

Preparasi dan Analisis


Sampel

Pengolahan Data Baku Mutu Standart

Kesimpulan
4.4 Alat dan Bahan
4.4.1 Alat Pemeriksaan SO2, NO2, O3
 Peralatan pengambil contoh uji SO2, NO2, O3 ( setiap unit peralatan
disambung dengan selang silikon dan tidak mengalami kebocoran ).
 Labu ukur 25 ml , 50 ml , 100 ml , 250 ml , 500 ml ,dan 1.000 ml
 Pipet volumetrik
 Bulp pipet
 Gelas ukur 100 ml
 Gelas piala 100 ml , 250 ml, 500 ml , dan 1.000 ml
 Spektrofotometri UV-Vis 1800
 Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg
 Buret 50 ml
 Labu erlenmeyer asah bertutup 250 ml
 Oven
 Kaca arloji
 Termometer
 Barometer
 Pengaduk dan
 Botol reagen

4.4.2 Alat Pemeriksaan TSP


 Peralatan HVAS seperti pada gambar 1;
 Timbangan analitik dengan ketelitian 0,1 mg;
 Barometer yang mampu mengukur hingga 0,1 kPa (1 mmhg);
 Manometer diferensial yang mampu mengukur hingga 4 kPa (40
mmHg);
 Pencatat waktu yang mampu membaca selama 24 jam;
 Pencatat laju alir mampu membaca laju alir dengan ketelitian 0,03
m3/menit (1,0 ft3/menit);
 Kertas Filter
 Termometer; dan
 Desikator
4.4.3 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan meliputi sampel uji dan bahan kimia. Sampel uji
berasal dari gas yang berada di lingkungan kerja dan pertikel dari kertas saring.

Bahan kimia yang digunakan pada analisis gas SO2 yaitu:


 Larutan penjerap tetrakloromerkurat ( TCM ) 0,04 M
 Larutan Induk Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)
 Larutkan Standar Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)
 Larutan Induk Iod (I2) 0,1 N
 Larutan Iod 0,01 N
 Larutan Indikator Kanji
 Larutan Asam Klorida (HCl)
 Larutan Induk Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
 Larutan Na2S2O3 0,01 N
 Larutan Asam Klorida (HCl) 1 M
 Larutan Asam Sulfamat (NH2SO3H) 0,6 %
 Larutan Asam Fosfat (H3PO4) 3 M
 Larutan Induk Pararosanilin Hidroklorida (C19H17N3.HCl) 0,2%
 Larutan Kerja Pararosanilin
 Larutan Formaldehida (HCHO) 0,2 %
 Larutan Penyangga Asetat 1 M (pH = 4,74)

Bahan kimia yang digunakan pada abalis gas NO2 yaitu:


 Hablur asam sulfinat ( H2NC6H4SO3H)
 Larutan asam asetat glasial ( CH3COOH pekat
 Air bebas mineral
 Natrium nitrit ( NaNO2 )
 Larutan induk N – ( 1 naftil ) – etilendiamin dihiroklorida
( NEDA , C12H16Cl2N2)
 Aseton ( C3H6O )
 Larutan penjerap Griess – Saltzman
 Larutan induk natrium nitrit (NaNO2) 2000 µg/ml

Bahan kimia yang digunakan pada analisis O3 yaitu:


 Larutan Penyerap Oksidan
 Larutan Induk Iod (I2) 0,05 N
 Larutan Standar Iod (I2 )
 Larutan Asam Klorida (HCl)
 Larutan Induk Natrium Tiosulfat (Na2S2O3) 0,1 N
 Hablur kalium iodat (KIO3)
 Asam klorida (HCl) pekat 37 %
 Hablur Kalium Iodida (KI)
 Larutan Indikator Kanji

4.5 Penentuan Lokasi Pengambilan Contoh Uji Pemantauan Kualitas Udara Bebas
Penentuan lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara bebas
berdasarkan SNI 19-7119.6-2005. Prinsip : Dalam penentuan lokasi pengambilan
contoh uji, yang perlu diperhatikan adalah bahwa data yang diperoleh harus dapat
mewakili daerah yang sedang dipantau, yang telah memenuhi persyaratan yang
ditetapkan.

Lokasi pengambilan contoh uji


Titik pemantauan kualitas udara bebas ditetapkan dengan mempertimbangkan :
a. Factor meteorology (arah dan kecepatan angin),
b. Factor geografi seperti topografi, dan
c. Tata guna lahan.

Kriteria berikut ini dapat dipakai dalam penentuan suatu lokasi pemantauan kualitas
udara bebas :
a) Area dengan konsentrasi pencemar tinggi. Daerah yang didahulukan untuk
dipantau hendaknya daerah-daerah dengan konsentrasi pencemar yang tinggi.
Satu atau lebih stasiun pemantau mungkin dibutuhkan di sekitar daerah yang
emisinya besar.
b) Area dengan kepadatan penduduk tinggi. Daerah-daerah dengan kepadatan
penduduk yang tinggi, terutama ketika terjadi pencemaran yang berat.
c) Di daerah sekitar lokasi penelitian yang diperuntukkan untuk kawasan studi
maka stasiun pengambilan contoh uji perlu ditempatkan di sekeliling
daerah/kawasan.
d) Di daerah proyeksi. Untuk menentukan efek akibat perkembangan mendatang
lingkungannya, stasiun perlu juga ditempatkan di daerah-daerah yang
diproyeksikan.
e) Mewakili seluruh wilayah studi. Informasi kualitas udara di seluruh wilayah
studi harus diperoleh agar kualitas udara diseluruh wilayah dapat dipantau
(dievaluasi).

Persyaratan pemilihan lokasi pengambilan contoh uji


Beberapa petunjuk yang dapat digunakan dalam pemilihan titik pengambilan contoh
uji adalah :
a) Hindari tempat yang dapat merubah konsentrasi akibat adanya absorpsi, atau
adsorpsi (seperti dekat dengan gedung-gedung atau pohon-pohonan).
b) Hindari tempat dimana pengganggu kimia terhadap bahan pencemar yang
akan diukur dapat terjadi: emisi dari kendaraan bermotor yang dapat
mengotori pada saat mengukur ozon, amoniak dari pabrik refrigerant yang
dapat mengotori pada saat mengukur gas-gas asam.
c) Hindari tempat dimana pengganggu fisika dapat menghasilkan suatu hasil
yang mengganggu pada saat mengukur debu (partikulat matter) tidak boleh
dekat dengan incinerator baik domestic maupun komersial, gangguan listrik
terhadap peralatan pengambil contoh uji dari jaringan listrik tegangan tinggi.
d) Letakkan peralatan di daerah dengan gedung/bangunan yang rendah dan saling
berjauhan.
e) Apabila pemantauan bersifat kontinyu, maka pemilihan lokasi harus
mempertimbangkan perubahan kondisi peruntukan pada masa datang.
4.6 Prosedur Sampling
4.6.1 Pengambilan Sampel gas NO2
Teknik pengambilan contoh NO2 dalam udara bebas:
1. Menyusun peralatan pengambilan contoh uji seperti gambar
2. Masukkan larutan penyerap Griess Saltzman sebanyak 10 mL ke dalam botol
penyerap. Atur botol penyerap agar terlindung dari hujan dan sinar matahari
langsung.
3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur kecepatan alir 0,4 L/menit, setelah
stabil catat laju alir awal dan pantau laju alir udara sekurang – kurangnya 15 menit
sekali
4. Melakukan mengambilan contoh uji selama 1 jam dan mencatat temperature dan
tekanan udara.
5. Mencatat laju alir (F2) setelah 1 jam dan kemudian mematikan pompa pengisap.
6. Membawa sampel ke laboraturium untuk melakukann analisis
4.6.2 Pengambilan Sampel gas SO2
Teknik pengambilan contoh SO2 dalam udara bebas:
1. Menyusun perlatan pengambilan contoh uji seperti gambar
2. masukkan larutan penjerap SO2 sebanyak 10 ml ke masing – masing botol penjerap
lindungi botol penjerap dari sinar matahari langsung dengan alumunium foil
3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur kecepatan alir 0,5 L / menit, setelah
stabil catat laju alir awal dan pantau laju alir udara sekurang – kurangnya 15 menit
sekali.
4. Melakukan pengambilan contoh uji selama 1 jam dan mencatat temperature dan
tekanan udara
5. Mencatat laju air akhir (F2) setelah 1 jam dan mematikan pompa penghisap
6. Diamkan selama 20 menit setelah pengambilan contoh uji untuk menghilangkan
pengganggu.

4.6.3 Pengambilan Sampel gas O3


Teknik pengambilan contoh O3 dalam udara bebas:
1. Menyusun peralatan pengambilan contoh uji seperti gambar 6
2. Masukkan larutan penyerap sebanyak 10 ml ke dalam botol penjerap. Atur atau
tempatkan botol penyerap sedemikian rupa sehingga terhalang dari hujan dan
matahari langsung
3. Hidupkan pompa penghisap udara dan atur laju pada rentang 0,5 L/menit sampai
dengan 3 L/menit, setelah stabil catat laju alir awal dan pantau laju alir udara
sekurang – kurangnya 10 menit sekali
4. Lakukan pengambilan contoh uji selama 30 menit sebanyak 2 kali dan catat
temperatur dan tekanan udara.
5. Setelah 30 menit catat sebagai laju alir akhir (F 2) dan kemudian matikan pompa
penghisap.
4.6.4 Pengambilan Sampel TSP
1. Tempatkan alat uji di posisi dan lokasi pengukuran menurut metode penentuan
lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambient sesuai SNI 19-
7119.6;
2. Tempatkan filter pada filter holder
3. Hubungkan alat HVAS dengan sumber catu daya. Hidupkan alat pengambil contoh
uji selama 24 jam + 1 jam, pantau dan catat laju alir udara serta temperatur setiap
jam, pastikan laju alir udara berada pada rentang 1,1 m 3/menit sampai dengan 1,7
m3/menit. Catat lokasi, tanggal, waktu, dan tekanan barometer.
4. Matikan alat HVAS, pindahkan filter secara hati-hati, jaga agar tidak ada partikel
yang terlepas. Lipat filter dengan posisi contoh uji berada di bagian dalam lipatan.
Simpan filter tersebut ke dalam wadah penyimpanan filter dan beri identitas.

4.7 Cara Penyimpanan Sampel Gas (SO2 dan NO2)


Sampel gas yang akan diuji sudah dalam bentuk larutan yang terikat oleh sel
penyerapnya masing-masing dari setiap parameter yang ada. Sampel tersebut diberi
label dan identitas pengambilan sampel dengan volume sel penyerapnya 10 ml
Penyimpanan sel penyerap yang telah terikat sampel gas tersebut di dalam botol
reagen yang tertutup dan berwarna gelap. Sebaiknya sampel disimpan diruangan sejuk
atau lemari pendingin dengan suhu ± 40C.

4.8 Prosedur Analisis


4.8.1 Prosedur Analisis gas NO2
Prinsip Analisis NO2 Berdasarkan SNI 7119.2-2017

Gas NO2 dijerap dalam larutan Griess Saltman sehingga membentuk suatu
senyawa azo dye berwarna merah muda yang stabil setelah 15 menit. Konsentrasi
larutan ditentukan secara spektofotomentri UV-Vis pada panjang gelombang 550 mm.
Pembuatan Kurva Kalibrasi NO2
1. Optimalkan alat spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan alat.

2. Buat deret larutan kerja daam labu takar 25 ml dengan 1 blanko dan minimal 3
kadar yang berbeda secara proporsional dan berada pada rentang pengukuran
dimana standar larutan kerja terendah mendekati nilai LoQ (limit of
quantitation ) merupakan limit deteksi metode
3. Tambahkan larutan penyerap sampai tanda tera. Kocok dengan baik dan
biarkan selama 15 menit agar pembentukan warna sempurna.

4. Ukur serapan masing-masing larutan standar dengan spektrofotometer pada


panjang gelombang 550 nm

5. Buat kurva kalibrasi antara serapan dengan jumlah NO2 (g)

Pengujian Sampel NO2


1. Masukkan larutan contoh uji ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer, lalu ukur
intensitas warna merah muda yang terbentuk pada panjang gelombang 550 nm.
2. Baca serapan contoh uji kemudian hitung konsentrasi dengan menggunakan
kurva kalibrasi.
3. Lakukan langkah-langkah pengujian sampel butir 1) sampai 2) untuk larutan
penyerap yang diukur sebagai larutan blanko.
4. Membaca serapan contoh uji kemudian menghitung kosentrasi.

Perhitungan
1. Konsentrasi NO2 dalam Larutan Standar
Jumlah NO2 (µg) tiap 1 mL larutan standar yang digunakan dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :

Ket:
dengan pengertian :
NO2 = jumlah NO2 dalam larutan standar NaNO2 (g/mL);
a = berat Na NO2 yang ditimbang (g);
46 = berat molekul NO2;
69 = berat molekul Na NO2;
f = faktor yang menunjukkan jumlah mol NaNO2 yang
menghasilkan warna yang setara dengan 1 mol NO2
(nilai f = 0,82);
10/1000 = faktor pengenceran dari larutan induk Na NO2;
106 = konversi dari gram ke (µg)
2. Volume Contoh Uji Udara yang Diambil
F 1+ F 2 Pa 298
V= ×t × ×
2 Ta 760
Ket:
V = volum udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi normal 25 0C,
760 mmHg;
F1 = laju alir awal (L/menit);
F2 = laju alir akhir (L/menit);
t = durasi pengambilan contoh uji (menit);
Pa = tekanan barometer rata-rata selama selama pengambilan contoh
uji (mmHg);
Ta = temperatur rata-rata selama selama pengambilan contoh uji (K);
298 = konversi temperatur pada kondisi normal (25 0C) ke dalam
Kelvin;
760 = tekanan udara standar (mmHg).

3. Konsentrasi NO2 di Udara Ambien


Konsentrasi NO2 dalam contoh uji dapat dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut :

Ket:
C = Konsentrasi NO2 di Udara (g/Nm3);
b = Jumlah NO2 dari contoh uji hasil perhitungan dari kurva
kalibrasi
V = Volum udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi
normal 25 0C, 760 mmHg;
10/25 = faktor pengenceran;
1000 = konversi liter ke m3.
4.8.2 Prosedur Analisis gas SO2
Prinsip Analisis SO2 Berdasarkan SNI 7119.7-2017
Gas SO2 diserap dalam larutan penjerap tetrakloromerkurat membentuk senyawa
kompleks diklorosulfonatomerkurat. Dengan menambahkan larutan pararosanilin dan
formaldehida ke dalam senyawa diklorosulfonatomerkurat maka terbentuk senyawa
pararosanilin metil sulfonat yang berwarna unggu. Kosentrasi larutan diukur pada
panjang gelombang 550 mm.
Pembuatan Kurva Kalibrasi SO2
1. Optimalkan alat spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan alat
2. Buat deret larutan kerja dalam labu takar 25 ml dengan 1 blanko dan minimal 3
kadar yang berbeda secara proporsional dan berada pada rentang pengukuran
dimana standar larutan kerja terendah mendekati LOQ ( limit of Quantitaion )
3. Tambahkan larutan penyerap sampai volume 10 ml
4. Tambahkan 1 mL larutan asam sulfamat 0,6 % dan tunggu sampai 10 menit
5. Tambahkan 2,0 mL larutan formaldehida 0,2 % dan 5 ml larutan pararosanilin ,
diamkan selama 30 menit
6. Tepatkan dengan air bebas mineral sampai volume 25 ml , lalu homogenkan
7. Ukur serapan masing – masing larutan standar dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 550 nm paling lama 30 menit setelah proses homogenisasi
8. Buat kurva kalibrasi antara serapan dengan jumlah SO2 (µg).

Pengujian Sampel SO2


1. Memindahkan larutan contoh uji ke dalam Erlenmeyer 25 mL dan menambahkan
5 ml air suling untuk membilas
2. Diamkan selama 20 menit
3. Tambahkan 1 mL larutan asam sulfamat 0,6 % dan tunggu sampai 10 menit
4. Tambahkan 2,0 mL larutan formaldehida 0,2 % dan 5 ml larutan pararosanilin ,
diamkan selama 30 menit
5. Tepatkan dengan air bebas mineral sampai volume 25 ml , lalu homogenkan
6. Ukur serapan masing – masing larutan standar dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 550 nm paling lama 30 menit setelah proses homogenisasi
Perhitungan
Volume contoh uji adara yang diambil

Ket:
V = volum udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi normal 25 0C,
760 mmHg;
F1 = laju alir awal (L/menit);
F2 = laju alir akhir (L/menit);
t = durasi pengambilan contoh uji (menit);
Pa = tekanan barometer rata-rata selama selama pengambilan contoh
uji (mmHg);
Ta = temperatur rata-rata selama selama pengambilan contoh uji (K);
298 = konversi temperatur pada kondisi normal (25 0C) ke dalam
Kelvin;
760 = tekanan udara standar (mmHg).
Catatan: Jika menggunakan alat pengukur volume otomatis , catat volume dan
konversikan ke volume pada keadaan standart

Konsentrasi Sulfur Dioksida (SO2) Di Udara Ambien


Konsentrasi SO2 dalam contoh uji untuk pengambilan contoh uji selama 1 jam
dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut :

Ket:
C = konsentrasi SO2 di udara (g / Nm3);
a = jumlah SO2 dari contoh uji dengan melihat kurva kalibrasi (g);
V = volume udara pada kondisi normal (L);
1000 = konversi Liter (L) ke m3
Catatan: Jika menggunakan alat pengukur volume otomatis , catat volume dan
konversikan ke volume pada keadaan standar
4.8.3 Prosedur Analisis gas O3
Prinsip Analisis O3 Berdasarkan SNI 7119.8-2017
Oksidan dari udara ambien akan bereaksi dengan ion iodida yang ada di dalam
larutan penjerap NBKI dan membebaskan iod ( I2 ) yang berwarna kuning muda .
Konsentrasi larutan ditentukan secara spektrofotometer pada panjang gelombang
352 nm.

Pembuatan Kurva Kalibrasi O3


1. Optimalkan alat spektrofotometer sesuai petunjuk penggunaan alat.
2. Buat deret larutan kerja
3. Tambahkan larutan penyerap sampai volume larutan 10 mL dan homogenkan.
4. Ukur serapan masing-masing larutan standar dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 352 nm
5. Buat kurva kalibrasi antara serapan dengan jumlah oksidan (µg)

Pengujian Sampel O3
1. Dalam jangka waktu 30 menit – 60 menit setelah pengambilan contoh uji,
masukkan larutan contoh uji ke dalam kuvet pada alat spektrofotometer, lalu ukur
intensitas warna kuning yang terbentuk pada panjang gelombang 352 nm
2. Baca serapan contoh uji kemudian hitung jumlah oksidan (µg) dengan
menggunakan kurva kalibrasi.

Perhitungan
Volume Contoh Uji Udara Yang Diambil

Ket:
V = volum udara yang dihisap dikoreksi pada kondisi normal 25 0C,
760 mmHg;
F1 = laju alir awal (L/menit);
F2 = laju alir akhir (L/menit);
t = durasi pengambilan contoh uji (menit);
Pa = tekanan barometer rata-rata selama selama pengambilan contoh
uji (mmHg);
Ta = temperatur rata-rata selama selama pengambilan contoh uji (K);
298 = konversi temperatur pada kondisi normal (25 0C) ke dalam
Kelvin;
760 = tekanan dalam kondisi normal 1 atm (mmHg)

Konsentrasi Oksidan Di Udara Ambien


Konsentrasi Oksidan dalam contoh uji dapat dihitung dengan rumus sebagai
berikut :
a
C= ×1000
V
Ket:
C = konsentrasi Oksidan di udara (g / Nm3);
a = jumlah Oksidan dari contoh uji dengan melihat kurva
kalibrasi (g);
V = volume udara pada kondisi normal 25o, 760 mmHg (L);
1000 = konversi Liter (L) ke m3

4.8.4 Prosedur Analisis TSP


Prinsip Analisis TSP Berdasarkan SNI 7119-3:2017
Pengukuran TSP : alat diletakkan pada titik pengukuran setinggi zona pernafasan,
pengambilan contoh dilakukan selama beberapa menit hingga 1 jam ( sesuai
kebutuhan dan tujuan pengukuran) dan kadar debu total yang diukur ditentukan
gravimentri.

Persiapan Filter
1. Beri identitas (nomor contoh uji) pada filter
2. Simpan filter pada ruangan yang sudah dikondisikan dengan temperatur 15 0C
sampai dengan 350C dan kelembaban relatif < 50% serta biarkan selama 24 jam
3. Timbang lembaran filter dengan timbangan analitik (W1)
4. Simpan filter ke dalam wadah penyimpan filter dengan lembaran antara (glassine)
kemudian bungkus dengan plastik selama transportasi ke lapangan
Pengambilan contoh uji
Pengambilan contoh uji dilakukan dengan tahapan sebagai berikut :
1. Tempatkan alat uji di posisi dan lokasi pengukuran menurut metode penentuan
lokasi pengambilan contoh uji pemantauan kualitas udara ambient sesuai SNI 19-
7119.6
2. Tempatkan filter pada filter holder
3. Hubungkan alat HVAS dengan sumber catu daya. Hidupkan alat pengambil
contoh uji selama 24 jam + 1 jam, pantau dan catat laju alir udara serta temperatur
setiap jam, pastikan laju alir udara berada pada rentang 1,1 m 3/menit sampai
dengan 1,7 m3/menit. Catat lokasi, tanggal, waktu, dan tekanan barometer.
4. Matikan alat HVAS, pindahkan filter secara hati-hati, jaga agar tidak ada partikel
yang terlepas. Lipat filter dengan posisi contoh uji berada di bagian dalam lipatan.
Simpan filter tersebut ke dalam wadah penyimpanan filter dan beri identitas.

Penimbangan contoh uji


1. Simpan filter pada ruangan yang sduah dikondisikan dengan temperatur 15 0C
sampai dengan 350C dan kelembaban relative < 50% serta biarkan selama 24 jam
2. Timbang filter dan catat massanya (W2).

Perhitungan
Volume contoh uji udara
n

∑ QS
V std = s=1 xt
n
Ket:
Vstd adalah volumecontoh uji udara dalam keadaan standar (Nm3);
QS adalah laju alir volume dikoreksi pada kondisi standar ke-s (Nm3/menit);
n adalah jumlah pencatatan laju alir;
t adalah durasi pengambilan contoh uji (menit).
Konsentrasi partikel tersuspensi total dalam udara ambient
Konsentrasi partikel tersuspensi total dalam contoh uji dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut:
( w 2−w 1 ) × 106
C=
Vstd
Ket:
C adalah konsentrasi massa partikel tersuspensi (μg/Nm3);
W1 adalah Berat filter awal (g);
W2 adalah Berat filter akhir (g);
Vstd adalah Volum contoh uji udara dalam keadaan standar (Nm3);
106 adalah Konversi gram (g) ke microgram (μg).

4.8.5 Prosedur Analisis CO


Pengujian Sampel
Parameter gas CO, diukur dengan menggunakan alat direct reading yang
merupakan alat ukur lapangan (portable)
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemantauan kualitas udara ambient dilakukan berdasarkan parameter yang telah diukur: NO 2,
SO2, O3, CO dan TSP. Serta parameter pendukung seperti: suhu, kelembapan dan tekanan.
Semua parameter tersebut dapat digunakan untuk pemantauan udara ambien yang dihasilkan
selama kegiatan di tempat BBTKL PP Jakarta. Apakah memenuhi standart baku mutu udara
ambien atau tidak.

Berdasarkan hasil pemantauan kualitas udara ambien di halaman depan dan halaman
belakang Balai Besar Teknik Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL
PP) Jakarta, diperoleh data sebagai berikut:

Tabel 1: Pemantauan Parameter Pendukung

Titik Sampling Suhu (CO) Kelembaban Tekanan (mmHg)


Halaman Belakang 36.1 47.3 754.5
Halaman Depan 36.3 47.5 754.8

Tabel 2: Pemantauan Parameter Kimia CO dan Fisika TSP

TSP (µg/Nm3) CO(µg/Nm3) (23ppm)


Titik Sampling
Hasil Baku Mutu Hasil Baku Mutu
Halaman Belakang 91,9 230 1145,2 26.000
Halaman Depan 114,2 230 2290,4 26.000

Tabel 3: Hasil Pemantauan Kimia Gas NO2, dan SO2,

NO2 (µg/Nm3) SO2 (µg/Nm3)


Titik Sampling
Hasil Baku Mutu Hasil Baku Mutu
Halaman Belakang 63,57 400 52,16 900
Halaman Depan 61,50 400 79,00 900

Tabe 4: Hasil Pemantauan Kimia Gas O3


O3 (µg/Nm3)
Kode Sampel
Hasil Baku Mutu
Halaman Belakang 18,45 200
Halaman Depan 30,30 200

Berdasarkan hasil seluruh parameter yang dilampirkan diatas, dapat dilihat bahwa seluruh
parameter pencemar udara yang berada di lingkungan BBTKL PP Jakarta berada dibawah
baku mutu lingkungan sesuai dengan Keputusan Gubernur DKI Jakarta No.551 Tahun 2001.

5.1 Parameter Fisika


5.1.1 TSP (Total Suspended Particulate)
Kadar TSP di lingkungan BBTKL PP Jakarta adalah 91,9 µg/Nm3 (halaman
belakang) dan 114,2 µg/Nm3 (halaman depan). Kadar baku mutu lingkungan
untuk pemeriksaan TSP adalah 230 µg/Nm3. Jika dibandingkan hasil yang
didapat dengan baku mutu lingkungan adalah sebagai berikut:
250
230 230

200

150
114.2
100 91.9

50

0
Halaman Belakang Halaman Depan

Hasil Pemantauan TSP (µl/m3) Baku Mutu TSP (µl/m3)

5.2 Parametaer Kimia


5.2.1 NO2
Kadar NO2 di udara harus sesuai dengan standart di wilayah tersebut. Kadar
baku mutu gas NO2 di lingkungan bebas adalah 400 µg/Nm3, jika kadar NO2
melewati baku mutu yang telah ditetapkan maka tempat tersebut dapat
dikatakan tercemar gas NO2. Setelah dilakukan pemantauan dan diperoleh
hasil dari gas NO2 di lingkungan BBTKL PP Jakarta adalah 63,75 µg/Nm3
(halaman belakang) dan 61,50 µg/Nm3 (halaman depan). Jika dibandingkan
dengan baku mutu gas NO2 adalah sebagai berikut:

450
400 400
400
350
300
250
200
150
100 63.57 61.5
50
0
Halaman Belakang Halaman Depan

Hasil Pemantauan Gas NO2 (µl/Nm3) Baku Mutu Gas NO2 (µl/Nm3)

5.2.2 SO2

Kadar NO2 di udara harus sesuai dengan standart di wilayah tersebut. Kadar
baku mutu gas SO2 di lingkungan bebas adalah 900 µg/Nm3, jika kadar SO 2
melewati baku mutu yang telah ditetapkan maka tempat tersebut dapat
dikatakan tercemar gas SO2. Setelah dilakukan pemantauan dan diperoleh hasil
dari gas SO2 di lingkungan BBTKL PP Jakarta adalah 52,16 µg/Nm3 (halaman
belakang) dan 79,00 µg/Nm3 (halaman depan). Jika dibandingkan dengan
baku mutu gas SO2 adalah sebagai berikut:
1000
900 900
900
800
700
600
500
400
300
200
100 52.16 79

0
Halaman Belakang Halaman Depan

Hasil Pemantauan Gas SO2 (µl/Nm3) Baku Mutu Gas SO2 (µl/Nm3)

5.2.3 O3
Kadar O3 di udara harus sesuai dengan standart di wilayah tersebut. Kadar
baku mutu gas O3 di lingkungan bebas adalah 200 µg/Nm3, jika kadar O3
melewati baku mutu yang telah ditetapkan maka tempat tersebut dapat
dikatakan tercemar gas O3. Setelah dilakukan pemantauan dan diperoleh hasil
dari gas O3 di lingkungan BBTKL PP Jakarta adalah 18,45 µg/Nm3 (halaman
belakang) dan 30,30 µg/Nm3 (halaman depan). Jika dan dibandingkan dengan
baku mutu gas O3 adalah sebagai berikut:

250

200 200
200

150

100

50
30.3
18.45

0
Halaman Belakang Halaman Depan

Hasil Pemantauan Gas O3 (µl/Nm3) Baku Mutu Gas O3 (µl/Nm3)


5.2.4 CO
Kadar CO di udara harus sesuai dengan standart di wilayah tersebut. Kadar
baku mutu gas CO di lingkungan bebas adalah 26.000 µg/Nm3, jika kadar CO
melewati baku mutu yang telah ditetapkan maka tempat tersebut dapat
dikatakan tercemar gas CO. Setelah dilakukan pemantauan dan diperoleh hasil
dari gas CO di lingkungan BBTKL PP Jakarta adalah 1145,2 µg/Nm3
(halaman belakang) dan 2290,4 µg/Nm3 (halaman depan). Jika dan
dibandingkan dengan baku mutu gas CO adalah sebagai berikut:

30000
26000 26000
25000

20000

15000

10000

5000
2290.4
1145.2
0
Halaman Belakang Halaman Depan

Hasil Pemantauan Gas CO (µl/m3) Baku Mutu Gas CO (µl/m3)


BAB VI
PENUTUP
6.1 Kesimpulan
Dari hasil pemantauan kualitas udara ambien di lingkungan Balai Besar Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (BBTKL PP) Jakarta tersebut,
didapatkan, bahwa seluruh hasil pemeriksaan pemantauan kualitas udara ambien
(SO, NO, O, CO dan TSP) masih dibawah nilai batas baku mutu lingkungan.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa kualitas udara ambien di lingkungan BBTKL PP
Jakarta masih memenuhi standart baku mutu lingkungan berdasarkan peraturan
Keputusan Gubernur DKI Jakarta NO.551 Tahun 2001.

Namun hasil pemeriksaan pengukuran pemantauan kualitas udara ambien ini belum
menunjukan hasil yang mutlak, karena adanya faktor lingkungan dan faktor waktu
pengambilan sampling yang fluktuatif

6.2 Saran
Setelah dilakukan pemantauan kualitas udara di lingkungan BBTKL PP Jakarta ini,
diharapkan pada parameter pencemar yang memiliki konsistensi tinggi (mendekati
baku mutu) dapat diatasi demi meningkatkan safety pada kegiatan kerja.

Seperti:
1. Menanam tanaman/pohon rindang untuk mengurangi polusi yang di hasilkan di
sekitar lingkungan BBTKL PP
2. Melakukan pemantauan secara rutin/berkala untuk mengetahui kualitas udara
disekitar lingkungan BBTKL PP
3. Mengurangi atau meminimalisir penggunaan kendaraan pribadi di lingkungan
kerja BBTKL PP
LAMPIRAN
Lampiran 1
Lampiran 2
1. Perhitungan Gas NO2
2. Perhitungan Gas SO2
3. Perhitungan Gas CO
4. Perhitungan TSP

Anda mungkin juga menyukai